Covid-19 telah memporak-porandakan kehidupan manusia. Pandemi yang berlangsung tiga tahun lebih itu memberikan pelajaran bahwa manusia sangat tidak berdaya oleh mahluk tak kasat mata. Berbagai bidang, seperti kesehatan, perekonomian, pendidikan, pariwisata, dan kehidupan sosial terkena dampaknya.
Khusus dalam kesehatan, kematian akibat virus SARS-Cov-2 mencapai 7 juta lebih di seluruh dunia[1]. Namun jumlah aslinya bisa 4 kali lipat dari data yang dilaporkan[2]. Sementara jumlah yang terinfeksi 1/11 dari total penduduk bumi[1]. Bagi yang terinfeksi kemudian dinyatakan sembuh, ternyata gejala Covid-19 masih memungkinkan untuk tetap ada atau menetap, khususnya terkait kelelahan dan fibromialgia[3].
Melihat fakta tersebut, manusia kemudian berupaya menata kembali diri dan kesadarannya akan kesehatan. Manusia ingin mengubah gaya hidupnya untuk menjadi lebih sehat. Upaya promosi dan prevensi lebih diutamakan dibanding pengobatan secara kuratif serta rehabilitatif. Program-program wellness menjadi perhatian khusus dan digemari saat ini. Bahkan mereka yang melakukan perjalanan untuk berlibur memiliki tujuan untuk mengembangkan kesehatannya, alih-alih hanya sekedar wisata yang bersifat hiburan dan kesenangan. Salah satu pendekatan dari aktivitas wellness tersebut ialah forest therapy berbasis mindfulness.
Mindfulness sendiri merupakan keterampilan dalam memberikan perhatian secara murni terhadap realita yang ada, baik internal maupun eksternal. Dunia internal meliputi batin manusia itu sendiri, seperti pikiran dan perasaan, serta sensasi tubuh yang acapkali tidak disadari benar sehingga menimbulkan konsekuensi perilaku yang kemrungsung, reaktif, impulsif, hingga kompulsif. Sementara dunia eksternal, yaitu segala sensasi dan informasi yang masuk melalui Indera yang juga seringkali mudah dihakimi saat manusia itu sendiri tidak benar-benar hadir sepenuhnya. Efeknya stres yang jika tidak dikelola hingga kronis dengan tepat menimbulkan gawat pada imunitas tubuh yang menjadi lemah.
Maka kehidupan pasca Covid-19 ialah penataan diri (baca sistem imun) agar siap menghadapi pelbagai kemungkinan dari serangan patogen berbentuk fisik serta psikologis, yaitu virus dan stres psikologis itu sendiri. Virus kian hari pandai bermutasi, sementara paparan kehidupan modern dan dunia digital penuh dengan stresor.
Banjirnya informasi melalui sosial media, eksposur polusi perkotaan, kebisingan, kepadatan, hiruk pikuk, dan kehidupan yang terus memburu membuat pikiran keruh dan hati kisruh. Jiwa merindu hening untuk kemudian terkoneksi dengan alam, Tuhan, dan kemanusiaan. Dibalik ketidakseimbangan hidup yang dijalani, forest therapy hadir sebagai solusi.
Adalah RSUD Slawi yang mengawali. Dokter Guntur M. Taqwin sebagai direktur menginisiasi inovasi suatu layanan terapi dengan pendekatan “mandi” di hutan. Simulasi dilakukan di hutan Guci yang tidak jauh dari rumah sakit. Bersama rekan-rekan dokter alumni Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada Angkatan 80an, kami menjelajahi manfaat dari hutan untuk kesehatan bersama.
Menemani dokter Andry Dahlan yang sudah lebih dahulu mempelopori medical wellness tourism dan hospital without wall, kami berbagi seputar forest therapy selama dua hari. Hari pertama sharing mengenai forest therapy secara singkat. Kemudian di hari kedua melakukan aktivitas sederhana forest therapy berbasis mindfulness atau forest bathing.
Ragam aktivitas bisa dilakukan selama melakukan “ritual” mandi di hutan. Dokter Qing Li, direktur Forest Therapy Society di Jepang menguraikan beberapa diantaranya, forest walking, yoga, eating in the forest, hot spring therapy, tai chi, meditasi, breathing exercise, aromatherapy, dan art therapy[4]. Selama 1 jam 30 menit, kami letakkan sejenak handphone lalu mempraktikkan yoga, berjalan kaki dengan kesadaran, meditasi, dan praktik tui shou, salah satu latihan dari tai chi. Kegiatan tak melulu hening, karena interaksi antara kita menghasilkan harmoni cerita dan tawa. Pakde Edy Raharjo, yang juga seorang dokter spesialis saraf tak segan untuk memberikan hikmah dari aktivitas forest therapy, yaitu agar kita senantiasa adaptif dalam menjalani kehidupan.
Kembali kepada sistem imun tubuh manusia, aktivitas forest bathing menghasilkan peningkatan dalam sel Natural Killer (NK). Tiga protein dalam sel NK, yaitu GRN, perforin, dan GrA/B meningkat, yang berarti sel NK lebih sehat dan kerjanya lebih siap serta lebih baik dalam melawan sel-sel jahat[5]. Saat di alam dan terpapar fitonsida, mikrobiota usus kita juga mengalami perubahan yang lebih positif[6]. Hippocrates bilang, “All disease begins in the gut”, dengan kata lain kesehatan dan sistem imun yang baik bermula dari usus. Kuncinya ada pada komposisi mikrobiota usus, begitu kata Giulia Enders, seorang ahli gastroenterologi di Jerman.
By the way… berbicara tentang gastroenterologi, jadi ingat obrolan dengan Om Janu Dewandaru di stasiun kereta mengenai tiga penyakit yang sering dialami para pegawai. Nomor 1 dan 2 berhubungan dengan sistem pencernaan atau gastrointestinal. Kemudian yang ketiga ialah back pain. Urusan weteng (perut) memang perlu dijaga, karena Nabi Saw. berkata, “Sumber dari penyakit adalah perut”. Kata-katanya sama persis dengan Hippocrates.
Pendekatan “sumber penyakit” atau akar penyakit dalam konteks kedokteran mengacu pada functional medicine. Berbeda dengan conventional medicine yang banyak diajarkan di fakultas kedokteran, functional medicine menekankan pada kebutuhan pasien yang merujuk pada sumber penyakitnya, bukan alih-alih hanya sekedar diberikan obat untuk mengatasi gejala. Dengan kata lain functional medicine lebih integratif, memandang semua sistem dalam tubuh berhubungan yang orientasinya pada kesehatan, bukan penyakitnya.
Bukankah setiap orang menginginkan dirinya sehat? Angka harapan hidup yang semakin tinggi perlu ditunjang pula dengan kesehatan yang prima, agar kelak manusia dapat menjadi manfaat, mandiri, dan tidak merepotkan orang lain. Bahasa dr. Andry Dahlan, yaitu “Inspiring before expiring”.
Semoga inovasi forest therapy berbasis mindfulness kelak dikembangkan dan diaplikasikan RSUD dr. Soeselo Slawi. Semoga semuanya sehat. Semoga semuanya bahagia.
Referensi:
[1] https://www.worldometers.info/coronavirus/coronavirus-cases/
[2] https://news.detik.com/abc-australia/d-5973584/angka-kematian-covid-tembus-6-juta-orang-jumlah-sebenarnya-bisa-4-kali-lipat-lebih-tinggi
[3] https://www.apta.org/article/2023/01/27/long-covid-cfs-fms-comparison
[4] Li, Q. Into the Forest: How Trees Can Help You Find Health and Happiness. London: Penguin Books 2019.
[5] Garcia, H., & Miralles, F. Forest Bathing: The Rejuvenating Practice of Shinrin Yoku. North Clarendon: Tuttle 2020.
[6] Santhiravel, S., Bekhit, AEA., Mendis, E., Jacobs, JL., Dunshea, FR., Rajapakse, N., & Ponnampalam, EN. The impact of plant phytochemicals on the gut microbiota of humans for a balanced life. Int J Mol Sci 2022; 23(15):8124. doi: 10.3390/ijms23158124. PMID: 35897699; PMCID: PMC9332059.
Sumber gambar:
https://www.mindfulnesia.id/2024/11/diskusi-forest-therapy-di-stasiun-kopi.html
Khusus dalam kesehatan, kematian akibat virus SARS-Cov-2 mencapai 7 juta lebih di seluruh dunia[1]. Namun jumlah aslinya bisa 4 kali lipat dari data yang dilaporkan[2]. Sementara jumlah yang terinfeksi 1/11 dari total penduduk bumi[1]. Bagi yang terinfeksi kemudian dinyatakan sembuh, ternyata gejala Covid-19 masih memungkinkan untuk tetap ada atau menetap, khususnya terkait kelelahan dan fibromialgia[3].
Melihat fakta tersebut, manusia kemudian berupaya menata kembali diri dan kesadarannya akan kesehatan. Manusia ingin mengubah gaya hidupnya untuk menjadi lebih sehat. Upaya promosi dan prevensi lebih diutamakan dibanding pengobatan secara kuratif serta rehabilitatif. Program-program wellness menjadi perhatian khusus dan digemari saat ini. Bahkan mereka yang melakukan perjalanan untuk berlibur memiliki tujuan untuk mengembangkan kesehatannya, alih-alih hanya sekedar wisata yang bersifat hiburan dan kesenangan. Salah satu pendekatan dari aktivitas wellness tersebut ialah forest therapy berbasis mindfulness.
Mindfulness sendiri merupakan keterampilan dalam memberikan perhatian secara murni terhadap realita yang ada, baik internal maupun eksternal. Dunia internal meliputi batin manusia itu sendiri, seperti pikiran dan perasaan, serta sensasi tubuh yang acapkali tidak disadari benar sehingga menimbulkan konsekuensi perilaku yang kemrungsung, reaktif, impulsif, hingga kompulsif. Sementara dunia eksternal, yaitu segala sensasi dan informasi yang masuk melalui Indera yang juga seringkali mudah dihakimi saat manusia itu sendiri tidak benar-benar hadir sepenuhnya. Efeknya stres yang jika tidak dikelola hingga kronis dengan tepat menimbulkan gawat pada imunitas tubuh yang menjadi lemah.
Maka kehidupan pasca Covid-19 ialah penataan diri (baca sistem imun) agar siap menghadapi pelbagai kemungkinan dari serangan patogen berbentuk fisik serta psikologis, yaitu virus dan stres psikologis itu sendiri. Virus kian hari pandai bermutasi, sementara paparan kehidupan modern dan dunia digital penuh dengan stresor.
Banjirnya informasi melalui sosial media, eksposur polusi perkotaan, kebisingan, kepadatan, hiruk pikuk, dan kehidupan yang terus memburu membuat pikiran keruh dan hati kisruh. Jiwa merindu hening untuk kemudian terkoneksi dengan alam, Tuhan, dan kemanusiaan. Dibalik ketidakseimbangan hidup yang dijalani, forest therapy hadir sebagai solusi.
Adalah RSUD Slawi yang mengawali. Dokter Guntur M. Taqwin sebagai direktur menginisiasi inovasi suatu layanan terapi dengan pendekatan “mandi” di hutan. Simulasi dilakukan di hutan Guci yang tidak jauh dari rumah sakit. Bersama rekan-rekan dokter alumni Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada Angkatan 80an, kami menjelajahi manfaat dari hutan untuk kesehatan bersama.
Menemani dokter Andry Dahlan yang sudah lebih dahulu mempelopori medical wellness tourism dan hospital without wall, kami berbagi seputar forest therapy selama dua hari. Hari pertama sharing mengenai forest therapy secara singkat. Kemudian di hari kedua melakukan aktivitas sederhana forest therapy berbasis mindfulness atau forest bathing.
Ragam aktivitas bisa dilakukan selama melakukan “ritual” mandi di hutan. Dokter Qing Li, direktur Forest Therapy Society di Jepang menguraikan beberapa diantaranya, forest walking, yoga, eating in the forest, hot spring therapy, tai chi, meditasi, breathing exercise, aromatherapy, dan art therapy[4]. Selama 1 jam 30 menit, kami letakkan sejenak handphone lalu mempraktikkan yoga, berjalan kaki dengan kesadaran, meditasi, dan praktik tui shou, salah satu latihan dari tai chi. Kegiatan tak melulu hening, karena interaksi antara kita menghasilkan harmoni cerita dan tawa. Pakde Edy Raharjo, yang juga seorang dokter spesialis saraf tak segan untuk memberikan hikmah dari aktivitas forest therapy, yaitu agar kita senantiasa adaptif dalam menjalani kehidupan.
Kembali kepada sistem imun tubuh manusia, aktivitas forest bathing menghasilkan peningkatan dalam sel Natural Killer (NK). Tiga protein dalam sel NK, yaitu GRN, perforin, dan GrA/B meningkat, yang berarti sel NK lebih sehat dan kerjanya lebih siap serta lebih baik dalam melawan sel-sel jahat[5]. Saat di alam dan terpapar fitonsida, mikrobiota usus kita juga mengalami perubahan yang lebih positif[6]. Hippocrates bilang, “All disease begins in the gut”, dengan kata lain kesehatan dan sistem imun yang baik bermula dari usus. Kuncinya ada pada komposisi mikrobiota usus, begitu kata Giulia Enders, seorang ahli gastroenterologi di Jerman.
By the way… berbicara tentang gastroenterologi, jadi ingat obrolan dengan Om Janu Dewandaru di stasiun kereta mengenai tiga penyakit yang sering dialami para pegawai. Nomor 1 dan 2 berhubungan dengan sistem pencernaan atau gastrointestinal. Kemudian yang ketiga ialah back pain. Urusan weteng (perut) memang perlu dijaga, karena Nabi Saw. berkata, “Sumber dari penyakit adalah perut”. Kata-katanya sama persis dengan Hippocrates.
Pendekatan “sumber penyakit” atau akar penyakit dalam konteks kedokteran mengacu pada functional medicine. Berbeda dengan conventional medicine yang banyak diajarkan di fakultas kedokteran, functional medicine menekankan pada kebutuhan pasien yang merujuk pada sumber penyakitnya, bukan alih-alih hanya sekedar diberikan obat untuk mengatasi gejala. Dengan kata lain functional medicine lebih integratif, memandang semua sistem dalam tubuh berhubungan yang orientasinya pada kesehatan, bukan penyakitnya.
Bukankah setiap orang menginginkan dirinya sehat? Angka harapan hidup yang semakin tinggi perlu ditunjang pula dengan kesehatan yang prima, agar kelak manusia dapat menjadi manfaat, mandiri, dan tidak merepotkan orang lain. Bahasa dr. Andry Dahlan, yaitu “Inspiring before expiring”.
Semoga inovasi forest therapy berbasis mindfulness kelak dikembangkan dan diaplikasikan RSUD dr. Soeselo Slawi. Semoga semuanya sehat. Semoga semuanya bahagia.
Referensi:
[1] https://www.worldometers.info/coronavirus/coronavirus-cases/
[2] https://news.detik.com/abc-australia/d-5973584/angka-kematian-covid-tembus-6-juta-orang-jumlah-sebenarnya-bisa-4-kali-lipat-lebih-tinggi
[3] https://www.apta.org/article/2023/01/27/long-covid-cfs-fms-comparison
[4] Li, Q. Into the Forest: How Trees Can Help You Find Health and Happiness. London: Penguin Books 2019.
[5] Garcia, H., & Miralles, F. Forest Bathing: The Rejuvenating Practice of Shinrin Yoku. North Clarendon: Tuttle 2020.
[6] Santhiravel, S., Bekhit, AEA., Mendis, E., Jacobs, JL., Dunshea, FR., Rajapakse, N., & Ponnampalam, EN. The impact of plant phytochemicals on the gut microbiota of humans for a balanced life. Int J Mol Sci 2022; 23(15):8124. doi: 10.3390/ijms23158124. PMID: 35897699; PMCID: PMC9332059.
Sumber gambar:
https://www.mindfulnesia.id/2024/11/diskusi-forest-therapy-di-stasiun-kopi.html
0 komentar:
Posting Komentar