Oleh Duddy Fachrudin & Janu Dewandaru
Pagi itu sebuah direct message masuk ke ponsel saya. Seseorang memperkenalkan dirinya lalu menyatakan ingin bertemu untuk sekedar berbincang. Temanya tidak main-main: forest therapy. Siapakah gerangan yang tertarik dengan “bermain-main” di alam lalu menceburi dirinya menyengajakan untuk terpapar oleh aroma pepohonan, angin yang berdesir, tanah dan bebatuan, hingga mentari yang menari?
Nyatanya Om Janu Dewandaru benar-benar menghampiri saya sore harinya, dari Bandung ke Cirebon. Head of Innovation Team Bank Indonesia yang gemar belajar itu tak sungkan diajak boncengan dengan motor supra yang telah berusia belasan tahun. Padahal beliau seorang “Dekan” yang memimpin BI Institute dan mengajak semua sumberdaya manusia untuk belajar apapun agar kualitas serta kapasitasnya terus bertumbuh. Hmm... Dekan biasa pastinya misuh-misuh jika dijemput dengan kendaraan roda dua.
Tapi memang pencari ilmu sejati tidak terlekati dengan materi. Fokusnya hidupnya pada dimensi intangible, seperti personal fulfillment, yang tiada lain adalah ilmu yang kelak berguna untuk mempercantik kualitas mental dan spiritualnya. Dan mereka cenderung tidak memiliki keinginan terhadap apapun yang ada di dunia. Mereka hanya ingin terkoneksi dengan alam dan kemanusiaan.
Sampailah kami di Stasiun Kopi, suatu kedai kopi yang memang dekat dengan stasiun kereta. Dari secangkir kopi, berlanjut pada diskusi forest therapy.
Terapi hutan bukanlah sesuatu yang baru. Dibutuhkan beragam disiplin ilmu seperti kehutanan, kedokteran, psikologi, sosiologi, biologi, dan ilmu pendukung terkait lainnya. Terapi hutan memiliki tujuan spesifik sesuai kebutuhan individu itu sendiri. Selain itu kriteria lokasi hutan yang dijadikan tempat beraktivitas untuk forest therapy memerlukan standar khusus.
Pendekatan yang lebih sederhana dari terapi hutan ialah yang menggunakan mindfulness. Thoreau, sang filosof yang terkenal dengan karyanya Walden itu sudah melakukannya kala dahulu. Meskipun hanya dengan berjalan kaki di tengah hutan. Tidak ada sesuatu yang dikejar oleh Thoreau. Sekali lagi, hanya berjalan kaki sambil mengijinkan diri terpapar oleh energi positif dari hutan.
Aktivitas berada di hutan, tanpa terburu-buru, tanpa tujuan tertentu, dan hanya sekedar hadir kemudian dikenal lebih lanjut dengan forest bathing. Direktur Badan Kehutanan Jepang Tomohide Akiyama menamainya Shinrin-yoku pada tahun 1982. Ide tersebut berkembang dengan maksud mempromosikan hutan sebagai wellness-oriented ecotourism. Hutan Akazawa di dekat Kota Agematsu menjadi pilot project Shinrin-yoku. Di hutan tersebut, pengunjung tidak sekedar “piknik” melainkan yang terpenting dipandu untuk melakukan forest bathing oleh guide yang telah menjalani pelatihan dan berpengalaman. Beberapa negara seperti Korea Selatan juga memiliki aktivitas forest bathing bernama Sanlim yok. Sementara di Norwegia dikenal dengan Friluftsliv[1].
Forest bathing kian popular seiring dengan beragam penelitian yang membuktikan adanya manfaat kesehatan, baik fisik serta psikologis. Empat indikator utama yang diukur ialah tekanan darah, kadar kortisol melalui saliva, denyut nadi, serta variasi denyut jantung (HRV). Salah satu hasil penelitian efek Shinrin-yoku di 24 hutan di Jepang menunjukkan tekanan darah, kadar kortisol, serta denyut nadi yang lebih rendah, dan HRV yang lebih tinggi pada kelompok eksperimen dibandingkan kontrol[2]. Ini menunjukkan efek yang positif dari forest bathing seperti rendahnya stres, tingginya kesejahteraan psikologis hingga kualitas kardiovaskular yang sehat.
Forest bathing bukanlah hiking menuju bukit atau puncak gunung, melainkan menyengajakan diri untuk hening di rerimbunan pohon yang kaya akan fitonsida yang memiliki sifat antimikroba. Mendengarkan sunyi dan menyadari, membiarkan segala yang terjadi secara alami. Memahami lintasan pikiran serta emosi, tanpa menghakimi.
Menariknya, salah satu manfaat lain dari paparan hutan ialah dapat menjadikan individu memiliki penurunan keinginan[3]. Hasrat nan gawat dalam pemenuhan kebutuhan dunia memang sejatinya perlu dirawat, eh maksudnya dikelola agar manusia itu sendiri tidak terjerat hingga berujung kiamat. Forest bathing membuat jiwa kita bertransformasi menjadi nirmaterialistik. Tetap senang dengan materi, tapi tidak terlekati, apalagi terobsesi.
Nyatanya Om Janu Dewandaru benar-benar menghampiri saya sore harinya, dari Bandung ke Cirebon. Head of Innovation Team Bank Indonesia yang gemar belajar itu tak sungkan diajak boncengan dengan motor supra yang telah berusia belasan tahun. Padahal beliau seorang “Dekan” yang memimpin BI Institute dan mengajak semua sumberdaya manusia untuk belajar apapun agar kualitas serta kapasitasnya terus bertumbuh. Hmm... Dekan biasa pastinya misuh-misuh jika dijemput dengan kendaraan roda dua.
Tapi memang pencari ilmu sejati tidak terlekati dengan materi. Fokusnya hidupnya pada dimensi intangible, seperti personal fulfillment, yang tiada lain adalah ilmu yang kelak berguna untuk mempercantik kualitas mental dan spiritualnya. Dan mereka cenderung tidak memiliki keinginan terhadap apapun yang ada di dunia. Mereka hanya ingin terkoneksi dengan alam dan kemanusiaan.
Sampailah kami di Stasiun Kopi, suatu kedai kopi yang memang dekat dengan stasiun kereta. Dari secangkir kopi, berlanjut pada diskusi forest therapy.
Terapi hutan bukanlah sesuatu yang baru. Dibutuhkan beragam disiplin ilmu seperti kehutanan, kedokteran, psikologi, sosiologi, biologi, dan ilmu pendukung terkait lainnya. Terapi hutan memiliki tujuan spesifik sesuai kebutuhan individu itu sendiri. Selain itu kriteria lokasi hutan yang dijadikan tempat beraktivitas untuk forest therapy memerlukan standar khusus.
Pendekatan yang lebih sederhana dari terapi hutan ialah yang menggunakan mindfulness. Thoreau, sang filosof yang terkenal dengan karyanya Walden itu sudah melakukannya kala dahulu. Meskipun hanya dengan berjalan kaki di tengah hutan. Tidak ada sesuatu yang dikejar oleh Thoreau. Sekali lagi, hanya berjalan kaki sambil mengijinkan diri terpapar oleh energi positif dari hutan.
Aktivitas berada di hutan, tanpa terburu-buru, tanpa tujuan tertentu, dan hanya sekedar hadir kemudian dikenal lebih lanjut dengan forest bathing. Direktur Badan Kehutanan Jepang Tomohide Akiyama menamainya Shinrin-yoku pada tahun 1982. Ide tersebut berkembang dengan maksud mempromosikan hutan sebagai wellness-oriented ecotourism. Hutan Akazawa di dekat Kota Agematsu menjadi pilot project Shinrin-yoku. Di hutan tersebut, pengunjung tidak sekedar “piknik” melainkan yang terpenting dipandu untuk melakukan forest bathing oleh guide yang telah menjalani pelatihan dan berpengalaman. Beberapa negara seperti Korea Selatan juga memiliki aktivitas forest bathing bernama Sanlim yok. Sementara di Norwegia dikenal dengan Friluftsliv[1].
Forest bathing kian popular seiring dengan beragam penelitian yang membuktikan adanya manfaat kesehatan, baik fisik serta psikologis. Empat indikator utama yang diukur ialah tekanan darah, kadar kortisol melalui saliva, denyut nadi, serta variasi denyut jantung (HRV). Salah satu hasil penelitian efek Shinrin-yoku di 24 hutan di Jepang menunjukkan tekanan darah, kadar kortisol, serta denyut nadi yang lebih rendah, dan HRV yang lebih tinggi pada kelompok eksperimen dibandingkan kontrol[2]. Ini menunjukkan efek yang positif dari forest bathing seperti rendahnya stres, tingginya kesejahteraan psikologis hingga kualitas kardiovaskular yang sehat.
Forest bathing bukanlah hiking menuju bukit atau puncak gunung, melainkan menyengajakan diri untuk hening di rerimbunan pohon yang kaya akan fitonsida yang memiliki sifat antimikroba. Mendengarkan sunyi dan menyadari, membiarkan segala yang terjadi secara alami. Memahami lintasan pikiran serta emosi, tanpa menghakimi.
Menariknya, salah satu manfaat lain dari paparan hutan ialah dapat menjadikan individu memiliki penurunan keinginan[3]. Hasrat nan gawat dalam pemenuhan kebutuhan dunia memang sejatinya perlu dirawat, eh maksudnya dikelola agar manusia itu sendiri tidak terjerat hingga berujung kiamat. Forest bathing membuat jiwa kita bertransformasi menjadi nirmaterialistik. Tetap senang dengan materi, tapi tidak terlekati, apalagi terobsesi.
Kopi kami habis diminum. Diskusi berlanjut ke stasiun kereta. Berbincang mengenai berbagai penyakit yang sering diderita pegawai Bank Indonesia. Ada tiga yang utama, yaitu...
Sumber:
Sumber:
[1] Clifford, MA. Your Guide to Forest Bathing: Experience of The Healing Power of Nature. Newburyport: Red Wheel 2018.
[2] Park, BJ., Tsunetsugu, Y., Kasetani, T., Kagawa, T., & Miyazaki, Y. The physiological effects of Shinrin-yoku (taking in the forest atmosphere or forest bathing): Evidence from field experiments in 24 forests across Japan. Environ Health Prev Med. 2010 Jan;15(1):18-26. doi: 10.1007/s12199-009-0086-9. PMID: 19568835; PMCID: PMC2793346.
[3] Joye, Y., Bolderdijk, JW., Köster, MAF., & Piff, PK. A diminishment of desire: Exposure to nature relative to urban environments dampens materialism. Urban Forestry & Urban Greening. 2020 July;54,126783. https://doi.org/10.1016/j.ufug.2020.126783.
[2] Park, BJ., Tsunetsugu, Y., Kasetani, T., Kagawa, T., & Miyazaki, Y. The physiological effects of Shinrin-yoku (taking in the forest atmosphere or forest bathing): Evidence from field experiments in 24 forests across Japan. Environ Health Prev Med. 2010 Jan;15(1):18-26. doi: 10.1007/s12199-009-0086-9. PMID: 19568835; PMCID: PMC2793346.
[3] Joye, Y., Bolderdijk, JW., Köster, MAF., & Piff, PK. A diminishment of desire: Exposure to nature relative to urban environments dampens materialism. Urban Forestry & Urban Greening. 2020 July;54,126783. https://doi.org/10.1016/j.ufug.2020.126783.
Sumber gambar:
https://www.instagram.com/duddyfahri/
0 komentar:
Posting Komentar