Rabu, 20 Oktober 2021

Sikap Mindfulness Beginner's Mind: Gila Pada Jamannya (Bagian 1)



Oleh Tauhid Nur Azhar

Pandemi mengajarkan pada kita normalitas baru dalam beraktivitas dan berinteraksi di antara sesama manusia. 3M, 5M, bahkan 6M. Di antara M itu mencuci tangan menjadi salah satu M yang dianggap berperan signifikan dalam upaya mengurasi resiko penularan.

Kisah kita berawal dari soal cuci mencuci tangan, tetapi izinkanlah saya membawa kita semua mengembara menelusuri lorong waktu, kembali ke tahun 1846.

Alkisah pada tahun 1846 di Viena General Hospital seorang dokter Hungaria bernama Ignaz Semmelweis bertugas. Semmelweis bukanlah seperti klinisi pada umumnya, ia klinisi yang kritis dan gemar meneliti serta selalu mencari hubungan sebab akibat dari berbagai fenomena yang kerap dihadapi di rumah sakit.

Salah satu hal yang menarik perhatiannya adalah perbedaan angka kematian di bangsal persalinan yang ditangani dokter dan mahasiswa kedokteran dengan bangsal yang ditangani bidan. Tingkat kematian di bangsal persalinan yang ditangani dokter 5x lebih tinggi dibandingkan di bangsal yang ditangani bidan. Fakta ini amat mengganggu pikiran Semmelweis yang tak puas dengan berbagai penjelasan yang ada.

Meski pada masa itu metodologi penelitian klinis belumlah berkembang sebagaimana yang kita kenal hari ini, Semmelweis dengan jeli telah melihat adanya kemungkinan faktor-faktor penyebab tertentu yang mendasari terjadinya perbedaan tingkat kematian tersebut.

Pada abad ke X dunia sains telah diperkenalkan berbagai upaya validasi hasil pengamatan dan penerapan berbagai metoda untuk mencari hubungan baik asosiatif, korelatif, maupun kausalistik dengan model sampling dan pengujian yang dapat menjamin objektivitas, oleh seorang ahli optik Timur Tengah yang juga penemu kamera Obscura, Abu Ali Al Hasan Ibnu Haytham yang biasa dipanggil Al Haytham saja. 


Al Haytham adalah cendekiawan polimat yang berasal dari Basrah (kini masuk wilayah Irak). Pemikirannya banyak dipengaruhi oleh Aristoteles (384 SM–322 SM), Euclid yang hidup sekitar abad ke-4 SM, Ptolemy (90–168), ilmuwan Fisika Yunani Galen (129–200), Al-Kindi (801–873), Banu Musa yang hidup di abad ke-9, Thabit ibn Qurra (826–901), Ibrahim ibn Sinan (908–946), Al-Quhi, dan Ibn Sahl (940–1000). Intinya pendekatan bermetodologis ala Al Haytham inilah yang kemudian melahirkan revolusi sains dengan berbagai implikasi terapannya.

Perkembangan konsep metodologi ilmiah dan penelitian sendiri berlanjut berabad abad kemudian yang antara lain dikembangkan oleh Francis Bacon yang memperkenalkan metoda induksi. Dalam magnum opus-Novum Organum atau instrumen baru, Bacon ber­argumentasi bahwa meskipun pada umumnya filsafat menggunakan silogisme deduktif untuk menginter­pretasikan alam, terutama menurut logika Aristotelian, seorang filsuf dan ilmuwan seharusnya juga memulai penalaran induktif dari fakta ke aksioma, lalu ke hukum fisika.

Dimana metoda deduksi yang selama ini dikenal adalah metoda dengan proses penalaran dari satu atau lebih pernyataan umum untuk mencapai kesimpulan logis tertentu. Sedangkan metoda induksi ala Bacon adalah mengambil simpulan yang bersifat umum dari data dan fakta yang bersifat khusus.

Halaman Selanjutnya >>>
Share:

0 komentar:

Posting Komentar