Tampilkan postingan dengan label Gratitude. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Gratitude. Tampilkan semua postingan

Selasa, 12 April 2022

Mindful Journey: Ketika Anak Jaksel Naik Gunung (Bagian 2, Habis)



Oleh Tauhid Nur Azhar 

Aroma adalah suatu anugerah yang sungguh proses menghasilkan sensasinya tidak mudah. Sebaliknya dalam mekanismenya pun tersimpan begitu banyak hikmah dan makna bagi kita yang mau belajar untuk mengurai tanda cinta yang telah diberikan oleh Sang Maha Pencipta.

Menghidu kerap disama artikan dengan "mencium". Dalam pendekatan epistemologis bahasa, mencium itu berkaitan dengan fungsi bibir, sedangkan fungsi hidung adalah jalan nafas dan juga alat penghidu.

Untuk dapat menghidu, hidung secara makro dan mikro anatomi diperlengkapi dengan reseptor olfaksi (reseptor penghidu) yang akan menangkap molekul bau (odor) yang biasanya berupa volatile organic compound (VOC) yang bersifat aerosolik.

Reseptor olfaksi jamak nya berwujud dalam bentuk sel-sel khusus, berupa sel neuron bersilia yang terletak di dalam epitel olfaktorius pada rongga hidung.

Kumpulan dari akson sel reseptor olfaksi membentuk berkas nervus olfaktorius yang berjalan memasuki kranium atau rongga tengkorak melalui foramina lamina kribiformis pada tulang etmoidalis.

Nervus Olfaktorius kemudian bermuara di bulbus Olfaktorius yang lokasi anatomisnya berada di area inferior lobus Frontalis.

Pengolahan data olfaksi menjadi informasi sensasi penghiduan dimulai di bulbus Olfaktorius yang terdiri dari sel-sel interneuron dan sel-sel mitral besar.

Selanjutnya akson atau neurit dari sel-sel mitral keluar dari bulbus Olfaktorius dan membentuk traktus Olfaktorius.

Traktus Olfaktorius melewati daerah posterior basalis lobus Frontalis dan di dekat kiasma Optikum, sebagian serabut traktus Olfaktorius berbelok ke arah lateral.

Kemudian serabut traktis Olfaktorius membentuk stria Olfaktorius lateralis, yang akan menuju fissura lateralis.

Di fissura lateralis, traktus Olfaktorius menyilang dan masuk ke area lobus Temporalis, serta berakhir di korteks Olfaktorius primer.

Korteksi Olfaktorius primer sendiri terletak di unkus yang terdapat di bagian inferomedial lobus Temporalis dekat dengan Amigdala. Sementara struktur terkait fungsi olfaksi atau penghiduan lainnya adalah korteks asosiasi Olfaktorius yang terdapat di bagian anterior girus parahipokampalis (Entorhinal Cortex). Korteks primer Olfaktorius dan korteks asosiasi Olfaktorius ini dikenal sebagai korteks Piriformis.

Uniknya nervus Olfaktorius dan traktus Olfaktorius ini tidak melewati "stasiun relay" Thalamus. Maka hubungan dan fungsinya pun menjadi khusus. Aroma menjadi sensasi khusus yang punya diskresi istimewa untuk langsung mengguncang memori di hipokampus.

Saat ini diketahui bahwa hidung manusia sebagai organ terluar dari sistem penghiduan, memiliki sekitar 1000 jenis reseptor odor dengan sekitar 5 juta sel reseptor Olfaksinya.

Setiap reseptor memiliki rentang kepekaan terhadap suatu spektrum bau saja. Maka molekul odor saat memasuki rongga hidung akan "ditangkap" komponennya oleh berbagai jenis reseptor agar dapat diteruskan menjadi sinyal biolistrik melalui nervus Olfaktorius ke korteks primer dan asosiasi Olfaksi di otak.

Di pusat asosiasi Olfaktorius itulah berbagai aroma diidentifikasi dan diverifikasi serta diklasifikasi, juga diasosiasikan dan dikorelasikan dengan memori yang didapatkan dari pengalaman. Terciptalah basis data aroma, hasil pembelajaran yang dilakukan oleh sel-sel penghiduan.

Karena mekanisme itulah maka kita mampu "mengendus" nikmatnya soto dan kopi serta tentu saja petrichor dari aromanya yang menguap dan menguar di udara sekitar.

Ini belum bahas soal indahnya mekanisme penglihatan, pendengaran, rasa, raba, panas, dingin, juga kesadaran akan ruang dan refleks-refleksnya loh.

Honestly ini adalah part of miracle yang seharusnya membuat kita feel blessing dan bisa deep thinking sih. Jarang loh yang mau deep talk gini, normally orang tuh mau nya bahas topik-topik easy going aja, shallow, which is ya jadinya ga dapet apa-apa juga, wasting time. Udah ketebak end up nya, basicly yah cuman ngomongin soal temen yang flexing, temen yang ghosting, atau ketemu orang baru yang udah langsung gaslighting, cemen. Because why obrolan di circle kayak gini malah jadi nambahin mental issue aja. 

The point is, hidup itu banyak problemnya, tapi juga banyak berkahnya, maka perbanyaklah bersyukur dan kurangi keluh kesah berkepanjangan yang nggak jelas. Somehow hidup ini sementara dan kita pasti akan kembali pada-Nya, dan jangan sampai di penghujung perjalanan kita merasa hidup kita itu penuh derita dan sia-sia.

Banyak bersyukur ya Guys...

La in syakartum laazidannakum...

<<< Halaman Sebelumnya

Senin, 17 Januari 2022

Metafora Sikap Mindfulness: Non-Striving



Oleh Duddy Fachrudin 

Seorang nelayan sedang duduk santai di pinggir pantai dengan berbaring di dekat perahu miliknya. Tiba-tiba datanglah seorang pengusaha mendekati nelayan tersebut.

“Kenapa kau tidak pergi menangkap ikan?” tanya pengusaha tersebut kepada si nelayan yang sedang duduk.

“Karena aku sudah menangkap ikan, yang hasilnya dapat aku jual menghasilkan uang yang bisa mencukupi kebutuhanku dan keluargaku hari ini dan tiga hari berikutnya,” jawab si nelayan.

Lalu pengusaha berkata, “Mengapa kau tidak menangkap ikan yang lebih banyak lagi?” 

Dengan santai si nelayan menjawab, "Untuk apa?"

Pengusaha berkata lagi, “Kau akan mendapat uang yang lebih banyak, dan kau bisa menggunakan uangmu untuk membeli jala baru, atau kau bisa memperbaiki perahu mu agar kau bisa menangkap ikan lebih banyak lagi.”

“Lalu?” tanya nelayan.

“Uangmu akan semakin banyak dan kau bisa pergunakan untuk keperluan lain yang lebih besar, seperti membeli perahu baru agar kau bisa menjadi nelayan sukses,” ujar si pengusaha.

“Lalu, selanjutnya aku harus berbuat apa?” tanya si nelayan.

Pengusaha itu meyakinkan nelayan, “Dengan begitu kau bisa beristirahat dengan tenang menikmati hasil tangkapanmu.”

Si nelayan memandang pengusaha dengan tenang lalu berkata, “Menurutmu aku sekarang sedang apa? Bukankah aku sedang beristirahat?”

Referensi:

Sumber gambar:
https://www.instagram.com/duddyfahri/

Senin, 09 Maret 2020

Amartya... Percik Sadar di Pusar Syahwat yang Berkelindan dengan Hasrat (Bagian 1)



Oleh Tauhid Nur Azhar

Mimpi apa saya? Di malam yang mendadak basah ini saya juga mendadak gelisah, resah, dan gundah...

Apakah ini nyata? Demikian sebaris tanya bak running text terus saja berulang di dalam benak saya seolah menjadi cameo pengisi ruang. 

Ya undangan kehormatan Dhian, seorang akademisi ISI Surakarta, membuat saya terdampar dan terkapar lemas di pantai-pantai sadar tak berbalut lagi selembar nalar. 

Sungguh sajian malam ini kurang ajar... Asu, kata Mas Butet, yang semalam duduk tepat di depan saya. 

Diawali terbukanya gerbang mistika yang penuh dengan mustika lewat mantra musika Kua Etnika yang menggetarkan sukma, dimulailah sebuah perjalanan spiritual menuju gua garba cinta dan asal muasal manusia. 

Mbak Silir dengan intonasi yang bisa semilir sekaligus berhembus kencang menghilir, membuai gendang telinga untuk larut dalam rima demi rima yang dibangkitkan dari pusara cerita oleh sang penyulap, kata Landung Simatupang anak Batak asli Jogja. 

Marinta Si Anak Matahari yang mewarisi radiasi hasil fusi saripati Tanah Karo dengan puser bumi tanah Jawa, Solo, membungkus kasunyatan dalam aliran gairah syahwat nalar nan gawat sampai tak terasa ada yang mengerut dalam cawat. Sirna lah nafsu yang berbaju hasrat. Lahirlah sejuta tanda tanya nan menggoda, meski sebagian besarnya tersandera retorika dan akan larut dalam pekatnya haeno tiga dunia nyata. 

Kasunyatan...yang nyata sesungguhnya yang maya. Yang lapar sesungguhnya indera. Yang kuasa sesungguhnya raga yang menjadi daya wadag adalah boga. Dan hidup adalah maha daya yang tak terperdaya oleh cinta maya. 

Adalah air, adalah rasa, adalah eter yang mengisi setiap jengkal ruang semesta. Persetan dengan Schopenhauer dengan majas idea nya. Persetan dengan Heidegger yang terlalu centil dengan ajaran Husserl tentang fenomena...

Belajarlah mencari apa yang terlukis dan tertulis di jiwa. Dan Jawa adalah Jiwa yang bermata, Mata Jiwa. Mata yang menembus sifat fana dan berkelindan dengan para malaikat yang baka. 

Wujud, qidam, baqa... eksistensi materi adalah bagian dari konstruksi hati yang mencari. Yang dicari tak pernah pergi, tapi kita mencintai proses mencari. Karena esensi mencari adalah mengenali yang hakiki. Mengagumi dan mengamati dari setiap sudut persepsi.

Halaman Selanjutnya >>>

Sumber gambar:
https://funnyjunk.com/channel/wallpapers/A+collision+of+dark+and+light/pLstDcY/

Rabu, 13 Maret 2019

Terminal 4 Changi, Sebuah Pelabuhan Pelepasan Hati


Oleh Tauhid Nur Azhar

Tak saya duga sebelumnya sebuah embarkasi paling canggih di dunia yang dilengkapi dengan orkestrasi teknologi terkini yang serba terotomasi ternyata menyimpan segenggam kehangatan hati.

Betapa tidak terpukau, bahkan terperangahnya kita menyaksikan serangkaian "atraksi" teknologi yang dimulai dari garda depan layanan penerbangan, area check in. Semua dikerjakan mandiri dengan bantuan teknologi yang telah mumpuni dalam pengolahan citra dan pengenalan pola (image processing & pattern recognition).

Bahkan konsep ini telah berhasil diterapkan di counter imigrasi digital dan titik pemeriksaan keamanan (security check point). Koper dan tas dengan benda mencurigakan akan dipisahkan ke jalur khusus dan mendapat penanganan yang terukur sesuai dengan kategori potensi bahaya yang dapat ditimbulkan.

Permutasi penumpang menjadi sangat efektif, waktu tunggu yang singkat membuat kondisi awal penerbangan nyaman dan menyenangkan.

Selepas prosedur rutin di setiap titik embarkasi, kita akan memasuki area layanan sebelum gerbang keberangkatan yang didesain lapang dan memberi kesan menenangkan serta menyenangkan. Atraksi seni gerak perpetual dengan pilihan musik mesmerizing yang mendamaikan serta menentramkan jiwa-jiwa kembara yang kadang gelisah dan sedih karena perpisahan dipadu padankan dengan sangat sempurna.

Pilihan desain sofa dan kursi tunggu di area layanan dan bisnis sungguh unik dan menarik. Bentuk organik asimetris seolah tak beraturan menjadi pilihan. Tak dinyana, desain tersebut ergonomis dan amat nyaman saat digunakan.

Tapi sungguh yang di luar dugaan adalah konstruksi hiper realitas yang dibangun melalui pendekatan multimedia yang lebih advanced dibanding sekedar citra augmented reality.

Sebuah layar LED raksasa tersembunyi diantara desain toko peranakan yang salah satunya cukup membanggakan, karena terselip nama Bengawan Solo di sana, kedai kopi Indonesia, di waktu tertentu akan menampilkan sebuah film pendek nirkata, Peranakan Love Story.

Film ini ciamik karena begitu interaktifnya "melompat-lompat", "out of the frame" karena bisa berpindah dari satu balkon toko ke tingkat lainnya, dan terjalinlah romansa antar tetangga yang melahirkan dan menghadirkan lagi Bunga Sayang dari komposer keren Dick Lee. Sebuah lagu dengan lirik dan melodi yang sangat kuat dan pasti melahirkan rindu dan genangan airmata bagi siapa saja yang menyimaknya.

Tetiba ada rasa rindu, kangen, yang menyeruak dan membuat kita sesaat terpaku dan terhenyak. Gesekan biola yang ditimpali bersahutan denting piano dan vokal mendayu ala Melayu pasti membuat kita termangu. Seolah ada seberkas kenangan yang merusak hipokampus dan memaksanya membuka kembali lembar-lembar album lama yang selama ini tersimpan berdebu di sudut sana.

Ini bukan semata soal kinerja Broca dan Broadman dalam menafsir dan memproduksi bahasa, tanpa lirik pun lagi ini mampu membuat kita afasia, membisu kehilangan kata. Fragmen cinta di layar multimedia membawa kita dalam pajanan cerita kita sendiri  yang pasti pernah mengecap asmara.

Ini mengguncang banyak area, membakar kawat-kawat caraka yang melintasi nukleus geniculatum, dan kedua kolikulus superior dan inferior untuk pada akhirnya sampai dan menggedor hipotalamus untuk hadirkan gelenyar hormonal yang akan membuat tubuh kita sejenak lumpuh dalam badai rasa rindu yang kembali hadirkan mimpi-mimpi berserotonin yang diikuti tumbuhnya harap berkelindan dopamin.

Tak lama setelah melangkah memasuki garbarata di gerbang pelepasan nomor 16, seolah hati berasa terpisah dan tertinggal bersama gaung suara Dick Lee yang seolah terus bernaung bersama kenangan tentang sebuah senja di tepi desa dengan berpayung langit lembayung... memang benar kiranya, selalu ada pohon di setiap desa yang benihnya terjatuh dari surga.

Dan pohon itu terus bertumbuh dengan pupuk berupa cerita DNA cinta juga mungkin disirami air mata... tapi bunganya hanya satu jua, bunga sayang namanya...

Siapapun yang mendesain Terminal 4 Changi, anda dengan kurang ajarnya telah berhasil merampok sebagian ruang hati saya dan mengisinya dengan rindu... yang anehnya tidak masuk dengan dipaksa melainkan sukarela. Terminal 4 adalah contoh nyata bagi kita bahwa tak semua teknologi akan meninggalkan hati. Ada banyak teknologi yang akan membuat kita menjadi jauh lebih manusiawi.

Sumber gambar: 
https://www.instagram.com/tauhidnurazhar/?hl=id

Minggu, 04 November 2018

[Mindful Journey] Menyusuri Salabintana Hingga Puncak Gede (Bagian 2)


Oleh Duddy Fachrudin

Setelah mengikuti materi dan simulasi dasar, saya yang masih tergolong pemula dalam mendaki gunung sadar bahwa mendaki gunung bukan sekedar memakai kaos oblong, beralaskan sandal jepit dan bermodal beberapa buah roti dan sebotol air mineral, atau 20 ribu rupiah. Bahaya subjektif dan objektif menanti kita para pendaki dan ketika hal itu datang kita harus sudah siap mengatasinya.

Bahkan, kesuksesan dalam pendakian bukan hanya terletak pada persiapan dan perbekalan yang cukup, tapi juga memiliki niat yang baik serta senantiasa memelihara perasaan positif. Pesan tersebut diucapkan Kepala Desa Linggarjati dan pemandu Gunung Ciremai kepada Clement Steve dan dua temannya yang hendak mendaki Ciremai pada pertengahan tahun 1974[1].

Adzan Menggema di Surya Kencana
Rabu sore, kami mulai mengaplikasikan materi yang didapat ke dalam kondisi sesungguhnya. Walau masih di Salabintana, kami membuat bivak dengan menggunakan ponco dan membuat makanan sendiri. Sebelumnya kami bermalam di barak dan makan makanan yang disediakan oleh Wanadri. Karena saya tidak terlalu mahir dalam urusan bivak, maka sayalah yang membuat makanan. Selanjutnya, saya dan 4 teman sekelompok menyantap nasi, mie dan abon dengan nikmatnya.

Esok paginya kami berangkat mendaki Gunung Gede (2958 mdpl) melalui jalur Salabintana yang terkenal lebih rumit dan jarang dilalui dibanding jalur-jalur lainnya, seperti Cibodas dan Gn. Putri. Di awal pendakian kami langsung menghadapi punggungan yang cukup curam dengan diapit 2 lembahan yang mengalir sungai dibawahnya.

Selama melalui trail (jalan setapak), banyak dijumpai pohon tumbang yang harus kami panjat atau merangkak dibawahnya. Di ketinggian 2100 mdpl kami beristirahat dan melakukan evaluasi perjalanan pada malam harinya.

Pendakian dilanjutkan dengan mencapai target Alun-alun Surya Kencana (2800 mdpl) untuk melaksanakan shalat Jum’at. Dalam perjalanan, kami tidak hanya sekedar melangkahkan kaki dan membawa ransel yang berat, tapi juga belajar menentukan posisi (resection) menggunakan peta topografi, kompas bidik, penggaris dan busur atau protactor. Hal ini penting karena banyak juga para pendaki yang tersesat dan tidak tahu posisinya dimana, karena mereka tidak membawa peralatan navigasi.

Pukul 12.30 kami sampai di Surya Kencana. Adzan berkumandang di padang leontopodium alpinum atau yang biasa disebut edelweiss tersebut. Teddy, teman sekelompok saya menjadi khatib dan imam untuk pelaksanaan shalat Jum’at. Pukul 14.30 kami menuju Puncak Gede. Dalam pendakian yang sejengkal lagi, kami harus meninggalkan salah satu peserta wanita yang kelelahan. "Maniikk, ayo kamu bisa!" teriak kami mendahuluinya. Terik matahari menemani nyanyian kami menuju puncak punggungan. Kemudian beberapa orang di depan saya berteriak, "Woii sudah sampai, semangat... semangat...!". Pukul 15.00 kami tiba di Puncak Gede.

Di depan kami terhampar Kawah Ratu dan jika menggeserkan pandangan beberapa senti ke arah kiri terlihat Gunung Pangrango (3019 mdpl). "Wow, ini luar biasaa... ini baru pertama kali!!!" teriak Madewanti yang memecah langit. Sementara yang lain saling ber-tos ria, tertawa dan menyemangati Manik yang masih berjuang menggapai puncak bersama panitia. Akhirnya Manik melengkapi senyum 40 peserta yang lainnya di Puncak Gede.

Selama memandangi keindahan alam dari puncak Gunung Gede ini, terbersit satu tanya pada Sang Maha, "Apakah dengan mencapai puncak suatu gunung, tujuan pendakian ini sudah dikatakan berhasil?"


Referensi:
1. Steve, C. Menyusuri Garis Bumi. Grasindo: Jakarta 2015.

Sumber gambar:
https://zonalibur.com/jalur-pendakian-gunung-gede-pangrango-via-selabintana/

Jumat, 26 Oktober 2018

#TerimaKasihTabloidBola


Oleh Duddy Fachrudin

Kebahagiaan utama anak laki-laki generasi tahun 90'an adalah bisa bermain bebas dan lepas di ruang terbuka, seperti mandi di sungai, menjelajah alas (hutan), mengejar layangan putus, main gundu (kelereng), dan tentu saja tidak ketinggalan untuk bal-balan saban sore di lapangan. Karena hobi saya yang terakhir yang akhirnya kemudian membuat saya setia menonton pertandingan sepakbola di layarkaca.

Seusai Piala Dunia 1994, euforia sepakbola pun dimulai. Nama-nama seperti Roberto Baggio, Paolo Maldini, duet maut Romario dan Bebeto, Gabriel Batistuta, George Weah, dan Alan Shearer lebih saya hafal dibanding nama-nama pahlawan nasional.

Liga Italia menjadi tontonan wajib setiap minggu dan lebih utama dibanding melihat Yoko Si Pendekar Rajawali dan Ksatria Baja Hitam serta Power Rangers. Dan bacaan wajib seorang anak SD seperti saya, tiada lain tiada bukan, yaitu Tabloid Bola.

Untungnya bapak saya tahu menahu kebutuhan anaknya dan dengan setianya membawakan Tabloid Bola setiap selasa dan jum'at. Gambar-gambar pemain bola dan juga poster dari Tabloid Bola saya tempel di kamar.

Pada tahun 1999, saya membuat kliping AC Milan, yang saat itu juara Serie A setelah bersaing dengan Lazio hingga pekan terakhir. Sumber kliping sebagian besar dari Tabloid Bola.

Tahun terus melaju, dan muncul tabloid serupa seperti GO dan Soccer, saya masih tetap membaca Tabloid Bola. Ulasannya menarik, tulisannya berbeda, dan membuka jendela wawasan mengenai dunia sepakbola yang lebih luas.

Maka, Tabloid Bola bukan sekedar tempat dan sahabat mendapatkan informasi bola saja, melainkan teman belajar menulis bagi saya, khususnya ketika saya menjadi seorang jurnalis untuk sebuah majalah mahasiswa yang berkantor di Jakarta pada tahun 2007. Kemudian beberapa tulisan di buku "10 Pesan Tersembunyi & 1 Wasiat Rahasia" dan "Hidup Bahagia Mati Lebih Bahagia" merupakan kisah-kisah inspiratif dari dunia sepakbola yang awalnya saya temukan di Tabloid Bola.

Hingga saat ini, tidak ada bacaan olahraga yang seasyik Tabloid Bola. Meski akhirnya mulai 2013, frekuensi dan membaca serta membelinya turun, saya masih menyempatkan membuka halaman-demi halaman Tabloid Bola yang tidak disegel ketika berkunjung ke Gramedia atau Togamas. Dan peradaban digital membuat pembaca Tabloid Bola, beralih ke portal-portal olahraga di detik.com, atau bola.net, panditfootball.com dan tentu bolasport.com (wajah Tabloid Bola online).

Membaca artikel "Edisi Terakhir Tabloid Bola, Terbit Hari Ini" memberikan inspirasi, bahwa suatu produk benar-benar diterima dan membekas di benak kita jika ia dibuat dengan ketulusan, passion, dan totalitas serta ikhlas. Inilah yang tercermin dari karyawan-karyawan Tabloid Bola (lihat video "Terima Kasih Tabloid Bola") yang merasakan sendiri engagement antara dirinya dengan pekerjaannya dan antara dirinya dengan rekan kerja serta lingkungan kerja. Maka apa yang telah Tabloid Bola persembahkan kepada kita selama 34 tahun ini adalah perwujudan syukur setiap individu yang bekerja di Tabloid Bola.

Dan kami beryukur memiliki teman dan sahabat yang tak kunjung lelah memberikan yang terbaik di setiap waktunya. Ah... Generasi-Z merasakan hal ini nggak ya, tapi inilah Generasi Milenial (Gen-Y) bertutur dengan jujur, bahwa Tabloid Bola adalah legend, asyik, dan benar-benar dibuat dengan rasa syukur yang luar biasa.

#TerimaKasihTabloidBola

Sumber gambar:
https://www.bolasport.com/sportbiz/314062-edisi-terakhir-tabloid-bola-terbit-hari-ini

Selasa, 16 Oktober 2018

Cara Agar Uang Membuat Dirimu dan Semesta Lebih Bahagia


Oleh Tauhid Nur Azhar

Zakat, infak, dan sedekah tidak sekadar melipatgandakan rezeki, menyehatkan jiwa, tetapi juga mampu menyehatkan badan dan mempertajam pikiran.

Kini, hal tersebut sudah dapat dibuktikan secara ilmiah oleh para ilmuwan melalui serangkaian penelitian. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Elisabeth Dunn[1], seorang pakar psikologi dari University of British Columbia, Vancouver, Kanada.

Hasil penelitian yang diterbitkan di jurnal Science, volume 319, edisi Maret 2008 tersebut, menyimpulkan bahwa semakin besar uang yang dibelanjakan orang untuk menolong sesama atau dalam rangka memberi hadiah untuk orang lain, akan menjadikan seseorang lebih bahagia dalam hidupnya. 

Itulah mengapa, Elisabeth Dunn memberi judul tulisannya dengan sangat provokatif, yaitu ”Spending Money on Others Promotes Happiness” atau ”Membelanjakan Uang untuk Orang Lain akan Meningkatkan Kebahagiaan”.

Dalam penelitian tersebut, Dunn dan rekannya meneliti 109 orang mahasiswa. Para mahasiswa tersebut dibagi ke dalam dua kelompok besar. Kelompok pertama diberi kebebasan untuk memilih jumlah uang yang ditawarkan, apakah 20 dolar ataukah 5 dolar. 

Hasilnya sudah bisa ditebak, para mahasiswa memilih yang 20 dolar dan mengatakan bahwa mereka lebih bahagia dengan uang 20 dolar ketimbang hanya 5 dolar. Sebuah hasil yang wajar tentunya. Para mahasiswa itu menambahkan pula bahwa mereka akan membelanjakannya untuk diri sendiri ketimbang untuk orang lain. 

Dunn dan timnya kemudian memberi 46 mahasiswa lain amplop berisi uang 5 dolar atau 20 dolar, akan tetapi mereka tidak diberi kebebasan memilih untuk apa uang tersebut akan dibelanjakan. Para peneliti menyuruh mereka membelanjakan uang itu untuk hal-hal tertentu.

Menariknya, mahasiswa yang mengeluarkan uang untuk amal kemanusiaan atau membeli hadiah untuk orang lain ternyata lebih bahagia dibandingkan mereka yang membelanjakan untuk kepentingan pribadi, seperti melunasi rekening atau bersenang-senang. 

Dengan memberi, mereka mendapatkan kebahagiaan dan kepuasan plus yang tidak didapatkan dari sekadar membelanjakan uang untuk kepentingan sendiri.

Fenomena ini tidak hanya berlaku di kalangan mahasiswa saja. Kelompok penelitian Dunn juga melakukan jajak pendapat pada 16 karyawan di sebuah perusahaan di Boston sebelum dan sesudah mereka mendapatkan bonus dengan beragam besaran. 

Dunn dan rekannya pun mengumpulkan data tentang gaji, pengeluaran, dan tingkat kebahagiaan dari 632 orang di seantero Amerika Serikat. Kesimpulannya sungguh menarik. Dalam kedua kelompok orang tersebut, kebahagiaan ternyata ada hubungannya dengan jumlah uang yang dikeluarkan untuk orang lain daripada jumlah absolut bonus atau gaji.

Itulah mengapa, Jonah Lehler[2] dalam bukunya How We Decided (2009) mengatakan bahwa berlaku dermawan alias altruistik alias itu terasa enak. 

Mengapa demikian? Sesungguhnya, Allah Swt. telah merancang otak manusia sedemikian rupa sehingga yang namanya berbagi, memberi, dan bersikap dermawan itu menyenangkan. Dengan kata lain, bersikap baik kepada orang lain itu akan membuat kita merasa lebih aman dan nyaman daripada kita berlaku kikir.

Referensi:
1. Dunn, EW., Aknin, LB., & Norton, MI. Spending money on others promotes happiness. Science 2008; 319: 1687-1688.
2. Lehrer, J. How We Decide. New York: Houghton Mifflin Harcourt 2009.

Sumber gambar:
https://givingcompass.org/article/how-to-give-money-and-get-happiness-more-easily/

Rabu, 10 Oktober 2018

Bahagia itu Luka


Oleh Duddy Fachrudin

Masih dalam rangka hari Kesehatan Jiwa Sedunia, diskusi orang-orang di sosial media tidak terlepas dari ranah ilmu psikologi. Sementara yang lain bertukar kata, saya memilih mendengarkan lagu lalu tertidur pulas sebelum jarum jam menunjukkan pukul 10 malam. Bahagia.

Kata terakhir itu yang paling dicari dan dinantikan hadir oleh manusia. Kalau perlu melekat selamanya. Karena itu, premis bahagia itu sederhana banyak digunakan para motivator dan penulis buku self-help yang buku-bukunya mengantri dipajang di toko buku.

Bagi saya, bahagia itu tidak sederhana.

Dan bahagia itu luka.

Mungkin suatu saat kalimat di atas itu akan menjadi judul sebuah buku atau film. Layaknya Cinta itu Luka karya Eka Kurniawan yang diterjemahkan ke dalam 34 bahasa dan memenangi beragam penghargaan internasional.

Asik ya? Apalagi Kang Eka bisa jalan-jalan keliling Eropa diundang panitia book fair dari beberapa negara.

Siapa yang tidak mau seperti itu? Saya mengamati pikiran saya. Lalu kembali membaca sejarah Cinta itu Luka yang ternyata...

diterbitkan pertama kali pada 2002.

Baru setelah pengembaraan 13 tahun kemudian novel itu baru menjadi perbincangan para penikmat sastra.

Dari kisah ini kita boleh mengambil kesimpulan, bahagia itu sebuah journey. Di dalamnya ada penolakan, kesabaran, hingga tentunya kebersyukuran. Itulah mengapa bahagia itu tidak sederhana... apalagi jika melihat kebahagian seperti dalam penggalan dialog dari sebuah kisah berjudul Ilyas yang ditulis oleh Count Lev Nikolayevich atau Leo Tolstoy:

“Tapi , apa yang sesungguhnya membuatmu bahagia sekarang?”

“Ketika kami kaya-raya, kami tak pernah merasakan kedamaian: tak ada waktu untuk bercakap-cakap, berpikir tentang jiwa kami atau berdoa pada Tuhan. Kami punya banyak kecemasan. Jika kedatangan tamu, kami cemas tak bisa menjamu mereka dengan baik. Kami cemas tak memperlakukan para pekerja kami dengan benar. Kami takut berdosa. Jika hendak tidur, kami cemas jangan-jangan ternak kami dimakan binatang buas. Tidur kami jadi tidak nyenyak. Kecemasan yang satu berganti dengan kecemasan yang lain. Kami jadi sering berselisih paham. Suamiku berpendapat begini dan aku berpendapat begitu. Dan itu adalah dosa yang membuat kami tak pernah bahagia.”

“Lalu sekarang?”

“Kini kami bangun pagi bersama dan berbicara dari hati ke hati dengan penuh cinta dan kedamaian. Kami tak pernah lagi bertengkar, tak ada lagi yang perlu dicemaskan. Kami hanya perlu melayani majikan kami dengan baik. Kami bekerja keras sebisa mungkin dan itu membuat majikan kami menyayangi kami. Setelah usai bekerja, tersedia makanan dan kumiss. Jika kami kedinginan, ada selimut dan pediangan yang akan menghangatkan tubuh kami. Ada banyak waktu untuk bercakap-cakap, berpikir tentang jiwa kami, dan berdoa pada Tuhan. Kami akhirnya menemukan kebahagiaan setelah lima puluh tahun mencarinya.”


Perspektif bahagia seorang sastrawan sekaliber Tolstoy sangat tidak sederhana, bukan?

Oleh karenanya bahagia itu subjektif. Seperti halnya pandangan sebagian besar orang yang menginginkan bahagia itu secepatnya hadir. 

Instan, terburu-buru, tanpa pikir panjang, dan kadang-kadang dalam mencapainya melanggar norma. Primal fear mendominasi pengambilan keputusan. Pikiran telah dibajak dan dijarah oleh nafsu mempertahankan hidup belaka.

Maka, jika itu yang terjadi, bahagianya semu. Bahagia hanyalah sebuah luka yang berada di titik terendah kehidupan manusia.

Sumber gambar:
https://hellogiggles.com/love-sex/self-sabotage-why-people-ruin-happy-relationships/

Minggu, 30 September 2018

Mindful Couple: Mencintai Kehilangan


Oleh Duddy Fachrudin

Kehilangan adalah luka. Ia juga derita yang menjerat rasa.
Meski begitu, kehilangan dapat memiliki makna yang berbeda. Setidaknya bagi para manusia yang pandai mengambil hikmah.

Kehilangan begitu menyesakkan, jika tidak dibekali dengan penerimaan dan pemaafan.

Maka kehilangan memanggilmu untuk menguji cintamu.

Mencintai kehilangan bukanlah memaksa untuk terhempas, melainkan ikhlas melepas.
Mencintai kehilangan adalah mensyukuri nikmat yang telah diberi.
Dan...
mencintai kehilangan berarti siap menerima kebaruan dalam kehidupan.

Janganlah menjadi jiwa-jiwa yang bersedih,
karena kekasihmu selalu di sini,
saat ini.

Dengarkanlah...
dengarkanlah rasa yang berhembus mesra dengan sepenuh hati.

Sumber gambar:
http://griyaquran.org/belajar-alquran/ikhlas-berbuat-kebaikan-i

Selasa, 28 Agustus 2018

Event Mindfulness: Metode Mindfulness-Based Strength Practice (MBSP)


Oleh Duddy Fachrudin

Tiga puluh sembilan orang menjadi partisipan sebuah penelitian psikologi. Mereka kemudian dibagi menjadi dalam dua kelompok: 19 orang menjadi kelompok eksperimen, sementara 20 orang bergabung dalam kelompok kontrol.

Kelompok eksperimen diberikan intervensi psikologi, sementara kelompok kontrol tidak.

Partisipan diberikan self-report mengenai well-being, yaitu: Satisfaction With Life Scale, Flourishing Scale, Positive Psychotherapy Inventory, dan Signature Strengths Inventory Scale.

Kuesioner tersebut diberikan kepada dua kelompok penelitian sebelum dan sesudah intervensi psikologi.

Pertanyaan sederhananya adalah apakah ada perbedaan yang signifikan skor well-being antara kelompok eksperimen dan kontrol? (baca hasil dan diskusinya di sini)

Penelitian yang dilakukan Ivtzan, Niemic, dan Briscoe (2016) ini menggunakan Mindfulness-Based Strength Practice (MBSP) sebagai intervensi psikologi yang diberikan kepada kelompok eksperimen selama  8 minggu secara daring.

MBSP sendiri merupakan intervensi yang memadukan antara konsep mindfulness dengan psikologi positif. It's sounds interesting.

Dan metode MBSP dapat dipelajari beberapa hari lagi di sebuah workshop yang merupakan rangkaian dari event Kongres HIMPSI di bulan september.


So, it's time to enjoy the moment, 
cultivating happiness and flourishing, 

keep positive :)

Referensi:
Ivtzan, I., Niemiec, R. M., & Briscoe, C. (2016). A study investigating the effects of Mindfulness-Based Strengths Practice (MBSP) on wellbeing. International Journal of Wellbeing, 6(2), 1-13. doi:10.5502/ijw.v6i2.557

Sumber gambar:
http://picbear.online/himpsipusat

Senin, 20 Agustus 2018

Puisi: Aku Ingin Di Sini


Oleh Duddy Fachrudin

Aku ingin di sini
hadir sepenuhnya dalam lautan mimpi sang pencari
Aku tak mau pergi
karena jiwa ini tertaut padamu, wahai Kekasih Hati
Aku tak mau kalah lagi
terapung dalam kecemasan dan kesedihan tak berarti

Hidup,
hidup itu hanya sekedar menjalani
menikmati apapun momen saat ini
sambil tak lupa menerima dan mencintai diri
meski di luar sana depresi dan penuh caci maki

Aku ingin di sini
duduk berdua bersama Centhini
melantunkan beragam melodi
yang tak kunjung berhenti

Dan aku ingin di sini,
karena aku mencintai,
karena aku mensyukuri cinta ini

Sumber gambar:
https://fineartamerica.com/featured/happiness-is-here-and-now-julie-niemela.html

Rabu, 15 Agustus 2018

Kongres HIMPSI 2018: Inspirasi dari Psikologi


Oleh Duddy Fachrudin

Kalau kata Alm. Kang Agus Sofyandi Kahfi (Dosen Psikologi Unisba), belajar di psikologi itu enak, bisa menertawakan diri sendiri...

Sejenak kata-kata beliau mirip sekali dengan yang diungkapkan oleh salah satu sahabat Ki Hajar Dewantara. Ia juga merupakan seorang yang pernah memberikan nasihat kepada Presiden Soekarno. Siapa lagi jika bukan Ki Ageng Suryomentaram. Sosok cerdas yang "kabur" dari Keraton Yogyakarta untuk nggolek i yang namanya menungso.

Sampai suatu ketika setelah bangun tidur Suryomentaram berkata kepada istrinya, "Mbok.. mbok aku wis nemu wong..."

"Sopo," kata istrinya.

"Orang itu yang nggak pernah puas... "

"Sopo," ujar istrinya lagi.

"Ya aku iki, Si Suryomentaram," jawab Ki Ageng dengan wajah sumringahnya.

Manusia itu ya aku. Si nggak pernah puas, si kecewa, si pemarah, si iri, si dengki, si sombong, si pemaaf, si penerima, si penyayang, si penolong, dan lain-lain.

Maka, kemudian Suryomentaram yang tidak pernah kuliah psikologi ini mengajar psikologi kebahagiaan "Kawruh Jiwo" jauh-jauh hari sebelum Martin Seligman melakukannya.

Uniknya Kawruh Jiwo ini mengajarkan kita untuk meruhi awakipun piyambak alias mengenal dan memahami diri secara tepat. Inilah awal kunci hidup bahagia.

Maka, bahagia itu adanya di dalam diri, tidak perlu dicari di luar diri. Search inside yourself, merujuk para pengajar mindfulness di Google University.

Inspirasi ini yang perlu ditularkan oleh siapapun yang berkecimpung dalam dunia psikologi, terlebih para Psikolog, Sarjana Psikologi, maupun Civitas Akademik di Fakultas atau Prodi Psikologi se-Indonesia. Dan Kongres HIMPSI tanggal 6-8 September 2018 merupakan langkah awal kita untuk memberikan sumbangsih bagi bangsa ini.

Sebuah karya nyata mengajak setiap elemen masyarakat untuk bebas dari penjara pikiran yang menghimpit. Merdeka dari belenggu rasa yang mengganggu. Menemukan Centhini, kekasih yang tersembunyi. Lalu hidup sepenuhnya di setiap momen tanpa keluh kesah, amarah, serta wiwaha yuda naraga. Kemudian menikmati pengembaraan dalam ruang kehidupan dengan penuh kebersyukuran dan cinta kasih.

Semoga.

Sumber gambar:
http://kongres2018.himpsi.or.id/

Minggu, 05 Agustus 2018

MIndful Parenting: Menjalani Kehamilan dengan Mindful (Sebuah Pengalaman berlatih Mindfulness)


Oleh Delima Amiyati

Beberapa hari belakangan ini jadwalku memang padat. Revisi tesis dan laporan HIMPSI menjadi "makanan" sehari-hariku.

Selain tanggungjawabku sebagai mahasiswa, aku pun perlu memberikan perhatian pada kehamilanku yang sudah menginjak lebih dari 5 bulan.

Sungguh terasa berat jika dipikirkan menjalani dua peran sekaligus tanpa ada yang membantu. Aku tinggal di Bandung sendiri, jauh dari keluarga dan suamiku bekerja di Jakarta.

Namun, daripada berkeluh kesah, lebih baik menjalaninya dengan suka cita.

Dan untuk itu, aku belajar untuk hidup mindful

Efeknya sungguh menyenangkan. Saat mengerjakan revisi tesis misalnya, entah mengapa beragam ide tulisan tumpah ruah dan mengalir begitu saja. Biasanya aku lama dalam mengerjakan revisi, kini sejak mempraktikkan mindfulness, mengerjakannya lebih lancar dan juga cepat.

Saat asik-asiknya mengetik, janin dalam perutku bergerak-gerak. Biasanya aku langsung berhenti menulis, menutup laptop, dan kemudian merebahkan diri.

Namun kini...

Aku mengamatinya sejenak, menyadarinya, merasakannya, dan menerima sensasi tersebut lalu tetap melanjutkan mengetik revisi. 

Meskipun dalam kondisi hamil, aku menjadi lebih produktif, energi lebih berlimpah, dan dapat menikmati setiap momen saat mengerjakan tesis.

Lewat hidup yang berkesadaran (living mindfully) ini, aku sebagai Bumil bisa lebih menerima dan mengelola kekhawatiran yang muncul, lebih berpikir positif, dan bersyukur dengan kondisi yang saat ini aku alami serta jalani.

Maka, "la-in syakartum la-adziidannakum wala-in kafartum inna 'adzaabii lasyadiid." (QS. Ibrahim: 7)

Setiap momen merupakan suatu berharga dan patut untuk dinikmati dan disyukuri. Ketika living mindfully, kita akan melihat banyak keajaiban terjadi di dalam kehidupan kita.

Sumber gambar:
http://www.bamboofamilymag.com/summer-2012/mindful-pregnancy-traditional-chinese-medicine-an-approach-t.html

Jumat, 27 Juli 2018

Tentang Sosonoan


Oleh Duddy Fachrudin

Nama acara itu sosonoan. Mereka saling melepas rindu dan kangen-kangenan. Bukan hanya kepada sahabat, teman-teman, dan guru-guru tercinta;

namun juga kepada barisan para mantan.

Sosonoan adalah membuka folder masa lalu dan menerima segala kenangan,

serta merayakannya di masa sekarang.

Maka, sosonoan, bukan hanya merindu pada kamu, tapi juga memeluk masa lalu. Dan sang jiwa berkata:

Thank you.

Sumber gambar:
https://www.websta.one/tag/unisba

Jumat, 11 Mei 2018

MoKindness: Mengembangkan Sikap Mindfulness ala Mo Salah

Mohamed Salah

Oleh Duddy Fachrudin

Mo Salah, la, la, la, la, La, la, la, la, la, la...
Mo Salah, la, la, la, la, La, la, la, la, la, la...

(Nyanyian Suporter Liverpool)

Kaka meraih Ballon d’Or di tahun 2007. Setelah itu, Cristiano Ronaldo dan Lionel Messi bergantian menggenggamnya hingga tahun 2017. Dominasi satu dekade itu sepertinya akan terhenti di tahun 2018.

Satu nama mencuat karena permainan apiknya bersama Liverpool tahun ini. Mohamed Salah orangnya. Winger yang telah mencetak 44 gol dan 16 assist sampai detik ini bagi The Reds. Salah masih dapat menambah kontribusinya saat bermain di laga terakhir Liverpool di musim 2017-2018, yaitu melawan Real Madrid di Final Liga Champions.

Jika Salah mampu membawa Liverpool mengangkat si kuping besar (trofi Liga Champions), bukan tidak mungkin Ballon d’Or jatuh ke tangannya. 

Uniknya, Mo Salah—pemain yang baru saja menggondol penghargaan pemain terbaik versi Professional Footballers’ Association (PFA) itu memakai jersey bernomor 11 di Liverpool. Angka tersebut jika ditambahkan dengan 2007 (tahun terakhir dimana peraih Ballon d’Or bukan Ronaldo dan Messi) akan menghasilkan 2018. Ramalan bahwa Mo Salah menjadi Pemain Terbaik Dunia 2018 semakin mendekati kenyataan.

Live. Thrive. Flourish.

Kesuksesan yang diraihnya saat ini merupakan bentuk dari kerja keras, cerdas, dan ikhlas. Salah sebenarnya seorang bek kiri di klub pertamanya, El Mokawloon. Namun, pelatihnya kala itu melihat potensi yang luar biasa dari Mo Salah, yaitu menggiring bola. Akhirnya ia dipindah ke sayap kanan. Mo Salah kemudian berlatih dengan tekun dan terus meningkatkan kemampuannya.

Mo Salah lalu direkrut oleh FC Basel dan permainannya semakin ciamik. Hingga akhirnya The Blues Chelsea meminangnya. Namun sayang, Mo Salah tidak banyak mendapat kesempatan mengolah si kulit bundar di lapangan. Dalam kondisi seperti itu, ia tetap bersabar.

Fiorentina lalu meminjamnya dari Chelsea. Kembali ia menunjukkan kelasnya. AS Roma pun kepincut membeli pemuda kribo tersebut yang berasal dari desa kecil di Mesir bernama Nagrig. Tampil sebanyak 83 kali dan mencetak 34 gol sudah cukup bagi Liverpool untuk memboyongnya dari Srigala Roma.

Karirnya terus menanjak. Dan kini Salah telah menjadi fenomena, bukan hanya sebagai seorang pesepakbola profesional, tapi juga sebagai individu yang mengembangkan sikap mindfulness.

Hector Moreno, rekan setimnya mengatakan bahwa Salah merupakan orang yang kalem dan rendah hati. Uniknya lagi, Moreno membeberkan bahwa Salah hanya mengeluarkan 20% dari kemampuannya saat latihan. Less is more. Dan karena strategi ini, Salah dapat mencegah dirinya terkena cedera dan tampil maksimal saat pertandingan sebenarnya.

Dalam sebuah wawancara bersama CNN, Salah membagikan resep suksesnya untuk mengatasi tekanan sebagai pemain sepakbola profesional:

"You have to take it easy and carry on. I'm not nervous about that..."

Santai, jalani hidup dengan mudah dan sederhana, dan tidak perlu khawatir.

Hal ini bisa jadi muncul karena sikapnya yang senantiasa bersyukur dan dermawan. Tak jarang Mo Salah melakukan selebrasi setelah mencetak gol dengan bersujud di atas rumput.

Dan tak lupa ia bersedekah dari sebagian pendapatannya untuk mereka yang membutuhkan. Bahkan, saat ia diberi sebuah vila mewah oleh pemerintah Mesir atas jasanya meloloskan Negeri Piramida itu ke Piala Dunia 2018, ia menolaknya. Salah justru meminta hadiah itu diganti dalam bentuk donasi yang ditujukan untuk kampung halamannya.

Rasa syukur ditambah compassion dan lovingkindness ditunjukkan Salah kepada seorang perampok yang menggondol rumah orangtuanya. Dua hari setelah kejadian itu, si maling ditangkap. Ayah Salah berniat mengajukan tuntutan kepadanya. Namun Salah justru meminta Ayahandanya untuk membatalkan tuntutan tersebut. Lebih lanjut, Salah kemudian memberikan uang dan membantu si perampok untuk mendapatkan pekerjaan.

Maka, "la-in syakartum la-adziidannakum wala-in kafartum inna 'adzaabii lasyadiid." (QS. Ibrahim: 7)

Mohamed Salah... semoga dirimu selalu dinaungi kebaikan.

Sumber gambar:
https://www.cnnindonesia.com/olahraga/20180413150503-142-290603/menanti-sujud-mohamed-salah-di-piala-dunia-2018

Senin, 07 Mei 2018

Mindful Parenting: O... Anak (Ananda, Adinda, Ijinkan Ayah dan Bunda Belajar Padamu...)

Interaksi Orangtua dan Anak


Oleh Tauhid Nur Azhar

O... Anak. Pujangga besar jazirah Arab, Khalil Gibran, pernah mengambil judul yang sama untuk menggambarkan betapa berartinya kehadiran anak bagi kedua orangtuanya. Sebuah hubungan bathin yang kompleks, sarat dengan berbagai aspek emosi, penolakan atau resistensi, tapi juga berkelindan dengan kerinduan dan muara dari semua kebahagiaan sekaligus air mata cinta. Sarang dari rasa bangga, samudera dari segenap peluh yang tercurah demi meraih sepotong bahagia.

Senyum anak adalah celah pintu surga bagi orangtua, dan tangis pilu anak adalah desir angin neraka yang mengiris hati kedua orangtua. Sampai tubuh renta luluh lantak kehabisan daya, orangtua selalu punya deposito cinta bak sumur tanpa dasar yang mata airnya menolak untuk kering.

Meski kerap kecewa dan disakiti karena tingkah polah anaknya, orangtua akan selalu menjadi tempat pulang di saat dunia anak runtuh dan putus asa menyergap dirinya. Selalu ada Ibu, selalu ada Ayah, selalu ada rumah.

Di sekitar tahun 2005-an saya pernah menulis sebuah puisi tentang seorang anak yang bermimpi dan dalam mimpinya ia berkisah pada Ibu gurunya tentang sebuah rumah. Tentang kerinduan untuk pulang. Bukan karena rumahnya yang sederhana nan bersahaja serta dikenal karena berpintu merah, tapi karena hati yang ada di dalamnya.

Karena rindu tak peduli warna pintu, ia hanya ingin mengetuk pintu hati yang ia tahu di dalamnya dipenuhi oleh kehangatan  cinta. O.... anak. O.... Ibu. O.... Ayah.

Ini bukan lagi masalah menghadirkan dan dihadirkan atau dipaksa dihadirkan tanpa kehendak di luar kemauan. Ini adalah persoalan kenyataan, ini adalah fakta bahwa kita ada dan menjadi ada karena kita saling memiliki sesama.

Maka Luqmanul Hakim yang dimuliakan Allah Swt. hingga mendapat kehormatan menjadi nama surat ke-31 yang diturunkan di Mekkah (Makkiyah) serta terdiri dari 34 ayat, menasehati anak dan dirinya sendiri tentang keutamaan hidup. Keistimewaan menjadi manusia.

"Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, pada waktu ia memberi pelajaran kepadanya, ‘Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” [QS. Luqman: 13].

Maka apa yang diajarkan Lukman sebagai bagian paling fundamental dalam kehidupan? Tauhid. Mengesakan Allah. Integritas hidup. Kesetiaan pada nilai. Loyalitas akal pada iman. Bahwa hidup harus punya tujuan. Bahwa ruang tercipta untuk dijalani. Bahwa waktu ada karena kita harus maju. Maka Tauhid adalah nilai total yang tak dapat ditawar. Kita hidup berawal dan berakhir dari satu titik. Ahad.

Menurut Luqman itulah modal selamat. Dan syarat selamat itu tak pelak adalah taat, kesetiaan pada nilai yang harus dibangun dari proses berinteraksi dengan semua elemen yang dihadirkan dalam kehidupan.

Belajar taat, mau menerima, dan berusaha memahami dari berbagai sudut pandang tentang peran diri dapat dimulai dengan menyayangi dan mengasihi orangtua yang separuh dari masing-masing dirinya maujud dalam diri kita.

Kita adalah representasi nilai cinta mereka berdua. Kita adalah kristalisasi doa mereka, bukan hanya cinta. Maka kita adalah mereka adalah kami. Kami yang akan bersama pulang ke rumah kita semua.

"Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” [QS. Luqman: 14].

Demikianlah gelombang daya menjalar dan menghadirkan gerak saling menjaga, memelihara, dan merawat akhlaq dan adab, hingga tercipta peradaban mulia saat segenap komponen semesta bertasbih sesuai dengan kapasitasnya. Janganlah kita berpaling dari sesama, janganlah kita lelah dalam mencintai dan merawat nilai inti kemanusiaan yang senantiasa berlomba dalam mencipta kebajikan.

"Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” [QS. Luqman: 18].

Maka anak mengajarkan kita tentang cara memperlakukan manusia. Tidak ingkar, tidak mungkar, tidak zalim. Anak mengajarkan kita bahwa kita sesama manusia mungkin tidak akan pernah dapat saling mengerti, apalagi memahami, tapi sekurangnya kita dapat membuka ruang hati untuk dapat menerima dan memberi ruang bagi perbedaan persepsi.

Karena cara kita memandang dunia terkadang tidak sama. Amat bergantung pada sudut pandang, cahaya, ilmu, pengalaman, dan pilihan tujuan. Maka anak adalah sekolah kita, karena meski anak adalah sebagian kita, tapi ia juga bukan kita.

Maka kita bisa belajar tentang kita padanya, dan juga belajar tentang yang bukan kita padanya. Dan sesingkat atau sepanjang apapun waktu yang Allah berikan, itu adalah waktu paling berharga dalam hidup seorang tua.

Sumber gambar:
https://penamotivasi.wordpress.com/2017/02/25/banyak-orang-tua-mampu-rawat-banyak-anak-tapi-banyak-anak-tidak-mampu-rawat-satu-orang-tua/

Jumat, 04 Mei 2018

Mindful Couple: Dapatkah Mindfulness Mencegah Perceraian?

Growing Old Together

Oleh Duddy Fachrudin

9000 kasus perceraian.

Jumlah itu menempatkan Kabupaten Cirebon menduduki peringkat tiga mengenai tingkat perceraian tertinggi selama tahun 2017. Juara satu dan dua "dimenangkan" oleh Kabupaten Indramayu dan Kota Cimahi. Begitulah berita yang tersaji di jabar.tribunnews.com pada tanggal 22 Maret 2018.

Dalih cerai sebagian besar karena faktor kemiskinan.

Terasa janggal jika kemiskinan dijadikan kambing hitam penyebab perceraian. Karena "iltamisur rizqa bin nikaah," ujar Sang Nabi, Muhammad Saw.

Dalam hadis ini kita diminta mencari rezeki melalui jalan pernikahan. Jadi, pernikahan sesungguhnya tidak akan pernah membuat pelakunya miskin.

Ada variabel yang belum diteliti atau ditemukan yang menjadi penyebab perceraian.

Namun, kita boleh belajar pada John Gottman (2015), seorang Guru Besar bidang Psikologi dari Universitas Washington yang selama lebih dari 40 tahun memfokuskan diri mengkaji relasi pasangan suami istri. Berdasarkan penelitiannya, ada 4 hal yang dapat menjadi prediktor perceraian.

Pertama: CRITICISM
Kritik adalah ketidaksetujuan yang dibangun atas sebuah persepsi. "Kamu egois", "Kamu tidak bisa diandalkan dan selalu sibuk", "Kamu selama ini tidak peduli sama aku". "Kamu... kamu... dan kamu..."

Kehidupan pernikahan dipenuhi dengan saling mengkritik dan menilai pasangan.

Kedua: DEFENSIVENESS
Kebalikan dari kritik, defensiveness adalah sikap bertahan, membela diri, dan tidak menerima kritikan pasangan. "Nggak kok, aku nggak egois", "Aku sibuk karena diminta bosku, jadi ini bukan salahku, kan?", "Aku sudah memberikan apa yang kamu inginkan!".

Defensiveness pada akhirnya bertujuan "menyerang" balik atas ungkapan yang dirasa memojokkan salah satu pasangan.

Ketiga: CONTEMPT
Serang-menyerang yang berkelanjutan menghasilkan perang. Penghinaan bernada sarkas dapat muncul keluar begitu saja tanpa kendali. Inilah contempt. Menyakitkan rasanya mendengarkan kalimat sarkastik, apalagi itu berasal dari pasangannya sendiri. Contoh interaksi sarkastik dari film Ada Apa Dengan Cinta:

Cinta: Sejak gue ketemu elo, gue berubah jadi orang yang beda (nada tinggi). Orang yang nggak bener.

Rangga: Gini ya Ta, salah satu diantara kita, itu pasti lebih punya hati, atau punya otak. Tapi kamu kayaknya nggak punya kedua-duanya deh.

Jlebb.

Keempat: STONEWALLING
Setelah "perang" berkepanjangan, masing-masing pasangan kemudian berpikir, lalu self-talk, "Saya lebih baik diam, tidak usah menanggapi, karena percuma menanggapi." Suasana panas membara yang membakar fondasi keluarga akhirnya berubah dingin membeku dan membatu meninggalkan sembilu.

Ibarat makan sayur tanpa garam. Hambar.

Kalaupun salah seorang menanggapi ucapan pasangannya, ia berkata dengan sangat irit, "Oh.." atau "Mmm..." atau tanpa suara dan hanya gerakan non-verbal tanpa rasa yang semakin membuat suhu udara rumah tangga semakin minus dibawah nol derajat.

Berdasarkan pemaparan Gottman tersebut, maka sumber malapetaka pernikahan sesungguhnya adalah permasalahan komunikasi. Ketidakmampuan mendengarkan dan menerima satu sama lain akibat keangkuhan yang melekat merupakan awal dari bencana yang bernama perceraian.

Maka apakah dengan mengembangkan sikap mindful, seperti memberikan perhatian penuh dan tidak reaktif saat pasangan berbicara dapat mencegah perceraian, dan bahkan sekaligus menambah keintiman relasi suami-istri?

Referensi:
Gottman, J.M. (2015). Principa amoris: The new science of love. Routledge: New York.

Sumber gambar:
https://www.pinterest.com/bratandpunk/growing-old-together/

Minggu, 22 April 2018

Siklus Tenang (Sebuah Metafora)

Peaceful Life

Oleh Duddy Fachrudin

Pagi.
Ditemani kintamani lalu berbagi cerita bersama semesta. Di sini, bersama mentari tak memikirkan dunia. Di sini, bergerak tanpa bersuara. Bahagia.

Siang.
Sejenak beristirahat, menyelam ke dalam samudera jiwa. Menyapa mereka yang ada di dasar sana. Tak terlelap meski menutup mata. Menerima.

Sore.
Dan senja menampakkan dirinya. Indah tak terkira saat jingga merekah. Melepas amarah yang sempat terbawa. Cinta.

Malam.
Tidur penuh syukur atas lautan hikmah tak terkira. Tak terjebak dalam ambisi yang menyibukkan rasa. Dalam diam, hati merindu pulang ke rumah. Makna.

Sumber gambar:
http://cymantra.com/about/
   

Rabu, 11 April 2018

Tidak Ada yang Kebetulan... (bagian 3, habis)


Oleh Derie Imani

Terlepas dari pengalaman itu semua, sebenarnya saya punya kegundahan yang cukup besar di masa itu, saya yang sudah lulus kuliah hampir setengah tahun tapi belum juga mendapatkan panggilan pekerjaan.

Hal tersebut sedikit banyak mempengaruhi pola hidup dan kestabilan jiwa saya. Saya jadi sering begadang dan mudah emosi, kurang konsentrasi serta mudah lupa. Puncaknya saya pernah kehilangan handphone dan sangat frustasi karena tak kunjung juga mendapat panggilan pekerjaan dan menemukan ketenangan.

Nampaknya Kang Duddy juga melihat itu, hingga di akhir pertemuan kami dalam kelas privatnya, ia melakukan hipnoterapi kepada saya. Sebelum diberi induksi, saya diajak ngobrol terkait harapan saya di masa depan, yaitu mengenai pekerjaan saya, tempat saya bekerja, hingga detail gaji yang saya inginkan.

Kang Duddy sempat berulang kali menanyakan, “Mau gaji berapa? Serius? Mau didoain ini,” ujarnya. Setelah itu Kang Duddy memulai proses hipnoterapinya. Sebelum kang Duddy mulai mewawancarai saya, saya berinisiatif untuk merekamnya dengan handycam pribadi saya. Walhasil setiap detail harapan dan keinginan saya terekam jelas di video tersebut.

Saya mengafirmasikan apa yang saya inginkan dengan tulus dan penuh keyakinan...

Selepas itu saya tidak merasakan ada yang berbeda. Hanya terasa seperti tertidur dengan mendengarkan lagu yang sangat nyaman dan rileks. Sehabis hipnoterapi dengan Kang Duddy, ia mengingatkan saya untuk terus mendekatkan diri dengan Allah Sang Pencipta, memohon dan berusaha.

Satu bulan setelah itu Allah seakan memberikan pencerahan atas harapan saya dan doa saya. Saya menerima panggilan pekerjaan dan diterima pekerjaan di Jakarta dengan proses yang cukup lancar dan mudah.

Mungkin ini juga karena doa restu dari orang tua saya, usaha saya untuk terus berusaha melamar pekerjaan disertai afirmasi saya yang kuat dan kebulatan tekad sekaligus ketenangan batin saya membuat saya semakin percaya diri dan kuat, dan saya berhasil. Allhamdulillah.

Percaya atau tidak, kebetulan atau sudah suratan tapi saya merasakan afirmasi tersebut menjadi realita.

Afirmasi Saya :
· Mendapatkan pekerjaan secepatnya
· Pekerjaan tetap dan layak
· Domisil di manapun yang jelas keluar dari rumah
· Pekerjaan yang ketemu banyak orang
· Pekerjaan walau bukan bidang saya tapi saya bisa belajar
· Range gaji saya dari 3 juta sampai 4 juta

Kenyataan Saya :
· Dalam sebulan saya langsung mendapatkan pekerjaan
· Pekerjaan yang layak walau belum langsung tetap
· Domisili di Jakarta, artinya benar akhirnya saya keluar dari rumah
· Pekerjaan saya sebagai News Reporter/ Jurnalis yang benar-benar bertemu banyak orang
· Benar-benar bukan bidang saya, yaitu di dunia Jurnalis.
· Gaji saya 3,3 juta saat itu

Banyak hal yang saya pelajari dari perjalanan itu. Yang paling sederhana adalah, “Setiap kita bersilahturahmi dengan orang baru yang kita kenal akan membuka pintu rejeki kita yang lainnya.”

“Ketenangan batin itu dari dalam diri kita sendiri... kita yang menciptakan, salah satu caranya ialah dengan mendekatkan diri dengan-Nya.”

“Harapan dan keinginan itu bagian dari ujian dari-Nya, maka sabarlah karena sabar itu merupakan prosesnya juga.”

“Kerjakan yang menjadi tanggung jawab dan bagianmu, sisanya serahkan pada-Nya.”

<<<Before

Sumber gambar:
https://hidupsimpel.com/doa-qunut/

Tidak Ada yang Kebetulan... (bagian 2)


Oleh Derie Imani

“Duddy” ujarnya ketika saya berjabat tangan dengannya. Saya tidak mengira orang yang ada dihadapan saya ini justru menjadi mentor saya kelak. Pak Tauhid menjelaskan maksudnya mengundang Duddy siang itu, “Saya punya temen anaknya itu hiperaktif. Saya coba bilang untuk coba hipnotherapi dan berencana mengenalkan denganmu Dud,” ucap Pak Tauhid dengan santai.

Dirinya tidak langsung menjawab, Kang Duddy menunggu kalimat lanjutan dari Pak Tauhid, seolah ia tahu masih ada pesan lain yang ingin disampaikan.

“Kapan ada waktu Kang? Bisa bertemu dan ngobrol dulu?” tutupnya.

Hipnoterapi! Saya masih menerawang dan terus menyimak percakapan tersebut, Hipnosis?

Apa saya tidak salah mendengar, ilmu yang biasa digunakan untuk membuat orang mengikuti orang yang melakukan hipnosis tersebut. Saat itu dibenak saya hanya tertuju pada aktifitas memanipulasi orang untuk menyerahkan barang berharga dan berujung tindak kriminal! Belum terbayang jelas apa itu hipnoterapi atau hipnosis.

Singkat cerita Kang Duddy menyepakati tanggal dan hari untuk bertemu dengan kolega Pak Tauhid. Saya masih penasaran dengan apa itu hipnoterapi, namun adzan Dhuzur sudah terdengar saat itu, dan akhirnya kami memutuskan untuk shalat dhuzur berjama’ah.

Dalam hati saya masih sangat menyimpan penasaran yang luar biasa. Saya memperhatikan setiap gerakan Kang Duddy tidak ada yang spesial, dan dari aksesoris yang ia gunakan tidak ada gelang akar bahar atau kalung jimat yang ia kenakan.

Ia bahkan ikut wudhu dan shalat. Saya penasaran dengan orang ini. Orang ini mampu menghipnosis orang lain, mampu mengubah pandangan seseorang akan sesuatu... hebat sekali! Saya harus tahu lebih jauh! ujar saya dalam hati.

Usai shalat saya memberanikan diri berbincang lebih jauh dan meminta kontaknya. Saya menawarkan diri untuk bisa diajarkan hipnoterapi, karena jujur saja saya masih tidak percaya dengan kemampuan yang ia miliki. Ia dengan santai menjawab, “Yah nanti kita ngobrol lebih lanjut yah,” diakhiri dengan senyuman.

Saya masih penasaran dan mencoba membuka jalur komunikasi pribadi dengannya melalui pesan singkat. Saya menunjukan ketertarikan yang tinggi dengan hipnoterapi. Landasannya satu: saya sangat tidak percaya dengan dunia seperti itu.

Dunia yang katanya berbau mistik dan bisa memperoleh apapun yang kita inginkan dari orang lain, terlebih lagi saat itu ternyata di televisi mulai banyak program salah satu presenter Uya Kuya dengan teknik hipnosisnya yang mampu membongkar semua rahasia “korbannya”!

Saya semakin penasaran, saya terus bertanya apa benar orang bisa dihipnosis dan menuruti semua permintaan kita? Saya bisa nggak ya dihipnosis?

Singkat cerita saya diberikan kesempatan untuk mengikuti private course dengan Kang Duddy. Tempat belajar atau bertemu kami cukup unik di sebuah food corner pusat perbelanjaan di daerah Balubur Bandung yang saat itu belum terlalu ramai dengan pengunjung.

Kami melakukan pertemuan rutin dua kali dalam seminggu di sana. Kang Duddy membimbing saya dengan sabar dan memberikan pemahaman serta ilmu terkait dunia hipnoterapi yang jauh dari pandangan miring saya sebelumnya.

Hari demi hari Kang Duddy memberikan pelatihan dan contoh kepada saya. Saya sempat dibuat tidak bisa bangun dari kursi yang saya tempati karena pantat saya terasa lengket dan menempel di kursi tersebut hingga kedua mata saya yang juga sempat tidak bisa dibuka karena kelopak matanya merapat seakan terkena lem. Sebuah pengalaman yang berharga dan unik yang saya dapatkan saat itu.

<<<Before - Next>>>

Sumber gambar:
https://www.independent.co.uk/happylist/how-self-hypnosis-changed-my-life-a7980306.html