Rabu, 28 Maret 2018

Sikap Mindfulness: Sabar, Syukur, dan Sejatinya Kehidupan


Oleh Hamzah Abdurahman

Perpisahan kedua orang tua membuat saya memendam rasa. Kesal dan sedih bergantian mengisi ruang hati. Namun, apa yang saya pendam tak pernah sedikitpun tercurahkan. Apa daya, Freud memang benar, memendam rasa sama saja membiarkan emosi saya meledak. Dan pada tahun 2017, akun sosial media saya menjadi saksi bahwa diri berada dalam puncak emosi. Mereka saya hentikan. Pada tahun itu pula, impian, ambisi, dan cita-cita saya meredup. Saya menjadi sering mengalami stres yang biasanya ditandai dengan rasa sakit di tengkuk kepala, tidur tidak tenang, dan sering bermimpi aneh.

Namun ternyata, seperti kata pepatah, “Saat kematian, disitulah ada kehidupan baru.” Benar rupanya, ketika saya sedang terpuruk dan kondisi kesehatan menurun, justru saya dipertemukan dengan orang-orang yang inspiratif. Dr. Tauhid Nur Azhar dan Dr. Yono Budhiono merupakan dua diantaranya.

Berawal dengan seringnya saya mengikuti sesi kedua sosok inspiratif tersebut di kelas Masa Persiapan Pensiun (MPP), kunci kesehatan sesungguhnya terletak pada kemampuan kita dalam mengelola stres melalui sabar dan syukur. Begitu Dr. Tauhid memaparkan kepada para peserta dan saya sebagai panitia.

Kemudian pada sesi Dr. Yono, saya mengukur tingkat stres saya. Hasilnya saya tergolong individu yang mudah sekali stres. Dr. Yono, menjelaskan saya termasuk tipe A+, yaitu individu yang ambisius, gigih, tekun, namun rentan stres. Beliau kemudian menyarankan saya untuk mengatur ulang perjalanan hidup saya dalam mencapai impian-impian saya serta meminta saya untuk tidak memendam emosi.

Pada titik ini, saya teringkat akan orang paling mulia yang pernah hidup di dunia ini, yaitu Muhammad Saw. Beliau selalu sehat, bahkan diriwayatkan hanya 2 kali mengalami sakit selama hidupnya. Apa rahasia beliau? Padahal beliau memiliki target, impian, dan berbagai aktivitas yang sangat banyak. Selain itu beliau mengalami berbagai penolakan saat menyampaikan kebenaran.

Thoif salah satunya. Sebuah daerah dimana Sang Nabi disiksa dan dilempari batu. Namun segala rintangan tak membuatnya menyerah untuk terus menyampaikan misinya. Dan tidak ditemukan dalam satu riwayatpun jika Rasulullah pernah mengalami stres.

Artinya, kondisi psikologis beliau tidak seperti kebanyakan orang yang ketika mendapat penolakan langsung turun semangatnya. Kala rintangan menghadang, orang nomor satu menurut Michael Hart tersebut memanjatkan doa seraya memasrahkan diri kepada Tuhan.

Ketenangan. Hal ini yang sedang saya upayakan untuk senantiasa hadir.

Maka, ketika gundah gulana melanda, sabar dan syukur adalah obatnya. Dan ketika penolakan, cemoohan, dan rintangan menghadang, kita terus melangkah untuk meraih cita. Hingga akhirnya kita menerima apapun yang Allah Swt. berikan dengan penuh cinta dan hati yang lapang. Inilah sejatinya kehidupan.

Sumber gambar:
http://ulamasedunia.org/2016/06/28/ketenangan-adalah-anugerah-allah-buat-golongan-beriman/

Share:

0 komentar:

Posting Komentar