Kamis, 17 Agustus 2017

Mindful Parenting: Ayah, Bunda, Ijinkan Aku Menangis..


Oleh Nita Fahri Fitria

“Ssst... jangan nangis!”, Ayah dan Bunda pernah mengucapkan kalimat tersebut kepada ananda? Apa yang salah dengan menangis sehingga kita merasa perlu melarang ananda menangis?




Menangis, khususnya pada periode anak-anak adalah sesuatu yang bersifat alamiah, bahkan perlu dialami oleh setiap anak sebagai penanda bahwa ia mencapai salah satu tugas perkembangan emosi dengan baik. Ya, menangis adalah bagian dari tahap perkembangan emosi anak. Pada fase bayi, menangis menjadi salah satu cara anak berkomunikasi pada orang dewasa. Pada fase berikutnya (usia balita hingga pra-sekolah), menangis memiliki fungsi yang lebih kompleks, yakni sebagai bentuk ekspresi atas rasa sedih, takut, sakit, atau marah. Dan sekali lagi, ini amatlah wajar dan menandakan bahwa emosi ananda berkembang sesuai usia.

Dari mana datangnya larangan menangis? Saya tidak tahu persisnya apa alasan banyak orang dewasa yang “alergi” dengan tangisan anak. Setidaknya ada beberapa faktor yang saya simpulkan dari hasil pengamatan saya, di antaranya; suara tangisan yang dianggap mengganggu, malu (saat anak menangis di depan umum), ada urusan lain yang dianggap lebih prioritas, atau tidak tahu penyebab anak menangis dan bingung cara mengatasinya.

Dengan beberapa kondisi tersebut, biasanya reaksi orang dewasa terhadap anak yang menangis adalah; marah, dengan cepat memberi keinginan anak, mencari pengalihan, atau justru mengabaikan tangisannya sampai anak berhenti karena lelah. Kecuali karena kondisi khusus pada anak, reaksi-reaksi tersebut justru malah memicu anak untuk menjadikan tangisan sebagai “senjata” untuk menaklukan orang tua.

Letak masalah sebetulnya bukan pada menangis, karena sekali lagi menangis adalah sesuatu yang amat wajar. Maka, saat anak menangis kita perlu sepenuhnya sadar bahwa ia sedang dalam kondisi tidak menyenangkan. Jadi buatlah dia nyaman terlebih dahulu.

Dengan menyadari kondisi tersebut akan membantu kita untuk tetap tenang menghadapi tangisannya. Peluk atau usaplah punggung atau kepala ananda dengan tenang. Pada kasus tertentu, proses ini memakan waktu agak lama, jadi bersabarlah sebentar. Biarkan dia menangis sambil terus kita dampingi hingga tangisannya reda. Setelah itu barulah ajak ia berbicara tentang apa yang membuatnya menangis serta diskusikan solusinya dengan tenang. Jika anak menangis karena terluka, fokuslah mengobati lukanya dan dampingi ia menangis hingga reda tangisannya.

Proses ini penting untuk menumbuhkan kemampuan anak mengatasi masalah. Alih-alih menunjukkan bahwa kita cemas menghadapi tangisannya, bersikap tenang dan sabar justru membantu kita memberikan teladan tentang bagaimana bersikap saat menghadapi situasi sulit. Ingat, bahasa non-verbal (mimik muka, gestur tubuh, intonasi suara) justru lebih efektif dalam menyampaikan pesan. Memeluk atau membelainya dengan penuh kasih sayang adalah pesan bahwa kita siap mendampinginya dalam situasi tidak menyenangkan tersebut. Dan terakhir, berkomunikasi setelah tangisannya reda juga baik untuk mengasah kemampuan logisnya.

Poin-poin di atas adalah poin kunci untuk membentuk kesehatan emosi anak pada level berikutnya. Semakin anak bertumbuh, maka semakin banyak konflik yang dihadapinya. Maka ini adalah fondasi dan harus kuat agar kita punya generasi yang punya daya tahan terhadap masalah, atau istilahnya resilien. Anak-anak yang didukung untuk menyampaikan emosi secara wajar, diajarkan untuk bersikap tenang serta mencari solusi atas masalahnya maka dia akan belajar untuk mengatasi konflik yang dihadapi dengan lebih baik dibanding dengan anak-anak yang tidak mendapatkan pendampingan yang tepat saat menangis.

Jadi ayah, bunda sudah siap mendampingi ananda menangis?

Cek pelatihan mindfulness terbaru di sini >>>

Sumber gambar:
http://photographyblogger.net/live-laugh-cry-smile-20-pictures-of-human-emotion/

Share:

0 komentar:

Posting Komentar