Tampilkan postingan dengan label Waskita. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Waskita. Tampilkan semua postingan

Senin, 02 September 2024

Mindful Journey: Bertumbuh di Puncak Merbabu



Oleh Duddy Fachrudin 

Waktu tercepat untuk mendaki keempat belas puncak 8000 meter adalah tujuh tahun. Jika bisa bertahan, aku bisa melakukannya dalam tujuh bulan. (Nims Purja) 

Nims dan tim yang semuanya berasal dari Nepal itu akhirnya menaklukkan keempat belas puncak tertinggi di dunia—Sishapangma, Gasherburm I, Gasherburm II, Broad Peak, Annapurna, Nanga Parbat, Manaslu, Dhaulagiri, Cho Oyu, Makalu, Lhotse, Kangchenjunga, K2, dan Chomolungma atau yang terkenal dengan Everest di tahun 2019. Melalui “Project Possible”, hal yang tidak mungkin bisa terwujud dalam enam bulan enam hari. Perjalanan itu kemudian ditayangkan dalam film dokumenter “14 Peaks: Nothing Is Impossible”.

Menariknya, rekor yang terlihat sangat mustahil untuk dipecahkan itu kemudian patah. Adalah Kristin Harila dan Tenjen Sherpa yang melakukannya. Mereka mendaki dan berada di empat belas titik tertinggi di dunia hanya dalam kurun waktu 92 hari pada tahun 2023.

Setahun sebelum peristiwa itu, saya mendaki Gunung Merbabu, setelah 15 tahun tidak melakukan aktivitas hiking. Saat berjalan menuju pos 3, tubuh saya terbanting ke tanah. Betis kaki kiri mengalami kram yang luar biasa yang membuat saya meragu untuk melanjutkan perjalanan. Namun akhirnya setelah dipapah dan mengambil jeda, saya melanjutkan pendakian ke pos Sabana. Keesokan harinya, dengan kekuatan tekad dan Rahmat Allah Swt., dua puncak Merbabu, yaitu Kentengsongo dan Triangulasi berhasil didaki.

Ada sensasi yang luar biasa, kepuasan yang tak terkira mendaki sekaligus menziarahi awindya hingga berada di puncaknya. Mungkin Nims Purja dan Kristin Harila juga merasakan hal yang serupa. Dalam psikologi, hal ini termasuk dalam psychological well-being (kesejahteraan psikologis) dengan secara khusus pada aspek personal growth (pertumbuhan pribadi).

Gunung Merbabu

Pertumbuhan pribadi menekankan pada terbuka dengan pengalaman baru, perkembangan yang berkelanjutan, hingga bertumbuh dan terus berkembang sebagai manusia. Inilah mengapa dalam psikologi ada tugas atau tantangan perkembangan. Mulai dari anak-anak, remaja, dewasa, sampai lansia, terdapat tugas psikologi yang perlu dipenuhi agar siap dan adaptif menuju fase perkembangan selanjutnya.

Misalnya saja pada usia remaja ditekankan untuk mengenal dirinya, potensinya, kelemahannya, lintasan rasa dan pikirannya yang sering muncul, hingga tujuan penciptaan dirinya di dunia. Pemahaman akan diri jika sudah terpenuhi akan membawa pribadi yang matang saat menghadapi fase dewasa. Jadi, tidak ada lagi narasi dalam diri yang mengatakan “takut tambah dewasa, takut aku kecewa, dan takut tak seindah dan sekuat yang kukira…”, apalagi manusia sejatinya diberi potensi, yaitu penglihatan, pendengaran, serta hati.

Hidup memang suatu dialektika. Ada masalah, juga hal-hal indah. Keduanya silih berganti mengisi jiwa manusia. Derita bukan berarti malapetaka, karena Sang Arif Bijaksana, Ibnu Athaillah berkata:

“Datangnya beragam kesukaran merupakan hari raya bagi murid”, dan “Bisa jadi, kegelapan datang menyergapmu untuk mengingatkan anugerah Allah atas dirimu”.

Jalaludin Rumi menambahkan:

“Be grateful for whatever comes, because each has been sent as a guide from beyond”.

Ketidaknyamanan seperti saat pendakian sebuah gunung itu suatu hal yang memang perlu dijalani agar kelak manusia mekar dan tumbuh. Sabar dan syukur serta kemampuan untuk merancang solusi mewujud pada aksi ialah niscaya. Di sini, di titik jeda, di saat lelah melanda adalah masa terbaik untuk membaca dan memohon petunjuk kepada Sang Maha.

Saya jadi teringat dengan kata-kata Sir Edmund Hillary, satu dari dua orang yang berada di Puncak Gunung Everest pertama kali, “It’s not the mountain we conquer, but ourself”. Pertumbuhan pribadi itu ternyata menaklukkan diri kita sendiri, khususnya diri yang membawa kepada keburukan.

Wa mā ubarri`u nafsī, innan-nafsa la`ammāratum bis-sū`i illā mā raḥima rabbī, inna rabbī gafụrur raḥīm. (QS. Yusuf: 53)

Paparan kenikmatan dan penderitaan yang hadir selama menjalani kehidupan di dunia seringkali mengalihkan dari pemenuhan tugas perkembangan. Menurut Mbah Erik Erikson, psikolog yang mengembangkan konsep perkembangan dari perspektif psikososial, bahwa level tertinggi manusia ialah pencapaian kebijaksanaan. Menjadi manusia yang waskita dengan metakognitifnya seperti pendaki yang bertengger di Puncak Sagarmatha. Dan ciri manusia waskita pitutur Ronggowarsito, yaitu memahami “rahasia selamat” dan menjalaninya, ibarat ngelmu iku kalakone kanthi laku.

Dalam keheningan di Puncak Merbabu, hati ini bertanya, apakah “rahasia selamat” itu?

Sumber gambar:

Senin, 02 Agustus 2021

Mindfulness ala Psikologi Jawa (Bagian 3, Habis)




Oleh Duddy Fachrudin 

Waras adalah maturitas yang meretas dari rahim keheningan.

Itulah mengapa Nabi bermeditasi di Gua Hiro lalu diperintahkan padanya untuk “membaca” atau iqro. Iqro... apa yang perlu dibaca? Perintah ini tentu tidak hanya tertuju padanya, melainkan kita semua umat manusia.

Melalui sunyi pula, Raden Mas Said bertransformasi menjadi Sunan Kalijaga yang bijaksana, yang mengajarkan kepada kita untuk waskita di jaman kalatidha melalui kidung wahyu kalasebo, syair cinta yang sarat akan hikmah.

Hening, mentafakkuri dan mentadabburi diri adalah saat-saat yang tepat untuk kembali ke “rumah”. Di kala hiruk pikuk gempita dunia, menyelami diri adalah ekstase menyejukkan yang mengobati derita.

Masa-masa di rumah saja selama pandemi corona seharusnya menjadi momen peningkatan kualitas kewarasan diri. Namun bagi sebagian orang, menyepi dalam sunyi adalah aktivitas yang membosankan. Wajar, karena manusia jaman sekarang begitu mengagungkan materialisme. Mereka tidak menyadari sumber atau awal petaka kehancuran diri dan umat manusia adalah buta akan alam ruhaninya dan terpedaya dengan hedonisme.

Mereka yang waras juga bertindak dan berperilaku menahan diri, berempati, dan mencegah transmisi selama pandemi. Keengganan untuk peduli merupakan wujud dari patologi dalam diri yang kemudian menyebar lebih luas ke ranah sosial.

Maka waras adalah soal regulasi diri, tentang mempuasai hasrat yang dapat menimbulkan gawat. Manusia waras bertindak dan hidup dengan seimbang, proporsional, tidak berlebihan, selaras, dan harmonis.

Kolaborasi dikedepankan, eksploitasi demi kepentingan pribadi disingkirkan. Thus, kualitas waras memproduksi welas (asih).

Welas adalah cinta dan kelembutan, yang berfokus pada aktivitas memberikan kebermanfaatan bagi sesama dan semesta. Jika tahapan manusia di level waras sebagai seorang hamba, maka pada tingkatan ini (welas) adalah khalifah.

Manusia yang khalifah memiliki makna sebagai wakil mandatori Tuhan untuk mengelola wilayah bernama bumi seisinya dengan segenap cinta.

Selama proses tersebut (mengelola), terdapat kecenderungan pada diri manusia untuk berbuat destruktif. Manusia mengikuti hawa nafsunya dan kembali lupa (baca: kembali tidak waras) bahwa dirinya manusia.

Maka, terdapat peringatan dalam bentuk ujian, musibah, bencana, atau wabah seperti corona yang diberikan Tuhan kepada manusia saat lalai menjalankah misinya dengan baik.

Di saat itulah, proses wawas-waskita-waras-welas menjadi daur yang perlu ditempuh (kembali) oleh manusia.

Ingat bahwa sesungguhnya kita ini bukan stasi. Kita, manusia yang memegang janji-janji, terikat waktu dan ruang, yang mendamba tenang, dan merindu untuk pulang.

Sumber gambar:

Mindfulness ala Psikologi Jawa (Bagian 2)




Oleh Duddy Fachrudin 

Pengamatan yang baik menghasilkan kejernihan (clarity), yang kemudian disebut waskita. Ibarat air yang tak lagi bergelombang menampilkan riak, pikiran yang waskita begitu tenang, bening, dan indah. Maka tak heran jika keputusan atau apapun yang diproduksi pikiran ialah kebijaksanaan.

Kebijaksanaan melampaui kecerdasan. Orang yang bijaksana sangat jarang dijumpai karena mereka pun tersembunyi dan kadang enggan menampilkan diri. Namun, tentu ada juga yang memang sengaja “ditampilkan” oleh Tuhan dengan tujuan sebagai teladan.

Dunia dan Michael Hart mencatat manusia paling berpengaruh sekaligus bijaksana adalah Muhammad Saw. Saat berhijrah ke Madinah, beliau menawarkan solusi dan kolaborasi demi kesejahteraan bersama alih-alih eksploitasi.

Eksploitasi? Di dunia yang katanya modern, justru eksplorasi berlebihan atas pemenuhan kebutuhan ini yang kemudian dikedepankan. Neokapitalisme menggerus keseimbangan sosial. Jurang perbedaan semakin membentang. Yang kaya makin kaya, yang miskin semakin jatuh miskin.

Lalu, dimanakah letak kebijaksanaan? 

Padahal orang-orang cerdas sangat banyak jumlahnya di dunia ini. Bukankah ini menjadi ironi tersendiri?

Artinya, nirkebijaksanaan atau nirkewaskitaan memicu ketidakwarasan komunal. Sebaliknya, jika kewaskitaan dikembangkan dan pelihara, maka bukan hanya individu tersebut yang “waras”, melainkan lingkungan sekelilingnya.

Kondisi waras atau sehat dimaknai sebagi suatu kondisi yang sejahtera, merdeka atau bebas dari penyakit secara biopsikososiospiritual.

Menjadi manusia yang manusia atau waras berarti bertumbuh dan berkembang secara adaptif sesuai potensi luhur yang disematkan pada diri manusia. Sebaliknya ketidakwarasan ditunjukkan dari suatu respon maladaptif akibat “kegagalan” individu tersebut memahami fungsi dan peran dirinya di dunia.

Halaman Selanjutnya >>>

Sumber gambar:

Mindfulness ala Psikologi Jawa (Bagian 1)




Oleh Duddy Fachrudin 

Das Leben der Anderen atau The Lives of Others memenangkan Academy Award (OSCAR) tahun 2007 untuk nominasi Best Foreign Films. Situs Rottentomatoes memberikan skor 93%, sementara IMDB merating 8,4 sudah cukup membuktikan bahwa film berasal dari Jerman ini memiliki kualitas cerita yang tidak biasa.

Sebelum tembok Berlin runtuh, Jerman Timur atau Republik Demokratik Jerman (RDJ) dikuasai oleh Uni Soviet. Stasi yang merupakan Intelijen dan Polisi Rahasia bertebaran di masyarakat dan memata-matai siapapun yang dianggap mencurigakan sebagai pembelot atau pengkhianat.

Das Leben der Anderen berkisah tentang seorang Stasi berwatak dingin namun kesepian yang mengawasi seorang penulis drama teater. Rumah sang penulis disadap dan segala gerak geriknya diikuti.

Selama proses mengintai banyak hal yang dijumpai olehnya. Drama kisah cinta penulis dengan kekasihnya, pergolakan hidupnya, hingga fakta alasan dibalik penugasan spionase yang diberikan atasannya. Ia juga mendengarkan alunan sonata for a good man melalui piano yang dimainkan oleh sang penulis.

Pengamatan yang dilakukannya menimbulkan pergolakan batin. Ia menyadari bahwa sang penulis memang melakukan hal yang tidak semestinya, yaitu menulis suatu hal yang menjadi rahasia negara dan diterbitkan di sebuah majalah di wilayah Jerman Barat. Namun tulisan itu mengandung kebenaran dan memang layak diketahui oleh orang lain di seluruh dunia. Ia pun memahami alasan dibalik penugasan spionase yang diberikan atasannya, yaitu demi kepentingan naik jabatan dan mengambil teman wanita sang penulis dengan cara yang picik.

Proses niteni secara objektif perlahan mulai mengikis sisi gelapnya, dinginnya, kakunya pribadi dirinya sebagai seorang stasi. Perlahan ia bertransformasi menjadi seorang manusia yang memiliki skala prioritas mengedepankan hati nurani dan menjunjung kebenaran dan kejujuran.

The Lives of Others memang berkisah tentang menjadi manusia. Melepaskan topeng diri memerlukan prasyarat laku bernama pengamatan. Dalam bahasa Jawa, mengamati atau mengawasi disebut wawas. Banyak manusia yang “lupa” bahwa dirinya adalah manusia yang memiliki potensi hanif (lurus) dan penuh dengan kasih sayang. 

Mereka senantiasa dibutakan oleh kebahagiaan semu yang melekat di dunia. Bahkan untuk sekedar jeda, mengamati diri dan situasi adalah bagian dari ibadah terpuji.

Bukankah Allah Swt., berkata, wa fii anfusikum afalaa tubsiruun (QS. Adz-Dzariyat: 21), wal tandzur nafsun maa qaddamat lighad (QS. Al Hasyr: 18), dan berkali-kali berpesan kepada manusia untuk memperhatikan tanda-tanda serta penciptaan langit dan bumi.

Dalam kaidah mindfulnes, melakukan pengamatan adalah langkah pertama yang perlu dilakukan seorang individu. Proses ini dilatih setiap hari dalam berbagai kondisi, baik saat duduk, berdiri (bergerak), maupun berbaring.

Dengan wawas secara intensif, ia mempelajari, menelaah, kemudian menyadari seutuhnya pikirannya, perasaannya, gerak-gerik niatnya, sensasi tubuhnya, perilakunya, hingga kebiasaan-kebiasannya. Ia menyadari sekelilingnya, dunia makro yang beraneka ragam, penuh dengan pilihan yang dapat menjerumuskan, menyesatkan, atau meningkatkan derajat ketaqwaannya sebagai manusia. 


Sumber gambar:

Senin, 19 April 2021

Perjalanan untuk Rehat


Oleh Tauhid Nur Azhar 

Allah memiliki sifat laisa kamitslihi syaiun, artinya Allah tidak bisa disamakan dengan apapun. Artinya sesuatu yang bisa dipikir atau dikonstruksi secara perseptual oleh manusia adalah syaiun, bukan Allah.

Maka kita diminta untuk pandai memilah, memillih, dan mengolah tanda serta fenomena untuk mencari jejak makna kehadiran dari Allah, Zat yang Maha Mencipta.

Sesungguhnya pada langit dan bumi benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) untuk orang-orang yang beriman. (QS. Al-Jaatsiyah Ayat 3)

Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin. (QS. Adz-Dzaariyat Ayat 20)

Kedua ayat tersebut sejalan dengan ayat tentang keutamaan ilmu dan iman sebagaimana dapat dipelajari di surat Al Mujadallah ayat 11 berikut:

Wahai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu, berilah kelapangan di dalam majelis-majelis, maka lapangkanlah. Niscaya Allah Swt. akan memberi kelapangan untukmu. Apabila dikatakan, berdirilah kamu, maka berdirilah. Niscaya Allah Swt. akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Allah Swt. Mahateliti apa yang kamu kerjakan. 

Dalam mencari dan berproses membangun kesadaran akan kehadiran Allah SWT dalam kehidupan berlaku prasayarat dan syarat yang harus dipenuhi terlebih dahulu.

Yaitu terintegrasinya iman dan ilmu dalam suatu bentuk keselarasan jasadiyah, aqliyah, dan ruhiyah yang terimplementasi dalam konteks Iqra, Akhlaq, dan Adab yang terepresentasi sebagai aspek kebermanfaatan dan Rahmah bagi semesta sekalian alam.

Upaya manusia mencari makna kehadiran Penciptanya berjalan seiring dengan berkembangnya kemampuan manusia mengekstraksi tanda yang maujud dalam berbagai fenomena, interaksi, dan perubahan dinamis yang diolah melalui fungsi kognisinya. Cara berpikir menjadi konsekuensi logis dari dianugerahkannya kemampuan berpikir.

Mulai dari era Ibnu Sina dengan pendekatan peripatetiknya atau Suhrawardi dengan faham Isyraqiyyah atau iluminasinya, sampai ke pendekatan para muttakalimun atau teosofi transendentalis, al-hikmah al-muta'aliyah, pada dasarnya adalah sebuah gerakan terstruktur untuk mencari makna dan tujuan hidup.

Bahkan jika mengacu kepada pandangan Mulla Sadra yang menggagas prinsip gerak lintas substansi; termasuk materi, ruang, dan waktu, yang dikenal sebagai al harakah al jawhariyah, dimana ada penekanan bahwa setiap perkembangan manusia dimaksudkan untuk mencapai kesempurnaan yang memerdekakan dari keterikatan pada substansi yang melekat padanya sifat perubahan.

Kita semestinya mampu melihat esensi dari substansi, hingga meski kita sendiri bertumbuh, berkembang, dan pasti berubah, esensi dari kehadiran substansi adalah ajeg. Ada makna tunggal yang dapat kita sebut sebagai konsep Ahad.

Dan jika hidup itu adalah sebuah petualangan dalam perjalanan, kata Sadra, perjalanan pertama adalah perjalanan makhluk kepada kebenaran (safar min al-khalq ila al-haqq).

Perjalanan kedua adalah perjalanan bersama kebenaran di dalam kebenaran (safar bi al-haqq fi al-haqq).

Sedangkan perjalanan ketiga adalah retroversi atau kebalikan dari perjalanan pertama, sebab perjalanan ini berangkat dari kebenaran menuju makhluk (safar min al-haqq ila al-khalq).

Lalu perjalanan keempat adalah sintesis dari perjalanan kedua, karena perjalanan ini adalah perjalanan bersama kebenaran di dalam makhluk (safar bi al-haqq fi al-khalq).

Izinkan saya untuk merekonstruksi konsep perjalanan tersebut ke dalam satu konklusi yang dapat disebut istikmal al-nafs atau penyempurnaan manusia dan jiwanya.

Maka tak heran jika dalam fase kehidupannya, baik jin maupun manusia itu tugasnya cuma satu, beribadah, sebagaimana termaktub dalam QS. Az Zariyat Ayat 56 berikut:


وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ


Karena apapun dinamika dan perubahan non esensial yang terjadi, secara substansial esensi dari hidup adalah belajar mengenali tujuan dan pada akhirnya meraih kesadaran tentang makna kehadiran, penciptaan, dan tentu saja Sang Maha Pencipta. 

Bukankah dalam hadist qudsi disampaikan bahwa:
Kuntu kanzan makhfiyyan fa ahbabtu an u`rafa fa khalaqtu ‘l-khalq li-kay u’raf.

Dari balik misteri dan khazanah rahasia (termasuk proses penciptaan), maka Allah Swt. Sang Maha Pencipta menghendaki kita mengenal-Nya. Dan segenap proses dalam "mengenal" itu maujud dalam isti'mal al nafs.

Pencarian dan penelusuran jejak untuk menemukan jalan kembali dapat saja merambah pendekatan quantum seperti pengertian super posisi ataupun jika berbicara tentang konsep hakikat materi kita dapat menelisik lebih mendalam soal berbagai kondisi anomali. Antara lain kondisi tersebut dapat dilihat pada Einstein Bose Condensat dan berbagai varian hubungan panjang gelombang, frekuensi, dan energi, sampai teori Zero Kelvin , dimana dalam kondisi super fluida, Helium-4 yang didinginkan 2° K dapat menentang arah gravitasi.

Artinya? 

Kita tentu saja mendapat gambaran tentang Zat yang Maha Merencanakan dan Mengendalikan melalui beberapa instrumen yang menjadi bagian terintegrasi hukum alam, Sunatullah, yang berlaku secara universal di semesta yang kita kenal.

Dari proses eksplorasi pengetahuan itu juga manusia melahirkan suatu kemampuan adaptif akumulatif: prokreasi. Dimana manusia yang dikaruniai kemampuan prokreasi melalui melekatnya fungsi kognisi dan afeksi serta motorik aksi yang berkonsekuensi kita dapat berkontribusi pada sub sistem pengelolaan semesta,


وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ


Dari penafsiran terhadap QS. Al Anbiya ayat 107 tersebut tampak nyata bahwa proses pengelolaan dan belajar menalar sesuai kadar tertakar adalah prasyarat untuk mengonstruksi sadar. Kehadiran yang harus menjadi rahmah adalah sebentuk pengejawantah dari spirit utama Bismillah.

Penjabaran sifat welas asih menjadi kata kunci untuk membangun piranti kewaskitaan yang tak lain adalah piranti inti, sokoguru ke-Tauhidan. Persoalan akidah adalah meta konstruksi dari segenap proses dalam hidup.

Tasqiyatun nafs menjadi metoda purifikasi terhadap faktor distortif yang dapat menginterferensi niat yang menjadi titik acuan dalam melempangkan jalan ikhlas dengan rambu sabar dan safety guidance berupa rasa syukur holistik.

Maka jika kembali pada prinsip al harakah al jawhariyah, dimana setiap elemen kesemestaan termasuk kita, terkena Sunatullah untuk terikat pada konsep motion in substance and space sebagai konsekuensi telah ditetapkannya waktu, maka tak pelak satu simpulan sederhana adalah, mulailah bersyukur, sabar, dan ikhlas menjalani hidup secara substansial untuk mengenali esensi. Lalu di satu titik hakikat dapat datang merapat. 

Mungkin itulah saat tepat untuk rehat. 

Sumber gambar:

Kamis, 10 Desember 2020

Jeda untuk Hati: Sebuah Renungan Pagi




Oleh Tauhid Nur Azhar

Waktu adalah dimensi yang malar. Selalu maju seiring dengan nalar dan sadar. 

Tentu masing-masing kita berbeda kadar, berbeda cara menakar, dan juga berbeda dalam hal nilai yang mengakar. Tetapi kita semua meyakini bahwa waktu dan ruang adalah keniscayaan yang terintegrasi dengan esensi dan eksistensi. Keberadaan dan nilai keberadaan. 

Saya pribadi menyadari di masa-masa penuh ujian ini begitu banyak merasakan kebaikan dan ketulusan dari banyak orang, yang bahkan tidak kita kenal sebelumnya. 

Kebersamaan dalam mengarungi ujian mempererat kepedulian dan menumbuhkan nilai-nilai persaudaraan yang memanusiakan kembali manusia. Akar keberadaan untuk memberi kebermanfaatan menjadi semakin terasakan. 

Bahkan secara resiprositas, saat seorang kawan mengalami kesulitan dan kita merasa kurang optimal dalam membantu, ada rasa bersalah yang terasa mengganggu. 

Mungkin ini adalah nilai kesadaran yang menyeruak dari pemahaman terhadap esensi dan eksistensi. Kehadiran di ruang waktu yang terus maju dan jejaring interaksi yang terjadi di dalamnya. 

Kemampuan prokreasi dan komunikasi yang berpadu dalam orkestrasi fungsi eksekusi (executive function), membuat simfoni nan harmoni dari semua fungsi neurofisiologi dan endokrinologi dalam menghadirkan kreasi berupa komposisi yang penuh arti dalam memaknai perjalanan hidup ini. 

Tak dapat dipungkiri, Sunatullah dan Fitrah makhluk adalah menua, menjadi renta. Berdegenerasi dan mengalami transformasi fungsi. Meski sulit dan berat untuk dijalani, apalagi dimengerti, tetapi sesuai takdir semua akan terjadi. 

Perjalanan hidup akan menghadirkan pengalaman dan pembelajaran. Tak pelak ini adalah peran organik dari organa sensuum alias indera, juga thalamus, limbik, dan area asosiatif di korteks otak. 

Master Chef PFC (prefrontal cortex) akan meramunya menjadi berbagai keputusan dan kebijaksanaan yang kemudian menjadi bagian tak terpisahkan dari kualitas hidup kita. Termasuk di dalamnya persoalan kepemimpinan, pengelolaan potensi, dan juga adaptasi serta proses pelatihan dalam menghadapi berbagai ujian. 

Dinamika emosi dan pengembangan konsep perilaku menjadi bahan baku yang selalu harus diracik dan dijaga agar tidak "over" atau "under" cook. Dan itu menantang sekali. 

Kita memainkan sebuah komposisi rumit dalam orkestra grand philharmonic dalam pentas kehidupan, dengan partitur yang setiap halaman berikutnya dapat berubah sesuai dengan berbagai pola interaksi dinamis yang terjadi, dimana sebagian besarnya justru di luar kendali kita. 

Maka uncertainty menjadi satu variabel yang "memaksa" kita untuk terus belajar beradaptasi dan membangun keyakinan sebagai "core value" yang pada gilirannya akan menghadirkan konsep IMAN. 

Ada jejaring fungsi, interaksi, dan koordinasi yang direncanakan, diciptakan, dan dijalankan oleh Supra Sistem yang mengawali, menghadirkan, dan mengakhiri. Di titik inilah kewaskitaan yang maujud dalam kepekaan terhadap gejala dan tanda dapat menjadi konstruksi keluhuran manusia. 

Kemampuan membangun perspektif dengan visi (vision) secara utuh. Dan perjalanan, pengalaman, serta pembelajaran yang disertai dengan permenungan, kontemplasi, serta upaya mawas diri dan kemauan untuk menerima "kehadiran" Yang Hakiki menjadi kata kunci.

Sumber gambar:

Jumat, 17 Juli 2020

Mindfulness Tidak Hebat-Hebat Amat



Oleh Duddy Fachrudin 

Jika ada satu intervensi psikologi yang gitu-gitu aja, cenderung membosankan, dan mungkin malah membuat stres, maka itu adalah mindfulness

Mungkin saja hasil-hasil penelitian yang membesarkan nama mindfulness itu penuh dengan bias dan konflik kepentingan. 

Mindfulness sebagai prediktor kebahagiaan, kesejahteraan psikologis, ataupun kesehatan fisik mungkin juga perlu dipertanyakan keabsahannya. 

Bukankah berlatih mindfulness dan mengembangkan kehidupan yang mindful, aslinya tidak mengharapkan apa-apa? 

Maka jangan terlena rayuan orang-orang yang mengatakan mindfulness adalah jurus jitu dalam menyelesaikan kecemasan, depresi, atau permasalahan psikologis lainnya. 


Mindfulness mengajak individu untuk tidak menilai. Namun, manusia tidak bisa tidak melakukan penilaian atau evaluasi. Termasuk tulisan ini yang penuh dengan penilaian. 

Masih banyak alternatif tritmen atau intervensi lain yang bisa digunakan, yang lebih mudah, instan, dan berdampak ketimbang mindfulness

Mindfulness bukan apa-apa. Bukan strategi keramat. 

Mindfulness tidak hebat-hebat amat. 

Sumber gambar:

Selasa, 02 Juni 2020

Virus Berdamai dengan Manusia



Oleh Duddy Fachrudin 

Melawan atau berdamai? 

Kemarin-kemarin manusia berperang #melawancorona. Saat ini beralih menyatakan damai saja. 

Manusia sudah kalah? Mungkin. 

Kalah karena belum bisa mengelola diri, sementara corona masih bergentayangan untuk menyambangi. 

Ia akan selalu ada di antara kehidupan manusia. Menjadi entitas penyeimbang dari keserakahan dan kerusakan yang dibuat manusia. 

Dengan adanya corona, harusnya terjadi akselerasi akhlak manusia dalam tatanan kehidupan "new normal". Karena corona menghentak kesadaran jiwa-jiwa yang selama ini terpedaya dan tepenjara dalam ilusi serta delusi berkepanjangan. 

Kehadiran corona yang terus bermutasi sekaligus beradaptasi pada kondisi tubuh inangnya ini tanda bahwa ia mahluk yang amat cerdas. 

Namun bukankah mutasinya melemah? Dan akhirnya virus tak lagi ganas menginfeksi tubuh manusia. 

Itu artinya memang virus tak ingin buru-buru mati. Kalau inangnya wafat bukankah ia juga game over lebih cepat? 

Corona ingin terus membersamai manusia selama hidupnya. 

"Aku hanya ingin hidup  lebih lama, seperti halnya manusia dengan segala upayanya saat ini menginginkan hal itu juga." 

Corona seolah berkata, "Silahkan manusia membuat vaksinnya..." 

Virus berdamai dengan manusia. 

Simbah bilang, "Virus, bakteri, mahluk yang kecil-kecil itu kakak kandungnya manusia. Ora usah berantem, apalagi musuhan sama kakak sendiri." 

Benahi saja dirimu. Ojo adigang adigung adiguna. 

Wasi'a kursiyyuhus-samaawati wal-ard. 

Simbah melanjutkan meditasinya. Aku mengikutinya. 

Sumber gambar: 

Senin, 18 Mei 2020

Ketidakpastian dan Makhluk Qubit Bernama Manusia



Oleh Tauhid Nur Azhar 

Dalam mengarungi masa-masa pandemi corona ini, mari sejenak merenung mengenai konsep "ketidakpastian" atau bahasa londonya uncertainty. Hal ini dikaji dalam ilmu fisika secara khusus dalam prinsip Heisenberg. 

{∆x.∆p> h/2} (bisa dilihat di gambar di bawah ya). 

Dimana "ketidakpastian" ini maujud dalam pernyataan terkait posibilitas dan probabilitas. 

Seberapa besar kemungkinan sesuatu itu terjadi ? 

Keterangan gambar (searah jarum jam): 
Prinsip ketidakpastian Heisenberg dalam gelombang, dapat disimak pula pola double slit dari Thomas Young. Anotasi Dirac yang dapat diaplikasikan dalam konsep super posisi dan quantum states. Bloch Sphere dengan konsep qubit dan formulasi quantum states

Jika mendapat pertanyaan seperti itu biasanya kita akan memutar otak lalu mulai mengidentifikasi faktor-faktor apa sajakah gerangan yang turut menentukan tingkat posibilitas suatu keadaan.

Dan mungkin saja faktor-faktor yang teman-teman identifikasi sama dengan yang teridentifikasi oleh saya, yaitu: adanya pengetahuan, pengalaman, kemampuan (terlatih), derajat niat dan usaha, kondisi yang mendukung, serta mungkin ada yang memasukkan faktor "keberuntungan" (opportunity) atau nasib.

Semua benar tentu saja, sekaligus semua juga belum tentu benar dalam memastikan kemungkinan untuk menjadi 100% mungkin. 

Mengapa? Karena masih ada faktor probabilitas tentu saja. 

Bukankah jika semua syarat untuk mencapai keberhasilan terpenuhi maka probabilitasnya juga mendekati 100%?

Contoh jika kita sudah mengikuti dan menjalankan safety procedure, maka hampir dapat dipastikan kita akan selamat dalam perjalanan atau penerbangan misalnya. 

Apakah anda yakin? Kan dalam kalimat itu saja masih ada kata "hampir". Artinya tidak ada sesuatu hal pun di semesta ini yang bersifat deterministik alias pasti selama terkait dengan konsep probabilitas alias kemungkinan. 

Sementara bagi manusia hal yang telah dapat dipastikan sebagai konsekuensi rasional dari kelahiran adalah kematian. Kepastian ini pun dijamin dengan perubahan waktu ∆t (delta t) yang tak dapat diubah dengan perubahan posisi dan kecepatan (∆s dan ∆v). 

Maka saya sering menyampaikan premis (premis: kalimat atau proposisi yang dijadikan dasar penarikan kesimpulan di dalam logika) tentang perjalanan adalah bukan persoalan menempuhi jarak, melainkan waktu. 

Sehingga dalam premis minornya, ruang adalah konsekuensi dari kehadiran waktu.

Kembali ke probabilitas. Maka pada hakikatnya manusia sebagai makhluk unik yang dikaruniai kemampuan analitik yang mampu melahirkan gagasan, imajinasi, dan kreasi punya keterikatan secara probabilistik justru di rasio yang deterministik, 50%. 

Semua kemampuan super kognitif manusia yang tercipta karena adanya pengintegrasian fungsi-fungsi seperti memori, asosiasi, korelasi, interpretasi, dan kemampuan sintesis, akan bermuara pada limit probabilitas 50%.

Kepastian di ketidakpastian 50% membawa kita pada irisan dengan pendekatan di domain quantum

Manusia dengan pilihan algoritmik yang melekat padanya dan ketidak kuasaannya untuk mengendalikan hasil akhir dari setiap tahapan proses/ reaksi, dapat digambarkan berada di posisi quantum state (QS).

Dimana QS menurut definisi GK Tong adalah an entangled quantum state is made of two or more particles held in a multitude of undecided outcomes.

Kondisi dan posisi "undecided" ini mengikuti konsep binari dengan tingkatan fasenya (lihat gambar di atas). Sehingga setiap pilihan selalu menyediakan pasangan kemungkinan. 

Dalam filosofi akidah ini dapat menggambarkan posisi makhluk yg selalu berada dalam status relatif, karena yang absolut, satu, dan tidak berpasangan adalah Allah (Qur'an Surat Al-Ikhlas).

Sehingga dalam perjalanan hidup ini kita juga dapat digambarkan tengah berada dalam kondisi "super posisi". 

Dimana menurut Delfosse, super posisi, entanglement, dan tunneling adalah "dunia qubit" yang membuat kita saat ini sudah berada dalam berbagai posisi secara paralel, sekaligus belum berada di sana.

The qubit is the basis of quantum computing due to their quantum mechanical properties: superposition, entanglement, and quantum tunneling. Qubits can be in a state of a 0, 1, and also in a state where they are 0 and 1 at the same time — this is called superposition. 

(Silahkan simak di anotasi Dirac yang ada di gambar ya).

Bahkan jika kita mempelajari cara kerja otak kita dalam membangun kesadaran, beberapa teori yang sepertinya baru sampai pada tingkatan analogi, ternyata sudah mulai banyak diteliti lebih mendalam. 

Sebagai contoh pendekatan Quantum Brain Dynamics yang digagas Harald Atmanspacher. Framework otak yang bersifat spektral saat membangun kesadaran dari komposisi berbagai fungsi di otak hanya akan ideal jika didekati dengan teori quantum field, dan akan sulit diurai jika menggunakan pendekatan biokimiawi linier yang bertumpu pada fungsi neurotransmiter. 

Bahkan Roger Penrose dan Stuart Hameroff sudah lebih detil berfokus pada mikrotubul yang terlibat dalam proses sinaptik dan neurotransmisi sebagai salah satu elemen dari mekanisme quantum yang bekerja di otak. 

Penrose dan Hameroff menggulirkan gagasan dalam bentuk postulasi Orchestrated Objective Reduction (OOR). Konsep ini jika boleh saya tambahkan, hanya akan dapat bekerja jika prinsip-prinsip dasar quantum state dengan dunia qubitnya bisa diterapkan. 

Hubungan antara aspek biologi dan karakter fisikanya sebenarnya sudah terepresentasi dalam level quasi partikel yang terdiri dari phonon yang berasal dari eksitasi atom padat yang mengalami vibrasi, dan plasmon yang berasal dari osilasi plasma. 

Dalam hal ini kita dapat asumsikan bahwa seluruh sel-sel otak, bahkan mungkin tubuh dan juga semesta, semuanya berada dalam fase quantum state atau super posisi yang memiliki semua potensi probabilitas. 

Kondisi entanglement yang akan menghasilkan spektrum fungsi karena dapat menjalankan program "meta" dalam ranah kognisi hingga muncul pola interaksi real time yang membangun konstruksi qualia, atau bangunan kesadaran lintas dimensi.

Maka jika kita cermati berbagai premis di atas, tampak ada suatu korelasi yang kuat antara berbagai fenomena di setiap lapis dan dimensi kehidupan, yang menyiratkan adanya suatu kompleksitas terencana. 

Menghablurnya aspek filosofis dalam dimensi materi di level quantum menghantarkan kita pada kesadaran baru tentang esensi dari eksistensi yang terintegrasi dalam distribusi fungsi. 

Sumber gambar:
WAG Rumah Peradaban

Jumat, 08 Mei 2020

Pendidikan, Bajak Laut, dan Peradaban "New Normal"



Oleh Duddy Fachrudin 

"Tidak semua dukun itu jahat. Tidak semua dokter itu baik." 

Dokter senior dan terhormat di salah satu Rumah Sakit di Yogyakarta yang bilang begitu dalam pengantar di buku "Cinta, Kesehatan, dan Munajat Emha Ainun Nadjib" yang ditulis dr. Ade Hashman. 

Dulu ada buku yang berjudul "Jangan ke Dokter Lagi". Yang nulisnya padahal dokter. 

Mungkin suatu saat ada buku beredar dengan judul di sampul depannya bertuliskan "Jangan ke Psikolog Lagi". Yang nulisnya seorang psikolog. 

Mbah Jon Kabat-Zinn bercerita: 
Ketika saya mulai bekerja di pusat kesehatan, saya diberi tiga jas panjang berwarna putih yang di sakunya bersulamkan tulisan "Dr. Kabat-Zinn/ Departement of Medicine". Semuanya tergantung di balik pintu ruangan saya selama 15 tahun, tanpa terpakai. 

Baginya, memakai jas putih/ malaikat itu bukanlah esensi dari eksistensi. Yang sejati ialah saat mampu berinteraksi dengan perhatian penuh (mindful) dengan siapapun yang ada di hadapannya. Wherever you go, there you are

Di dunia yang serba mengagungkan materi, manusia acapkali mengejar eksistensi. 

Manusia berlomba-lomba dalam penampilan, citra diri (melalui pencitraan), kekayaan, dan kekuasaan. 

"Le, segala yang nampak itu palsu," Simbah memulai wejangannya. 

"Ojo gampang ditipu," katanya lagi. 

### 

UU Tahun 2003 Pasal 3 tentang Sistem Pendidikan Nasional secara gamblang menegaskan bahwa fungsi Pendidikan Nasional adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang: 

1. beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; 
2. berakhlak mulia; 
3. sehat; 
4. berilmu; 
5. cakap; 
6. kreatif; 
7. mandiri; 
8. dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. 

Kata kunci dalam pendidikan adalah ilmu. Dalam Al Qur'an kata tersebut dan kata jadiannya disebutkan hingga 780 kali. Prinsip dalam berilmu dan mencari ilmu sendiri tidak lain adalah aktivitas berpikir (afalaa ta'qilun, afalaa yatadabbarun, afalaa tatafakkaruun). 

Jika kita mengoptimalkan fungsi nalar sebaik mungkin dalam proses pendidikan atau mencari ilmu, maka karakter, watak, hingga akhlak mulia dapat maujud dalam kehidupan manusia sebagai makhluk yang mendapat amanat sebagai mandat-Nya di bumi. 

Namun distraksi kemelekatan materialis dan pola pikir kapitalis, serta kesombongan manusia telah mengikis serta mengkhianati potensi agung yang telah dianugerahkan Tuhan padanya. 

Al-Ghazali berpesan, "Ketahuilah wahai kekasih, manusia tidaklah diciptakan dengan main-main, ataupun secara serampangan, namun diciptakan secara mengagumkan untuk sebuah tujuan yang mulia." 

Kehidupan "New Normal" setelah pandemi bukan hanya terkait cara-cara baru dalam berinteraksi, bekerja, bepergian, dan menjalani aktivitas sehari-hari. 

Era baru ini adalah masa bajak laut sepeninggal Gold D. Roger. Yaitu jaman bajak laut yang humanis dan menjalani pelayaran dengan penuh kesadaran.  Bajak laut tanpa eksploitasi dan eksplorasi pemenuhan kebutuhan alias nirketamakan. Perompak yang justru tidak memfokuskan diri pada untung rugi serta dunia materi. 

Seperti halnya Luffy berkata, "Aku tak peduli di mana harta itu berada! Aku juga tak peduli apa One Piece benar ada atau tidak. Semua orang mempertaruhkan nyawa demi mencari jawabannya. Kalau semua rahasia itu dibuka sekarang... aku sebaiknya berhenti jadi bajak laut! Aku tidak suka melakukan petualangan yang membosankan!" 

Monkey D. Luffy, karakter yang diciptakan Sensei Oda dalam serial One Piece adalah representasi dari manusia "New Normal". 

Bertualang menikmati hidup dengan penuh kebersyukuran adalah esensi dibandingkan pencarian harta karun. Dalam pelayarannya ia merajut silaturahmi pada kawan maupun lawan. Penampilan dan gayanya yang sederhana (minimalis) justru menjadi sumber kekuatannya. Kalau dalam filosofi Jawa, "Sugih tanpo bondo". Kaya tanpa benda atau materi. 

Luffy memperjuangkan keadilan sosial berbasis gotong royong, meskipun tidak jarang ia mengalami banyak luka derita. Sebagai pemimpin Bajak Laut Topi Jerami ia menerapkan unboss dengan menghilangkan hirarki dan nirpencitraan sama sekali. 

###

Jepang bangkit pasca peristiwa bom Hiroshima-Nagasaki. Jerman menjadi salah satu negara yang disegani di Eropa dan Dunia setelah robohnya sekat Berlin pada 9 November 1989. 

Bagaimana dengan Indonesia? 

Peradaban "SDM Maju Indonesia Unggul" harus diawali dengan tercapainya tujuan pendidikan, terciptanya manusia-manusia yang senantiasa berpikir berdzikir menggunakan nalar dan menjalani hidup sesuai kadar. Manusia kadar yang tahu batas, yang bisa "puasa" dalam gempita dan gemerlap dunia.

"Dan sing paling penting jadi manusia yang bisa sadar darimana dirinya, siapa dirinya, dan mau kemana dirinya. Itulah peradaban manusia modern, opo iku sebutane? Nu normal? Kalo ndak gitu, ya bukan namanya canggih atau modern, tapi kembali primitif. " Dhawuh Simbah padaku malam kemarin. 

Maka kembali pada persoalan: 
"Tidak semua dukun itu jahat. Tidak semua dokter itu baik." 

Corona yang bertamu mengetuk hati manusia ini bukan berarti jahat ataupun baik. Saatnya manusia belajar untuk tidak menilai dan menghakimi (non-judgement). 

Cukup memperhatikan tanda ataupun pesan yang dibawanya. Yang mengajak manusia membaca dan berpikir, lalu membangun peradaban "New Normal" sesuai yang dikehendaki-Nya.  

Iqra' bismi rabbilladzii khalaq 
Khalaqal in-saana min 'alaq 
Iqra' wa rabbukal-akram 
Alladzii 'allama bil-qalam 
'Allamal-insaana maa lam ya'lam 
  
Sumber gambar: 

Selasa, 05 Mei 2020

Masa Pandemi adalah Hari Raya



Oleh Duddy Fachrudin 

Dalam satu dekade ini banyak diskusi, penelitian, pelatihan, seminar, kajian online seputar mindfulness. Tak ketinggalan buku-buku hingga film-film terkait mindfulness berserakan. 

Mindfulness itu bikin bahagia. Membuat kita tenang dan terbebas dari stres serta kecemasan. Melepaskan jerat trauma dan depresi berkepanjangan.

Moso... hati ini tak percaya. 

Apalagi mindfulness dapat mengatasi panik di saat pandemi corona ini. Benarkah? 

Mindfulness itu hadir sepenuhnya, di sini, saat ini. 

"Tapi ketika saya hadir sepenuhnya, justru saya cemas dan panik. Pikiranku tidak kemana-mana, ada di sini, menyaksikan berita corona bertubi-tubi," aku mengatakan hal yang persis dikatakan orang-orang pada Simbahku. 

"Mindfulness iku opo sih Le?", takon Simbah. 

Dengan perut yang kenyang, malam itu akhirnya kami berdiskusi tentang mindfulness

"Intinya kesadaran Mbah," ujarku. 

Simbah menyeruput kopi pahitnya, "Oh ilmu eling toh." 

Dalam kondisi mindful sejatinya pikiran dan perasaan membelenggu itu sirna. 

Simbah lalu bertanya, "Mereka ini, maksudnya orang-orang ini sadar tidak bahwa memang dunia itu tempatnya penderitaan?" 

"Waduh, aku ora weruh Mbah," balasku. 

Dalam tradisi psikologi berbasis spiritual, mindfulness memang memiliki korelasi dengan luka dan duka. Karena isi dunia bukan hanya cita, kesenangan, dan bahagia. 

Simbah lalu mengambil sebuah buku lalu membuka halaman demi halaman. 

"Nah ini..." wajah Simbah terlihat sumringah mendapatkan apa yang dicarinya. 

Laki-laki tua yang gemar kutangan ini lalu berkata, "Datangnya beragam kesukaran merupakan hari raya bagi murid." 

Manusia itulah murid. Seperti Nabi Adam yang diajarkan nama-nama. Kita semua manusia senantiasa terus membaca (iqra) dan belajar, mencari dan bertanya. Lalu apakah hari raya? Apakah ia adalah hari kemenangan? Namun bagaimana ada kesukaran di saat kebahagiaan? 

Seperti saat ini. Begitu banyak derita akibat wabah corona. Kegelisahan, resesi, PHK dimana-mana, kelaparan, dan tentunya ketakutan. Bagaimana mungkin dibalik penderitaan itu adalah hari raya? Dongkol hatiku.

Simbah melihat raut wajahku yang bingung. "Kamu harus paham kata-kata itu. Yang bilang Ibnu Atha'illah." 

"Sang Arif Bijaksana?", tetiba suasana hatipun berubah menjadi lebih ceria. 

Petuah-petuahnya tidak diragukan lagi. 

Simbah lalu bilang, "Hari raya itu artinya saat kamu mendekat pada Gusti Allah. Orang yang mendapatkan kesukaran lebih mudah mengemis dan menangis sekaligus bermesraan sama Tuhannya." 

Jadi masa pandemi corona ini hari raya? 

Tarik napas sejenak... napas masuk... napas keluar...

Masih ora mudeng aku. 

Sumber gambar: 
Dokumentasi pribadi 

Minggu, 03 Mei 2020

Dialektika Dalgona Corona



Oleh Duddy Fachrudin 

Andaikan corona itu senikmat kopi dalgona, akankah engkau akan mereguknya dan membagi-bagikannya? 

Sayangnya corona bukanlah kopi dalgona. Ia penebar rasa takut akan keberlangsungan eksistensi manusia. 

Berita tentang corona disebarluaskan agar manusia memperhatikan dan waspada terhadap ancaman nyata di depan mata. 

Manusia lebih awas dan was-was:
-yang batuk, corona 
-yang bersin, corona 
-yang demam, corona 
-yang tiba-tiba tergeletak pingsan, corona 
-yang blablabla, corona 

Berstatus sebagai pembawa kepanikan, penyebab kematian, dalangnya PHK, aktor dari resesi ekonomi, popularitas corona saat ini nomor satu di dunia. Corona menjadi perbincangan setiap hari. 

Corona dimusuhi dan disumpahserapahi. 

Corona diteliti, ditelusuri secara ilmu bumi. 

Corona juga dikagumi karena berhasil membuat langit bersih dari polusi. 

Corona benar-benar menjadi selebriti. Apalagi pemerintah menyiarkannya saban hari. Memberikan informasi kepada masyarakat mengenai perkembangan terkini. 

Tapi... 

Bagaimana jika corona itu adalah sesuatu yang baik, nikmat, dan bikin selamat dunia akhirat. Apakah orang-oarang akan mendatanginya dan menyiarkannya? Apakah kemudian pimpinan negara dan bangsa akan mewartakannya setiap 24 jam kepada rakyatnya? 

"Opo sing enak karo gawe slamet Mbah, " tanyaku pada Simbah sore itu. 

Simbah menimpai, "Lalalah, kamu itu manusia berpendidikan. Kuliah sampai es es es san takon sama Simbahmu yang cuma kutangan." 

Simbah cengar cengir menatap wajahku yang kebingungan. Tapi senyum itu setidaknya bukan cengengesannya para manusia takabur saat awal corona menyapa negeri manusia. 

Sejurus kemudian Simbah bilang lagi, "Kurang ajar betul kalau setelah corona pulang manusia-manusia ini tidak berubah. Kapitalisme yang memuja eksplorasi dan eksploitasi tanpa batas saat ini ketar ketir dihantam corona. Tobat... tobat. Globalisasi materialisme sudah tak berarti lagi. Corona telah menelanjangi kebobrokan ahlak dan gaya hidup manusia." 

Sejenak Simbah menyeruput kopi pahitnya, "Artinya kapitalisme dan materialisme sekaligus hedonisme iku ojo dijadikan peganganmu urip nang dunyo iki, anakku... Tak perlu bermegah-megahan, apalagi sikut-sikutan meraih pucuk kepemimpinan. Coba ndelok corona, tak kasat mata. Ora perlu eksistensi untuk menjadi hebat." 

Simbahku menatap wajahku yang dungu dengan teguh. 

"Le, hidup nikmat lan slamet iku ya sumeleh... Meleleh dalam tresno Gusti Allah. Ndak penting kamu jadi apa, pake baju keren atau kutangan gini. Sing penting kamu rela, ridho, ikhlas menjalani semuanya. Untuk bisa ke arah sana gunakan ilmumu untuk mencinta Tuhanmu, mencinta Muhammad Nabimu... 

Kalau kamu cinta, itu seperti meleburnya susu putih sama kopi kentel di dalgonamu itu. Gimana rasakne?" 

Aku cuma bisa mengangguk. "Nggeh Mbah." 

Lagi-lagi Simbah nyerocos kayak sepur malam, "Kamu itu mandat-Nya, diciptakan dengan tujuan mulia, menanam benih manfaat buat generasi selanjutnya. Nandur. Iku sing arane menungso." 

Aku lagi-lagi mengangguk kayak wayang yang sedang dimainkan dalang. 

Dalam diam aku termangu, lalu kuberanikan menyampaikan seuntai tanya kepadanya. 

"Kalau corona itu baik dan membaikkan, nikmat bin membuat selamat dan itu bernama sumeleh, mencintai-Nya dan utusan-Nya, tidak bermegah-megahan, tidak materialis dan tidak kapitalis... Apakah pemimpin akan memberitakan sekaligus mengingatkan warganya untuk berlaku demikian?" 

Senja sore itu mulai tenggelam.

"Pemimpin itu kan ndak harus presiden dan menteri toh. Pemimpin itu ya semua orang. Ketoke kamu sudah mulai waras dadi menungso... 

Jadilah bergerak tanpa terlihat, lalu membelah diri hingga dua, empat, delapan hingga tak berhingga... Jadilah cinta, jadilah dalgona. Tapi untuk itu kamu akan melewati fase kepahitan seperti kopi yang diminum olehku... Sampai kamu merdeka dan memiliki kedaulatan. Dan tetaplah setia dengannya. 

Berjalanlah... berjalanlah." 

Simbah menyeruput sisa terakhir kopi pahitnya. 

Senja akhirnya benar-benar tenggelam. 

Dalam hati aku bergumam, "Membelah diri?" 

Sumber gambar: 

Kamis, 30 April 2020

Mengemis Meringis di Tengah Pandemi



Oleh Duddy Fachrudin 

Ternyata corona memang benar-benar tamu agung bagi penduduk bumi. Ia bukan mahluk kecil dan tengil yang menjadi bahan cengengesan manusia tempo hari. 

Kamu ikut tertawa angkuh kan? 

Kini, kamu, manusia, menangis meringis dan mengemis tak berdaya serta putus asa. 

Aku mengemis kepada-Nya bukan untuk memohon agar corona tak mendatangiku. 

Aku putus asa dan tak berdaya melihat tingkah manusia yang sok berkuasa atas tanahnya; memangnya itu tanahmu? Sehingga kamu berhak mengusir jenazah saudaramu. 

Bahkan tubuhmu bukanlah milikmu. Rambut hingga ujung kuku kakimu bukanlah milikmu. 

Tanah, air, udara, bumi, dan semesta raya bukan milikmu. 

Manusia tak pernah memiliki apa-apa. 

Namun, manusia ya manusia. Berusaha menjadi akbar dengan berkoar-koar. Negara adidaya dan besar itu saja kini lumpuh dan jatuh. 

### 

Siapakah kita manusia? 

Langit, bumi, dan gunung saja menolak untuk menjadi wakil-Nya di bumi. Manusia dhalim dan dungu yang kemudian menerimanya. 

Sampai dungunya keterusan hingga akhir jaman. 

Siapakah kita manusia? 

Telah datang utusan-utusan-Nya sebagai teladan. Membawa kebutuhan pokok bagi umat manusia. Mereka nyangoni generasi selanjutnya dengan hikmah. 

Tapi kemudian manusia membuat kebutuhan-kebutuhan primer lain yang sejatinya bukan yang utama. 

Sejak revolusi industri, peradaban manusia memang lebih canggih. Tapi kerakusan dalam pemenuhan kebutuhan pun semakin obsesif dan menjadi-jadi. 

Siapakah kita manusia? 

Setelah usai pandemi, manusia berandai-andai apa yang ingin dikerjakannya. Seolah selama ini tersiksa dan tertawan dalam penjara yang melelahkan. 

Kamu mau melakukan apa?
-jalan-jalan sambil kulineran 
-nongkrong bersama teman semalaman 
-cari uang sebanyak-banyaknya dan berpesta pora 

Sementara jawaban Simbah, 
"Le, aku tetep nang omah... Omah Tuhan, " dhawuh-nya sambil mengarahkan telapak tangan kanannya pada bagian dada kirinya. 

Siapakah kita manusia? 

Di sini baru aku benar-benar menangis, tak berdaya mendengar jawaban jujur apa adanya. 

Jawaban Simbah yang sekaligus menempeleng hatiku yang tak memahami kebutuhan utama sebagai prioritas hidup. 

Asyhadu an-laa ilaaha illallaah 
Wa asyhadu anna Muhammadan-rasuulullah 

Inilah aku, manusia dungu yang alpa bahwa syahadat adalah puncak segala ilmu. 

Sumber gambar: 
   

Sabtu, 25 April 2020

Corona dan Kesadaran untuk Kembali



Oleh Duddy Fachrudin 

Salah satu praktik hidup berkesadaran atau mindful living adalah dengan menerapkan gaya hidup minimalis. 

Sayangnya hidup minimalis yang tidak materialis dan nirkapitalis ini tidak mudah dan penuh tantangan. 

Serbuan keinginan dari alam pikiran dalam pemenuhan kebutuhan tak bisa direm, dipuasai, dan dikendalikan. 

Akhirnya manusia cenderung berlebihan dalam menjalani kehidupan. 

Perut menjadi buncit, lingkungan tercemari sampah serta polusi, dan perilaku konsumtif yang destruktif adalah contoh nyata dari degradasi akhlak manusia. 

Eksplorasi dan eksploitasi pemenuhan kebutuhan menggerus tatanan keseimbangan.  

Saat di-KO corona, manusia kelimpungan.

Maka jangan sok latah dengan hashtag "lawan corona". Dalam menghadapi tamu agung yang diperjalankan Tuhan ini, justru manusia perlu melawan dirinya sendiri.

Karena kita tidak tahu kapan pandemi ini akan berlalu. 

Meski bisa diprediksi dengan logika matematika, akhir dari pandemi ini masih menjadi misteri. 

Bukan lagi bulanan, tapi satu dua hingga lima tahun sejak awal mula kasus ditemukan. Itupun jika manusia mampu mengalahkan dirinya. 

Dan ini adalah peringatan akhir jaman di peradaban yang begitu sarat konflik dengan Tuhan. 

Semakin teknologi maju, manusia justru semakin angkuh. 

Dengan berbagai cara dan upaya, manusia ingin hidup abadi. "Hidup 1000 tahun lagi," kata Chairil Anwar. 

Simbah berpesan, "Elingo sangkan paranmu." 

Sementara Sabda Nabi, "Demi Allah, sungguh dunia ini lebih rendah dan hina bagi Allah daripada bangkai anak kambing ini untuk kalian." 

Ihdinas shirootol mustaqiim. 

Sumber gambar: 

Rabu, 15 April 2020

Saat Bala Melahirkan Waskita (Bagian 2, Habis)



Oleh Tauhid Nur Azhar 

Kecerdasan kognitif terkanalisasi dalam saluran berprioritas tinggi untuk memodulasi, bahkan memanipulasi berbagai potensi untuk mempertahankan eksistensi. 

Kebijakan didominasi upaya terkonstruksi mempertahankan eksistensi, bahkan melalui cara-cara yang bersifat agresi, ekspansi, okupasi, dan terkadang semua itu disertai sifat destruksi. 

Angkara yang bersimaharaja, berkelindan dengan banjir neurotransmiter pengeksitasi dan melahirkan ketrampilan berseni tinggi dalam proses mengeksploitasi berbagai hal yang semestinya dimaknai sebagai potensi untuk berbagi. 

Domain qualia atau roso yang sebenarnya merupakan representasi akumulasi kecerdasan dalam modul intelijensia qolbiyah, kini menyusut kisut, terpojok ke sudut, tergantikan oleh pusaran vorteks kusut yang berasal dari olah pikir yang kalut. 

Ketidakseimbangan stream konektomik antar wilayah pengambilan keputusan strategik, mengakibatkan lahirnya turbulensi sistemik. PFC dan Insula sulit berkolaborasi dengan area Basal Ganglia. 

Hipokampal area teralienasi dalam kepungan arus deras kecemasan yang membanjir deras, dari hulu Batang Otak yang telah tererosi dan daya dukung rasionalnya terdegradasi. 

Konflik keluarga sesama trah prosensefalon yang rukun sejak embrional kini meruncing. Telensefalon tak lagi bertegur sapa dengan diensefalon. Neokorteks dan PFC tak lagi hangat bercerita dengan thalamus dan hipokampus. 

Apalagi jika bicara di tingkat wangsa keturunan tuba neuralis: prosensefalon, mesensefalon, dan rhombencephalon yang telah berdiferensiasi dan mengalami spesifikasi fungsi meski sudah semestinya terus menyambung silaturahmi dan membina komunikasi karena toh bersama menjalankan banyak fungsi. 

Grup WA keluarga menjadi panas, banyak kasus unfriend dan unfollow di berbagai media di mana bagian-bagian fungsional otak semestinya saling berinteraksi untuk membangun sinergi. 

Maka tak heran jika jonggring salaka bernama qualia terdampak panasnya olakan kawah Chandradimuka yang meletupkan nafsu membara dari dasar dapur magma naluri manusia. 

Dan kini di saat langit mendadak sepi dan riuh rendah jalanan tak lagi bersahutan. Ada bisikan halus yang perlahan terdengar semakin keras. Bahkan semakin lama semakin tegas. Mungkin agar selain mulai berpikir cerdas, juga harus bertindak gegas, sekaligus belajar bersikap ikhlas. 

Pageblug meredam nafsu kemayu untuk tampil oke selalu, ia menggantikan itu dengan panggilan cumbu rayu untuk bersatu dan melangkah secara padu. 

Kearifan dan welas asih kembali mendapat pentas yang pantas untuk tak sekedar menyintas, tapi juga menjadi bagian dari solusi tuntas. 

Mari kita lihat bagaimana kini manusia lebih peduli pada saudara dibanding pada dirinya sendiri. Empati lahir dalam bentuk partisipasi untuk saling mensubstitusi dan melengkapi apa yang kini banyak tak lagi dimiliki. 

Kolaborasi hadir nyaris tanpa koordinasi karena yang berbicara adalah frekuensi hati. OFC, PFC, ACC, dan Insula tak lagi menjadi sekedar kuda penghela, melainkan ber tiwikrama menjadi maruta (angin) yang memutar kincir peniup akasa (langit) yang menjadi media lahirnya dahana (api). 

Daya guna bertenaga untuk mengubah petaka menjadi penyubur banthala (bumi) dengan berpandu kerlip kartika (bintang) ilmu yang menjadi navigasi dalam proses mencari jati diri. 

Maka pageblug ini adalah medan kurusetra dimana angkara akan berguguran disapu sifat Asta Brata yang merepresentasi jiwa ksatria dalam setiap dimensi spiritual manusia. 

Lihatlah ksatria-ksatria muda dari berbagai tlatah bangsa, kini menyatu bersama, mengikhlaskan diri dalam jalan dharma bagi kepentingan ummat manusia. 

Inilah mungkin makna qualia semesta yang datang bersama bala yang seolah merenggut rasa aman maya, dan menghempaskan kita ke dasar nalar tak berkadar. 

Dan di saat terkapar, terlihatlah kerlip berpendar di tubir sadar... selalu ada jalan keluar, jika ada kekuatan untuk bersandar. 

La haula wala quwwata illa billahil aliyil adzim,  lafadz hauqalah yang menisbatkan bahwa kita semua tak bisa terlepas dari kuasa dan ketentuan Allah.

Sumber gambar:

Saat Bala Melahirkan Waskita (Bagian 1)



Oleh Tauhid Nur Azhar 

Belum lama ini sehubungan dengan perkembangan wabah atau pageblug yang diperantarai virus SarsCoV-2, Sultan HB X menyampaikan petuah dari Sultan Agung Hanyokrokusumo yang sangat relevan dalam memaknai kondisi yang terjadi saat ini; Mangasah Mangising Budi, Memasuh Malaking Bumi

Maknanya adalah; mengasah ketajaman akal-budi, membasuh malapetaka bumi. Ini sejalan dengan dalil: 

"Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)" (QS Ar-Ruum: 41) 

Pageblug ini adalah sebuah peringatan, sekaligus sebuah proses pembelajaran komprehensif yang menempatkan manusia di posisi untuk melakukan proses kontemplasi dan secara paralel "dipaksa" untuk berpikir sistematik dalam menemukan solusi yang bersifat sistemik. 

Ketidak berimbangan pada proses eksploitasi dalam rangka mengakomodir pemenuhan kebutuhan akan rasa aman yang berlebihan, telah menempatkan manusia dalam posisi gagal mensyukuri dan menahan diri dalam mengambil manfaat di semesta sebagaimana yang telah dijanjikan. 

Padahal segenap potensi alam yang telah diciptakan Allah Swt., tak lain dan tak bukan dimaksudkan untuk diolah hingga memiliki nilai tambah serta dapat dimanfaatkan sebagai bagian dari berkah. 

Kajian tafsir, baik tafsir bil ma'sur maupun tafsir birra'yi dari berbagai ayat Allah tentang potensi sumber daya alam, menunjukkan bahwa memang semestinya manusia dapat mengolah dan mengambil manfaat dari semua yang telah diciptakan Allah hingga dapat menghadirkan banyak hal yang bersifat maslahat. 

Tetapi sekali lagi, jika saya boleh menyitir nasehat Sultan HB X, masalah kita terkait naluri impulsi serakah tak terlepas dari karakter 3G berikut: golek menange dewe (mencari menangnya sendiri), golek butuhe dewe (mencari kebutuhan sendiri), dan golek benere dewe (mencari benarnya sendiri). 

Karena teknologi teleko sudah berkembang, izin saya menambahi menjadi 5G ya: golek senenge dewe, dan golek slamete dewe

Egosentrisme yang lahir dari kinerja survival tools di otak manusia. Ketika spektrum naluri limbikiyah telah memancarkan sinar yang berintensitas tinggi, maka spektrum waskita perlahan berpendar menuju pudar karena terinferensi gelombang yang didominasi kecemasan yang berenergi reduksi yang condong mengeliminasi. 


Kamis, 09 April 2020

Gembel Mudik di Tengah Corona


Oleh Duddy Fachrudin 

Kita itu butuh mudik 

Kita? 

Kita: manusia yang terdidik 
Manusia yang menjadi manusia 

### 

Terdidik itu mengalami pendidikan 
Jiwa dan akalnya ditempa oleh kehidupan 
Jiwa dan akalnya tak mau menjadi budak penjajahan pikiran 

Sampai manusia sadar bahwa dirinya tak perlu embel-embel 
Sadar kalau dirinya gembel 

### 

Itulah mengapa manusia puasa 
Puasa dari mengembel-embeli dirinya 

Yang berhasil maujud menjadi fitri 
Sesuai hakikat ruhnya yang suci 

### 

Itulah mudik sejati

Mudik yang lebih penting dari mudik kultural yang selama ini kamu jalani 

### 

Corona bertamu,
tok tok tok...

Ben kamu mudik sejati 

### 

Ben kamu dadi sebenere menungso 

### 

Karena globalisasi yang menuhankan materi ini manusia lupa jati dirinya 

Lupa untuk mengisolasi dirinya 

### 

Manusia asyik menjadi follower 
Mencari sesuatu di luar dirinya hingga muter-muter 

Mubeng-mubeng kluwer-kluwer 

Akhirnya keder 

### 

Setiap hari adalah hari raya 
Setiap hari menjadi sejatinya manusia 

### 

Menjalani simulasi di surga
Tak ada kejahatan, korupsi, dan segala kepalsuan 

Yang ada hanyalah suap-menyuap kasih sayang 

### 

Sekiranya itu hasil dari mudik sejati

Menebarkan cinta dan kebermanfaatan,
sebagai gembel tanpa embel-embel:
ingin dihormati, ingin dikenali, ingin dicintai 
 
Sumber gambar:

Senin, 09 Maret 2020

Amartya... Percik Sadar di Pusar Syahwat yang Berkelindan dengan Hasrat (Bagian 3, Habis)


Oleh Tauhid Nur Azhar

Karena mengalir itu mengikuti tanpa hilang kendali. Merasakan dan mensyukuri tanpa terbenam di dalamnya. Mengapung dan menghiliri kehidupan. Karena menghulu di ruang waktu adalah keyakinan semu.

Kita semua maju untuk bertemu dengan titik terdahulu. 

Kita berputar dan mengalir. Kita terhempas di banyak batu. Kita kadang terdampar diserap debu. 

Tapi bahagia itu tak pernah kering karena selalu akan ada cinta di setiap titik temu. Dan cinta itu temu, juga titik. Karena mencintai itu proyeksi, juga refleksi, dan iluminensi. Datang dari sumber kita, membersamai kita, dan membentuk bayang-bayang semu yang termaktub dalam harap dan rindu. 

Maka sumber cinta pastilah Cahaya. Dan kita adalah penghalang yang ada dan membuat bayang. 

Maka cinta kadang kelam, juga gelap bahkan pekat karena menjadi tanda bahwa adanya kita adalah niscaya. Dan niscaya adalah kunci percaya bahwa bayang yang membumi dan menubuh dalam eskalasi materi adalah bukti bahwa selalu ada Cahaya yang bukan sekedar hipotesa. 

Kita adalah makhluk tanah yang menerima Cahaya agar berada dan membayang dalam kelana cinta yang menubuh dalam sosok rubuh yang tak runtuh melainkan utuh saat bersetubuh dengan materi yang meluruh.

Maka maafkanlah saya yang malam ini tersandar lemas karena pesona Amartya... karena sejam bersamamu benar-benar telah menguras segenap tirta kamanungsan yang mengkristal menjadi roso kamanungsan. 

Mohon izin Mbak Marinta, kristal roso ini mau saya bawa pulang ya... mau saya bawa pas makan bakso, ngaso, atau juga pas cuma bisa melongo.

<<< Halaman Sebelumnya

Sumber gambar:

Amartya... Percik Sadar di Pusar Syahwat yang Berkelindan dengan Hasrat (Bagian 2)


Oleh Tauhid Nur Azhar

Maka kita manusia adalah makhluk yang bahagia sekaligus menderita. Punya cinta sekaligus teraniaya. Tersandera dalam pilihan, terjebak dalam pusar keputusan. Terbudak oleh puser kenikmatan, dan terus berlari dari kenyataan, karena itu amat menyakitkan. 

Maka menjadi ksatria, kata Marinta si anak Matahari, adalah kehendak watak yang setia pada kejernihan hati dan kebeningan pikir. Bening yang hening dan hening yang bening. Boleh kalah tetapi merasa menang, khususnya pada saat yang dihadapi adalah pertempuran mengatasi pemberontakan dalam diri. 

Boleh juga menang dan merasa menang, karena pada hakikatnya manusia akan selalu berada di fase interstitia... makhluk dua dunia yang selalu dapat bermetamorfosa. Makhluk antara 0 dan 1, antara ada dan tiada. 

Lalu mengapa harus mengada? Apalagi mengada-ada? Padahal menjadi "ada" itu punya alasan sempurna. 

Yen tanana sira iku, Ingsun tanana ngarani, mung sira ngarani ing wang, dene tunggal lan sireki iya Ingsun iya sira, aranira aran mami. 

Karena kita adalah lukisan sempurna yang menggambarkan kehadiran-Nya tentu saja. Karena sifat tan keno kinoyo ngopo sudah semestinya terintegrasi ke dalam susunan sel-sel tubuh, darah, dan syaraf dan maujud dalam wadag yang berpikir dan mengonstruksi kesadaran soal takdir dan hadir. 

Maka menyelami kemanusiaan adalah mereguk Tirta Pawitra Mahening Suci yang sumbernya hanya bisa didapatkan jika kita jujur pada diri sendiri. Saat kita dapat melihat dengan jernih sosok "Dewa Ruci", homunculus, yang terproyeksi pada sekumpulan memori dan persepsi tentang siapa "aku" itu. 

"Aku" yang asli tanpa atribut syahwati karena sekedar takut mati dalam kondisi tak berarti. Karena pati jroning urip itu keniscyaan yang membuat hidup kita itu tak ubahnya bak sesosok zombie. Atau vampir penyedot energi hanya demi eksistensi. Menjadi Rara Kenyot yang menyedot segenap daya linuwih semesta hanya agar teraktualisasi selamanya. 

Selamanya yang maya dalam nyata. Semua terjadi karena manusia terpenjara dalam cinta yang terkomoditisasi, lalu melahirkan hasrat untuk dimiliki. Cinta yang tak lagi mengalir mengikuti takdir. Menepati janji pada ruang dan waktu untuk selalu maju dan berlalu. Cinta dan Berada itu mengalir...


Sumber gambar:

Kamis, 16 Januari 2020

ἐν παντὶ μύθῳ καὶ τὸ Δαιδάλου μύσος (Bagian 2, Habis)


Oleh Tauhid Nur Azhar

Dan dendam melahirkan kecemasan kronis. Kata "kronis" tersebut sejatinya diambil dari nama Kronos. 

Sakit hati yang berkronologis. Kronos yang menikahi Rea dihantui kecemasan bahwa keturunannya juga akan mengkhianati dirinya. Ia memakan semua anaknya, kecuali Zeus yang disembunyikan Rea dan ditukar batu. 

Maka hanya batu dan Zeus yang tak lekang oleh siklus dendam berkesinambungan. 

Lalu mengapa manusia terlahir dengan luka yang siap untuk menganga karena pusaran dosa? 

Bukankah kita suci dan terlahir dalam kondisi nan fitri, tapi mengapa kita begitu terpesona pada daya tarik yang kekuatannya akan membuka kembali luka lewat jalan duka. 

Kehilangan karena mencari yang telah dimiliki. Kelelahan karena mengejar pada yang berlari sejengkal saja di belakang kita: masalah. 

Sebenarnya apapun itu nama sandingannya secara metonimia, masalah adalah masalah. Ia selalu akan membersamai kita saat ini dan sesaat kemudian segera bermetamorfosa menjadi masa lalu, bukan?

Maka masalah yang tersisa pastilah sejengkal di belakang, dan ia akan terus ikut berlari selama kita terus berlari. 

Bahkan maslah takkan pernah menjauh sedikitpun, kecuali kita berhenti dan berbalik untuk menghadapi. 

Sayangnya bagi sebagian besar dari kita, konsep itu masih terus betah menjadi sekedar wacana yang terangkum dalam kalimat inspiratif nan kontemplatif dari para "coach" kehidupan. 

Sejujurnya sayapun masuk kategori kelompok pelari, yang sesekali mencoba berani untuk berhenti, belajar menghadapi, dan... pada akhirnya memilih untuk melanjutkan balap lari dengan masalah yang kalau demikian tentu tidak akan pernah kalah, meski juga tak punya peluang untuk menang. 

Kondisi semacam ini tak perlu terlalu berimajinasi tinggi untuk mengetahui hasil akhirnya. Sudah jelas kita akan terkapar kelelahan dan ditimbuni masalah yang telah menyertai kita di sepanjang "pelarian"...


Sumber gambar: