Rabu, 13 Maret 2019

Terminal 4 Changi, Sebuah Pelabuhan Pelepasan Hati


Oleh Tauhid Nur Azhar

Tak saya duga sebelumnya sebuah embarkasi paling canggih di dunia yang dilengkapi dengan orkestrasi teknologi terkini yang serba terotomasi ternyata menyimpan segenggam kehangatan hati.

Betapa tidak terpukau, bahkan terperangahnya kita menyaksikan serangkaian "atraksi" teknologi yang dimulai dari garda depan layanan penerbangan, area check in. Semua dikerjakan mandiri dengan bantuan teknologi yang telah mumpuni dalam pengolahan citra dan pengenalan pola (image processing & pattern recognition).

Bahkan konsep ini telah berhasil diterapkan di counter imigrasi digital dan titik pemeriksaan keamanan (security check point). Koper dan tas dengan benda mencurigakan akan dipisahkan ke jalur khusus dan mendapat penanganan yang terukur sesuai dengan kategori potensi bahaya yang dapat ditimbulkan.

Permutasi penumpang menjadi sangat efektif, waktu tunggu yang singkat membuat kondisi awal penerbangan nyaman dan menyenangkan.

Selepas prosedur rutin di setiap titik embarkasi, kita akan memasuki area layanan sebelum gerbang keberangkatan yang didesain lapang dan memberi kesan menenangkan serta menyenangkan. Atraksi seni gerak perpetual dengan pilihan musik mesmerizing yang mendamaikan serta menentramkan jiwa-jiwa kembara yang kadang gelisah dan sedih karena perpisahan dipadu padankan dengan sangat sempurna.

Pilihan desain sofa dan kursi tunggu di area layanan dan bisnis sungguh unik dan menarik. Bentuk organik asimetris seolah tak beraturan menjadi pilihan. Tak dinyana, desain tersebut ergonomis dan amat nyaman saat digunakan.

Tapi sungguh yang di luar dugaan adalah konstruksi hiper realitas yang dibangun melalui pendekatan multimedia yang lebih advanced dibanding sekedar citra augmented reality.

Sebuah layar LED raksasa tersembunyi diantara desain toko peranakan yang salah satunya cukup membanggakan, karena terselip nama Bengawan Solo di sana, kedai kopi Indonesia, di waktu tertentu akan menampilkan sebuah film pendek nirkata, Peranakan Love Story.

Film ini ciamik karena begitu interaktifnya "melompat-lompat", "out of the frame" karena bisa berpindah dari satu balkon toko ke tingkat lainnya, dan terjalinlah romansa antar tetangga yang melahirkan dan menghadirkan lagi Bunga Sayang dari komposer keren Dick Lee. Sebuah lagu dengan lirik dan melodi yang sangat kuat dan pasti melahirkan rindu dan genangan airmata bagi siapa saja yang menyimaknya.

Tetiba ada rasa rindu, kangen, yang menyeruak dan membuat kita sesaat terpaku dan terhenyak. Gesekan biola yang ditimpali bersahutan denting piano dan vokal mendayu ala Melayu pasti membuat kita termangu. Seolah ada seberkas kenangan yang merusak hipokampus dan memaksanya membuka kembali lembar-lembar album lama yang selama ini tersimpan berdebu di sudut sana.

Ini bukan semata soal kinerja Broca dan Broadman dalam menafsir dan memproduksi bahasa, tanpa lirik pun lagi ini mampu membuat kita afasia, membisu kehilangan kata. Fragmen cinta di layar multimedia membawa kita dalam pajanan cerita kita sendiri  yang pasti pernah mengecap asmara.

Ini mengguncang banyak area, membakar kawat-kawat caraka yang melintasi nukleus geniculatum, dan kedua kolikulus superior dan inferior untuk pada akhirnya sampai dan menggedor hipotalamus untuk hadirkan gelenyar hormonal yang akan membuat tubuh kita sejenak lumpuh dalam badai rasa rindu yang kembali hadirkan mimpi-mimpi berserotonin yang diikuti tumbuhnya harap berkelindan dopamin.

Tak lama setelah melangkah memasuki garbarata di gerbang pelepasan nomor 16, seolah hati berasa terpisah dan tertinggal bersama gaung suara Dick Lee yang seolah terus bernaung bersama kenangan tentang sebuah senja di tepi desa dengan berpayung langit lembayung... memang benar kiranya, selalu ada pohon di setiap desa yang benihnya terjatuh dari surga.

Dan pohon itu terus bertumbuh dengan pupuk berupa cerita DNA cinta juga mungkin disirami air mata... tapi bunganya hanya satu jua, bunga sayang namanya...

Siapapun yang mendesain Terminal 4 Changi, anda dengan kurang ajarnya telah berhasil merampok sebagian ruang hati saya dan mengisinya dengan rindu... yang anehnya tidak masuk dengan dipaksa melainkan sukarela. Terminal 4 adalah contoh nyata bagi kita bahwa tak semua teknologi akan meninggalkan hati. Ada banyak teknologi yang akan membuat kita menjadi jauh lebih manusiawi.

Sumber gambar: 
https://www.instagram.com/tauhidnurazhar/?hl=id

Share:

0 komentar:

Posting Komentar