Senin, 19 April 2021

Perjalanan untuk Rehat


Oleh Tauhid Nur Azhar 

Allah memiliki sifat laisa kamitslihi syaiun, artinya Allah tidak bisa disamakan dengan apapun. Artinya sesuatu yang bisa dipikir atau dikonstruksi secara perseptual oleh manusia adalah syaiun, bukan Allah.

Maka kita diminta untuk pandai memilah, memillih, dan mengolah tanda serta fenomena untuk mencari jejak makna kehadiran dari Allah, Zat yang Maha Mencipta.

Sesungguhnya pada langit dan bumi benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) untuk orang-orang yang beriman. (QS. Al-Jaatsiyah Ayat 3)

Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin. (QS. Adz-Dzaariyat Ayat 20)

Kedua ayat tersebut sejalan dengan ayat tentang keutamaan ilmu dan iman sebagaimana dapat dipelajari di surat Al Mujadallah ayat 11 berikut:

Wahai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu, berilah kelapangan di dalam majelis-majelis, maka lapangkanlah. Niscaya Allah Swt. akan memberi kelapangan untukmu. Apabila dikatakan, berdirilah kamu, maka berdirilah. Niscaya Allah Swt. akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Allah Swt. Mahateliti apa yang kamu kerjakan. 

Dalam mencari dan berproses membangun kesadaran akan kehadiran Allah SWT dalam kehidupan berlaku prasayarat dan syarat yang harus dipenuhi terlebih dahulu.

Yaitu terintegrasinya iman dan ilmu dalam suatu bentuk keselarasan jasadiyah, aqliyah, dan ruhiyah yang terimplementasi dalam konteks Iqra, Akhlaq, dan Adab yang terepresentasi sebagai aspek kebermanfaatan dan Rahmah bagi semesta sekalian alam.

Upaya manusia mencari makna kehadiran Penciptanya berjalan seiring dengan berkembangnya kemampuan manusia mengekstraksi tanda yang maujud dalam berbagai fenomena, interaksi, dan perubahan dinamis yang diolah melalui fungsi kognisinya. Cara berpikir menjadi konsekuensi logis dari dianugerahkannya kemampuan berpikir.

Mulai dari era Ibnu Sina dengan pendekatan peripatetiknya atau Suhrawardi dengan faham Isyraqiyyah atau iluminasinya, sampai ke pendekatan para muttakalimun atau teosofi transendentalis, al-hikmah al-muta'aliyah, pada dasarnya adalah sebuah gerakan terstruktur untuk mencari makna dan tujuan hidup.

Bahkan jika mengacu kepada pandangan Mulla Sadra yang menggagas prinsip gerak lintas substansi; termasuk materi, ruang, dan waktu, yang dikenal sebagai al harakah al jawhariyah, dimana ada penekanan bahwa setiap perkembangan manusia dimaksudkan untuk mencapai kesempurnaan yang memerdekakan dari keterikatan pada substansi yang melekat padanya sifat perubahan.

Kita semestinya mampu melihat esensi dari substansi, hingga meski kita sendiri bertumbuh, berkembang, dan pasti berubah, esensi dari kehadiran substansi adalah ajeg. Ada makna tunggal yang dapat kita sebut sebagai konsep Ahad.

Dan jika hidup itu adalah sebuah petualangan dalam perjalanan, kata Sadra, perjalanan pertama adalah perjalanan makhluk kepada kebenaran (safar min al-khalq ila al-haqq).

Perjalanan kedua adalah perjalanan bersama kebenaran di dalam kebenaran (safar bi al-haqq fi al-haqq).

Sedangkan perjalanan ketiga adalah retroversi atau kebalikan dari perjalanan pertama, sebab perjalanan ini berangkat dari kebenaran menuju makhluk (safar min al-haqq ila al-khalq).

Lalu perjalanan keempat adalah sintesis dari perjalanan kedua, karena perjalanan ini adalah perjalanan bersama kebenaran di dalam makhluk (safar bi al-haqq fi al-khalq).

Izinkan saya untuk merekonstruksi konsep perjalanan tersebut ke dalam satu konklusi yang dapat disebut istikmal al-nafs atau penyempurnaan manusia dan jiwanya.

Maka tak heran jika dalam fase kehidupannya, baik jin maupun manusia itu tugasnya cuma satu, beribadah, sebagaimana termaktub dalam QS. Az Zariyat Ayat 56 berikut:


وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ


Karena apapun dinamika dan perubahan non esensial yang terjadi, secara substansial esensi dari hidup adalah belajar mengenali tujuan dan pada akhirnya meraih kesadaran tentang makna kehadiran, penciptaan, dan tentu saja Sang Maha Pencipta. 

Bukankah dalam hadist qudsi disampaikan bahwa:
Kuntu kanzan makhfiyyan fa ahbabtu an u`rafa fa khalaqtu ‘l-khalq li-kay u’raf.

Dari balik misteri dan khazanah rahasia (termasuk proses penciptaan), maka Allah Swt. Sang Maha Pencipta menghendaki kita mengenal-Nya. Dan segenap proses dalam "mengenal" itu maujud dalam isti'mal al nafs.

Pencarian dan penelusuran jejak untuk menemukan jalan kembali dapat saja merambah pendekatan quantum seperti pengertian super posisi ataupun jika berbicara tentang konsep hakikat materi kita dapat menelisik lebih mendalam soal berbagai kondisi anomali. Antara lain kondisi tersebut dapat dilihat pada Einstein Bose Condensat dan berbagai varian hubungan panjang gelombang, frekuensi, dan energi, sampai teori Zero Kelvin , dimana dalam kondisi super fluida, Helium-4 yang didinginkan 2° K dapat menentang arah gravitasi.

Artinya? 

Kita tentu saja mendapat gambaran tentang Zat yang Maha Merencanakan dan Mengendalikan melalui beberapa instrumen yang menjadi bagian terintegrasi hukum alam, Sunatullah, yang berlaku secara universal di semesta yang kita kenal.

Dari proses eksplorasi pengetahuan itu juga manusia melahirkan suatu kemampuan adaptif akumulatif: prokreasi. Dimana manusia yang dikaruniai kemampuan prokreasi melalui melekatnya fungsi kognisi dan afeksi serta motorik aksi yang berkonsekuensi kita dapat berkontribusi pada sub sistem pengelolaan semesta,


وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ


Dari penafsiran terhadap QS. Al Anbiya ayat 107 tersebut tampak nyata bahwa proses pengelolaan dan belajar menalar sesuai kadar tertakar adalah prasyarat untuk mengonstruksi sadar. Kehadiran yang harus menjadi rahmah adalah sebentuk pengejawantah dari spirit utama Bismillah.

Penjabaran sifat welas asih menjadi kata kunci untuk membangun piranti kewaskitaan yang tak lain adalah piranti inti, sokoguru ke-Tauhidan. Persoalan akidah adalah meta konstruksi dari segenap proses dalam hidup.

Tasqiyatun nafs menjadi metoda purifikasi terhadap faktor distortif yang dapat menginterferensi niat yang menjadi titik acuan dalam melempangkan jalan ikhlas dengan rambu sabar dan safety guidance berupa rasa syukur holistik.

Maka jika kembali pada prinsip al harakah al jawhariyah, dimana setiap elemen kesemestaan termasuk kita, terkena Sunatullah untuk terikat pada konsep motion in substance and space sebagai konsekuensi telah ditetapkannya waktu, maka tak pelak satu simpulan sederhana adalah, mulailah bersyukur, sabar, dan ikhlas menjalani hidup secara substansial untuk mengenali esensi. Lalu di satu titik hakikat dapat datang merapat. 

Mungkin itulah saat tepat untuk rehat. 

Sumber gambar:

Share:

0 komentar:

Posting Komentar