Selasa, 12 April 2022

Mindful Journey: Ketika Anak Jaksel Naik Gunung (Bagian 2, Habis)



Oleh Tauhid Nur Azhar 

Aroma adalah suatu anugerah yang sungguh proses menghasilkan sensasinya tidak mudah. Sebaliknya dalam mekanismenya pun tersimpan begitu banyak hikmah dan makna bagi kita yang mau belajar untuk mengurai tanda cinta yang telah diberikan oleh Sang Maha Pencipta.

Menghidu kerap disama artikan dengan "mencium". Dalam pendekatan epistemologis bahasa, mencium itu berkaitan dengan fungsi bibir, sedangkan fungsi hidung adalah jalan nafas dan juga alat penghidu.

Untuk dapat menghidu, hidung secara makro dan mikro anatomi diperlengkapi dengan reseptor olfaksi (reseptor penghidu) yang akan menangkap molekul bau (odor) yang biasanya berupa volatile organic compound (VOC) yang bersifat aerosolik.

Reseptor olfaksi jamak nya berwujud dalam bentuk sel-sel khusus, berupa sel neuron bersilia yang terletak di dalam epitel olfaktorius pada rongga hidung.

Kumpulan dari akson sel reseptor olfaksi membentuk berkas nervus olfaktorius yang berjalan memasuki kranium atau rongga tengkorak melalui foramina lamina kribiformis pada tulang etmoidalis.

Nervus Olfaktorius kemudian bermuara di bulbus Olfaktorius yang lokasi anatomisnya berada di area inferior lobus Frontalis.

Pengolahan data olfaksi menjadi informasi sensasi penghiduan dimulai di bulbus Olfaktorius yang terdiri dari sel-sel interneuron dan sel-sel mitral besar.

Selanjutnya akson atau neurit dari sel-sel mitral keluar dari bulbus Olfaktorius dan membentuk traktus Olfaktorius.

Traktus Olfaktorius melewati daerah posterior basalis lobus Frontalis dan di dekat kiasma Optikum, sebagian serabut traktus Olfaktorius berbelok ke arah lateral.

Kemudian serabut traktis Olfaktorius membentuk stria Olfaktorius lateralis, yang akan menuju fissura lateralis.

Di fissura lateralis, traktus Olfaktorius menyilang dan masuk ke area lobus Temporalis, serta berakhir di korteks Olfaktorius primer.

Korteksi Olfaktorius primer sendiri terletak di unkus yang terdapat di bagian inferomedial lobus Temporalis dekat dengan Amigdala. Sementara struktur terkait fungsi olfaksi atau penghiduan lainnya adalah korteks asosiasi Olfaktorius yang terdapat di bagian anterior girus parahipokampalis (Entorhinal Cortex). Korteks primer Olfaktorius dan korteks asosiasi Olfaktorius ini dikenal sebagai korteks Piriformis.

Uniknya nervus Olfaktorius dan traktus Olfaktorius ini tidak melewati "stasiun relay" Thalamus. Maka hubungan dan fungsinya pun menjadi khusus. Aroma menjadi sensasi khusus yang punya diskresi istimewa untuk langsung mengguncang memori di hipokampus.

Saat ini diketahui bahwa hidung manusia sebagai organ terluar dari sistem penghiduan, memiliki sekitar 1000 jenis reseptor odor dengan sekitar 5 juta sel reseptor Olfaksinya.

Setiap reseptor memiliki rentang kepekaan terhadap suatu spektrum bau saja. Maka molekul odor saat memasuki rongga hidung akan "ditangkap" komponennya oleh berbagai jenis reseptor agar dapat diteruskan menjadi sinyal biolistrik melalui nervus Olfaktorius ke korteks primer dan asosiasi Olfaksi di otak.

Di pusat asosiasi Olfaktorius itulah berbagai aroma diidentifikasi dan diverifikasi serta diklasifikasi, juga diasosiasikan dan dikorelasikan dengan memori yang didapatkan dari pengalaman. Terciptalah basis data aroma, hasil pembelajaran yang dilakukan oleh sel-sel penghiduan.

Karena mekanisme itulah maka kita mampu "mengendus" nikmatnya soto dan kopi serta tentu saja petrichor dari aromanya yang menguap dan menguar di udara sekitar.

Ini belum bahas soal indahnya mekanisme penglihatan, pendengaran, rasa, raba, panas, dingin, juga kesadaran akan ruang dan refleks-refleksnya loh.

Honestly ini adalah part of miracle yang seharusnya membuat kita feel blessing dan bisa deep thinking sih. Jarang loh yang mau deep talk gini, normally orang tuh mau nya bahas topik-topik easy going aja, shallow, which is ya jadinya ga dapet apa-apa juga, wasting time. Udah ketebak end up nya, basicly yah cuman ngomongin soal temen yang flexing, temen yang ghosting, atau ketemu orang baru yang udah langsung gaslighting, cemen. Because why obrolan di circle kayak gini malah jadi nambahin mental issue aja. 

The point is, hidup itu banyak problemnya, tapi juga banyak berkahnya, maka perbanyaklah bersyukur dan kurangi keluh kesah berkepanjangan yang nggak jelas. Somehow hidup ini sementara dan kita pasti akan kembali pada-Nya, dan jangan sampai di penghujung perjalanan kita merasa hidup kita itu penuh derita dan sia-sia.

Banyak bersyukur ya Guys...

La in syakartum laazidannakum...

<<< Halaman Sebelumnya

Mindful Journey: Ketika Anak Jaksel Naik Gunung (Bagian 1)


Oleh Tauhid Nur Azhar 

Air bergemericik, dan beburung pagi yang morning person banget seolah hadir menjadi healing process untuk mereka-mereka yang burn out karena overwhelmed dalam mengelola trust dan mental health issue.

Maklumlah dinamika kehidupan itu kadang lempeng tapi lebih sering mengejutkan, reality bites, dan itu bisa sangat stressful dan painful.

Kadang support system kita juga tidak benar-benar care dengan kita. Bahkan orang yang kita anggap bestie saja, dan kita harap bisa at least memberi sepatah dua patah word of affirmation, eh malah suka guilt tripping dan yang lain malah clingy.

Masih mending kalo enggak emotional abuse atau melakukan silent treatment yang menyakitkan. Toxic relationship itu literally ga sehat banget guys.

Kalau sudah begini memang healing dan self love perlu jadi consideration deh. Perlu positive vibes dan personal space yang proper. Somehow kita memang harus menghindari environment atau circle yang terlalu banyak diisi mereka yang kerap verbally abuse atau bersifat judgemental dan oversharing yang gak penting. Jangan juga terlalu memaksa diri menjadi social butterfly agar bisa masuk banyak circle, ga guna.


Mending cari hidden gem kayak di gunung ini, dan ga terlalu sering staycation yang sebenarnya di sana-sana juga. Beri kesempatan jiwa kita self healing dengan socmed detox, dan ga ada salahnya kalau sekali-sekali kita jadi gate keeping yang nggak spill out yang kita tahu.

Saatnya menikmati me time dan beri diri kita bonus self reward, hindari timeline yang salty dan destruktif. IMO, pergi nyepi ke secret place kayak remote area yang masih nature banget gitu tuh sesuatu.

Ga usah FOMO, dan dicap social awkward, figuratively ini ibarat Robinson Crusoe yang bertualang untuk mengexplore kapasitas dirinya sendiri sih. Semacam self journey untuk mengenal inner soul sebenernya.

Ok, in a fact gemericik air dan kicau burung itu stimulan neurofisiologi banget. Lalu tetiba rasa sejuk melanda qolbu saat awan mendung mulai merintikkan gerimis. Alam gunung seolah sedang tersenyum manis.

Kabut, gemericik sungai dan rintik gerimis berpadu dengan kicau burung, kini menyatu dengan aroma tanah yang menguar.

Petrichor melanda pusat hidu di otak kita. Petra itu batu dan ichor itu cairan para dewa. Sementara sains modern menjelaskan bahwa petrichor adalah bau tanah pertama saat hujan menyapa dan melepas geosmin yang merupakan produk metabolit dari milyaran bakteri aktinobakter dari spesies Streptomyces.

Dan anehnya aroma itu compatible dengan kinerja otak kita. Aroma itu menghanyutkan kita dalam rindu tanpa lagu, tapi lewat orkestrasi bau.

Aroma itu membawa pesan cinta nan sarat makna, dengan pesan nyata bahwa rindu adalah hak semua penghuni semesta.

Lalu bagaimana aroma itu dapat menstimulasi pusat asosiasi di otak kita? Sampai ada rasa, sampai muncul cinta.

Halaman Berikutnya >>>

Sumber gambar:
https://www.instagram.com/duddyfahri/

Minggu, 10 April 2022

Sikap Mindfulness: Mencintai Tanpa Menghakimi


Oleh Tauhid Nur Azhar 

Sabda Kanjeng Nabi: irhamu man fil ardl, yarhamkum man fis samaa. Sungguh dalam artinya. Bernas diksinya. Mengena sekali pesannya. 

Cintailah (Sayangilah) mereka yang di bumi, maka mereka yang di langit akan mengasihimu...

Hadist ini sejalan dengan dalil wa ma arsalnaka ila rahmatan lil alamin, bahwa pada hakikatnya kehadiran manusia ditujukan sebagai "agen" rahmat bagi segenap semesta sekalian alam. 

Kontribusi manfaatnya tidak semata hanya dapat dirasa di lingkungan terbatas, melainkan juga bersifat luas dan mampu melintas ruang yang semula kita anggap takkan mungkin teretas.

Lapis-lapis batas pengamatan memberikan perspektif baru tentang adanya cakrawala di balik setiap cakrawala. Mega kluster Laniakea adalah wadah bagai super kluster Virgo yang bahkan hari ini baru bisa kita cermati sampai The OPIK, awan materi batas Bima Sakti.

Dan di tengah itu semua bergaung sejuta tanda tanya tentang makna mencinta. Tentang siapakah gerangan hamba? Lalu apa yang menjadi keniscayaan yang sesungguhnya?

Wujil dalam Suluk Wujil Sunan Bonang bertanya pada Sunan Wahdat,

Kawruhana tatalining urip // ingkang aningali ing sarira // kang tan pegat pamujine // endi pinangkanipun // kang amuji lan kang pinuji // sampun ta kasapeksa //marmaning wong agung // padha angluru sarira // dipun nyata ing uripira sejati // uripira neng dunya.

"Ketahuilah, bahwa pegangan hidup adalah mengetahui diri sendiri, sambil tidak pernah melupakan sembahyang secara khusyuk. Harus kau ketahui juga, dari mana datangnya si penyembah dan Yang Disembah. Oleh sebab itu, maka orang-orang yang agung mencari pribadinya sendiri untuk dapat mengetahui dengan tepat hidup mereka yang sebenarnya, hidup mereka di dunia ini."

Jika mengacu pada suluk tersebut, menyembah itu harus tahu siapa yang disembah bukan? Harus sadar sepenuhnya tentang peran dan kehadiran. Tentang esensi dan jati diri.

Demikian sekelumit nilai yang dapat dipetik dari penggalan suluk Wujil karya putra Bong Swi Hoo dan cucu Maulana Maliq Ibrahim As Samarqandi.

Pertanyaan yang muncul dalam suluk itu sangat fundamental dan cenderung retorik. Dimana jawabannya harus dicari jauh ke dalam diri sendiri.

Sebagaimana perjalanan Werkudara ke dalam samudera makna sebagaimana dikisahkan dalam Dewa Ruci. Kisah yang berupaya menggambarkan konsep manunggaling kawula Gusti dengan cara membangun dialog antara entitas (Werkudara) dengan representasi consciousness-nya, Dewa Ruci. Tentu dialog yang terjadi sebenarnya adalah dialog retoris yang berkutat tentang proses pencarian jati diri.

Kisah Dewa Ruci ini sebenarnya adalah kisah adaptif yang tidak dapat ditemukan di naskah asli Mahabaratha yang ditulis Vyasa Krisna Dwipayana di India pada sekitar 400 SM.

Sementara Kisah Dewa Ruci yang menjadi bagian dari script para dalang Jawa merujuk pada tulisan Yasadipura I (ditengarai sebagai guru dari pujangga Ranggawarsita) dari Surakarta, yang hidup pada masa Pakubuwono III (1749–1788) dan Pakubuwono IV (1788–1820).

Kembali pada Suluk Wujil Sunan Bonang, peran dan esensi personal tercermin dari kegelisahan Wujil untuk segera mendapat ilmu makrifat karena sudah jenuh belajar syariat.

Padahal proses menuju makrifat itu perlu melalui penyucian jiwa atau nafs, lalu pemurnian qalbu, diikuti pengosongan pikiran dan ruh dari selain Allah. 

Istilah lain untuk metoda ini adalah mujahadah, yaitu perjuangan batin untuk mengelola hawa nafsu dan kecenderungan-kecenderungan buruknya. Hawa nafsu merupakan representasi dari jiwa yang menguasai jasmani manusia. Hasil dari mujahadah ialah musyahadah dan mukasyafah.

Musyahadah ialah mantapnya keadaan hati manusia sehingga dapat memusatkan penglihatannya kepada Yang Satu (Ahad), sehingga pada akhirnya dapat menyaksikan kehadiran rahasia-Nya dalam hati.

Mukasyafah ialah tercapainya kasyf, yaitu tersingkapnya tirai yang menutupi cahaya penglihatan batin di dalam kalbu. (Hadi Susanto, 2018).

Maka Wujil pun berkisah pada gurunya tentang "kenekatan"nya mencari makna hidup, karena sudah tidak sabar terus disuruh mengaji "Alif".

Ya marma lunga ngikis ing wengi // angulati sarahsyaning tunggal // sampurnaning lampah kabeh // sing pandhita sun dunung // angulati sarining urip // wekasing Jati Wenang // wekasing lor kidul // suruping raditya wulan // reming neta kalawan suruping pati // wekasing ana-ora.


"Karena Sesungguhnya, pada suatu malam hamba pergi diam-diam untuk mencari rahasia daripada kesatuan, mencari kesempurnaan dalam semua tingkah laku. Hamba menemui tiap-tiap orang suci untuk mencari hakekat hidup, titik akhir dari kekuasaan yang sebenarnya, titik akhir utara dan timur, terbenamnya matahari dan bulan untuk selama-lamanya, tertutupnya mata dan hakekat yang sebenarnya daripada mati serta titik akhir dari yang ada dan yang tiada."


Demikian Wujil menyampaikan pada gurunya, Sunan Wahdat. Meski pada hakikatnya Wujil pasti sadar sepenuhnya jika manusia itu sesuai dalil adalah wa ma khalaqtul jinna wal insa illa liya'budun.

Tugasnya adalah beribadah. Ibadah seperti apa? Ibadah yang kaffah yang melibatkan segenap potensi manusia dan jin yang telah dianugerahkan sebagai amanah.

Maka ikhlas menerima, melepas, atau ngekepi juga bagian dari ibadah, asal kita menjalaninya dengan tanpa menghakimi atau membutuhkan alasan yang kadang justru tidak diperlukan.

Sumber gambar:

Selasa, 05 April 2022

Mindful Journey: Merbabu, Sebuah Pejalanan yang Dirindu (Bagian 1)


Oleh Duddy Fachrudin

Beruntungnya Marto bisa wisuda dan menjadi psikolog. Pengujinya dulu melihat pemuda cengengesan itu tak layak mengobati permasalahan kesehatan mental orang lain. Metodenya tidak berdasar keilmuan psikologi, campur sari, oplosan teknik sana sini. Namun kegigihan dan keikhlasan membantu orang lain membantunya berada di gedung wisuda nan megah. Bapak ibunya yang tak mengerti apa-apa tentang kuliah anaknya itu senyum-senyum bahagia.

Ia berencana merayakan keberhasilannya dengan naik gunung seminggu kemudian. Diajaknya Dayat yang baru saja kehilangan ibunya. Awalnya Dayat menolak, hatinya masih bersedih dan tersayat. Bagaimana mungkin ia jalan-jalan bahagia sementara masih berselimut duka.

"Wis percoyo karo aku..." kata Marto berusaha menentramkan kegelisahannya.

Mengembara berputar-putar pikiran Dayat. Teringat dirinya saat kecil diajak ibunda tercinta mengalas ke hutan mencari kayu bakar di sebuah gunung. Wajahnya sumringah dan mulutnya tak pernah berhenti berkelakar. Mbah Jan yang menemani sering menimpali dengan ayat-ayat Qur'an, Wal-jibāla arsāhā. Matā'al lakum wa li`an'āmikum. (An-Nazi'at: 32-33)

Padang Sabana di Gunung Merbabu

Dayat memandangi Marto, lalu menangguk setuju. Kedua pemuda itu lantas menyiapkan perbekalan dan barang-barang untuk mendaki Merbabu. 

Gunung Merbabu terletak di tiga kabupaten, Magelang, Boyolali, dan Semarang. Puncak Merbabu tidak hanya satu. Setidaknya ada tiga puncak yang terkenal, yaitu Kenteng Songo, Triangulasi, dan Syarif. Ada lima jalur yang bisa ditempuh pendaki menuju puncak tersebut, yaitu Thekelan, Wekas, Cunthel, Suwanting, dan Selo. 

Marto dan Dayat memutuskan untuk mendaki Merbabu melalui Selo. Hujan gerimis selama pendakian sejak basecamp hingga pos 3 menemani langkah manis mereka. Meski puncak sebagai tujuan, menikmati perjalanan merupakan esensi pendakian. Itulah yang diajarkan Mbah Jan, Huwallażī ja'ala lakumul-arḍa żalụlan famsyụ fī manākibihā wa kulụ mir rizqih, wa ilaihin-nusyụr. (Al Mulk: 15)

Bersambung...

Sumber gambar:
https://www.instagram.com/duddyfahri/

Rabu, 30 Maret 2022

Menjadi Master Oogway




Oleh Tauhid Nur Azhar 

Menjadi Master Oogway adalah mengendalikan tanpa mengendalikan dan melarut dalam keselarasan. Menerima sekaligus mengolah. Tanpa daya sekaligus bertenaga.

Master Oogway mengajarkan kita tentang mengalir dan merasa tanpa keinginan memiliki dan memanipulasi. Semua berjalan sesuai dengan orkestrasi agung yang telah menyediakan banyak partitur untuk dimainkan.

Sementara kita dengan hasrat yang condong mendorong pemenuhan secara instan akan sulit memahami makna kosong adalah ada dan ada adalah kosong.

Saat hati dan jiwa masih terluka karena dunia tak berjalan sesuai dengan harapan kita, maka kita masih ada dalam penjara yang membuat kita sempit dan terbatas serta bahkan kehilangan daya hanya untuk sekedar mencicipi bahagia.

Sepasang suami istri saja punya pikiran tidak sama, bagaimana bisa ikhlas jika masing-masing merasa bahwa pasangannya semestinya seideal harapannya? Istri minta perhatian dengan dicium mesra setiap pagi. Sementara suami berpikir bahwa kebutuhan materi adalah hal realistis yang lebih penting dari sekedar drama.

Kita tak sadar bahwa sesungguhnya setiap entitas punya persepsi terhadap dirinya sendiri dan persepsi itu berkonjugasi dengan persepsi orang di sekitarnya.

Maka dalam filosofi Master Oogway, memiliki itu berarti kehilangan. Kehilangan kebebasan dari rasa takut kehilangan. Melepas bukan berarti tak peduli, tapi metoda belajar ikhlas untuk membersihkan berbagai distorsi yang merancui entitas dan juga identitas

Karena apa yang tak bisa lepas dari kita? Tidak ada.

Karena apa yang kita genggam adalah apa yang luput dalam perjalanan, dan yang tidak kita genggam akan selalu ada dalam bentuk dan tempatnya sendiri.

Satu hal yang menjadi sifat unik manusia adalah penyesalan. Kita semua tahu penyesalan itu idealnya adalah pelajaran, tapi dalam prakteknya penyesalan adalah siksaan.

Menyakitkan karena kita tahu dan sudah merasakan tapi tidak bisa mengubah apa yang telah terjadi.

Algoritma kehidupan juga menawarkan banyak alternatif sebagai cabang pilihan, ini menambah potensi penyesalan karena kemungkinan asumtif pilihan dapat berkembang secara eksponensial.

Sumber gambar:
https://www.kolpaper.com/85923/master-oogway-background-2/