Interaksi Orangtua dan Anak |
Oleh Tauhid Nur Azhar
O... Anak. Pujangga besar jazirah Arab, Khalil Gibran, pernah mengambil
judul yang sama untuk menggambarkan betapa berartinya kehadiran anak bagi kedua
orangtuanya. Sebuah hubungan bathin yang kompleks, sarat dengan berbagai aspek emosi,
penolakan atau resistensi, tapi juga berkelindan dengan kerinduan dan muara
dari semua kebahagiaan sekaligus air mata cinta. Sarang dari rasa bangga,
samudera dari segenap peluh yang tercurah demi meraih sepotong bahagia.
Senyum anak adalah celah pintu surga bagi orangtua, dan
tangis pilu anak adalah desir angin neraka yang mengiris hati kedua orangtua.
Sampai tubuh renta luluh lantak kehabisan daya, orangtua selalu punya deposito
cinta bak sumur tanpa dasar yang mata airnya menolak untuk kering.
Meski kerap kecewa dan disakiti karena tingkah polah
anaknya, orangtua akan selalu menjadi tempat pulang di saat dunia anak runtuh
dan putus asa menyergap dirinya. Selalu ada Ibu, selalu ada Ayah, selalu ada
rumah.
Di sekitar tahun 2005-an saya pernah menulis sebuah puisi
tentang seorang anak yang bermimpi dan dalam mimpinya ia berkisah pada Ibu
gurunya tentang sebuah rumah. Tentang kerinduan untuk pulang. Bukan karena
rumahnya yang sederhana nan bersahaja serta dikenal karena berpintu merah, tapi
karena hati yang ada di dalamnya.
Karena rindu tak peduli warna pintu, ia hanya ingin mengetuk
pintu hati yang ia tahu di dalamnya dipenuhi oleh kehangatan cinta. O.... anak. O.... Ibu. O.... Ayah.
Ini bukan lagi masalah menghadirkan dan dihadirkan atau dipaksa
dihadirkan tanpa kehendak di luar kemauan. Ini adalah persoalan kenyataan, ini
adalah fakta bahwa kita ada dan menjadi ada karena kita saling memiliki sesama.
Maka Luqmanul Hakim yang dimuliakan Allah Swt. hingga
mendapat kehormatan menjadi nama surat ke-31 yang diturunkan di Mekkah
(Makkiyah) serta terdiri dari 34 ayat, menasehati anak dan dirinya sendiri
tentang keutamaan hidup. Keistimewaan menjadi manusia.
"Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya,
pada waktu ia memberi pelajaran kepadanya, ‘Hai anakku, janganlah kamu
mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar
kezaliman yang besar.” [QS. Luqman: 13].
Maka apa yang diajarkan Lukman sebagai bagian paling
fundamental dalam kehidupan? Tauhid. Mengesakan Allah. Integritas hidup.
Kesetiaan pada nilai. Loyalitas akal pada iman. Bahwa hidup harus punya tujuan.
Bahwa ruang tercipta untuk dijalani. Bahwa waktu ada karena kita harus maju. Maka Tauhid adalah nilai total yang tak dapat ditawar. Kita
hidup berawal dan berakhir dari satu titik. Ahad.
Menurut Luqman itulah modal selamat. Dan syarat selamat itu tak pelak adalah taat, kesetiaan pada nilai yang harus dibangun dari proses berinteraksi dengan semua elemen yang dihadirkan dalam kehidupan.
Belajar taat, mau menerima, dan berusaha memahami dari
berbagai sudut pandang tentang peran diri dapat dimulai dengan menyayangi dan
mengasihi orangtua yang separuh dari masing-masing dirinya maujud dalam diri
kita.
Kita adalah representasi nilai cinta mereka berdua. Kita
adalah kristalisasi doa mereka, bukan hanya cinta. Maka kita adalah mereka
adalah kami. Kami yang akan bersama pulang ke rumah kita semua.
"Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik)
kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah
yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku
dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” [QS. Luqman:
14].
Demikianlah gelombang daya menjalar dan menghadirkan gerak
saling menjaga, memelihara, dan merawat akhlaq dan adab, hingga tercipta
peradaban mulia saat segenap komponen semesta bertasbih sesuai dengan
kapasitasnya. Janganlah kita berpaling dari sesama, janganlah kita lelah dalam
mencintai dan merawat nilai inti kemanusiaan yang senantiasa berlomba dalam
mencipta kebajikan.
"Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia
(karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan
diri.” [QS. Luqman: 18].
Maka anak mengajarkan kita tentang cara memperlakukan
manusia. Tidak ingkar, tidak mungkar, tidak zalim. Anak mengajarkan kita bahwa
kita sesama manusia mungkin tidak akan pernah dapat saling mengerti, apalagi
memahami, tapi sekurangnya kita dapat membuka ruang hati untuk dapat menerima
dan memberi ruang bagi perbedaan persepsi.
Karena cara kita memandang dunia terkadang tidak sama. Amat
bergantung pada sudut pandang, cahaya, ilmu, pengalaman, dan pilihan tujuan.
Maka anak adalah sekolah kita, karena meski anak adalah sebagian kita, tapi ia
juga bukan kita.
Maka kita bisa belajar tentang kita padanya, dan juga
belajar tentang yang bukan kita padanya. Dan sesingkat atau sepanjang apapun
waktu yang Allah berikan, itu adalah waktu paling berharga dalam hidup seorang
tua.
Sumber gambar:
https://penamotivasi.wordpress.com/2017/02/25/banyak-orang-tua-mampu-rawat-banyak-anak-tapi-banyak-anak-tidak-mampu-rawat-satu-orang-tua/
0 komentar:
Posting Komentar