Tampilkan postingan dengan label Compassionate Service. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Compassionate Service. Tampilkan semua postingan

Rabu, 23 Oktober 2019

Menjadi Insan Berdayaguna (Bagian2, Habis)


Oleh Tauhid Nur Azhar

Adanya kebijaksanaan dan kewaskitaan dalam menata dan mengelola potensi sebagai karunia yang wajib disyukuri dengan cara dioptimasi hingga dapat terimplementasi dalam bentuk manfaat yang bersifat operasional dan implementatif sesuai dengan situasi kondisional. 

Banyak kan yang barangkali memiliki kesempatan dan potensi berkekuatan dahsyat tetapi tidak teroptimasi sepenuhnya. 

Sekali lagi ini bukan penghakiman subjektif, semua bersifat relatif dan merupakan pilihan bagi yang bersangkutan. 

Beberapa pemimpin tertinggi negara kita, dan juga negara sahabat, serta tetangga malah berasal dari keluarga sederhana nan bersahaja yang memiliki keteguhan tekat untuk memberikan yang terbaik sejauh apa yang mampu untuk digapai dan dicapai. 

Inilah sesungguhnya plastisitas kapasitas yang didukung sepenuhnya oleh mekanisme neuroplastisitas. Kondisi inisial atau modal awal yang menjadi pijakan untuk melangkah sebenarnya tidak hanya terletak pada faktor-faktor yang sudah sempat sedikit kita bicarakan di atas, tapi utamanya terletak pada gen dan DNA serta mekanisme pengekspresiannya yang secara epigenetik terbuka untuk dioptimasi dan dilatih serta diajari untuk "memainkan" konfigurasi strategi yang kita inginkan dan rencanakan. 

Artinya apa? Soal potensi pada hakikatnya kita semua sama. Memang secara opportunity mungkin saja fasilitas pembantu yang kita miliki bisa berbeda-beda seperti yang tadi saya gambarkan di atas, beda garis start nya saja. 

Apakah yang start di belakang bisa menyusul? Apakah yang start di depan bisa disusul? 

Rasio probabilitasnya akan kembali pada daya upaya, doa, dan keikhlasan untuk mensyukuri dan menerima anugerah potensi hingga tidak terdistorsi dan tereduksi oleh penyesalan dan keluh kesah yang juara dalam mengonsumsi energi. 

Pandai bersyukur menjadi kata kunci, mekanisme ini bukan hanya mampu mengorkestrasi kemampuan berpikir dalam ranah foresight ability yang mampu menembus garis waktu (timeline) dgn pandangan maju prospektif dengan bekal hasil olahan/ analisis perjalanan retrospektif menambang data dari masa lalu (data mining). 

Inilah peran penting dari proses mengalami, mempelajari, dan mengembangkannya menjadi memori, pengetahuan, dan kemampuan. Konsep bersyukur dan berdoa secara aktif dengan cara mengoptimasi potensi yang telah kita terima sebagai anugerah akan maujud dalam bentuk orkestrasi sistem komunikasi dan interaksi otak yang antara lain dijembatani Dopamin, Serotonin, Oksitosin, Epinefrin, Norepinefrin, Endorfin, Asetilkolin, Glutamat, GABA, dan lain sebagainya. 

Terlibat pula bagian-bagian ini dalam proses Circular Mind dan struktur neuroanatomi yang tentu saja memiliki peran fisiologis tertentu, bahkan khusus. 

Di sinilah arti penting dari keberadaan amigdala dan hipokampus, tidak sekedar untuk mengenang, melainkan menjadikan kenangan sebagai pengalaman yang diaugmentasi menjadi pelajaran dan prosesnya menjadi pembelajaran. Di sinilah arti pentingnya keberadaan proses dan mekanisme verifikasi, validasi, dan valuasi yang antara lain melibatkan OFC, PFC, dan ACC dari kompartemen frontal otak kita. 

Dan jangan lupa pula bersyukur, kitapun dilengkapi dengan kemampuan berkomunikasi dan berinteraksi serta melakukan rencana aksi menjadi aksi yang sesungguhnya. Tentu dengan motor penggerak berupa motivasi berenergi yang hadir dan lahir dari rahim rasa yang mewarnai hidup dengan suka dan menyukai, serta tentu saja sebaliknya. 

Area Broca, juga area motor imagery dan daerah eksekusi motorik beserta sub sistem pengendalinya adalah modal interaksi yang menjadikan kita makhluk sosial yang mewakili kepentingan personal dalam bentuk interaksi multi level dan multi dimensi yang membawa kita dalam diplomasi komunal. 

Dan sifat komunal sosial itulah yang mendorong lahirnya nilai dan tata kelola untuk mepreservasi nilai. Sifatnya seolah otomatis lahir dari sebuah model interaksi hingga dikenal sebagai self poetic.

Karena pada hakikatnya ada ketidaksadaran bersama di balik lapis kesadaran, bahwa manusia memiliki motif paling mendasar yang bersifat generik. Artinya hampir semua model dan bentuk interaksi itu ditujukan untuk mempertahankan kehidupan, dan ternyata eksistensi itu adalah jaminan kepastian untuk mendapatkan akses terhadap pemenuhan kebutuhan. 

Maka sebenarnya siapapun kita, dan saat ini tengah mengerjakan apapun, syukurilah apa yang tengah dijalani, ikhlaskan, lalu belajar mengamplifikasi syukur menjadi energi bagi proses tafakur. Tak hanya itu, masa lalu dan sistem memori dan super logika yang melibatkan sistem limbik-kortikal juga mengajarkan kita untuk senantiasa mengevaluasi dan sekaligus mengobservasi posisi eksistensi diri. 

Maka yang masih menzhalimi diri sendiri dan orang lain, tanpa bermaksud menghakimi, ya monggo kita lakukan self correction atau swa koreksi. Dan lakukan penyesuaian dengan tune in pada gelombang perubahan yang tepat dan dibutuhkan. Jadi untuk menjadi baik dan lebih baik tak perlu menunggu jadi menteri toh?
Sumber gambar:

Menjadi Insan Berdayaguna (Bagian 1)


Oleh Tauhid Nur Azhar

Tengah ramai orang memperbincangkan jabatan pejabat negara seperti menteri atau yang sejajar dengannya. Demikian juga orang kerap berdebat siapa orang yang paling tepat untuk menjadi nahkoda sebuah perusahaan raksasa, atau juga menjadi pemimpin di suatu daerah.

Terlepas dari itu semua saya justru ingin mengajak kita berpikir konstruktif-kontributif yang ditandai dengan kebermaknaan eksistensi yang diindikasikasikan dari kebermanfaatan bagi sesama. 

Tentu tak dapat dipungkiri, mempelajari lalu menganalisis proses seseorang untuk mendapat amanah berupa kesempatan melayani publik dan konstituennya melalui pendayagunaan kompetensi dan kapasitas kapabilitasnya juga sangat menarik. 

Mengapa? Karena tak semua orang bisa masuk line up, yang bahkan seolah menjadi representasi dari lapis terbaik yang dipilih dan dipilah dari sekitar 260 juta manusia yang menjadi warga negara. 

Luar biasa bukan? 

Apakah semata ini persoalan kemampuan Intelijensia belaka? Atau sintesis dari semua potensi kecerdasan jamak yang terintegrasi dalam kapasitas profesional yang mumpuni? 

Mana yang diperlukan? Pengambil kebijakan yang mampu melakukan pemindaian data secara superfisial meluas dan menjadi pemandu dalam menghasilkan solusi konstruktif yang dirancang secara kreatif dan inovatif. Atau barangkali mereka yang memiliki kemampuan teknikal mumpuni untuk secara spesifik dapat menjadi trouble shooter di bidangnya? Atau harus keduanya? Sejenis hibrida antara pengusaha sukses yang paham seluk beluk pengelolaan bisnis, termasuk sosiopreneur, mahfum ilmu ketatanegaraan, sekaligus luwes dalam berkomunikasi di ranah publik, serta pakar di bidang khusus yang masuk dalam domain rentang kendali yang menjadi kewenangannya? 

Untuk kriteria yang seperti ini mungkin Tony Stark boleh mendaftar. Tapi seandainya Tony adalah 1 dari sekitar 260 juta warga negara Indonesia, bagaimana dia bisa sampai di posisinya yang dapat "dikenali" atau direkognisi oleh radar sistem yang mungkin akan membawanya menjadi pilihan untuk posisi jabatan publik yang mengurusi hajat hidup orang banyak. 

Apakah tidak ada faktor lain yang terlibat? Misal dari aspek keturunan yang menempatkannya dalam posisi terpantau secara politik karena memang bagian tak terlepas dari dinasti politik tertentu misalnya. 

Dalam salah satu rujukan teori kepemimpinan, konsep ini termaktub dalam The Great Man Theory

Ambil contoh, anak muda pendiri perusahaan rintisan transportasi daring nasional yang kini statusnya decacorn, Nadiem Makarim. 

Tentu tak bijak jika kita tidak melihat latar belakangnya yang dilahirkan dari keluarga terdidik dan terpandang. Ayahandanya adalah Nono Anwar Makarim seorang ahli hukum dengan reputasi sangat baik dan tentu saja terkenal. Dengan kapasitas orangtuanya tentu Nadiem dapat memiliki akses yang baik untuk menempuh pendidikan di institusi terbaik di tempat terbaik pula, hingga tak terlalu heran jika dengan kapasitas berbasis pengetahuan dan kesempatan yang dimilikinya ia dapat menghasilkan inovasi solutif yang membantu banyak manusia. 

Dan mungkin itu juga yang mengantarkannya terpilih menjadi seorang pejabat publik. Demikian juga putra puteri Bapak Ibu Profesor, dan mungkin juga Pak Kyai dan Ibu Nyai. Pajanan mereka terhadap pengetahuan, juga lingkungan, dan jejaring pertemanan serta kekerabatan dapat diibaratkan sebagai "jackpot" yang memberikan sedikit keuntungan atau keunggulan "start". 

Tapi ya secara relatif bisa juga itu tidak berpengaruh, dan jika berpengaruh pun tidak signifikan. Karena semua predikat yang melekat dan kondisi yang memfasilitasi itu ibarat substrat yang siap diolah dengan syarat adanya kehadiran enzim pengkatalisa.

Halaman Selanjutnya >>>

Sumber gambar:

Senin, 30 Oktober 2017

Atensi, Ihsan, dan Excellent Service

Sudahkan saya menerapkan pelayanan prima?

Oleh Duddy Fachrudin

Buku bagi saya sudah menjadi suatu kebutuhan utama. Meskipun saat ini sedang ngetrend digitalisasi buku, namun tetap buku versi cetak lebih nyaman untuk dibaca. Selain itu kita bisa merasakan tekstur kertas, termasuk baunya kertas itu sendiri. membaca buku versi cetak lebih membuat kita lebih hadir sepenuhnya atau mindful dibanding buku digital.

Karena kebutuhan itu pula saya sering berkunjung ke toko buku. Pada suatu kesempatan terlintas sebuah buku yang ingin dibaca. Akhirnya saya mengunjungi sebuah toko buku untuk mencari buku tersebut.

Saat di pintu masuk toko buku tersebut saya menjumpai pemandangan yang tidak sepatutnya dilakukan oleh karyawan toko buku. Dua orang karyawan perempuan bagian kasir sedang asiknya bermain smartphone. Ketika saya menghampiri bagian penitipan barang pemandangan yang sama pun terlihat. Bahkan saat saya menaruh tas saya pandangan karyawan bagian penitipan barang tertuju hanya pada smarphone yang ia mainkan.

Saya hanya meng-oooo... dalam hati saya. Dunia digital mengalihkan dunia yang sesungguhnya.

Buku yang saya cari tidak ada. Dan saya hanya lima menit di toko buku tersebut. Ketika mengambil tas, karyawan penitipan barang lagi-lagi masih berkutat dengan gadget-nya. Tidak ada sapa, apalagi senyum.

Atensi di era digital ini begitu mahal. Padahal atensi merupakan kunci dari sebuah pelayanan. Tak ada pelayanan yang berkualitas tanpa atensi.

Maka wajar jika ada yang mengatakan, “Jika Anda tidak memberikan pelayanan yang berkualitas, maka orang lainlah yang akan melakukannya.”

Jika seorang istri atau suami tidak melayani pasangannya secara prima, maka mereka mungkin akan dilayani dengan baik oleh rekan kerjanya, sahabatnya, gadget-nya, atau robot pelayan. Begitu juga dengan pegawai Anda yang tidak mendapatkan pelayanan yang baik dari manajemen, maka siap-siap mereka melayangkan surat pengunduran diri dan pindah ke organisasi yang lebih profesional terhadap sumber daya manusianya. Dan pelayanan menjadi elemen penting bagi seorang pelanggan untuk tetap setia terhadap produk Anda.

Kunci untuk meningkatkan kualitas pelayanan terletak pada karakter ihsan yang ada pada setiap individu. Ihsan berarti kebaikan. Seperti yang tersirat pada Al Qur’an surat Ar-Rahman ayat 60 yang berbunyi, “Tidak ada balasan dari ihsan (kebaikan) melainkan ihsan (kebaikan) pula.”

Melayani dengan empati, menyederhanakan (memudahkan) pelayanan, termasuk menyebut nama pelanggan Anda saat pelayanan dan mendoakan kebaikan terjadi dalam hidup mereka merupakan bentuk-bentuk ihsan. Bahkan ketika pelanggan Anda komplain dengan nada yang membuat kortisol dalam tubuh Anda naik, Anda tetap memperlakukan mereka dengan lemah lembut dan penuh cinta kasih (Qs. Al Furqan: 63).

Sumber gambar:
https://www.surveymonkey.com/mp/how-to-offer-excellent-customer-service/