Rabu, 23 Oktober 2019

Menjadi Insan Berdayaguna (Bagian 1)


Oleh Tauhid Nur Azhar

Tengah ramai orang memperbincangkan jabatan pejabat negara seperti menteri atau yang sejajar dengannya. Demikian juga orang kerap berdebat siapa orang yang paling tepat untuk menjadi nahkoda sebuah perusahaan raksasa, atau juga menjadi pemimpin di suatu daerah.

Terlepas dari itu semua saya justru ingin mengajak kita berpikir konstruktif-kontributif yang ditandai dengan kebermaknaan eksistensi yang diindikasikasikan dari kebermanfaatan bagi sesama. 

Tentu tak dapat dipungkiri, mempelajari lalu menganalisis proses seseorang untuk mendapat amanah berupa kesempatan melayani publik dan konstituennya melalui pendayagunaan kompetensi dan kapasitas kapabilitasnya juga sangat menarik. 

Mengapa? Karena tak semua orang bisa masuk line up, yang bahkan seolah menjadi representasi dari lapis terbaik yang dipilih dan dipilah dari sekitar 260 juta manusia yang menjadi warga negara. 

Luar biasa bukan? 

Apakah semata ini persoalan kemampuan Intelijensia belaka? Atau sintesis dari semua potensi kecerdasan jamak yang terintegrasi dalam kapasitas profesional yang mumpuni? 

Mana yang diperlukan? Pengambil kebijakan yang mampu melakukan pemindaian data secara superfisial meluas dan menjadi pemandu dalam menghasilkan solusi konstruktif yang dirancang secara kreatif dan inovatif. Atau barangkali mereka yang memiliki kemampuan teknikal mumpuni untuk secara spesifik dapat menjadi trouble shooter di bidangnya? Atau harus keduanya? Sejenis hibrida antara pengusaha sukses yang paham seluk beluk pengelolaan bisnis, termasuk sosiopreneur, mahfum ilmu ketatanegaraan, sekaligus luwes dalam berkomunikasi di ranah publik, serta pakar di bidang khusus yang masuk dalam domain rentang kendali yang menjadi kewenangannya? 

Untuk kriteria yang seperti ini mungkin Tony Stark boleh mendaftar. Tapi seandainya Tony adalah 1 dari sekitar 260 juta warga negara Indonesia, bagaimana dia bisa sampai di posisinya yang dapat "dikenali" atau direkognisi oleh radar sistem yang mungkin akan membawanya menjadi pilihan untuk posisi jabatan publik yang mengurusi hajat hidup orang banyak. 

Apakah tidak ada faktor lain yang terlibat? Misal dari aspek keturunan yang menempatkannya dalam posisi terpantau secara politik karena memang bagian tak terlepas dari dinasti politik tertentu misalnya. 

Dalam salah satu rujukan teori kepemimpinan, konsep ini termaktub dalam The Great Man Theory

Ambil contoh, anak muda pendiri perusahaan rintisan transportasi daring nasional yang kini statusnya decacorn, Nadiem Makarim. 

Tentu tak bijak jika kita tidak melihat latar belakangnya yang dilahirkan dari keluarga terdidik dan terpandang. Ayahandanya adalah Nono Anwar Makarim seorang ahli hukum dengan reputasi sangat baik dan tentu saja terkenal. Dengan kapasitas orangtuanya tentu Nadiem dapat memiliki akses yang baik untuk menempuh pendidikan di institusi terbaik di tempat terbaik pula, hingga tak terlalu heran jika dengan kapasitas berbasis pengetahuan dan kesempatan yang dimilikinya ia dapat menghasilkan inovasi solutif yang membantu banyak manusia. 

Dan mungkin itu juga yang mengantarkannya terpilih menjadi seorang pejabat publik. Demikian juga putra puteri Bapak Ibu Profesor, dan mungkin juga Pak Kyai dan Ibu Nyai. Pajanan mereka terhadap pengetahuan, juga lingkungan, dan jejaring pertemanan serta kekerabatan dapat diibaratkan sebagai "jackpot" yang memberikan sedikit keuntungan atau keunggulan "start". 

Tapi ya secara relatif bisa juga itu tidak berpengaruh, dan jika berpengaruh pun tidak signifikan. Karena semua predikat yang melekat dan kondisi yang memfasilitasi itu ibarat substrat yang siap diolah dengan syarat adanya kehadiran enzim pengkatalisa.

Halaman Selanjutnya >>>

Sumber gambar:

Share:

0 komentar:

Posting Komentar