Kamis, 22 Maret 2018

Authentic Problem Based Learning (Cinta Itu Ada Di Sekelilingmu) (Bagian 3, habis)



Oleh Tauhid Nur Azhar

Tulisan sebelumnya dapat dibaca di sini...

Salah seorang mahasiswa penulis termangu saat penulis menanyakan bagaimana sekiranya ada salah seorang penumpang di kereta ini mengalami serangan asma?

Kejutan terindah yang kami alami adalah ketika satu scene film besutan Allah Ta'ala, Sang Sutradara Agung diputarkan di hadapan kami.

Dengan musik latar pengamen buta muda belia menyanyikan lagu Ungu dengan suara sengau mendayu, "Allahu Akbar … Allah Mahabesar …." Kemudian seorang nenek renta memunguti botol dan gelas-gelas plastik air kemasan dan memasukkannya ke dalam kantong. Ia akan mendapatkan seribu-dua ribu rupiah dari upayanya di kereta itu, tetapi ia akan mendapatkan miliaran ganjaran kelak di surga sana.

Betapa tidak, perbuatannya itu menyelamatkan kita dari kerusakan lingkungan dan merosotnya akhlak untuk bekerja keras dan mensyukuri nikmat hidup yang telah diberikan.

Nenek itu adalah "orang suci" yang sudah sewajarnya dijadikan teladan bagi keempat puluh calon dokter yang ikut dalam perjalanan kali ini.

Bandung dan kantong-kantong permukimannya mungkin belum ideal bagi sebagian besar warganya, tetapi dengan kemampuan mensyukuri nikmat dan memanifestasikan doa dalam bentuk aktif berupa upaya maksimal untuk mengoptimalkan kondisi yang diterima saat ini, insya Allah para "stake holder" KRD ini juga akan menumpang kereta yang sama ke surga.

Dalam pengapnya himpitan kehidupan dan sistem yang mungkin membonsaikan cinta, justru cinta dan bahagia tumbuh dengan suburnya. Cinta itu bagaikan lumut, ia menghijau indah di permukaan sebuah batu yang kasar, keras, dan kelabu. Dengan cinta, batu itu jadi berwarna, indah dalam tegarnya, dan tegar dalam indahnya.

Terkadang, banyak hal yang luput kita rasakan dan gagal kita orbitkan menjadi sebuah kebahagiaan. Akan tetapi, bagi banyak orang lain yang bernapas dalam pengapnya himpitan kehidupan, kehadiran para gadis cantik calon dokter pada suatu siang di sebuah gerbong yang panas membekap adalah kebahagiaan.

Sang nenek pengumpul botol air kemasan sepanjang hidupnya belum pernah melihat mojang-mojang cantik kecuali dalam sinetron di TV tetangga, siang itu dia merasa bahagia. Satu hari indah telah dihadirkannya.

Dihadirkannya? Ya, karena kebahagiaan, keindahan, dan cinta sesungguhnya kitalah yang diberi hak dan kewajiban untuk menghadirkannya dalam kehidupan. Jangan salahkan siapa-siapa jika cinta dan bahagia tak kunjung datang menyapa. Mungkin kita terlalu "jutek" baginya, sehingga dia kehilangan keberanian untuk menghampiri kita.

Jika kita mampu mendapat manisan dalam hidup, mengapa kita terus-menerus menelan "asam cuka?" Jangan "asam" pada kehidupan karena dia akan ikut terfermentasi pula, akibatnya kita seolah akan tinggal dalam sebuah toples yang berisi aneka buah-buahan, tapi sayangnya masam semua!

Sumber gambar:
https://www.facebook.com/356259904513318/photos/a.358326877639954.1073741829.356259904513318/377062262433082/?type=3&theater

Share:

0 komentar:

Posting Komentar