Oleh Duddy Fachrudin
Tiga hari ini berita meninggalnya mahasiswa ITB benar-benar menjadi perhatian dalam pikiran. Bukan hanya karena faktor lokasi meninggalnya yang merupakan daerah tempat kos saya dulu, tapi juga kesehatan mental di kalangan young people sudah harus menjadi prioritas utama kita semua.
Membaca blognya (alm) memang menyiratkan depresi, bahkan bisa dikatakan severe dengan disertai gejala psikotik berupa keyakinan-keyakinan delusional. OST Bioshock Infinite, "Will The Circle Be Unbroken" yang diputar saat ia gantung diri menegaskan hal itu.
Sungguh berat saat berada diposisinya. Pikiran ruminasi yang mendominasi tak kunjung berhenti. Depresi. Sendiri. Tidak ada yang memahami. Kesulitan dalam coping strategi. Ketiadaan cinta. Hampa. Tanpa makna. Untuk apa? Ya sudah.
Prevalensi depresi kian meningkat. Penelitian terbaru dari Peltzer & Pengpid (2018) sendiri mencapai 21,8%. Itu di Indonesia. Tinggi loh.
Lalu bagaimana menyembuhkan depresi?
Mari sedikit mengambil pelajaran dari Ruby Wax, seorang komedian yang depresi. Saat gejala itu muncul ia malah memutuskan mengambil studi S-2 di Oxford University. Ia tidak belajar bisnis, manajemen, seni, atau apapun yang berkaitan dengan pekerjaannya sebagai seorang artis. Ia belajar psikologi, ingin tahu tentang dirinya. Ruby Wax mengambil studi Mindfulness-Based Cognitive Therapy (MBCT).
Ia bukan hanya belajar, tapi tentu juga diterapi dengan MBCT. It works. Namun kata Ruby dalam bukunya Sane New World: Taming The Mind (2013), mungkin belum tentu MBCT berhasil bagi orang lain.
Suatu pendapat yang bijaksana. Karena MBCT didesain sesuai dengan kebutuhannya: ingin tahu tentang dirinya (tentang mengapa ia depresi). Dalam MBCT Ruby Wax belajar mekanisme pikiran, neurobiologi, bagian otak yang berpengaruh dalam depresi, neuroplastisitas, dan tentunya beberapa teknik mindfulness dan latihan-latihan kognitif-perilaku.
Depresi bisa dialami siapa saja. Maka yang paling penting, sudahkah kita siap untuk mengatasinya? Sudahkah kesehatan mental menjadi prioritas dalam hidup kita?
Maka bagi yang saat ini sedang mengalami permasalahan mental, please segera menghubungi psikolog atau psikiater terdekat.
Atau ingin mencoba strategi Ruby Wax dengan mempelajari MBCT?
Referensi:
Mari sedikit mengambil pelajaran dari Ruby Wax, seorang komedian yang depresi. Saat gejala itu muncul ia malah memutuskan mengambil studi S-2 di Oxford University. Ia tidak belajar bisnis, manajemen, seni, atau apapun yang berkaitan dengan pekerjaannya sebagai seorang artis. Ia belajar psikologi, ingin tahu tentang dirinya. Ruby Wax mengambil studi Mindfulness-Based Cognitive Therapy (MBCT).
Ia bukan hanya belajar, tapi tentu juga diterapi dengan MBCT. It works. Namun kata Ruby dalam bukunya Sane New World: Taming The Mind (2013), mungkin belum tentu MBCT berhasil bagi orang lain.
Suatu pendapat yang bijaksana. Karena MBCT didesain sesuai dengan kebutuhannya: ingin tahu tentang dirinya (tentang mengapa ia depresi). Dalam MBCT Ruby Wax belajar mekanisme pikiran, neurobiologi, bagian otak yang berpengaruh dalam depresi, neuroplastisitas, dan tentunya beberapa teknik mindfulness dan latihan-latihan kognitif-perilaku.
Depresi bisa dialami siapa saja. Maka yang paling penting, sudahkah kita siap untuk mengatasinya? Sudahkah kesehatan mental menjadi prioritas dalam hidup kita?
Maka bagi yang saat ini sedang mengalami permasalahan mental, please segera menghubungi psikolog atau psikiater terdekat.
Atau ingin mencoba strategi Ruby Wax dengan mempelajari MBCT?
Referensi:
Peltzer, K., & Pengpid, S. (2018). High prevalence of depressive symptoms in a national sample of adults in Indonesia: Childhood adversity, sociodemographic factor and health risk behavior. Asian Journal of Psychiatry, 33, 52-59, doi: 10.1016/j/ajp.2018.03.017.
Wax, R. (2013). Sane new world: Taming the mind. London: Hodder & Stoughton Ltd.
Sumber gambar:
Dokumentasi Pribadi
0 komentar:
Posting Komentar