Senin, 07 Mei 2018

Mindful Parenting: O... Anak (Ananda, Adinda, Ijinkan Ayah dan Bunda Belajar Padamu...)

Interaksi Orangtua dan Anak


Oleh Tauhid Nur Azhar

O... Anak. Pujangga besar jazirah Arab, Khalil Gibran, pernah mengambil judul yang sama untuk menggambarkan betapa berartinya kehadiran anak bagi kedua orangtuanya. Sebuah hubungan bathin yang kompleks, sarat dengan berbagai aspek emosi, penolakan atau resistensi, tapi juga berkelindan dengan kerinduan dan muara dari semua kebahagiaan sekaligus air mata cinta. Sarang dari rasa bangga, samudera dari segenap peluh yang tercurah demi meraih sepotong bahagia.

Senyum anak adalah celah pintu surga bagi orangtua, dan tangis pilu anak adalah desir angin neraka yang mengiris hati kedua orangtua. Sampai tubuh renta luluh lantak kehabisan daya, orangtua selalu punya deposito cinta bak sumur tanpa dasar yang mata airnya menolak untuk kering.

Meski kerap kecewa dan disakiti karena tingkah polah anaknya, orangtua akan selalu menjadi tempat pulang di saat dunia anak runtuh dan putus asa menyergap dirinya. Selalu ada Ibu, selalu ada Ayah, selalu ada rumah.

Di sekitar tahun 2005-an saya pernah menulis sebuah puisi tentang seorang anak yang bermimpi dan dalam mimpinya ia berkisah pada Ibu gurunya tentang sebuah rumah. Tentang kerinduan untuk pulang. Bukan karena rumahnya yang sederhana nan bersahaja serta dikenal karena berpintu merah, tapi karena hati yang ada di dalamnya.

Karena rindu tak peduli warna pintu, ia hanya ingin mengetuk pintu hati yang ia tahu di dalamnya dipenuhi oleh kehangatan  cinta. O.... anak. O.... Ibu. O.... Ayah.

Ini bukan lagi masalah menghadirkan dan dihadirkan atau dipaksa dihadirkan tanpa kehendak di luar kemauan. Ini adalah persoalan kenyataan, ini adalah fakta bahwa kita ada dan menjadi ada karena kita saling memiliki sesama.

Maka Luqmanul Hakim yang dimuliakan Allah Swt. hingga mendapat kehormatan menjadi nama surat ke-31 yang diturunkan di Mekkah (Makkiyah) serta terdiri dari 34 ayat, menasehati anak dan dirinya sendiri tentang keutamaan hidup. Keistimewaan menjadi manusia.

"Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, pada waktu ia memberi pelajaran kepadanya, ‘Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” [QS. Luqman: 13].

Maka apa yang diajarkan Lukman sebagai bagian paling fundamental dalam kehidupan? Tauhid. Mengesakan Allah. Integritas hidup. Kesetiaan pada nilai. Loyalitas akal pada iman. Bahwa hidup harus punya tujuan. Bahwa ruang tercipta untuk dijalani. Bahwa waktu ada karena kita harus maju. Maka Tauhid adalah nilai total yang tak dapat ditawar. Kita hidup berawal dan berakhir dari satu titik. Ahad.

Menurut Luqman itulah modal selamat. Dan syarat selamat itu tak pelak adalah taat, kesetiaan pada nilai yang harus dibangun dari proses berinteraksi dengan semua elemen yang dihadirkan dalam kehidupan.

Belajar taat, mau menerima, dan berusaha memahami dari berbagai sudut pandang tentang peran diri dapat dimulai dengan menyayangi dan mengasihi orangtua yang separuh dari masing-masing dirinya maujud dalam diri kita.

Kita adalah representasi nilai cinta mereka berdua. Kita adalah kristalisasi doa mereka, bukan hanya cinta. Maka kita adalah mereka adalah kami. Kami yang akan bersama pulang ke rumah kita semua.

"Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” [QS. Luqman: 14].

Demikianlah gelombang daya menjalar dan menghadirkan gerak saling menjaga, memelihara, dan merawat akhlaq dan adab, hingga tercipta peradaban mulia saat segenap komponen semesta bertasbih sesuai dengan kapasitasnya. Janganlah kita berpaling dari sesama, janganlah kita lelah dalam mencintai dan merawat nilai inti kemanusiaan yang senantiasa berlomba dalam mencipta kebajikan.

"Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” [QS. Luqman: 18].

Maka anak mengajarkan kita tentang cara memperlakukan manusia. Tidak ingkar, tidak mungkar, tidak zalim. Anak mengajarkan kita bahwa kita sesama manusia mungkin tidak akan pernah dapat saling mengerti, apalagi memahami, tapi sekurangnya kita dapat membuka ruang hati untuk dapat menerima dan memberi ruang bagi perbedaan persepsi.

Karena cara kita memandang dunia terkadang tidak sama. Amat bergantung pada sudut pandang, cahaya, ilmu, pengalaman, dan pilihan tujuan. Maka anak adalah sekolah kita, karena meski anak adalah sebagian kita, tapi ia juga bukan kita.

Maka kita bisa belajar tentang kita padanya, dan juga belajar tentang yang bukan kita padanya. Dan sesingkat atau sepanjang apapun waktu yang Allah berikan, itu adalah waktu paling berharga dalam hidup seorang tua.

Sumber gambar:
https://penamotivasi.wordpress.com/2017/02/25/banyak-orang-tua-mampu-rawat-banyak-anak-tapi-banyak-anak-tidak-mampu-rawat-satu-orang-tua/

Share:

0 komentar:

Posting Komentar