Tampilkan postingan dengan label IslamicParenting. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label IslamicParenting. Tampilkan semua postingan

Kamis, 18 Juli 2019

Mindful Parenting: Menata Ekspresi (Bagian 2, Habis)


Oleh Nita Fahri Fitria

Anak-anak perlu belajar menjadi pribadi yang solutif nan kalem. Agar ia pandai move on saat dewasa. Maka mari mulai tata ekspresi kita.

Saat anak melakukan kesalahan, cobalah untuk menarik nafas dalam dan panjang sembari istighfar. Dampingi anak bertanggung jawab atas kesalahannya sambil tetap menahan agar tidak dulu mengeluarkan kata-kata yang membuatnya justru ketakutan. 

Misal saat anak menjatuhkan sesuatu, cukup ajak dia merapikan kembali. Saat suasana sudah rapi, kita sudah lebih tenang, barulah kita ajak ia diskusi. 

Tidak lupa kita selipkan pesan cinta bahwa, apapun yang kamu lakukan, mama selalu sayang sama kamu. Ini penting agar anak sadar akan kesalahannya tapi di satu sisi ia tetap tenang dan merasa dicintai.

Yang menarik, rupanya menata ekspresi ini juga diperlukan saat anak melakukan sebuah kebaikan. Usahakan untuk tidak senang berlebihan saat anak mencapai sesuatu baik di sekolah maupun di rumah. Beri apresiasi secukupnya, tidak perlu pakai sorak sorai berlebihan. 

Kenapa? Karena saat ia tidak mencapai prestasi tertentu, dia akan cemas kalau ayah bundanya tak akan sesenang saat ia mencapai suatu prestasi. 

Ada satu kisah yang sangat menarik dari seorang ayah yang memiliki anak pemain baduk. Sang ayah selalu mendukung anaknya dan bahkan selalu menyimpan foto sang anak saat masuk surat kabar. Tapi di hadapan anaknya, ia berusaha bersikap sewajar mungkin baik saat anaknya menang maupun saat anaknya kalah. Ia ingin menunjukkan bahwa yang membuat ia mencintai anaknya bukanlah karena ia menang pertandingan, tapi karena ia mencintai anaknya apa adanya, entah saat menang ataupun kalah. 

Bereaksi berlebihan saat ia menang hanya akan membebaninya saat ia kalah.” 
–Choi Soo Mong- Reply Me 1988.


Sumber gambar:

Mindful Parenting: Menata Ekspresi (Bagian 1)


Oleh Nita Fahri Fitria

Ayah, Bunda, pernakah mengalami kegagalan terbesar dalam hidup? 

Mari kita sejenak menelusuri apa yang kita rasakan saat itu. betapa kecewa dan hancurnya hati ini seolah dunia terhenti seketika. 

Itu dulu, nyatanya saat ini kita masih hidup dan masih bisa tertawa, bukan? Perlahan kita dapat bangkit dan menyembuhkan luka-luka yang menyayat hati dan bahkan bisa jadi kita saat ini sudah lebih baik dalam berbagai hal di banding saat itu.

Dalam kajian Psikologi, itulah yang disebut dengan resiliensi atau daya lenting. Kemampuan yang memungkinkan seseorang bersikap lentur sehingga ia bisa bangkit dari keterpurukan dan menata kembali hidupnya pasaca kemalangan tersebut. 

Menurut Grothberg, resiliensi bukanlah trik sulap, melainkan sebuah proses yang dibangun sejak masa kanak-kanak. Ya, sejak masa kanak-kanak. Jadi kemampuan untuk move on, untuk berdamai dengan masa lalu dan memaafkan mantan itu dibangun sejak anak dalam buaian.

Proses terpenting dari pembentukan resiliensi adalah menghadapi konflik, melakukan kesalahan, dan mengalami berbagai perdebatan. Jadi jika hari ini anak kita memecahkan gelas, berebut mainan dengan si adik, atau berdebat sengit soal siapa yang duduk di kursi depan dan belakang mobil, maka inilah kesempatan emas bagi kita untuk membentuk daya resiliensinya.

Salah satu cara terampuh adalah dengan menata ekspresi kita saat menghadapi berbagai keruwetan itu.

Kita kadang terlupa, ketika anak melakukan kesalahan lalu kita otomatis berteriak dan membuat anak trauma melakukan kesalahan. Belum lagi ditambah pidato 60 menit dengan kecepatan bicara layaknya Valentino Rossi saat bertanding di arena. Lalu tatapan penuh makna intimidatif dan tangan yang setia bertengger di pundak. 

Apakah ini efektif? Ya, efektif membuat anak takut dan mencari jalan pintas saat terkena masalah berikutnya. And we know that, short cut would never works.

Sumber gambar:

Senin, 07 Mei 2018

Mindful Parenting: O... Anak (Ananda, Adinda, Ijinkan Ayah dan Bunda Belajar Padamu...)

Interaksi Orangtua dan Anak


Oleh Tauhid Nur Azhar

O... Anak. Pujangga besar jazirah Arab, Khalil Gibran, pernah mengambil judul yang sama untuk menggambarkan betapa berartinya kehadiran anak bagi kedua orangtuanya. Sebuah hubungan bathin yang kompleks, sarat dengan berbagai aspek emosi, penolakan atau resistensi, tapi juga berkelindan dengan kerinduan dan muara dari semua kebahagiaan sekaligus air mata cinta. Sarang dari rasa bangga, samudera dari segenap peluh yang tercurah demi meraih sepotong bahagia.

Senyum anak adalah celah pintu surga bagi orangtua, dan tangis pilu anak adalah desir angin neraka yang mengiris hati kedua orangtua. Sampai tubuh renta luluh lantak kehabisan daya, orangtua selalu punya deposito cinta bak sumur tanpa dasar yang mata airnya menolak untuk kering.

Meski kerap kecewa dan disakiti karena tingkah polah anaknya, orangtua akan selalu menjadi tempat pulang di saat dunia anak runtuh dan putus asa menyergap dirinya. Selalu ada Ibu, selalu ada Ayah, selalu ada rumah.

Di sekitar tahun 2005-an saya pernah menulis sebuah puisi tentang seorang anak yang bermimpi dan dalam mimpinya ia berkisah pada Ibu gurunya tentang sebuah rumah. Tentang kerinduan untuk pulang. Bukan karena rumahnya yang sederhana nan bersahaja serta dikenal karena berpintu merah, tapi karena hati yang ada di dalamnya.

Karena rindu tak peduli warna pintu, ia hanya ingin mengetuk pintu hati yang ia tahu di dalamnya dipenuhi oleh kehangatan  cinta. O.... anak. O.... Ibu. O.... Ayah.

Ini bukan lagi masalah menghadirkan dan dihadirkan atau dipaksa dihadirkan tanpa kehendak di luar kemauan. Ini adalah persoalan kenyataan, ini adalah fakta bahwa kita ada dan menjadi ada karena kita saling memiliki sesama.

Maka Luqmanul Hakim yang dimuliakan Allah Swt. hingga mendapat kehormatan menjadi nama surat ke-31 yang diturunkan di Mekkah (Makkiyah) serta terdiri dari 34 ayat, menasehati anak dan dirinya sendiri tentang keutamaan hidup. Keistimewaan menjadi manusia.

"Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, pada waktu ia memberi pelajaran kepadanya, ‘Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” [QS. Luqman: 13].

Maka apa yang diajarkan Lukman sebagai bagian paling fundamental dalam kehidupan? Tauhid. Mengesakan Allah. Integritas hidup. Kesetiaan pada nilai. Loyalitas akal pada iman. Bahwa hidup harus punya tujuan. Bahwa ruang tercipta untuk dijalani. Bahwa waktu ada karena kita harus maju. Maka Tauhid adalah nilai total yang tak dapat ditawar. Kita hidup berawal dan berakhir dari satu titik. Ahad.

Menurut Luqman itulah modal selamat. Dan syarat selamat itu tak pelak adalah taat, kesetiaan pada nilai yang harus dibangun dari proses berinteraksi dengan semua elemen yang dihadirkan dalam kehidupan.

Belajar taat, mau menerima, dan berusaha memahami dari berbagai sudut pandang tentang peran diri dapat dimulai dengan menyayangi dan mengasihi orangtua yang separuh dari masing-masing dirinya maujud dalam diri kita.

Kita adalah representasi nilai cinta mereka berdua. Kita adalah kristalisasi doa mereka, bukan hanya cinta. Maka kita adalah mereka adalah kami. Kami yang akan bersama pulang ke rumah kita semua.

"Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” [QS. Luqman: 14].

Demikianlah gelombang daya menjalar dan menghadirkan gerak saling menjaga, memelihara, dan merawat akhlaq dan adab, hingga tercipta peradaban mulia saat segenap komponen semesta bertasbih sesuai dengan kapasitasnya. Janganlah kita berpaling dari sesama, janganlah kita lelah dalam mencintai dan merawat nilai inti kemanusiaan yang senantiasa berlomba dalam mencipta kebajikan.

"Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” [QS. Luqman: 18].

Maka anak mengajarkan kita tentang cara memperlakukan manusia. Tidak ingkar, tidak mungkar, tidak zalim. Anak mengajarkan kita bahwa kita sesama manusia mungkin tidak akan pernah dapat saling mengerti, apalagi memahami, tapi sekurangnya kita dapat membuka ruang hati untuk dapat menerima dan memberi ruang bagi perbedaan persepsi.

Karena cara kita memandang dunia terkadang tidak sama. Amat bergantung pada sudut pandang, cahaya, ilmu, pengalaman, dan pilihan tujuan. Maka anak adalah sekolah kita, karena meski anak adalah sebagian kita, tapi ia juga bukan kita.

Maka kita bisa belajar tentang kita padanya, dan juga belajar tentang yang bukan kita padanya. Dan sesingkat atau sepanjang apapun waktu yang Allah berikan, itu adalah waktu paling berharga dalam hidup seorang tua.

Sumber gambar:
https://penamotivasi.wordpress.com/2017/02/25/banyak-orang-tua-mampu-rawat-banyak-anak-tapi-banyak-anak-tidak-mampu-rawat-satu-orang-tua/

Selasa, 25 April 2017

Mindful Parenting: Esensi Surat Luqmān untuk Relasi Ayah dan Anak (Bagian 3, Habis)


Oleh Tauhid Nur Azhar

Maka Ayahanda saya dengan pribadi lurusnya yang sederhana, memaknai syukur itu dengan terus berjalan lurus dan mencintai yang dikerjakan nya dengan tulus,semata sebagai bagian dari caranya untuk mengoptimalkan fungsi kehadiran dirinya bagi kemaslahatan yang menjadi elemen kecil Rahmat bagi semesta.

Tugas kita adalah mensyukuri apa yang telah kita miliki dan terintegrasi dalam konsep "diri".

Tidak bersyukur alias kufur, tidak akan mengurangi sedikitpun kebesaran dan keagungan Allah Swt., melainkan hanya mereduksi ruang sadar kita yang akan segera diisi penuh oleh rasa kecewa dan mengubah hidup menjadi sebuah perjalanan tanpa makna.

Luqmān : 12


وَلَقَدْ آتَيْنَا لُقْمَانَ الْحِكْمَةَ أَنِ اشْكُرْ لِلَّهِ ۚ وَمَنْ يَشْكُرْ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ ۖ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ

“Dan sungguh, telah Kami berikan hikmah kepada Luqman, yaitu, "Bersyukurlah kepada Allah! Dan barang siapa bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya dia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barang siapa tidak bersyukur (kufur), maka sesungguhnya Allah Mahakaya, Maha Terpuji.”




Dan pada akhirnya yang dapat diamalkan dari sikap dan teladan adalah ilmu dan tentu saja Iman.

Dengan ilmu dunia akan menjadi kitab yang berisi ayat-ayat qauniyah yang terus ditulis dan tak habis-habis dibaca serta dipelajari.

Dan dari ilmu yang merangkai mozaik cinta berupa tanda-tanda yang menenangkan jiwa, bukankah dengan berzikir tenanglah hati, akan terbangun fondasi iman yang kokoh.

Maka orang berilmu dan beriman akan memiliki kesadaran dan keluasan wawasan dalam memetakan tujuan kehidupan.

Matahari bukan lagi sekedar matahari, bukan juga sekedar reaktor termonuklir dengan reaksi fusi dan paket kuanta berupa cahaya hasil eksitasi elektronnya belaka,tapi menjadi tanda cinta yang menunjukkan adanya sistematika terencana yang pada hakikatnya mewartakan kehadiran dan keberadaan Allah Swt. 

Lalu saya pun terngiang kembali QS Mujadalah ayat 11 tentang derajat orang beriman dan bertaqwa dalam perspektif kejembaran wawasan dalam memaknai kehidupan. 

Al-Mujādalah : 11


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ ۖ وَإِذَا قِيلَ انْشُزُوا فَانْشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila dikatakan kepadamu, "Berilah kelapangan di dalam majelis-majelis," maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan, "Berdirilah kamu," maka berdirilah, niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.”

Demikianlah yang dapat sedikit saya tuliskan saat saya belajar mensyukuri nikmat yang telah Allah karuniakan berupa kebersamaan yang amat berharga dengan Ayahanda yang telah hadir sebagai guru utama kehidupan saya.

Dan kini sedikit demi sedikit saya mulai dapat mengerti, mengapa Ayah menamai saya Tauhid.

Rupanya nama itu adalah doa agar saya menjadi manusia yang tidak akan lupa pada akarnya, pada tujuan hidupnya, dan pada tempat di mana kita semua berawal dan kelak akan berakhir. Wallahu alam bissawab.

Sumber gambar:
http://www.huffingtonpost.com/loren-kleinman/f-is-for-father-and-forgiveness_b_6219940.html

Mindful Parenting: Esensi Surat Luqmān untuk Relasi Ayah dan Anak (Bagian 2)


Oleh Tauhid Nur Azhar

Maka bahagia dalam definisi Ayah saya yang bersahaja dan sederhana saja, adalah saat kita mampu mensyukuri apapun yang telah kita miliki.

Maka sayapun merasakan betapa nikmatnya piknik dengan bekal seadanya di tepi batang sungai, memancing udang, dan menjelajahi gunung, danau, dan pantai serta larut dalam pesona mengingat-Nya. Sederhana. 

Luqmān : 8


إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَهُمْ جَنَّاتُ النَّعِيمِ

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, mereka akan mendapat surga-surga yang penuh kenikmatan.”

Tetapi tentu saja pergulatan dalam hiduplah yang sesungguhnya menjadi media ujian bagi kita. Dinamika dan volatilitas yang menjadi keniscayaan makhluk sebagaimana tergambarkan antara lain dalam konsep termodinamika dengan entalpi, entropi, dan kalori yang senantiasa menyertai reaksi konversi energi adalah contoh indah tentang mencari model keseimbangan.

Ayahanda mengajarkan dengan caranya bahwa hidup adalah persoalan keseimbangan, homeostasis bahasa ilmiahnya.

Dan keseimbangan maknawiah itu baru dapat dicapai jika kita mampu menginternalisasi nilai-nilai yang termaktub dalam panduan keselamatan hidup di dunia dan akhirat. 




Maka sholat dan zakat adalah persoalan kesadaran tentang keberadaan dan konsep dasar soal kepemilikan.

Sholat adalah jalan membangun karakter yang ditandai dengan akhlaq mulia, berindikator tidak keji dan mungkar.

Sedangkan zakat adalah upaya konstruktif membangun logika bahwa kepemilikan tidak dapat melekat pada ruang dan waktu dan dapat dimanipulasi serta tereliminasi dari kehidupan semudah bulir air yang terevaporasi panas mentari yang datang merambat melalui proses konveksi. 

Maka berbagi dan berbuat baik bagi sesama adalah jalan keselamatan yang selalu ditawarkan untuk segera dikerjakan.

Dan sampai akhir hayatnya Ayahanda saya selalu berusaha tuntas menolong dan membantu dengan segenap potensi yang dimilikinya agar dapat menjadi manfaat bagi sesama. Menjadi bagian dari solusi,meski sangat menyadari adanya keterbatasan diri. Orientasinya satu, akhirat kelak yang akan menjadi bukti.

Luqmān : 4


الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ بِالْآخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ

“(yaitu) orang-orang yang melaksanakan salat, menunaikan zakat, dan mereka meyakini adanya akhirat.”

Dan kini saya jadi mengerti, bahwa konsep menolong, membantu, dan bekerja untuk memberikan kebermanfaatan inilah bentuk syukur yang paling kongkret.

Mensyukuri apa yang telah dimiliki. Bukankah potensi yang melekat pada kita adalah "apa" yang telah kita miliki? Kita sebagai manusia pilihan dari ratusan juta sel nutfah dan dilengkapi akal untuk menjadi makhluk prokreasi yang didapuk sebagai Khalifah yang bertugas menghadirkan Rahmah bagi semesta sekalian alam. 

Baca berikutnya di sini

Sumber gambar:
http://www.huffingtonpost.com/loren-kleinman/f-is-for-father-and-forgiveness_b_6219940.html

Mindful Parenting: Esensi Surat Luqmān untuk Relasi Ayah dan Anak (Bagian 1)



Oleh Tauhid Nur Azhar

Sepeninggal Ayahanda tercinta saya banyak merenung dan menafakuri berbagai ayat dalam Al Quran terkait dengan hubungan anak dan orang tua.

Entah mengapa saya terus mengulang-ulang mengkaji QS Luqmān yang bagi saya saat itu terasa benar mewakili segenap ungkapan rasa yang tengah melanda hati dan pikiran.

Diawali dengan penjelasan tentang keutamaan Quran dan diisi dengan prinsip-prinsip dasar hidup yang dinasehatkan Luqmān pada anaknya melalui untai diksi berfrasa indah yang teramat menyentuh kesadaran. Sungguh hidup itu perlu pegangan dan pemetaan tujuan.

Prinsip dasar Luqmān untuk setia dan loyal pada satu nilai yang menjadi tujuan segenap hasrat dalam kehidupan yangg dibatasi dimensi ruang dan waktu, jugalah yang senantiasa diajarkan Ayahanda sejak saya masih berusia sangat dini.

Maka mungkin saja ini alasan beliau menamai saya Tauhid.

Dasar akidahlah yang membedakan hidup kita itu akan dapat dimaknai indah atau justru hanya ruang waktu yang terisi rangkaian musibah.

Sedari kecil saya diajak Ayah berkelana untuk membangun pola pikir sistematis konstruktif, dengan konstruksi Tauhid sebagai kerangka acuan utamanya.

Betapa banyak kebesaran Allah SWT beliau perlihatkan pada saya melalui perjalanan susur daerah aliran sungai Toraut di Doloduo Bolaang Mongondow sana.

Betapa keindahan dan keramahan alam dan manusia beliau perlihatkan saat saya diajaknya berjalan 3 hari 3 malam dari Sulawesi Utara menembus rimba raya tropika menuju Sulawesi Tengah yang saat itu bahkan jalur tersebut nyaris tak terjamah.




Pada saat berjalan tertatih di tebing karang nan tinggi Teluk Tomini dengan latar belakang Gunung Tinombala yang tinggi menjulang, rasa kecil, bahkan teramat kecil di hadapan Sang Khaliq begitu nyata terasa memenuhi rongga dada.

Keangkuhan dan kesombongan sontak runtuh, segenap daya dan upaya luruh dalam tasbih memuji ke-Agungan-Nya. Tak hanya lutut yang bergetar karena diserang rasa takut, tapi juga hati bergetar hebat melihat maha karya Allah yang sedemikian hebat.

Saat bertemu dengan ketulusan manusia-manusia yang berjuang dan mengelola Rahmah sebagai amanah yang merupakan bagian dari barokah, yang tersisa hanya kagum dan hormat pada kebijakan yang mereka tunjukkan.

Sungguh perjalanan demi perjalanan bersama Ayahanda ke segenap antero dunia menyadarkan saya tentang arti pentingnya menghargai sesama manusia dan makhluk Allah yang pada hakikatnya adalah guru bagi kita untuk mengenal Sang Maha Pencipta.

Luqmān : 18


وَلَا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحًا ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ

“Dan janganlah kamu memalingkan wajah dari manusia (karena sombong) dan janganlah berjalan di bumi dengan angkuh. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri.”

Maka Ayah dengan caranya sesungguhnya kini saya sadari sepenuhnya tengah mengajari saya tentang memaknai hidup dan memberi nilai tambah pada waktu dan ruang yang pasti akan berlalu.

Kita ini makhluk ∆t, yang tak kuasa menolak untuk terus maju dan menua serta menuju titik yang satu.

Maka Ayahanda dengan sedikit kata dan tak berbunga lewat kalimat berima, mengajari saya tentang konsep bijak dan bajik.

Orang bijak pasti berlaku bajik, maslahat bagi ummat, berkarya dan berguna bagi sesama sebagaimana hadist Rasululullah Saw. tentang indikator kemuliaan manusia.

Maka mengisi hidup dengan karya dan kebermanfaatan adalah cara mengkonstruksi bahagia dan surga. Interaksi akan terbangun jika ada silaturahmi dan sinergi yang maujud dalam aksi untuk mengoptimasi potensi.

Ini adalah bentuk rasa syukur dan perwujudan dari konsep sabar yang sebenarnya. Maka Ayah mengajari saya lewat contoh dalam bentuk berkarya tanpa banyak bicara, jujur dalam bersikap, ikhlas dalam bekerja, dan itu semua dikanalisasi dalam kesatuan gerak yang dipandu niat.

Bukankah niat itu adalah penegasan terhadap tujuan paling hakiki?

Baca berikutnya di sini

Sumber gambar:
http://www.huffingtonpost.com/loren-kleinman/f-is-for-father-and-forgiveness_b_6219940.html