Minggu, 11 November 2018

Perang Terbesar adalah Perang Melawan Diri Sendiri

Halaman Terakhir Perjanjian Compiegne

Oleh Tauhid Nur Azhar

Hari ini (11 November) tepat 100 tahun yang lalu berakhirlah suatu tragedi sejarah yang diduga telah merenggut nyawa 19 juta manusia. Hari ini satu abad yang lalu di Compiegne, tepat pukul 11 siang ditandatangani kesepakatan untuk mengakhiri perang dunia pertama.

Jerman dan Kerajaan Hapsburg Hungaria-Austria serta Kerajaan Turki di satu sisi, mengakui kekalahan dari Inggris, Perancis, Italia, dan Amerika di sisi yang berlawanan. Tapi sekutu selalu berada dalam lingkup kepentingan, bukan kemanusiaan yang berciri kesetiaan pada perdamaian. 

Semua adalah ekspresi kecemasan sub liminal yang berubah menjadi ketakutan lintas sektoral. Manusia yang cerdas pada akhirnya berpotensi untuk menindas. Melibas segala kendala, juga hendaya dalam pemenuhan kebutuhan yang selalu didamba. 

Maka perang adalah benturan egosentris yang terpantik oleh ansietas kronik. Insting primordial yang bersifat impulsif dan defensif. Mereka yang menyalak, menggonggong, dan menyerang itu sesungguhnya adalah mereka yang takut dan tertekan. 

Kompartemen batang otak mengajari limbik tentang apa itu definisi senang, juga tenang. Pada gilirannya limbik akan membangun pusat imbalan dan mendefinisikan ulang kenyamanan berdasarkan rentang kenikmatan yang bisa didapatkan. Maka lahirlah budaya otak depan yang menghamba pada kekhawatiran, kecurigaan, dan ketidakpastian yang memprovokasi agar segera diberi kepastian. 

Kecerdasan akan berkelindan dengan ketrampilan yang diarahkan untuk penjaminan kepentingan. Kepentingan yang tak akan lepas dari skema dasar pemenuhan kebutuhan. 

Itulah triune brain. Itulah dasar dari Abraham Maslow mengonstruksi Piramidanya. Juga Millon pada saat menggambar garis polarisasi khayalnya. 

Manusia belajar tapi tak kunjung jera. Ketakutan dan kecemasan dapat mengalahkan segenap pengalaman yang telah diekstrak menjadi pengetahuan dan kebijakan. Entah mengapa manusia bisa menjadi begitu tega membantai teman, atau bahkan saudara sebagaimana di perang sipil Amerika. 

Gettysburg di Virginia menjadi saksi puluhan ribu tentara infanteri, kavaleri, dan artileri menyabung nyawa. Padahal Robert E. Lee dan Jenderal Grand, sang panglima, keduanya adalah sesama bangsa Amerika. 

Kecemasan dan kekhawatiran tentang pemenuhan kebutuhan memang kerap diekspresikan terbalut dalam selimut eufimisme yang munafik. Semua berima dan berbunga dengan tautan makna yang dikaitkan dengan nilai dan kemuliaan. Nilai yang menjadi legitimasi untuk mengirim para martir mati. 

Operation Overlord saat D-Day merebut Normandy menjadi saksi ratusan ribu pasukan lintas udara, pendarat marinir, sampai laskar bawah tanah negeri yang diokupansi bergerak untuk menegakkan kebenaran yang diyakini. 

Dan entah mengapa hal yang sama tentu juga dirasakan oleh Field Marshal Erwin Rommel yang membawahi benteng pertahanan Jerman di sepanjang pantai barat Eropa. Maka ketika sesama pejuang kebenaran berhadapan, dilahirkanlah terminologi kesatrian. 

Mungkin sudah saatnya yang kita adopsi dan kembangkan sebagai bagian terintegrasi dari peradaban adalah pola pikir Waskita. Pola pikir yang merupakan sintesa dari iman, ilmu, dan ikhlas.

Sumber gambar:
https://en.wikipedia.org/wiki/Armistice_of_11_November_1918

Share:

0 komentar:

Posting Komentar