Tampilkan postingan dengan label Psikologi Orangtua. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Psikologi Orangtua. Tampilkan semua postingan

Minggu, 22 September 2019

Mindful Parenting: Menjadi Ayah dan Ibu untuk Semua Anak (Bagian 2, Habis)


Oleh Nita Fahri Fitria

Ayah dan bunda tentunya pernah membaca petikan ayat dalam Al-Qur’an bahwa semua anak terlahir suci?

Iya setiap anak terlahir dengan fitrah manusia yang selalu condong pada kebaikan. Kemudian anak-anak bertumbuh dan mengalami banyak hal sejak hari pertamanya di dunia. Ia mendapatkan asupan gizi, pengaruh lingkungan, pendidikan, serta berbagai contoh perilaku dari orang di sekitar yang tidak semuanya baik. 

Anak-anak belajar dan melakukan berbagai eksperimen sebagai bagian dari caranya untuk “hidup”. Menangis, merengek, memukul, mencubit, berteriak, dan sebagainya. Anak-anak juga pandai meniru apapun yang ia lihat dari berbagai sumber.

Jadi, saat ada anak yang memukul, berkata kasar, dan sebagainya, bisakah kita menyalahkan si anak sebagai unsur tunggal keburukan itu? Tentu saja tidak. Karena mereka masih perlu banyak waktu untuk belajar. 

Bahkan orang dewasa yang berbuat dosa pun, selalu Allah buka kesempatan untuk bertaubat dan memperbaiki diri. Apalagi anak-anak yang belum 100% berhasil menginstal nilai-nilai baik dalam kehidupan sehingga masih trial and error dalam menampilkan perilaku. 

Jadi, apakah adil jika kita menilai buruk seorang anak hanya karena satu kali pukulan yang ia lakukan pada anak kita? Ingat, mereka masih belajar, dan berhak diberi waktu serta teladan agar mengetahui sikap baik yang seharusnya ditampilkan.

Banyak kasus bullying yang setelah ditelusuri dengan teliti, kemudian akhirnya ditemukan bahwa pelaku bully juga adalah korban dari pengasuhan yang tidak tepat.

Mari menjadi orang tua yang berkesadaran (mindful) dan penuh kasih (compassionate) untuk semua anak. Mereka yang kita cap sebagai anak nakal, adalah anak-anak tidak berdosa yang tengah belajar bagaimana caranya untuk hidup. Kita punya kewajiban untuk menyelamatkan masa depan si “anak nakal” itu dengan memberinya kasih sayang.

Ijinkan anak-anak untuk berteman dan memberikan kasih sayang kepada siapa saja. Sembari kita kuatkan fondasi akhlaqnya agar tidak mudah terpengaruh hal-hal negatif. Jangan sampai kita berusaha melindungi anak kita, tapi di waktu yang bersamaan kita malah membunuh karakter anak lain.

Rasulullah Saw. telah memberikan contoh yang sangat nyata bagiamana memberi kasih sayang bahkan kepada seorang nenek tua yang setiap hari mengungkapkan kebenciannya pada Baginda Rasul. 

Berkasih sayang adalah akhlaq utama seorang muslim. Dan kasih sayang adalah energi yang dahsyat yang dapat kita berikan pada seluruh anak Indonesia.

Tidak ada anak yang nakal, mereka hanya sedang belajar bagaimana mengekspresikan diri. Mereka sedang belajar untuk hidup. 

Jika yang mereka lakukan salah, maka tugas kita membenarkannya. Jika mereka terjebak dalam gelap, tugas kita memberinya terang.

Sumber gambar:

Mindful Parenting: Menjadi Ayah dan Ibu untuk Semua Anak (Bagian 1)


Oleh Nita Fahri Fitria

Mawar mengejutkan gurunya saat ia tiba-tiba menangis tersedu. Mawar mengadu bahwa sudah beberapa hari ini ia tidak diajak main oleh Melati. Setiap kali Mawar mengajak Melati bermain, pasti Melati langsung kabur dan bermain dengan anak yang lain.

Masih menurut pengakuan Mawar, konon Melati tidak mau main dengan Mawar selamanya. Guru mendapati jawaban yang sangat mengejutkan saat bertanya pada Melati, iya, katanya ia tidak sudi lagi bermain dengan Mawar karena dilarang ibunya. 

Karena Mawar kurang pintar dalam pelajaran, jadi Ibu melarang Melati untuk dekat-dekat dengan Mawar karena takut Mawar akan memberi dampak buruk bagi Melati. 

Dan keterkejutan sang guru semakin menjadi saat ibunda Melati memberikan jawaban yang sama persis dengan anaknya. Sementara Mawar menjadi semakin pemurung sejak kehilangan salah satu teman terbaiknya.

Apakah kasus Mawar dan Melati ini nyata? Ya. Kurang lebih ada banyak kasus serupa di Indonesia. 

Ada anak-anak yang sengaja dihindari karena disinyalir akan memberi dampak buruk bagi anak yang lainnya. Tentu tujuan dari ibu dan ayah sangatlah mulia. Mereka ingin melindungi anak mereka dari dampak buruk saat bergaul dengan anak yang “tidak baik”.

Ayah dan bunda... Sebelum melarang anak kita bermain dengan si A, si B dan seterusnya, mari kita renungkan beberapa hal sederhana...

Saat kita kecil dulu, apakah kita pernah melakukan kesalahan pada teman kita? Pernahkah kita bertengkar hingga memukul atau mencubit teman kita? 

Saat kita kecil dulu, bagaimana rasanya saat tidak ada yang mau menemani kita bermain? Pernahkah kita berusaha memahami perasaan anak yang kita larang bermain dengan anak kita? 

Bagaimana rasanya jadi dia yang dikucilkan dari lingkungan sosialnya? Apakah rasa terkucilkan yang dialami mahluk mungil itu akan berdampak semakin buruk pada kesehatan mentalnya? 

Bagaimana jika ia kemudian menjadi semakin penyendiri dan benar-benar tidak bisa hidup dalam lingkungan sosial?

Banyak kasus pelaku kekerasan berawal dari trauma masa kecil. Dan jangan sampai kita turut andil menciptakan para pelaku kekerasan dengan memberi anak-anak kecil tak berdosa sebuah trauma dengan mengucilkannya dari lingkungan sosial.

Tapi kan si A itu suka mukul, si B itu bicaranya kasar, si C itu gak pinter, nanti nular ke anak saya! 


Sumber gambar:

Kamis, 17 Agustus 2017

Mindful Parenting: Ayah, Bunda, Ijinkan Aku Menangis..


Oleh Nita Fahri Fitria

“Ssst... jangan nangis!”, Ayah dan Bunda pernah mengucapkan kalimat tersebut kepada ananda? Apa yang salah dengan menangis sehingga kita merasa perlu melarang ananda menangis?




Menangis, khususnya pada periode anak-anak adalah sesuatu yang bersifat alamiah, bahkan perlu dialami oleh setiap anak sebagai penanda bahwa ia mencapai salah satu tugas perkembangan emosi dengan baik. Ya, menangis adalah bagian dari tahap perkembangan emosi anak. Pada fase bayi, menangis menjadi salah satu cara anak berkomunikasi pada orang dewasa. Pada fase berikutnya (usia balita hingga pra-sekolah), menangis memiliki fungsi yang lebih kompleks, yakni sebagai bentuk ekspresi atas rasa sedih, takut, sakit, atau marah. Dan sekali lagi, ini amatlah wajar dan menandakan bahwa emosi ananda berkembang sesuai usia.

Dari mana datangnya larangan menangis? Saya tidak tahu persisnya apa alasan banyak orang dewasa yang “alergi” dengan tangisan anak. Setidaknya ada beberapa faktor yang saya simpulkan dari hasil pengamatan saya, di antaranya; suara tangisan yang dianggap mengganggu, malu (saat anak menangis di depan umum), ada urusan lain yang dianggap lebih prioritas, atau tidak tahu penyebab anak menangis dan bingung cara mengatasinya.

Dengan beberapa kondisi tersebut, biasanya reaksi orang dewasa terhadap anak yang menangis adalah; marah, dengan cepat memberi keinginan anak, mencari pengalihan, atau justru mengabaikan tangisannya sampai anak berhenti karena lelah. Kecuali karena kondisi khusus pada anak, reaksi-reaksi tersebut justru malah memicu anak untuk menjadikan tangisan sebagai “senjata” untuk menaklukan orang tua.

Letak masalah sebetulnya bukan pada menangis, karena sekali lagi menangis adalah sesuatu yang amat wajar. Maka, saat anak menangis kita perlu sepenuhnya sadar bahwa ia sedang dalam kondisi tidak menyenangkan. Jadi buatlah dia nyaman terlebih dahulu.

Dengan menyadari kondisi tersebut akan membantu kita untuk tetap tenang menghadapi tangisannya. Peluk atau usaplah punggung atau kepala ananda dengan tenang. Pada kasus tertentu, proses ini memakan waktu agak lama, jadi bersabarlah sebentar. Biarkan dia menangis sambil terus kita dampingi hingga tangisannya reda. Setelah itu barulah ajak ia berbicara tentang apa yang membuatnya menangis serta diskusikan solusinya dengan tenang. Jika anak menangis karena terluka, fokuslah mengobati lukanya dan dampingi ia menangis hingga reda tangisannya.

Proses ini penting untuk menumbuhkan kemampuan anak mengatasi masalah. Alih-alih menunjukkan bahwa kita cemas menghadapi tangisannya, bersikap tenang dan sabar justru membantu kita memberikan teladan tentang bagaimana bersikap saat menghadapi situasi sulit. Ingat, bahasa non-verbal (mimik muka, gestur tubuh, intonasi suara) justru lebih efektif dalam menyampaikan pesan. Memeluk atau membelainya dengan penuh kasih sayang adalah pesan bahwa kita siap mendampinginya dalam situasi tidak menyenangkan tersebut. Dan terakhir, berkomunikasi setelah tangisannya reda juga baik untuk mengasah kemampuan logisnya.

Poin-poin di atas adalah poin kunci untuk membentuk kesehatan emosi anak pada level berikutnya. Semakin anak bertumbuh, maka semakin banyak konflik yang dihadapinya. Maka ini adalah fondasi dan harus kuat agar kita punya generasi yang punya daya tahan terhadap masalah, atau istilahnya resilien. Anak-anak yang didukung untuk menyampaikan emosi secara wajar, diajarkan untuk bersikap tenang serta mencari solusi atas masalahnya maka dia akan belajar untuk mengatasi konflik yang dihadapi dengan lebih baik dibanding dengan anak-anak yang tidak mendapatkan pendampingan yang tepat saat menangis.

Jadi ayah, bunda sudah siap mendampingi ananda menangis?

Cek pelatihan mindfulness terbaru di sini >>>

Sumber gambar:
http://photographyblogger.net/live-laugh-cry-smile-20-pictures-of-human-emotion/