Tampilkan postingan dengan label Dzikrullah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Dzikrullah. Tampilkan semua postingan

Selasa, 05 Mei 2020

Masa Pandemi adalah Hari Raya



Oleh Duddy Fachrudin 

Dalam satu dekade ini banyak diskusi, penelitian, pelatihan, seminar, kajian online seputar mindfulness. Tak ketinggalan buku-buku hingga film-film terkait mindfulness berserakan. 

Mindfulness itu bikin bahagia. Membuat kita tenang dan terbebas dari stres serta kecemasan. Melepaskan jerat trauma dan depresi berkepanjangan.

Moso... hati ini tak percaya. 

Apalagi mindfulness dapat mengatasi panik di saat pandemi corona ini. Benarkah? 

Mindfulness itu hadir sepenuhnya, di sini, saat ini. 

"Tapi ketika saya hadir sepenuhnya, justru saya cemas dan panik. Pikiranku tidak kemana-mana, ada di sini, menyaksikan berita corona bertubi-tubi," aku mengatakan hal yang persis dikatakan orang-orang pada Simbahku. 

"Mindfulness iku opo sih Le?", takon Simbah. 

Dengan perut yang kenyang, malam itu akhirnya kami berdiskusi tentang mindfulness

"Intinya kesadaran Mbah," ujarku. 

Simbah menyeruput kopi pahitnya, "Oh ilmu eling toh." 

Dalam kondisi mindful sejatinya pikiran dan perasaan membelenggu itu sirna. 

Simbah lalu bertanya, "Mereka ini, maksudnya orang-orang ini sadar tidak bahwa memang dunia itu tempatnya penderitaan?" 

"Waduh, aku ora weruh Mbah," balasku. 

Dalam tradisi psikologi berbasis spiritual, mindfulness memang memiliki korelasi dengan luka dan duka. Karena isi dunia bukan hanya cita, kesenangan, dan bahagia. 

Simbah lalu mengambil sebuah buku lalu membuka halaman demi halaman. 

"Nah ini..." wajah Simbah terlihat sumringah mendapatkan apa yang dicarinya. 

Laki-laki tua yang gemar kutangan ini lalu berkata, "Datangnya beragam kesukaran merupakan hari raya bagi murid." 

Manusia itulah murid. Seperti Nabi Adam yang diajarkan nama-nama. Kita semua manusia senantiasa terus membaca (iqra) dan belajar, mencari dan bertanya. Lalu apakah hari raya? Apakah ia adalah hari kemenangan? Namun bagaimana ada kesukaran di saat kebahagiaan? 

Seperti saat ini. Begitu banyak derita akibat wabah corona. Kegelisahan, resesi, PHK dimana-mana, kelaparan, dan tentunya ketakutan. Bagaimana mungkin dibalik penderitaan itu adalah hari raya? Dongkol hatiku.

Simbah melihat raut wajahku yang bingung. "Kamu harus paham kata-kata itu. Yang bilang Ibnu Atha'illah." 

"Sang Arif Bijaksana?", tetiba suasana hatipun berubah menjadi lebih ceria. 

Petuah-petuahnya tidak diragukan lagi. 

Simbah lalu bilang, "Hari raya itu artinya saat kamu mendekat pada Gusti Allah. Orang yang mendapatkan kesukaran lebih mudah mengemis dan menangis sekaligus bermesraan sama Tuhannya." 

Jadi masa pandemi corona ini hari raya? 

Tarik napas sejenak... napas masuk... napas keluar...

Masih ora mudeng aku. 

Sumber gambar: 
Dokumentasi pribadi 

Kamis, 30 April 2020

Mengemis Meringis di Tengah Pandemi



Oleh Duddy Fachrudin 

Ternyata corona memang benar-benar tamu agung bagi penduduk bumi. Ia bukan mahluk kecil dan tengil yang menjadi bahan cengengesan manusia tempo hari. 

Kamu ikut tertawa angkuh kan? 

Kini, kamu, manusia, menangis meringis dan mengemis tak berdaya serta putus asa. 

Aku mengemis kepada-Nya bukan untuk memohon agar corona tak mendatangiku. 

Aku putus asa dan tak berdaya melihat tingkah manusia yang sok berkuasa atas tanahnya; memangnya itu tanahmu? Sehingga kamu berhak mengusir jenazah saudaramu. 

Bahkan tubuhmu bukanlah milikmu. Rambut hingga ujung kuku kakimu bukanlah milikmu. 

Tanah, air, udara, bumi, dan semesta raya bukan milikmu. 

Manusia tak pernah memiliki apa-apa. 

Namun, manusia ya manusia. Berusaha menjadi akbar dengan berkoar-koar. Negara adidaya dan besar itu saja kini lumpuh dan jatuh. 

### 

Siapakah kita manusia? 

Langit, bumi, dan gunung saja menolak untuk menjadi wakil-Nya di bumi. Manusia dhalim dan dungu yang kemudian menerimanya. 

Sampai dungunya keterusan hingga akhir jaman. 

Siapakah kita manusia? 

Telah datang utusan-utusan-Nya sebagai teladan. Membawa kebutuhan pokok bagi umat manusia. Mereka nyangoni generasi selanjutnya dengan hikmah. 

Tapi kemudian manusia membuat kebutuhan-kebutuhan primer lain yang sejatinya bukan yang utama. 

Sejak revolusi industri, peradaban manusia memang lebih canggih. Tapi kerakusan dalam pemenuhan kebutuhan pun semakin obsesif dan menjadi-jadi. 

Siapakah kita manusia? 

Setelah usai pandemi, manusia berandai-andai apa yang ingin dikerjakannya. Seolah selama ini tersiksa dan tertawan dalam penjara yang melelahkan. 

Kamu mau melakukan apa?
-jalan-jalan sambil kulineran 
-nongkrong bersama teman semalaman 
-cari uang sebanyak-banyaknya dan berpesta pora 

Sementara jawaban Simbah, 
"Le, aku tetep nang omah... Omah Tuhan, " dhawuh-nya sambil mengarahkan telapak tangan kanannya pada bagian dada kirinya. 

Siapakah kita manusia? 

Di sini baru aku benar-benar menangis, tak berdaya mendengar jawaban jujur apa adanya. 

Jawaban Simbah yang sekaligus menempeleng hatiku yang tak memahami kebutuhan utama sebagai prioritas hidup. 

Asyhadu an-laa ilaaha illallaah 
Wa asyhadu anna Muhammadan-rasuulullah 

Inilah aku, manusia dungu yang alpa bahwa syahadat adalah puncak segala ilmu. 

Sumber gambar: 
   

Rabu, 01 April 2020

Teater Corona, Aku, dan Afalaa Ta'qiluun


Oleh Duddy Fachrudin 

Teater corona terus berlanjut 
Akankah manusia kembali benjut

Aku siap benjut hingga hanya memakai cangcut 
Toh hidup ini hanya ketelingsut 

Mau melawan juga pakai apa? 
Wong aku ora duwe apa-apa 

Cuma bisa puasa tanpa sahur dan berbuka seadanya 
Kalau perlu mutih 40 hari 100 hari sekaligus bertapa dari segalanya 

### 

Aku hanya ingin Tuhan tidak murka 
Ini kehendak-Nya, 
bukan kehendakku 

Aku bukanlah aku 
Aku sudah tiada sejak dulu 

Meski yang dulu-dulu suka menyapa dalam mimpi 
Meminta untuk dikasihani 

### 

Aku hanyalah atom berongga 
Ruang hampa, gelap, dan tak bercahaya 

Hologram membisu, juga merindu 

### 

Aku cuma lempung kampung yang bebas ditelikung maupun diserimpung 
Aku fana fatamorgana yang sudah sejak dulu kala menderita 

### 

Aku materi berfrekuensi yang siap meluruh menjadi energi 
Terbebas dari labirin yang menghimpit penuh ilusi halusinasi 

### 

Corona akan terus bertamu 

Tak ingin menyuruh-nyuruh: 
"Tuhan, lenyapkan corona itu" 

Malu nyuruh-nyuruh Al-Hayyu Al Mumiitu 
Siapa aku nyuruh-nyuruh 

### 

Aku kulit yang mengelupas terkena panas 
Melepuh dan melepas 

Berduyun-duyun sel-sel mengayun tunduk memohon agar bisa ilaihi roji'uun 

### 

Aku, 
si dungu letih ringkih yang hanya bisa bersembunyi dalam kelambu 

Kelambu kasih sayang tempatku bersembahyang 
Menyanyikan stanza cinta bergelombang 

### 

Tak ikut-ikut lagi menanam buah khuldi 
Seperti yang mereka lakukan setiap hari 

Memanen, menikmati, menanam lagi dan lagi 
Terus berulang-ulang kali 

Tak pernah puas dan tak menyadari, 
misi penciptaan diri 

### 

Biarlah aku di sini, 
mati, 
membunuh diri 

Tak terbuai lagi dengan khuldi khuldi 

### 

Corona terus bergentayangan 
Yang ini datang berbulan-bulan 

Yang lain (mungkin) bertahun-tahun 
Menggembalakan racun agar manusia kembali membaca afalaa ta'qiluun 

### 

Bagi para pecinta, 
racun tha'un itu adalah kritik mesra dan pesona kasih-Nya tak terkira 

Sumber gambar: 

Minggu, 04 Juni 2017

Mindfulness dalam Perspektif Islam


Oleh Duddy Fachrudin

Di setiap tempat penulis mengajar mindfulness seringkali ada seorang partisipan yang bertanya asal muasal mindfulness. “Dari mana mindfulness berasal?,” begitu mereka bertanya. Tentu sebuah pertanyaan yang penting dan bagus sekali yang menstimulasi otak khususnya area kortikal bagian depan.

Mindfulness tidak berdiri pada suatu agama atau tradisi tertentu. Karena mindfulness yang di dalamnya terkandung konsep living in the present moment ada di berbagai agama maupun tradisi dunia (Siegel, 2007). Bahkan dalam tradisi Jawa, mindfulness merupakan ajaran luhur yang telah mengakar di tengah-tengah pusaran masyarakat Jawa, yaitu eling alias sadar.

Maka konsep sadar di sini yaitu menyadari setiap gerak gerik pikiran, perasaan, dan perilaku diri. Sebelum dapat menyadari ketiganya perlu adanya proses mengamati, mengecek, atau memperhatikan. Dalam konteks Islam, penulis berijtihad proses mengamati juga berarti “membaca” atau Iqra.

Iqra atau membaca gerak gerik hati tidak dapat dilakukan secara tergesa-gesa. Perlu adanya jeda atau hening bahkan kontemplasi termasuk bertanya. Lalu menyelam ke dalam samudera terdalam dari jiwa.

Sesuai potensi dasar manusia, yaitu hanif atau berada di jalan yang lurus dan jalan kebaikan, maka sesungguhnya manusia dapat selalu on the track jika saja ia senantiasa mengamati dirinya, menyadari siapa dirinya termasuk aktivitas yang ia lakukan dan konsekuensinya. Maka mindfulness sangat berperan penting dalam proses pengambilan keputusan yang terjadi di korteks prefrontal.

Peningkatan aktivitas pada korteks prefrontal dapat berpengaruh pada mindset dan sikap seseorang. Pikiran yang jernih menghasilkan tindakan yang tertata dan tidak terburu-buru. Keputusan diambil secara bijaksana. Dan tidak mudah melakukan penilaian atau judgment yang negatif.

Lebih lanjut lagi, mindfulness dalam sudut pandang Islam berarti menjadikan Allah Swt. sebagai Yang Selalu Diingat kapanpun dimanapun dan dalam posisi berdiri, duduk, maupun berbaring. Living in the present moment berorientasi pada mengingat Allah (dzikrullah). Dengan mengingat Allah, niscaya pikiran pun tidak mengembara ke masa lalu yang kadang masih meninggalkan kesedihan dan kekecewaan atau ke masa depan yang berujung cemas dan takut.

"Sesungguhnya orang-orang yang berkata, 'Tuhan kami adalah Allah' kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat-malaikat akan turun kepada mereka (dengan berkata), 'Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu bersedih hati; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan kepadamu'." (QS. Fussilat: 30)

“Mereka yang meneguhkan pendirian mereka” adalah orang-orang yang senantiasa berada pada jalan yang lurus dan ikhlas beribadah karena Allah semata. Maka Iqra (membaca niat) sebelum melakukan aktivitas tertentu sangatlah penting. Apakah aktivitas yang dilakukan diniatkan untuk mendapatkan ridha Allah atau yang lainnya.

Implikasi dari ini semua tiada lain yaitu agar kita menjadi orang-orang yang berserah diri, menyadari dan menerima sepenuhnya diri kita adalah seorang hamba serta Allah Swt. adalah Tuhan yang wajib kita taati perintah-Nya, menerima kehendak-Nya apapun yang terjadi, dan kita dekati. Pada titik kesadan inilah manusia menjadi bukan siapa-siapa dan tidak ingin apa-apa, karena manusia telah melepas segala atribut dunianya, lalu bergerak menuju Yang Dirindukannya.




Maka dunia sesungguhnya merupakan perjalanan menuju surga. Janganlah takut dan bersedih hati. Bergembiralah.

Cek pelatihan mindfulness terbaru di sini >>>

Referensi:
Mushaf Al-Azhar Al Qur’an dan Terjemah.

Siegel, D. J. (2007). The mindful brain: Reflection and attunement in the cultivation of well-being. New York: WW Norton & Company.

Sumber gambar:
https://www.aliexpress.com/price/smiley-face-ball_price.html