Oleh Nita Fahri Fitria
Termasuk kategori life event dalam teori perkembangan, menikah memang momen super penting bagi setiap insan. Life event adalah sebuah kejadian/ pengalaman yang menghadirkan perubahan yang signifikan terhadap kehidupan manusia. Tentu saja, menikah menghadirkan begitu banyak perubahan pada diri kita, bukan?
Perubahan dalam pernikahan tidak hanya sekedar perubahan dulu tidur sendiri sekarang berdua, atau dulu ngurusin diri sendiri sekarang ngurusin suami. Tapi dalam pernikahan ada banyak sekali perubahan yang detail, rumit, dan penuh kejutan. Maka tidak heran, mereka yang melewati masa berpacaran sekian tahun saja mengatakan bahwa setelah menikah semuanya berbeda.
Setelah menikah kita akan menghadapi pasangan dengan karakter, latar belakang, sudut pandang, kebiasaan, dan segalanya bisa jadi benar-benar berbeda dengan kita. Di hadapan kita juga ada keluarga pasangan yang terdiri dari ayah dan ibu mertua, saudara ipar, keponakan, om, tante, kakek, nenek, sepupu yang masing-masingnya juga memiliki detail kepribadian yang berbeda dengan kita. Terhampar pula di hadapan, perbedaan budaya, tradisi keluarga, bahasa, cara pengelolaan keuangan, hobi, dan sederet detail lainnya. Belum lagi soal manajemen diri, waktu, dan pekerjaan pasca menikah yang tentunya juga akan mengalami perubahan.
Banyak orang kemudian merasa seperti terpenjara, tidak nyaman, ingin kembali membujang, atau sekedar melarikan diri sejenak karena tidak siap menghadapi sederet perbedaan tadi.
Bahkan ada yang berpisah dengan dalih terlalu banyak perbedaan, tidak lagi cocok, buntu, dan sebagainya di usia pernikahan yang masih seumur jagung.
Jadi sebetulnya pernikahan itu apa sih? Kok orang-orang begitu mendambakan pernikahan, tapi kemudian merasa stress, depresi, merasa terpenjara, dan menjadi sebal setengah mati pada pasangan yang dulu dicintai, justru setelah hidup bersama dalam ikatan yang katanya membahagiakan itu?
Pernikahan adalah soal membuka diri. Dalam mindfulness, sikap membuka diri dinamakan beginners mind.
Pernikahan adalah soal membuka diri. Dalam mindfulness, sikap membuka diri dinamakan beginners mind.
Sepasang pria dan wanita yang tengah dimabuk cinta dan ingin melewatkan sisa hidup bersama, perlu untuk terus saling membuka diri untuk saling belajar, saling bertoleransi, dan saling berupaya agar bisa berjalan seimbang sebagai sepasang kaki yang menapaki jalan menuju satu tujuan.
Sekali saja kita menutup diri dan berkata, “Aku gak mau ya, itu gak aku banget.”, maka sejatinya kita tengah membangun tirani kita sendiri. Lantas, apakah kita harus menjadi orang lain? Tidak juga...
Sumber gambar:
0 komentar:
Posting Komentar