Oleh Tauhid Nur Azhar
Seperti kayu yang mengikhlaskan dirinya menjadi abu ketika api perlu urup untuk menguripi.
Pengorbanan bukanlah kesia-sian, melainkan kesadaran tertinggi untuk memahami arti "hadir" dan mencintai.
Ada, Berada, dan Tiada semua hanyalah makna yang dibingkai kata-kata. Direnda menjadi rajutan perca dalam teater kala yang tepinya disulami bordir sementara.
Maka apa salahnya menjadi abu?
Apa salahnya mencintai api yang lalu melumat aku?
Karena aku, sang kayu, tahu. Tanpa aku tak ada kamu (api), dan tak ada panas yang lahir dari rahim ikhlas.
Bukankah semesta fana ini semata hanyalah lingkaran panas (baca tenaga) yang membangkitkan raga (baca; makhluk)?
Dan tak ada yang kuasa mencegah apapun yang telah menjadi kehendak-Nya.
Maka kayu, api, abu, dan kamu.. ya kamu.. yang tetap ada, karena ada yang rela tiada, hanyalah semata wayang berjiwa yang jumawa seolah digdaya dalam menguntai rasa menjadi cerita.
Meski punya nalar, kita kerap tak sadar bahwa semua cerita ditulis sekehendak penulisnya. Dan Sang Penulis adalah Qulillâ humma mâlikal mulki.
Wa tukhrijul hayya minal mayyiti wa ma tukhrijul mayyita minal hayya... Ada yang pergi dan mati untuk lahir dan hadirnya kehidupan, demikian pula sebaliknya.
Dan pada gilirannya semua hanyalah sebaris ingatan tanpa penubuhan. Menjadi ada karena tiada, dan sementara menjadi tanda bahwa setiap ada akan menjadi tiada kecuali yang Satu jua...
Sumber gambar:
Dokumen pribadi
0 komentar:
Posting Komentar