Senin, 19 April 2021

Sikap Mindfulness: Trust (The Will to Believe)


Oleh Tauhid Nur Azhar 

Pada tahun 1896 William James menyampaikan suatu konsep yang dinamainya The Will to Believe. Hipotesa James amat menarik, karena beliau mengajukan pernyataan yang kira-kira berbunyi: beberapa hal harus diterima berdasarkan kepercayaan, meskipun kita tidak bisa membuktikan kebenarannya.

Banyak hal dalam model interaksi antar manusia menggunakan pendekatan ini. Kita cenderung percaya dan memberi kesempatan kepada orang-orang yang kita cintai dan sayangi, meski terbukti beberapa kali kita dikecewakan. Dari sudut pandang psikososial adanya ikatan emosional dapat menjelaskan banyak hal terkait dengan mekanisme resiprositas, atau munculnya rasa bersalah jika kita mengecewakan orang yang telah menaruh kepercayaan kepada kita.

Tidak hanya William James yang memiliki pendapat demikian, Roberto Cialdini yang mendalami psikologi persuasif pun banyak mengelaborasi aspek ini sebagai salah satu dasar dari metoda persuatif yang dikembangkannya.

Mungkin sebagian dari kita tidak melihat aspek lain selain keterkaitan dan keterikatan psikologis belaka. Tetapi suatu penelitian di Harvard University yang dilakukan oleh Bob Rosenthal pada tahun 1963 membuktikan bahwa kelompok tikus yang "dipercayai" sebagai tikus-tikus cerdas terbukti unggul dalam tes labirin dibanding kelompok yang dianggap biasa saja. 

Apakah memang kelompok tikus itu memang terdiri dari tikus-tikus jenius? Ternyata tidak! 

Mereka tikus yang sama dengan kelompok kedua. Hanya saja para peneliti diyakinkan oleh Bob Rosenthal bahwa kelompok tikus pertama adalah tikus-tikus jenius yang extra ordinary. Harapan, kepercayaan, serta keyakinan dari para peneliti rupanya berkorelasi dengan hasil uji performansi dari kelompok tikus yang dianggap jenius. Bagaiamana hal itu bisa terjadi?

Selanjutnya Rosenthal tidak hanya berhenti di tikus saja, ia penasaran dengan spesies nya sendiri, manusia. Apakah manusia akan menunjukkan hasil yang serupa jika diberi kepercayaan?

Rosenthal melakukan eksperimen di SD Spruce dan "menguji" sekelompok siswa dengan alat tes intelijensia. Sebenarnya itu adalah alat tes IQ biasa, dan hasilnya pun tidak dipergunakan karena seluruh peserta penelitian memiliki basis intelijensia rata-rata. Adapun tujuan dari tes akal-akalan itu adalah sekedar untuk memberi kesan bahwa ada kelompok terpilih yabg jenius, dan sisanya adalah mereka yang biasa-biasa saja.

Selanjutnya pada kedua kelompok pasca tes intelijensia itu dievaluasi hasil belajarnya selama semester berjalan. Ajaib! Kelompok "jenius" mendapat nilai yang jauh melebihi rata-rata kelas.

Para guru juga memberi perhatian dan keyakinan yang tinggi terhadap kinerja murid-murid kelompok jenius. Dan sesuai dengan hipotesa Rosenthal, hasil kelompok jenius memang sangat bagus.

Rosenthal menamakan efek dari eksperimennya adalah efek Pygmalion. Dimana Pygmalion adalah seorang pematung Yunani yang karyanya sedemikian estetik dan begitu sempurna. Hingga ia sendiri meyakini bahwa patung karyanya itu seorang dewi yang nyata. Sampai-sampai para dewa pun meyakininya demikian, sehingga patung itupun hidup dan menjelma menjadi dewi yang nyata.

Tetapi secara paradoksal kelompok yang tidak mendapat perhatian khusus serta limpahan keyakinan mendapat efek Golem. Yaitu efek yang diambil dari nama monster penjaga kota Praha yang berbalik menyerang penduduk kota nya sendiri. 

Kelompok yang kurang mendapat perhatian serta tidak menerima curahan keyakinan pada akhirnya mengalami kondisi kontraproduktif dan terpuruk dalam lingkar kegagalan. Mereka kehilangan dukungan lingkungan dan pada akhirnya mereka meraih hasil-hasil yang jauh dari harapan, meski sebenarnya mereka memiliki potensi yang sama dengan kelompok yang dilabeli "jenius".

Pertanyaannya adalah, apakah piranti dan infrastruktur sosial mampu mentransmisikan kepercayaan itu pada suatu kelompok secara aktif? Atau adakah mekanisme lain? 

Pada manusia dan primata terdapat suatu area di daerah korteks premotorik dan supplementary motor area/ SMA, korteks sensorimotorik primer, dan korteks inferior yang kerap disebut juga area F5 atau Mirror Neuron, yang fungsinya antara lain adalah mencerna dan mereplikasi hal-hal yang dilihat dan dirasakan dari stimulus yang berasal dari lingkungan. 

Kondisi yang tercipta karena adanya kepercayaan dan keyakinan yang ditumbuhkan akan "terbaca" dari berbagai keluaran berupa fenomena yang meliputi berbagai perubahan sikap dan sifat yang maujud dalam model-model interaksi yang terjadi.

Selain itu tentu saja kita tidak bisa mengabaikan hipotesa dari Roger Penrose dan Stuart Hameroff dalam teori Orchestrated Objective Reduction yang telah mengakomodir pendekatan super posisi dan entanglement di ranah biologi quantum. Karakter fisis keyakinan tampaknya dapat ditransmisikan melampaui batasan ruang dan waktu.

Mungkin konsep ini pula yang melandasi esensi dari terealisasinya doa-doa yang dipanjatkan dengan kekhusyu'an dan keyakinan tinggi. Demikian pula pengejawantahan dari efek nocebo dan Self Fulfilling Prophecy.

Semua berangkat dari keyakinan dan keimanan serta harapan yang tentu saja dibahanbakari oleh Cinta sebagai sumber catudaya.

Pertanyaan lanjutan yang muncul adalah, mana yang mau kita tumbuhkan sebagai kesadaran kolektif sebuah bangsa; keyakinan bahwa bangsa kita cerdas, berkualitas, dan mampu berjuang secara ikhlas. Atau sebaliknya, apakah kita mau mengundang Golem?

Sumber gambar: 

Share:

0 komentar:

Posting Komentar