Tampilkan postingan dengan label Refleksi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Refleksi. Tampilkan semua postingan

Senin, 15 Maret 2021

Akreditasi, Kebutuhan Primer, dan Anton Medan




Oleh Duddy Fachrudin 

Setiap beberapa tahun sekali, sebuah lembaga mengajukan diri untuk dilakukan akreditasi. Misalnya akreditasi sebuah jurusan atau program studi di suatu universitas. Tim asessor yang ditugaskan oleh Badan Akreditasi kemudian menilai mutu sesuai standar baku yang telah ditetapkan. Hasil akhirnya berupa nilai dan status yang kemudian disematkan oleh program studi selama rentang waktu tertentu hingga kemudian melakukan reakreditasi. 

Akreditasi mengacu pada sebuah pengakuan atas kesesuaian. Jadi... kalau lembaga telah memiliki kesesuaian performa dan pencapaian dengan standar yang ditetapkan, maka mendapatkan "pengakuan" yang bagus. Jika kurang sesuai, maka dapat melakukan evaluasi dan meningkatkan kualitas institusi sampai akhirnya meraih pengakuan yang layak.

Itu akreditasi sebuah lembaga. Bagaimana dengan manusia? 

Akreditasi pada manusia hanya bisa dilakukan oleh dirinya sendiri dan penciptanya. 

Saat seorang manusia telah sampai (baligh) pada kedewasaan (kematangan seksual), dan memahami baik dan buruk lewat akal serta budi (akil), maka hadir konsekuensi untuk mengembangkan kehidupan yang tertata, selaras, dan sesuai dengan standar Sang Maha. 

Artinya, Tuhan sangat ingin sekali mahluk yang diciptakannya yang bernama manusia ini senantiasa bertumbuh, berkembang, bertransformasi terus menerus memperbaiki diri, dan mampu mengevaluasi (melakukan akreditasi diri), yang kelak suatu hari nanti Tuhan mengakui. 

Manusia sendiri berharap mendapatkan pengakuan terbaik agar saat meninggalkan dunia "tidak memiliki keinginan untuk kembali ke dunia".

Sebagian orang yang telah mati memang butuh sekali kembali ke dunia. Mereka ingin kembali ke dunia bukan bertujuan untuk menggapai dunia. Mereka ingin memperbaiki amal salih. 

Tidak jarang, karena hasrat dan obsesi, manusia lalai mengembangkan prioritas hidup yang dijalani. Ini tidak terlepas dari paradigma kebutuhan yang dikembangkan oleh manusia itu sendiri. 

Primer, sekunder, tersier. 

Singkatnya kebutuhan dibagi menjadi ke dalam tiga bagian. 

Kebutuhan primer berkaitan dengan kebutuhan pokok, misalnya, makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Kebutuhan sekunder sifatnya pendamping, seperti perabotan rumah tangga. Dan terakhir kebutuhan tersier, yang sebenarnya sangat tidak penting tapi dipenting-pentingkan oleh manusia, seperti barang mahal dan mewah. 

Teori ini setidaknya diajarkan dan diujikan hingga akhirnya tertanam dalam pikiran. Manusia lupa mempertanyakan kelayakan dan kevalidannya, serta hanya mengikuti arus kehidupan yang memenjarakan. 

Kemerdekaan dari penjara kehidupan dilalui saat manusia bisa memilih mana yang menjadi orientasi utama. Apakah tepat pemenuhan kebutuhan sandang, pangan, papan, perabotan, hingga cincin berlian dan kepopuleran adalah yang paling penting dan menjadi fokus perhatian? 

Para resi, seperti halnya Nabi mengajarkan keteladanan sikap dan perbuatan melalui jalan pengendalian, kebenaran, dan kebermanfaatan. Vektor ini mengarahkan manusia pada pencapaian yang diberkahi dan diridoi Tuhan. 

Dan inilah yang dilakukan oleh Anton Medan, mantan preman yang menyiapkan liang lahat untuk akhir kediaman. Ia memahami kebutuhan primer manusia sesungguhnya yang perlu dicapai dengan disiplin dan latihan. Dirinya telah siap untuk dilakukan akreditasi sesuai dengan standar yang ditetapkan Tuhan dengan penuh ketenangan.

Sumber gambar:

Minggu, 14 Maret 2021

Mindful Parenting: Ketika Mencintai Bukan Lagi Sekedar Alat untuk Dicintai




Oleh Tauhid Nur Azhar 

V: 

Halo Pak Tauhid, apa kabarnya? Semoga baik dan sehat selalu ya pak.

Kalo berkenan saya mau menanyakan kelanjutan pertanyaan saya mengenai arti “cinta” menurut science setahun yang lalu pak.

Jadi kesimpulannya kalau kita bicara sains, cinta antara manusia itu semuanya selalu transaksional ya pak? Bagaimana dengan rasa cinta orangtua dengan anaknya yang rela berkorban nyawa?

Apa benar artinya jika semakin seorang manusia mengerti banyak berbagai ilmu pengetahuan mengenai bagaimana sistem kehidupan ini bekerja, berpikir logis rasional dan disertai rasa syukur penuh dalam menjalani hidupnya yang sesaat karena cukup memahami esensi dari hidup, ketika orang tersebut mencapai kemerdekaan secara bathin, maka orang tersebut lebih “mampu” mengasihi tanpa bersifat transaksional?

Yang artinya ketika manusia sudah mencapai kesadaran tingkat tinggi dalam hidupnya lebih mampu mengasihi manusia lain secara non transaksional karena kondisi bathinnya yang sudah cukup “penuh”.

Seperti cerminan Tuhan sebagai entitas yang membentuk ‘segalanya’ dan merupakan sumber ‘tak terbatas’ dari segala hal itu menjadikannya sebagai entitas kasih yang tak terbatas juga. Yang mana dibutuhkan entitas entitas lain yang masih berkekurangan, entah itu energi maupun informasi.

Maaf kalau bahasa saya agak dangkal, mengingat background saya yang non akademis, semoga Pak Tauhid bisa memahami maksud saya hehe.

Dan saya terbuka pak dengan penjelasan sains diluar peran agama supaya pikiran saya bisa lebih terbuka.

Mohon pencerahannya ya Pak.

Karena saya khawatir kalau menyampaikan sesuatu tanpa dasar dan salah pada banyak orang malah jadi batu sandungan.

Terima kasih sebelumnya ya pak Tauhid jika berkenan meluangkan waktu.

T: 

Siap. Alhamdulillah. Senang sekali bisa menyambung diskusi ini. Cinta yang selama ini kerap dibahas memang secara konotatif maupun denotatif kerap dikaitkan dengan kepemilikan dan berlakunya hak istimewa dalam relasi yang seolah disepakati. Di tataran ini tentu sifat transaksional tak terhindari dan menjadi sebuah keniscayaan yang senantiasa membayangi. Tetapi konsep cinta ini juga sebagaimana semua definisi dan persepsi di semesta, ia dinamis dan bertumbuh. 

Cinta transaksional itu berada di level dimana kita justru tengah mengarungi konsep mencintai secara solipsitik, mencintai diri sendiri yang memang merupakan fitrah kita juga untuk larut dalam egosentrisme. 

Kita cenderung mencintai dengan bermotif protektif dan reflektif. Apa yabg kita cintai adalah subjek ataupun objek yang memproyeksikan dan merefleksikan pemenuhan kebutuhan dan keinginan preferentif kita (sesuai kecenderungan dan selera yang dibangun dari proses belajar melalui pemaknaan terhadap pengalaman). 

Kita butuh hiburan yang dapat dipenuhi melalui pemahaman terhadap konsep dan nilai estetika, maka kita memburu kecantikan dan kerupawanan sebagai proyeksi objektifnya. Maka kita mengembangkan preferensi dan selera untuk menyukai berbagai kriteria subjektif pada objek tertentu sebagai sebentuk indikator bahwa cinta itu bersyarat dan memerlukan prasyarat. Ada ketentuan yang berlaku. Ini masih dalam domain transaksional, yang anehnya meski terkesan dangkal tapi esensial dan justru sangat fundamental, alias memang diperlukan dan dibutuhkam sebagai penunjang kehidupan. 

Maka manusia di otaknya dikaruniai memori primordial tentang warna, bau/aroma, bentuk tertentu yang terasosiasi dengan makanan, misalnya, adalah cara atau alat survival yang memang dikaruniakan untuk mengakomodir kebutuhan terhadap pemenuhan hajat hidup tersebut. Dalam salah sebuah riset terkait kompatibilitas genomik dan imunitas, ternyata orang cenderung memilih pasangan yang memiliki karakter imunitas saling bertolak belakang, agar dapat memiliki library gen imun yang lebih kompleks sebagai warisan kepada generasi penerusnya.

Artinya ketika kita mencintai sesuatu dengan berbagai term and condition yang diberlakukan, itu adalah kewajaran karena merupakan bagian dari kebutuhan primordial terkait dengan respon defensif untuk mempertahankan kehidupan. Yang tentu juga merupakan ekspresi lain dari mensyukuri nikmat hidup.

Dalam konteks cinta yang bertumbuh akan muncul suatu proses pengayaan yang diawali dengan bertambahnya pengetahuan akan esensi dari eksistensi. Kita akan selalu bertanya tentang hakikat keberadaan dan kehadiran dan mulai mampu mengidentifikasi beberapa faktor yang menghadirkan kelelahan dan keresahan yang mendistorsi hidup melalui gelombang kegelisahan, kecemasan, dan kekhawatiran. 

Lalu kita pun mulai menyadari bahwa respon agresi dan tindakan-tindakan preemptive yang dilakukan dengan alasan prevensi itu bersifat menyerang dan mendahului (kompetisi) seperti tergambar dalam idiom si vis pacem parabelum

Tapi justru dalam lautan distorsi itu cinta terpurifikasi. Seolah berbagai dinamika interaksi itu adalah sebuah rektor purgatory yang memberikan efek sentrifugal sehingga kita terpental ke alam Paradiso (Dante Alegori). Kita jadi memiliki referensi tentang kesementaraan dan relativitas, lalu mulai mencari kesejatian. 

Jadi semua itu proses, seperti tergambar dalam tingginya kadar hormon oksitosin di kelompok rubah Lyudmilla yg terepresentasi dalam sebentuk kuatnya ikatan kekeluargaan di antara rubah tersebut. Tetapi sebagai konsekuensinya, kehadiran kadar oksitosin yang tinggi itu juga mendorong munculnya sifat xenofobia di keluarga itu. Takut dan curiga berlebih pada sesamanya yang bersifat asing. Sesama dapat diartikan memiliki kepentingan dan kebutuhan yang sama, dan karena asing adalah kata lain bukan bagian dari kita, maka tentu ini akan mendatangkan potensi membahayakan bukan? 

Maka politik identitas secara psikologi massal juga dapat mengarah ke sana, menimbulkan ketakutan dan kebencian pada sesama yang dianggap dapat mengganggu pemenuhan kebutuhan dan kepentingan.

Di sisi lain saat hubungan telah mampu melampaui motif egosentrisme dalam pemenuhan kebutuhan, maka akan lahir altruisme yang berdasar pada komponen empati sebagai bagian dari esensi eksistensi. Ketulusan dan keikhlasan yang dilambari kesabaran adalah tingkatan kesadaran di mana nalar telah mulai tercerahkan dalam memetakan tujuan. 

Kesementaraan dan kepentingan telah mampu ditempatkan secara proporsional agar dapat menjadi energi penggerak aktualisasi diri yang ditandai dengan kebermanfaatan dan kebermaknaan. Pada akhirnya hidup ini kan bermakna jika bermanfaat, dan itu diberi batasan "kalau sempat". Dan dalam kesementaraan itulah konsepsi cinta transaksional akan kandas karena semua dalam relativitas akan berbatas.

Dan kita tidak bisa meretas apalagi mengubah kepastian yang telah digariskan secara tegas. Maka kita akan mulai merasakan bahwa cinta dalam konteks melepas, berbagi, dan memberi justru membuat ruang luas yang membuat kita sulit kalah oleh lelah. Sulit marah karena salah. Sulit menyerah karena masalah.

Pandemi membuat sebagian dari kita rela mengorbankan rasa cintanya terhadap kebebasan berkumpul, bernafas tanpa masker, dan tak perlu mencuci tangan karena mereka termasuk kelompok beresiko rendah atau bahkan mungkin kelompok yang telah mendapat vaksin. Mereka mulai memikirkan esensi dari eksistensinya dan konsekuensi dari setiap pilihannya terhadap suatu konstelasi yang tak terkurung entitas personal individual. 

Di titik inilah mulai muncul kesadaran bahwa makna keberadaan kita hanya bisa "dibaca" melalui proyeksi yang terpantul dari subjek dan objek yang menerima pancaran "gelombang" kita. Kita adalah sekumpulan persepsi reflektif dari mitra interaksi kita. Di sanalah kita bercermin dan melihat bayang diri kita yang sesungguhnya.

Maka kita akan memulai "siaran" melalui gelombang aktivitas kita dengan harapan akan mendapatkan pantulan terbaik yang dapat melegitimasi niat yang telah dieksekusi. 

Kok masih terdengar seperti sebuah transaksi? 

Karena memang kita hidup dalam alam yang terbentuk dari proses interaksi. Tapi jangan khawatir, transaksi nirlaba akan membawa kita terbebas dari tekanan yang melahirkan kecemasan dan kekhawatiran. 

Di level inilah nalar sadar sesuai kadar akan menjadikan makna hidup berakar. Dan cinta serta proses mencintai sudah lagi tak peduli akan imbal balik ataupun apresiasi. Mencintai bukan lagi sekedar alat untuk dicintai, melainkan semata untuk mensyukuri eksistensi diri ❤️ 

Sumber gambar:

Senin, 09 Maret 2020

Amartya... Percik Sadar di Pusar Syahwat yang Berkelindan dengan Hasrat (Bagian 3, Habis)


Oleh Tauhid Nur Azhar

Karena mengalir itu mengikuti tanpa hilang kendali. Merasakan dan mensyukuri tanpa terbenam di dalamnya. Mengapung dan menghiliri kehidupan. Karena menghulu di ruang waktu adalah keyakinan semu.

Kita semua maju untuk bertemu dengan titik terdahulu. 

Kita berputar dan mengalir. Kita terhempas di banyak batu. Kita kadang terdampar diserap debu. 

Tapi bahagia itu tak pernah kering karena selalu akan ada cinta di setiap titik temu. Dan cinta itu temu, juga titik. Karena mencintai itu proyeksi, juga refleksi, dan iluminensi. Datang dari sumber kita, membersamai kita, dan membentuk bayang-bayang semu yang termaktub dalam harap dan rindu. 

Maka sumber cinta pastilah Cahaya. Dan kita adalah penghalang yang ada dan membuat bayang. 

Maka cinta kadang kelam, juga gelap bahkan pekat karena menjadi tanda bahwa adanya kita adalah niscaya. Dan niscaya adalah kunci percaya bahwa bayang yang membumi dan menubuh dalam eskalasi materi adalah bukti bahwa selalu ada Cahaya yang bukan sekedar hipotesa. 

Kita adalah makhluk tanah yang menerima Cahaya agar berada dan membayang dalam kelana cinta yang menubuh dalam sosok rubuh yang tak runtuh melainkan utuh saat bersetubuh dengan materi yang meluruh.

Maka maafkanlah saya yang malam ini tersandar lemas karena pesona Amartya... karena sejam bersamamu benar-benar telah menguras segenap tirta kamanungsan yang mengkristal menjadi roso kamanungsan. 

Mohon izin Mbak Marinta, kristal roso ini mau saya bawa pulang ya... mau saya bawa pas makan bakso, ngaso, atau juga pas cuma bisa melongo.

<<< Halaman Sebelumnya

Sumber gambar:

Rabu, 14 Agustus 2019

Manusia Tidak Seperti Daun yang Bahagia dalam Diamnya (Bagian 3, Habis)


Oleh Tauhid Nur Azhar

Lalu apapun hasilnya, kita berhak untuk bahagia.

Mengapa?

Karena itulah proses yang berkelindan dengan rasa syukur karena kita ada dan berada. Yah daripada habis tenaga untuk terus bertanya tentang mengapa dan bagaimana.. jalani saja dulu pertanyaan itu, toh di ujungnya kunci jawaban tersedia kok.

Bahagia itu gratis, kecuali bahagia yang sudah jadi komoditas dan bersifat transaksional.

Jenis bahagia yang kedua butuh modal, beresiko dan berbahaya juga. Kenapa? Karena komoditas punya life cycle dan transaksional amat bergantung pada dinamika nilai tukar. 

Awas lo, nanti belum balik investasinya sudah keluar produk bahagia model baru loh.. ga kebeli deh.. sedih merana deh.. galau deh.. 

Makanya mungkin sekarang banyak orang galau, salah satunya mungkin kehabisan modal buat beli kebahagiaan kali ya? 

Padahal bahagia di dunia ini adalah kunci untuk bahagia di akhirat loh.. kan ada dalam doa yang kita semua hapal dan lancar membacakannya 😊

Sumber gambar:

Manusia Tidak Seperti Daun yang Bahagia dalam Diamnya (Bagian 2)


Oleh Tauhid Nur Azhar

Karena hidup itu sebuah perjanjian yang harus ditepati. Karena ruang itu harus dijalani. Karena umur itu harus dihabiskan sendiri. Karena kalau tidak kita habiskan kan tetap habis sendiri.

Bagaimana cara kita menghabiskannya? Ya sama seperti makan, sama-sama harus dihabiskan dan disyukuri. Apa yang terjadi pada saat kita makan? 

Syaraf-syaraf keren berujung papila, berbuhul gema gustatoria, bersimpul kelindan dengan serabut fasial dan trigeminal akan mengolah dan membawa rasa yang menimbulkan suka, juga cita, dan daya untuk merasakannya kembali. Begitulah makan, prosesnya diawali dengan kebutuhan biologi, mekanismenya diwarnai kenikmatan, dan diakhiri dengan kebermanfaatan. 

Seharusnya demikian pula hidup dan kehidupan. Lahir dan hadir secara hayati adalah keniscayaan. Dipungkiri pasti utopi. Ditolak pasti cuma bisa sebatas kehendak. Hendak menolak hal yang nyata takkan tertolak. 

Itulah mengapa hidup harus dijalani, ditepati, dinikmati, dan disyukuri. Seperti daun yang lebih dari separuhnya pasti tak mengerti mengapa ia sampai harus berada di bumi. Sebaliknya kita, lebih dari separuhnya sepertinya mengerti tentang arti hadir, berada, dan menjalani "kini" yang dilahirkan "lalu" dan akan melahirkan "akan". 

Maka biarkan hidup mengalir, mengambang, dan tertiup kemana angin bertiup karena pasti angin pun ada yang mengatur dan mengendalikannya bukan. 

Apakah hanya Buys Ballot yang dapat melihat itu? Angin hanya keniscayaan yang lahir dari interaksi sebab-akibat. Sebab ada ruang bertekanan rendah dan ada yang bertekanan tinggi, akibatnya terjadi perpindahan massa udara melintasi media atmosfera. Gitu aja kok repot ya? 

Ikut saja sama yang punya skenario ya. Yang punya banyak kejutan ajaib semudah menambah kurang tekanan di seantero bumi sesuka dan semaunya, la wong yang punya kok

Maka ini saatnya mikir dan bertanya.. nah ada waktunya kan? Apa mikir dan pertanyaannya? "Lalu kita bisa apa ?" Nah itu pertanyaan saya, mungkin anda juga sama ya? Kalau kita bertanya secara retoris seperti itu, apa perlu dijawab? 

Karena baik anda, saya, dan juga mereka pasti sudah tahu jawabannya. Ya ndak bisa apa-apa. Karena ndak bisa apa-apa yang usaha dan doa saja apa-apa yang bisa kan? 


Sumber gambar:

Manusia Tidak Seperti Daun yang Bahagia dalam Diamnya (Bagian 1)


Oleh Tauhid Nur Azhar

Melanjutkan renungan kayu dan api yang saling meniadakan karena tiada pada hakikatnya adalah ada yang sejati, pagi ini saya ingin bertanya lebih pada diri sendiri.

Mengapa berada menjadi begitu penuh drama dan diwarnai kepemilikan dan rasa kehilangan? 

Apakah daun juga bertanya mengapa ia diberi stomata? Mengapa ia begitu butuh cahaya? Mengapa ia harus menghisap CO2 yang jelas bukan semata dihasilkan dari ulahnya? Mengapa pula ia butuh air hingga di sekujur tubuhnya dijaluri oleh pembuluh xylem dan phloem? 

Iya tidak tahu mengapa ada cairan bernama giberelin dan auksin yang seolah memaksa dirinya untuk terus bertumbuh dan meliuk mengikuti arah datangnya cahaya. 

Mengapa cahaya? Ingin ia berteriak dan bertanya, mewakili triliunan daun sedunia... tapi untuk apa? 

Untuk apa bertanya jika hanya kau sendiri yang akan tahu jawabannya. Tentu pada waktunya. Lalu untuk apa juga kita bertanya? Dan berteriak tak terima? 

Jamak sebenarnya. Kita dipersyarafi dan merasakan begitu banyak nyeri, derita, juga nestapa. Berimbang dengan nikmatnya guyuran cinta, tawa, gembira, dan tentu saja bahagia. Tapi mengapa? 

Toh bahagia itu bila dalam terminologi kimia fasanya adalah liquid dan bersifat termolabil yang volatil. Terkena terpaan panas sedikit saja, maka ia akan menguap dan menghablur entah kemana. Mungkin di ketinggian tertentu ia akan kembali menyublimasi dan menjadi kebahagiaan di hati orang lain. 

Ya , orang lain. Bukan kita. Maka bahagia menjadi bagian dari proses transaksional yang dimasukkan dalam ranah ekonomi matematika. Bahkan kadang diukur dengan indikator psikometrika. Bisa juga pada gilirannya dikemas dan dirapihkan pasca disetrika. 

Kebahagiaan menjadi komoditas. Sama seperti akal dan kecerdasan yang menyisakan sejumlah tanya.

Manusia tidak seperti daun yang bahagia dalam diamnya.

Membuka tutup stomata, memeluk cahaya, dan mengubah air serta CO2 menjadi gula dan O dua, lalu tumbuh, ruku ke arah sang surya-foto taksis namanya, berbuah dan segera saja segenap entitasnya larut dalam semangat tulus untuk melayani, memberi, dan sekedar berbagi. 

Inilah ikhlas di level sangat tinggi. Inilah jalan Salik untuk mengerti. Bertanya pada diri sendiri, lalu menjalani pertanyaanmu sendiri, dan kau akan menemukan jawaban jika engkau terus berjalan. 

Mengapa? 

Sumber gambar:

Selasa, 28 Mei 2019

Tak Ada yang Tercipta Sia-Sia


Oleh Tauhid Nur Azhar 

Sebuah artikel di surat kabar nasional menghentak kesadaran saya dan membuat saya sesaat merenung. Meski awal dari narasi yang saya baca sempat membuat saya tersenyum, tetapi belakangan justru membuat saya tercenung, bahkan menjadi agak bingung.

Potongan artikel yang membuat saya tersenyum membahas tentang pentingnya beol Kuda Nil dalam keseimbangan ekosistem di sungai Mara Kenya. 

Berawal dari "keisengan" ilmiah yang kadang menurut sebagian dari kita kerap dianggap sebagai penelitian ga jelas dan ga mutu, padahal sangat elementer dan hasilnya sangat penting dalam mempelajari konsep lingkungan secara holistik, Jonas Schoelynck dari Antwerp University dalam artikelnya yang dipublikasi di jurnal Science Advanced edisi Mei 2019, menggambarkan bahwa seekor Kuda Nil dewasa dapat memamah biak rumput sebanyak 800 Kg yang kandungannya antara lain adalah silikon. 

Dimana saat "BAB" sang Kuda Nil akan melepaskan silikon secara berjamaah (sekitar 0,4 metrik ton) ke dalam air Sungai Mara. Dan silikon/ silikat dari feses Kuda Nil yang buang airnya benar-benar di dalem air...gimana ya rasanya... adalah 76% dari sumber silikon perairan yang dibutuhkan oleh Diatoma untuk menjalankan fungsi fisiologisnya. 

Maka premis di awal artikel di surat kabar tersebut menjadi sangat krusial: setiap organisme terhubung satu sama lain dalam jejaring kehidupan sehingga hilangnya satu spesies pasti bakal mempengaruhi keseimbangan ekosistem. 

Dan ternyata manusia, yang homo; sapien, ludens, economicus, socius, dan berbagai label lainnya yang tidak selalu berkonotasi positif, adalah penggerak tak langsung pada berbagai mekanisme yang berdampak pada kepunahan spesies. 

Sebagai contoh nyata adalah hubungan antara nilai-nilai dan perilaku masyarakat yang maujud dalam ranah demografi plus sosiokultural, ekonomi dan teknologi, lembaga dan tata kelola, serta konflik dan epidemi, ditengarai menjadi faktor enabler terjadinya proses kepunahan berbagai spesies. 

Kondisi kecemasan kronis dan dorongan subliminal untuk mengeksploitasi alam sebagai upaya konstruktif menjamin dan memberikan rasa yakin terhadap keberlangsungan hidup personal dan golongan, berkelindan dengan nafsu dan hasrat yang tentu menjadi penggerak kuat yang antara lain dapat berakibat terjadinya penurunan kondisi alam. 

Sampai saat ini tercatat sudah sekitar 47% luasan dan kondisi ekosistem global terdegradasi. Di samping itu 25% spesies dari kerajaan diversitas global terancam dan kritis. Integritas biotik menurun 23% di ekosistem darat, belum yang terestrial dan lautan. 

Kewaskitaan lokal yang maujud dalam budaya silih asah dan asuh antara komunitas manusia dalam konteks masyarakat adat dengan alam mulai tergerus oleh kepentingan pragmatis yang maujud dalam over eksploitasi lahan dan sumber daya sebagai penunjang industrialisasi dan kawasan permukiman. 

Arti penting konservasi untuk mempertahankan keberadaan spesies dan fungsi ekologisnya perlahan tapi pasti tergerus oleh kepentingan sesaat yang bersifat eksploitatif dan dilakukan dalam sebuah bentuk destruksi yang mengabaikan tatanan keseimbangan dan harmonisasi yang terorkestrasi. 

Padahal jika mengacu pada peran setiap spesies di muka bumi ini yang didapuk untuk menjalankan sekurangnya satu fungsi yang khas dan sulit untuk disubtitusi tanpa menimbulkan gejolak transisional, maka setiap spesies itu penting, begitu juga perannya dalam konstruksi ekologis. 

Berangkat dari tulisan di atas maka tak pelak kita harus meyakini dan mengamini sepenuhnya bahwa tak ada sesuatu pun di semesta ini yang diciptakan sia-sia oleh Allah Swt.

Sumber gambar: