Tampilkan postingan dengan label Peradaban Digital. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Peradaban Digital. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 25 April 2020

Corona dan Kesadaran untuk Kembali



Oleh Duddy Fachrudin 

Salah satu praktik hidup berkesadaran atau mindful living adalah dengan menerapkan gaya hidup minimalis. 

Sayangnya hidup minimalis yang tidak materialis dan nirkapitalis ini tidak mudah dan penuh tantangan. 

Serbuan keinginan dari alam pikiran dalam pemenuhan kebutuhan tak bisa direm, dipuasai, dan dikendalikan. 

Akhirnya manusia cenderung berlebihan dalam menjalani kehidupan. 

Perut menjadi buncit, lingkungan tercemari sampah serta polusi, dan perilaku konsumtif yang destruktif adalah contoh nyata dari degradasi akhlak manusia. 

Eksplorasi dan eksploitasi pemenuhan kebutuhan menggerus tatanan keseimbangan.  

Saat di-KO corona, manusia kelimpungan.

Maka jangan sok latah dengan hashtag "lawan corona". Dalam menghadapi tamu agung yang diperjalankan Tuhan ini, justru manusia perlu melawan dirinya sendiri.

Karena kita tidak tahu kapan pandemi ini akan berlalu. 

Meski bisa diprediksi dengan logika matematika, akhir dari pandemi ini masih menjadi misteri. 

Bukan lagi bulanan, tapi satu dua hingga lima tahun sejak awal mula kasus ditemukan. Itupun jika manusia mampu mengalahkan dirinya. 

Dan ini adalah peringatan akhir jaman di peradaban yang begitu sarat konflik dengan Tuhan. 

Semakin teknologi maju, manusia justru semakin angkuh. 

Dengan berbagai cara dan upaya, manusia ingin hidup abadi. "Hidup 1000 tahun lagi," kata Chairil Anwar. 

Simbah berpesan, "Elingo sangkan paranmu." 

Sementara Sabda Nabi, "Demi Allah, sungguh dunia ini lebih rendah dan hina bagi Allah daripada bangkai anak kambing ini untuk kalian." 

Ihdinas shirootol mustaqiim. 

Sumber gambar: 

Rabu, 12 Desember 2018

Dunia Masa Depan


Oleh Duddy Fachrudin

Dalam suatu perjalanan cinta Bandung-Sukabumi 6 tahun lalu, Kang Tauhid Nur Azhar memaparkan kepada saya, Kang Emsoe, dan Kang Rizal mengenai berbagai perubahan yang akan terjadi di masa depan.

What’s next in future?

Ketika sebagian besar aktivitas kehidupan manusia digantikan oleh mesin dan dilakukan secara digital. Ketiadaan sentuhan dan interaksi manusia secara langsung semakin minim. Bahkan untuk berkonsultasi ke dokter atau psikolog pun tidak perlu bertatap muka.

What’s next in future?

Selain pertumbuhan penduduk semakin meningkat, angka stres, depresi, dan bunuh diri pun seirama melonjak. Terjadi ketidakseimbangan aktivitas otak pada bagian basal ganglia, korteks prefrontal, dan lobus temporal kiri.

What’s next in future?

Semuanya serba instan, dan teknologi dapat menjadi bumerang bagi manusia sendiri jika kurangnya kesadaran (mindful) dan iman serta kecintaan manusia untuk menebar manfaat di muka bumi ini.

Sumber gambar:
https://www.sciencefocus.com/future-technology/future-technology-22-ideas-about-to-change-our-world/

Selasa, 07 Agustus 2018

Gence Nan Kece Senikmat Latte (Review Buku)


Oleh Duddy Fachrudin

Gence: Membedah Anatomi Peradaban Digital.

Dari judulnya saja kita dapat menebak isi buku ini tidak hanya berbicara tentang satu hal. Ibarat membuka sebuah kulkas, maka kita akan mendapatkan beragam "makanan dan minuman" dalam buku Gence.

Ada kajian mengenai sejarah peradaban manusia, teknologi informasi dan komunikasi (ICT), tata kelola kota (smart city), smart tourism, kecerdasan buatan, kesehatan dan psikologi (perubahan perilaku di jaman now), diskusi mengenai hoak, manajemen dan leadership, fintech, otak dan neurobiologi, serta banyak lagi.

Semua itu dikupas secara cantik oleh Kang Tauhid Nur Azhar, dan penulis lainnya  yang memiliki keilmuwan yang beragam. Maka Gence adalah sebuah kolaborasi ciamik yang perlu kita baca oleh kita (baca: warga peradaban digital) agar mengoptimasi kemampuan iqra sehingga dapat "berselancar" di revolusi indutri ke 4.0.

Satu hal yang mungkin spesial dari Gence adalah kadang-kadang kita mengernyitkan dahi ketika membacanya, terutama saat menemukan istilah atau vocabulary yang sebelumnya belum kita ketahui.

Kalau dianalogikan dengan latte, maka itulah bagian espresso-nya. Pahit.

Namun karena kita terus membaca dan memiliki rasa ingin tahu yang besar, susu yang telah di-steam "mengguyur" espresso tersebut. Rasa pun berubah dan lebih berwarna.

Lalu setelah selesai membaca Gence, kita "merasakan" foam susu dari latte masih melekat dalam pikiran kita yang kemudian...

membuat kita memikirkan arti sesungguhnya dari spesies bernama manusia.

###

Judul Buku: 
Gence: Membedah Anatomi Peradaban Digital

Penulis: 
Tauhid Nur Azhar, Bambang Iman Santoso, Arwin Datumaya WS, Adang Suwandi Ahmad, Suhono Harso Supangkat, Supra Wimbarti, Shelly Iskandar, Elvine Gunawan, FX Wikan Indrarto, Budi Syihabuddin, NGX, Andhita Nurul Khasanah, Insan Firdaus, Dani Sumarsono, Dody Qori Utama, Ian Agustiawan, Alila Pramiyanti, Ina Kurniati, Santi Indra Astuti, Nugraha P. Utama, Duddy Fachrudin, N. Nurlaela Arief, Diana Hasansulama

Penerbit:
Tasdiqiya Publisher

Sumber gambar:
https://deskgram.org/explore/tags/PeradabanDigital