Tampilkan postingan dengan label Patient. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Patient. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 11 Juli 2020

Metafora: 11 Lampu Merah




Oleh Duddy Fachrudin 

Jogja kota yang unik. Makanannya khas, seperti gudeg, krecek, nasi kucing, bakmi, sate klatak, tahu guling, getuk, hingga tiwul. Bahkan di daerah Gunung Kidul ada yang namanya walang (belalang) goreng. Minumannya? Jangan ditanya, ada dawet, kopi jos, wedang ronde sampai wedang uwuh. Dijamin kuliner khas Jogja ini membuat kita ketagihan untuk terus makan dan makan.

Selain kulinernya, Jogja terkenal dengan budayanya, tempat wisatanya, pantainya, goanya, psikolog puskesmasnya, dan lalu lintasnya serta sarana transportasinya. Khusus yang terakhir ini, memang baru saya jumpai kalau di Jogja angkutan transportasi umumnya hanya ada bus kota, transjogja, ojeg, becak, dan taksi. Satu yang tidak ada yaitu angkutan kota (angkot). Karena angkot tidak ada, maka banyak penduduk Jogja yang memakai sepeda motor sebagai kendaraan sehari-harinya. Jika tidak ada motor, maka akan sulit sekali ke mana-mana.

Selama kuliah di Magister Psikologi Profesi Universitas Gadjah Mada (UGM) saya menggunakan motor untuk pulang pergi rumah-kampus UGM. Saya tinggal di Imogiri dekat makam raja-raja. Selama perjalanan Imogiri-UGM, saya menghitung ada sekitar 11 lampu merah yang saya temui. Jika di setiap lampu merah saya berhenti 40 detik, maka total saya kehilangan 440 detik atau 7 menit. Imogiri-UGM sendiri dalam waktu normal menempuh waktu 40 menit. Ditambah perkiraan kehilangan 7 menit, saya harus memiliki waktu minimal 47 menit untuk bisa sampai di UGM dari tempat tinggal saya.

Jam kuliah paling pagi adalah pukul 7.30, maka saya harus sudah berangkat maksimal pukul 6.43. Pada awalnya saya cemas, kalau-kalau saya terlambat, oleh karena itu saya biasa berangkat pukul 6.30, apalagi sepanjang jalan Imogiri penuh dengan pengendara sepeda motor yang menuju Jogja. Atau saya dapat berangkat pukul 6.43, melajukan motor dengan kecepatan 60-70 km/jam dan mengusahakan tidak terkena lampu merah.

Pada awalnya saya sering tergesa-gesa dan memacu kendaran dengan kecepatan tinggi saat berangkat kuliah. Tujuan saya hanya satu yaitu datang tepat waktu atau sebelum pembelajaran dimulai. Ketika saya harus berhenti karena lampu merah sering kali saya kesal. Pikiran pun mengembara dan menerka-nerka ke masa depan, “Jangan-jangan saya telat!”.

Beberapa waktu kemudian saya menyadari ternyata pikiran dan perasaan saya tidak nyaman.

Lalu, saya mengijinkan diri saya lebih santai ketika harus berhenti di lampu merah. Kenapa? 

Bukankah saat saya berhenti di lampu merah saya bisa menarik nafas sejenak sebelum memacu kendaraan lagi? Ketika saya berhenti di lampu merah, itu artinya saya bisa melihat ke sekeliling dan menemukan insight untuk ide-ide atau tulisan saya berikutnya. 

Atau saat saya berhenti di lampu merah, hati ini berkata, “Hidup ini kadang memang butuh berhenti sejenak. Berpikir sesaat. Atau merenungkan apa yang telah dilakukan oleh diri ini.”

Dan gara-gara daya berhenti di lampu merah, saya jadi punya ide membuat tulisan ini.

Sumber gambar:

Rabu, 25 September 2019

Mindful Diet: Cooking with Awareness


Oleh Duddy Fachrudin

Berlatih mindfulness bukan berarti kita harus DuDi (Duduk Diam) sepanjang hari, lalu mengamati napas. Banyak cara lainnya yang merupakan aktivitas harian (mindfulness in daily activity). Misalnya mencuci piring, menyapu lantai, berjalan kaki, mandi, makan dan minum.

Dan ini adalah salah satu latihan mindfulness yang asyik: memasak bubur dengan penuh kesadaran (cooking with awareness). Lalu bagaimana langkah-langkahnya? Mari kita memasak bubur untuk 2 porsi.

1. Niatkan diri untuk memasak bubur. Proses membuat bubur sama seperti menjalani kuliah di Fakultas Kedokteran yang membutuhkan kesabaran. Bagi yang tidak sabar maka hasilnya tentu akan berbeda.

2. Siapkan alat-alat, yaitu baskom, kompor, panci kecil, spatula kayu, dan gelas 200 ml.

3. Siapkan bahan-bahan dan letakkan pada tempatnya: beras 150 ml, air secukupnya (3/4 volume panci), garam, penyedap rasa, merica bubuk, dan daun salam 1 lembar. Agar lebih nikmat lagi siapkan air kaldu 50-75 ml, kebetulan yang dipakai dalam membuat bubur kali ini kaldu kambing.

4. Mari memasak dengan mindful. Cuci beras di baskom, lalu tuangkan ke panci. Air cucian beras jangan dibuang begitu saja, karena sebenarnya bagus untuk tanaman. Ok lanjut, kita isi panci dengan air hingga mencapai 3/4 volume panci. Masukkan daun salam. Nyalakan kompor dengan api kecil. Taruh panci di atas kompor dan aduk-aduk beras dengan gerakan memutar secara mindful selama 20 menit.

5. Setelah 20 menit, tuangkan garam, penyedap rasa, dan merica secukupnya. Aduk-aduk kembali lalu tuangkan air kaldu. Terus mengaduk dengan rasa (meditatif) selama 10 menit. Sambil mengaduk beras yang kini sudah terlihat menjadi bubur, kita boleh memberikan perhatian penuh, menghayati sekaligus mensyukuri proses membuat bubur ini.

6. Bubur pun jadi, siap dihidangkan, dan dimakan dengan penuh suka cita. Tambahkan toping, seperti suir ayam, atau irisan telor dadar dan usus tepung goreng seperti pada bubur yang kali ini dibuat.

7. Makanlah secara mindful, maka hidupmu terasa lebih bahagia.

Sumber gambar:

Jumat, 30 Maret 2018

Aku Bertanya (Sebuah Puisi)



Oleh Duddy Fachrudin

Aku bertanya:
apakah ada cinta
di dunia yang gegap gempita
yang sibuk dalam menampilkan rupa

Aku bertanya:
dimanakah sesungguhnya rumah
yang tak ada sedikitpun derita
yang menyinarkan cahaya

Dia menjawab:
cinta itu ada
bahkan melimpah ruah
saat hati berada dalam ruang titik atau koma

Dia menjawab:
duduklah di batu-batu cadas
sejenak merasa dan mengamati pohon meranggas
lalu mendaras rindu menyelaras kalbu

Sumber gambar:
http://www.copyright.com/learn/top-10-misconceptions-about-copyright/question-mark/







Rabu, 28 Maret 2018

Sikap Mindfulness: Sabar, Syukur, dan Sejatinya Kehidupan


Oleh Hamzah Abdurahman

Perpisahan kedua orang tua membuat saya memendam rasa. Kesal dan sedih bergantian mengisi ruang hati. Namun, apa yang saya pendam tak pernah sedikitpun tercurahkan. Apa daya, Freud memang benar, memendam rasa sama saja membiarkan emosi saya meledak. Dan pada tahun 2017, akun sosial media saya menjadi saksi bahwa diri berada dalam puncak emosi. Mereka saya hentikan. Pada tahun itu pula, impian, ambisi, dan cita-cita saya meredup. Saya menjadi sering mengalami stres yang biasanya ditandai dengan rasa sakit di tengkuk kepala, tidur tidak tenang, dan sering bermimpi aneh.

Namun ternyata, seperti kata pepatah, “Saat kematian, disitulah ada kehidupan baru.” Benar rupanya, ketika saya sedang terpuruk dan kondisi kesehatan menurun, justru saya dipertemukan dengan orang-orang yang inspiratif. Dr. Tauhid Nur Azhar dan Dr. Yono Budhiono merupakan dua diantaranya.

Berawal dengan seringnya saya mengikuti sesi kedua sosok inspiratif tersebut di kelas Masa Persiapan Pensiun (MPP), kunci kesehatan sesungguhnya terletak pada kemampuan kita dalam mengelola stres melalui sabar dan syukur. Begitu Dr. Tauhid memaparkan kepada para peserta dan saya sebagai panitia.

Kemudian pada sesi Dr. Yono, saya mengukur tingkat stres saya. Hasilnya saya tergolong individu yang mudah sekali stres. Dr. Yono, menjelaskan saya termasuk tipe A+, yaitu individu yang ambisius, gigih, tekun, namun rentan stres. Beliau kemudian menyarankan saya untuk mengatur ulang perjalanan hidup saya dalam mencapai impian-impian saya serta meminta saya untuk tidak memendam emosi.

Pada titik ini, saya teringkat akan orang paling mulia yang pernah hidup di dunia ini, yaitu Muhammad Saw. Beliau selalu sehat, bahkan diriwayatkan hanya 2 kali mengalami sakit selama hidupnya. Apa rahasia beliau? Padahal beliau memiliki target, impian, dan berbagai aktivitas yang sangat banyak. Selain itu beliau mengalami berbagai penolakan saat menyampaikan kebenaran.

Thoif salah satunya. Sebuah daerah dimana Sang Nabi disiksa dan dilempari batu. Namun segala rintangan tak membuatnya menyerah untuk terus menyampaikan misinya. Dan tidak ditemukan dalam satu riwayatpun jika Rasulullah pernah mengalami stres.

Artinya, kondisi psikologis beliau tidak seperti kebanyakan orang yang ketika mendapat penolakan langsung turun semangatnya. Kala rintangan menghadang, orang nomor satu menurut Michael Hart tersebut memanjatkan doa seraya memasrahkan diri kepada Tuhan.

Ketenangan. Hal ini yang sedang saya upayakan untuk senantiasa hadir.

Maka, ketika gundah gulana melanda, sabar dan syukur adalah obatnya. Dan ketika penolakan, cemoohan, dan rintangan menghadang, kita terus melangkah untuk meraih cita. Hingga akhirnya kita menerima apapun yang Allah Swt. berikan dengan penuh cinta dan hati yang lapang. Inilah sejatinya kehidupan.

Sumber gambar:
http://ulamasedunia.org/2016/06/28/ketenangan-adalah-anugerah-allah-buat-golongan-beriman/