Selasa, 28 Mei 2019

Tak Ada yang Tercipta Sia-Sia


Oleh Tauhid Nur Azhar 

Sebuah artikel di surat kabar nasional menghentak kesadaran saya dan membuat saya sesaat merenung. Meski awal dari narasi yang saya baca sempat membuat saya tersenyum, tetapi belakangan justru membuat saya tercenung, bahkan menjadi agak bingung.

Potongan artikel yang membuat saya tersenyum membahas tentang pentingnya beol Kuda Nil dalam keseimbangan ekosistem di sungai Mara Kenya. 

Berawal dari "keisengan" ilmiah yang kadang menurut sebagian dari kita kerap dianggap sebagai penelitian ga jelas dan ga mutu, padahal sangat elementer dan hasilnya sangat penting dalam mempelajari konsep lingkungan secara holistik, Jonas Schoelynck dari Antwerp University dalam artikelnya yang dipublikasi di jurnal Science Advanced edisi Mei 2019, menggambarkan bahwa seekor Kuda Nil dewasa dapat memamah biak rumput sebanyak 800 Kg yang kandungannya antara lain adalah silikon. 

Dimana saat "BAB" sang Kuda Nil akan melepaskan silikon secara berjamaah (sekitar 0,4 metrik ton) ke dalam air Sungai Mara. Dan silikon/ silikat dari feses Kuda Nil yang buang airnya benar-benar di dalem air...gimana ya rasanya... adalah 76% dari sumber silikon perairan yang dibutuhkan oleh Diatoma untuk menjalankan fungsi fisiologisnya. 

Maka premis di awal artikel di surat kabar tersebut menjadi sangat krusial: setiap organisme terhubung satu sama lain dalam jejaring kehidupan sehingga hilangnya satu spesies pasti bakal mempengaruhi keseimbangan ekosistem. 

Dan ternyata manusia, yang homo; sapien, ludens, economicus, socius, dan berbagai label lainnya yang tidak selalu berkonotasi positif, adalah penggerak tak langsung pada berbagai mekanisme yang berdampak pada kepunahan spesies. 

Sebagai contoh nyata adalah hubungan antara nilai-nilai dan perilaku masyarakat yang maujud dalam ranah demografi plus sosiokultural, ekonomi dan teknologi, lembaga dan tata kelola, serta konflik dan epidemi, ditengarai menjadi faktor enabler terjadinya proses kepunahan berbagai spesies. 

Kondisi kecemasan kronis dan dorongan subliminal untuk mengeksploitasi alam sebagai upaya konstruktif menjamin dan memberikan rasa yakin terhadap keberlangsungan hidup personal dan golongan, berkelindan dengan nafsu dan hasrat yang tentu menjadi penggerak kuat yang antara lain dapat berakibat terjadinya penurunan kondisi alam. 

Sampai saat ini tercatat sudah sekitar 47% luasan dan kondisi ekosistem global terdegradasi. Di samping itu 25% spesies dari kerajaan diversitas global terancam dan kritis. Integritas biotik menurun 23% di ekosistem darat, belum yang terestrial dan lautan. 

Kewaskitaan lokal yang maujud dalam budaya silih asah dan asuh antara komunitas manusia dalam konteks masyarakat adat dengan alam mulai tergerus oleh kepentingan pragmatis yang maujud dalam over eksploitasi lahan dan sumber daya sebagai penunjang industrialisasi dan kawasan permukiman. 

Arti penting konservasi untuk mempertahankan keberadaan spesies dan fungsi ekologisnya perlahan tapi pasti tergerus oleh kepentingan sesaat yang bersifat eksploitatif dan dilakukan dalam sebuah bentuk destruksi yang mengabaikan tatanan keseimbangan dan harmonisasi yang terorkestrasi. 

Padahal jika mengacu pada peran setiap spesies di muka bumi ini yang didapuk untuk menjalankan sekurangnya satu fungsi yang khas dan sulit untuk disubtitusi tanpa menimbulkan gejolak transisional, maka setiap spesies itu penting, begitu juga perannya dalam konstruksi ekologis. 

Berangkat dari tulisan di atas maka tak pelak kita harus meyakini dan mengamini sepenuhnya bahwa tak ada sesuatu pun di semesta ini yang diciptakan sia-sia oleh Allah Swt.

Sumber gambar:

Share:

0 komentar:

Posting Komentar