Oleh Duddy Fachrudin
Suatu ketika ada seorang perempuan muda menceritakan masalahnya kepada saya. Inti dari masalahnya adalah pasangannya sudah meyakinkan dirinya bahwa ia akan menikahinya. Tentu saja perempuan muda tersebut merasa senang dan mempersiapkan diri untuk menjadi pendamping hidup yang terbaik.
Namun, ternyata belum ada langkah konkrit yang dilakukan pasangannya untuk menikahinya. Perempuan muda ini terjebak dalam perasaan galau, gelisah, dan gundah gulana. Ia bingung apa yang harus dilakukannya? Apakah ia harus meninggalkan pasangannya dan mencari laki-laki lain yang siap menjadi suaminya atau tetap menunggu pasangannya melamar dirinya di hadapan orang tuanya.
Tentu saja kasus sulit move on tidak hanya terjadi pada masalah percintaan. Saya pernah menangani mahasiswa yang stuck pada kuliahnya di tingkat pertama di sebuah universitas ternama di Indonesia. Nilai-nilainya sangat rendah sehingga ia harus mengulang beberapa mata kuliah pada tahun berikutnya. Pada saat itu kondisi keluarganya juga sedang tidak harmonis. Hal tersebut yang semakin membuat mahasiswa ini kehilangan fokus pada kuliahnya.
Permasalahan sulit move on yang paling buruk adalah ketika kita tidak hidup di masa ini. Pikiran kita mengembara ke masa lalu, entah pada kekecewaan, kemarahan, dendam, perasaan sakit hati, sampai rasa bersalah yang tinggi. Orang yang hidup pada bayang-bayang masa lalu hidupnya tidak akan bahagia. Ia seperti berjalan menuju masa depan sambil membawa beban yang sangat berat di pundaknya.
Move on pada intinya adalah terlepas dan berpindah. Orang yang sulit move on berarti pikirannya masih melekat pada suatu hal yang ada di masa lalu. Maka apa yang perlu dilakukan untuk move on? Cukup dengan melepaskan atau membebaskan pikiran yang terpenjara. Berikut langkah-langkahnya (dengan ilustrasi kasus percintaan):
Pertama, jika ada pikiran yang mengganggu, cukup amati, misalnya muncul perasaan kecewa, cukup amati perasaan kecewa itu tanpa berkomentar. Cara mengamati yang baik adalah diam sejenak.
Kedua, deskripsikan perasaan kecewa tersebut, misalnya, “Oh saya kecewa karena pasangan saya mengkhianati saya.”
Ketiga, terima perasaan kecewa tersebut, misalnya, “Saya mengijinkan diri saya menerima perasaan kecewa ini...Terima kasih tubuh, jiwa dan pikiran yang telah mencintainya. Dengan begitu saya menyadari sekali bahwa saya mencintainya. Namun ternyata apa yang telah direncanakan dan diusahakan tidak berjalan lancar. Maafkan saya wahai tubuh, pikiran, dan jiwa, karena kalian semua tersakiti. Saya sekarang mulai belajar untuk ikhlas... ikhlas melepaskan semuanya. Terima kasih sekali lagi, dan maafkan saya."
Keempat, berpikir secara matang untuk mengambil keputusan move on. Dengan berpikir matang maka keputusan yang diambil akan lebih bijaksana.
Kelima, hiduplah untuk saat ini, yaitu dengan menikmati hari ini dengan bahagia. Kadang kita tidak di masa lalu dan masa depan. Pikiran kita mengembara ke masa lalu atau kita terlalu mengkhawatirkan hal yang belum terjadi di masa depan.
Dengan move on dari masalah dan masa lalu kita itu berarti kita mengijinkan diri kita terbebas dari belenggu pikiran yang mengganggu. Kita juga telah mengijinkan diri kita untuk menatap masa depan yang lebih cerah. Dan terakhir, kita mengijinkan diri kita untuk menerima segala keberkahan dan keberlimpahan dari Tuhan.
Sumber gambar:
https://www.merdeka.com/gaya/5-alasan-move-on-adalah-hal-tersulit-tetapi-tetap-harus-dilakukan.html
Dengan move on dari masalah dan masa lalu kita itu berarti kita mengijinkan diri kita terbebas dari belenggu pikiran yang mengganggu. Kita juga telah mengijinkan diri kita untuk menatap masa depan yang lebih cerah. Dan terakhir, kita mengijinkan diri kita untuk menerima segala keberkahan dan keberlimpahan dari Tuhan.
Sumber gambar:
https://www.merdeka.com/gaya/5-alasan-move-on-adalah-hal-tersulit-tetapi-tetap-harus-dilakukan.html
0 komentar:
Posting Komentar