Kamis, 22 Maret 2018

Authentic Problem Based Learning (Cinta Itu Ada Di Sekelilingmu) (Bagian 2)



Oleh Tauhid Nur Azhar

Tulisan sebelumnya dapat dibaca di sini...

Setiba di bagian dalam gerbong suasana semakin hiruk pikuk, setiap orang sibuk dengan urusannya masing-masing. Setelah mendapat tempat berdiri yang cukup nyaman mulailah pandangan ditebarkan ke sekeliling gerbong.

Subhanallah, alangkah beragamnya para penumpang KRD ini. Ada seorang ibu yang sebelah matanya ditutup perban (mungkin pasca menjalani operasi katarak), tak terhitung banyaknya ibu-ibu yang membawa anak kecil (usia balita), demikian pula dengan kakek-kakek dan bapak-bapak yang terlihat keletihan dan terdiam terpekur dalam lamunannya masing-masing.

Salah seorang mahasiswa penulis melaporkan bahwa ada satu keluarga muda yang memanfaatkan perjalanan dengan KRD ini sebagai ajang silaturahmi keluarga yang penuh kehangatan.

Hal yang paling menghebohkan, adalah banyaknya orang yang menjadi kreatif dalam mempertahankan kehidupan (how to survive). Banyak sekali pedagang yang lalu-lalang di dalam kereta dan menawarkan berbagai jenis barang yang, bahkan sama sekali, sering di luar dugaan kita.

Ada pedagang minuman, buah mangga, camilan, ali agrem atau donat Sunda, kaitan penggantung gorden, lem cucurut (kecoa), lakban, hekter, klip, baterai jam tangan, sampai voucher isi ulang dan perdana juga ada. Lalu, dapat dijumpai pula serombongan pengamen, pengamen tuna netra, dan juga pengamen karaoke dangdut. Semua berjuang dan bekerja keras.

Malah ada satu peristiwa yang sangat menarik, saat penjual ali agrem yang dagangannya masih sangat banyak dan kurang laku, dihampiri oleh seorang pedagang koran yang dagangannya tampak laris. Pedagang koran ini minta dibungkuskan beberapa ali agrem dan membayarnya kontan. Tampaknya solidaritas semacam ini, telah berkembang menjadi budaya yang sangat kokoh di kalangan kaum yang disebut "terpinggir" ini.

Setiap butir peluh yang meleleh dan setiap aroma asam yang menguar dari tubuh-tubuh mereka yang penat seolah menjadi zat kimia pemersatu yang melekatkan hati dan merapatkan jiwa dalam hangatnya kebersamaan. Mereka bahu membahu mengurai simpul-simpul kesulitan hidup yang rumit.

Keempat puluh calon dokter itu tertegun, dalam gerbong yang penuh sesak itu. Mereka membayangkan betapa dengan mudahnya Mycobacterium tuberculose (TBC) berlompatan dari satu saluran napas ke saluran napas yang lain. Jamur kulit bersuka ria menumbuhkan spora-spora dan hyfa-nya di antara kulit-kulit yang bergesekan.

Andai ada virus semacam flu burung, maka satu kereta ini menjadi rumah barunya. Sungguh suatu ironi, di mana kelelahan sendi-sendi lutut dan tulang belakang karena banyak berdiri dan menghirup udara polusi yang kaya radikal bebas dan miskin oksigen akan menuai badai rematik di usia senja.

Bersambung ke sini...

Sumber gambar:
https://www.facebook.com/356259904513318/photos/a.358326877639954.1073741829.356259904513318/377062262433082/?type=3&theater

Share:

0 komentar:

Posting Komentar