Tampilkan postingan dengan label Mindfulness Untuk Mahasiswa Kedokteran. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Mindfulness Untuk Mahasiswa Kedokteran. Tampilkan semua postingan

Selasa, 04 April 2023

Kuliah Kerja Nyata, Desa Wangunharja, dan Hidup Damai Bersajahaja



Oleh Duddy Fachrudin 

Saya masih ingat ketika 1 dekade lalu ditawari untuk tinggal di sebuah desa nun jauh di selatan Kota Yogyakarta oleh ayah sahabat saya setelah saya diterima melanjutkan sekolah S-2 di Program Profesi Psikologi Universitas Gajah Mada (UGM). Jarak antara rumah dengan kampus sekitar 45 menit. Suatu variabel yang dipertimbangkan untuk menolak tawaran tersebut. Namun setelah mengambil jeda sejenak, saya menerimanya.

Alasannya sederhana, ingin merasakan sensasi yang berbeda sekaligus menjalani "Kuliah Kerja Nyata" (KKN) yang ketika kuliah S-1 tidak ada mata kuliahnya. Thus, saya akhirnya tinggal di sebuah rumah di desa bernama Wukirsari yang tepat di sebelahnya terdapat Masjid yang dibangun sejak abad 17 dan Komplek Pemakaman Giriloyo. Di dalam komplek tersebut terdapat makam keluarga Sultan Agung dan Sultan Cirebon, Syekh Abdul Karim.

Kehidupan desa tentunya berbeda dengan kota. Kota yang megah dan menawarkan pernak-pernik materi memikat mata, namun nampak manusianya begitu terburu-buru memburu sesuatu. Di desa, seolah waktu melambat mengajak untuk duduk bersama-sama dengan segala kehangatan dan kedamaian yang ada di dalamnya.

Selama 4 tahun "KKN" di Desa Wukirsari justru bukan saya yang memberi, tapi kehidupan desa itulah yang berbagi. Orang-orang begitu ramah dan saling bergotong royong, kesederhanaan, dan cinta. Ada makna berbekas yang tersimpan erat dalam kenangan mengingatkan tentang damainya kehidupan.

Kuliah Kerja Nyata sejatinya berbaur dengan masyarakat. Menyatu dan merasakan kehidupan yang sebenarnya. Dalam era yang semakin mekanik dan robotik, KKN merupakan literasi menjadi manusia yang sangat dibutuhkan dimana individu saling belajar dalam interaksi kolektif serta kolaboratif.

Maka dalam KKN ada semangat membangun yang anggun dalam upaya mewujudkan cita-cita yang tiada lain raharja atau sejahtera. Dua kata, yaitu membangun kesejahteraan dapat disingkat menjadi bangunharja atau wangunharja. Dan kata Wangunharja sendiri digunakan sebagai nama salah satu desa di Kecamatan Jamblang, Kabupaten Cirebon. Tempat kami menjalani KKN, sebagai mahasiswa Universitas Swadaya Gunung Jati Cirebon.

Wangunharja tidak seterkenal saudaranya, Bakung yang identik dengan es tape ketannya. Atau juga dengan Sitiwinangun dengan kerajinan gerabahnya. Namun begitu, Wangunharja tetap spesial karena kebersahajaannya.

Permasalahan yang muncul di masyarakat disikapi tanpa kepanikan dan berlebihan. Seperti halnya stunting yang tidak terkecuali menjadi bagian masalah kesehatan di desa ini. Perangkat desa, posyandu, dan posbindu turun rembuk mengatasi masalah ini. Kami ikut membantu sesuai daya dan kapasitas sebagai mahasiswa yang hanya memiliki secuil ilmu dan keterampilan melalui edukasi stunting dan simulasi hidup sehat di Sekolah Dasar (SD).

Edukasi, simulasi, ditambah dengan Jumsi (Jumat Bersih), dan PoPi (Posko Pintar) adalah rangkaian kecil pengabdian yang semoga menjadi manfaat. Justru sebagai individu yang haus akan ilmu, kami justru mendapatkan sesuatu yang tidak ternilai harganya selama KKN ini. Dan hal itu bernama kebersamaan, kesederhanaan, dan kebersahajaan, yang akhirnya maujud pada kedamaian.

Sumber gambar: 
Dokumentasi KKN

Rabu, 20 Oktober 2021

Sikap Mindfulness Beginner's Mind: Gila Pada Jamannya (Bagian 3, Habis)



Oleh Tauhid Nur Azhar 

Namun ketika metoda desinfeksi dengan mencuci tangan hendak diperkenalkan sebagai salah satu protokol dasar sebelum tindakan, terjadilah penolakan masif di kalangan medis yang beranggapan bahwa teori Semmelweis tidak didukung oleh bukti bukti ilmiah yang memadai.

Maklumlah saat itu fasilitas dan alat pengamatan di bidang mikrobiologi belumlah berkembang seperti saat ini. Bahkan konsep mikroba sebagai patogen saja masih dianggap kontroversial. Meski Zacharias Janssen (1585–1632) seorang ilmuwan yang berasal dari Belanda, telah berhasil mengembangkan mikroskop dan selanjutnya seorang Antonie Philips van Leeuwenhoek, juga dari Belanda, telah menggunakannya untuk melakukan penelitian untuk melihat diertjes atau animalculum (hewan kecil, makhluk mikroskopis), tetapi konsep nosokomial dan patogen penyebab infeksi belumlah dapat diterima sepenuhnya oleh para dokter di masa itu.

Padahal mencuci tangan dengan klorin di masa Penicillin sebagai cikal bakal antibiotika modern belum ditemukan oleh Alexander Flemmings, adalah cara yang cukup efektif untuk mengurangi resiko terjadinya penularan patogen penyebab infeksi, tetapi kalangan medis saat itu punya pendapat yang berbeda.

Intinya pemikiran dan hipotesa Semmelweis dianggap radikal dan tidak cocok dengan fatsun ilmiah kedokteran yang saat itu diterapkan dan dijalankan segenap profesi medis di berbagai institusi pendidikan dan pelayanan kesehatan terkemuka.

Bahkan karena kengototan Semmelweis dalam memperkenalkan metoda desinfeksinya, ia dianggap mengalami gangguan mental. Nasibnya berakhir tragis dengan dikirimkan oleh para sejawatnya sendiri ke pusat perawatan jiwa pada tahun 1865.

Demikianlah sekelumit kisah hikmah tentang Semmelweis, sang inovator, yang seperti banyak inovator lainnya, dianggap gila pada zamannya, yang berawal dari sikap ingin tahu, bertanya, mengamati, meneliti, yang itu semua terangkum dalam sikap beginner's mind. 

Kelak waktu akan membuktikan bahwa pemikiran pemikiran mereka yang jauh melampaui jamannya akan mendapatkan pembuktian seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan metoda pembuktian yang belum ada di zaman gagasan terkait dilontarkan.

Semmelweis mungkin senasib dengan Nikola Tesla yang pemikiran dan karyanya baru termanfaatkan dan dapat dipahami hampir satu abad setelah pertama kali dicetuskan.

Simpulan dan hikmah yang dapat kita petik dari kisah hidup Semmelweis ini adalah betapa banyak gagasan aneh, bahkan gila, dan belum dapat diuji serta diukur efektivitasnya saat ini, barangkali adalah solusi masa depan yang akan kita butuhkan nanti. Maka inovasi dan kreativitas serta kejelian dalam memetakan hubungan sebab akibat adalah keniscayaan untuk menghasilkan sebuah terobosan yang menghadirkan kemaslahatan, bahkan dapat meningkatkan kualitas peradaban.

Sumber gambar:

Sikap Mindfulness Beginner's Mind: Gila Pada Jamannya (Bagian 2)



Oleh Tauhid Nur Azhar

Terlepas dari berbagai metodologi ilmiah yang berkembang tersebut, Semmelweis melihat bahwa kasus kematian di bangsal persalinan tentulah ada mekanisme sebab akibatnya. Untuk menemukan jawaban atas hipotesis sementaranya itu Semmelweis melakukan pengamatan dan pencatatan yang cukup detil terkait dengan berbagai kondisi, kegiatan, dan prosedur medis, serta berbagai peristiwa yang terjadi di kedua bangsal.

Semula Semmelweis menaruh curiga pada posisi pasien terkait prosedur medis yang dilakukan. Hal tersebut mengemuka karena ia melihat adanya perbedaan posisi pasien di kedua bangsal. Tetapi setelah dilakukan perubahan dan posisi pasien di kedua bangsal disamakan tetap saja perbandingan tingkat kematian tidak berubah.

Semmelweis berpikir keras dan mencoba mencari faktor penyebab lain yang dapat menjadi alasan rasional terjadinya ketimpangan tingkat kematian tersebut. Tak lama ia melihat bahwa ada kemungkinan kehadiran pendeta dan ritualnya setiap ada kematian di bangsal persalinan dapat memicu stres dan tekanan mental yang berakibat fatal pada pasien. 

Semmelweis melihat adanya perbedaan ritual di bangsal yang ditangani dokter dan di bangsal persalinan bidan. Sebenarnya pemikiran Semmelweis ini sudah menjangkau pendekatan psikoneuroimunologi yang saat ini berkembang pesat. Sayangnya saat itu setelah upaya meminimalisir ritual dan mengubah pola kunjungan rohani, ternyata tetap tidak terdapat perbedaan yang signifikan dari perbandingan angka kematian semula.

Semmelweis tak menyerah apalagi putus asa, ia terus berusaha mencoba mencari alasan paling rasional yang menjadi penyebab utama tingginya angka kematian di bangsal para dokter dan mahasiswa kedokteran. Hingga pada suatu hari Semmelweis mendapat kabar duka tentang kematian koleganya, seorang patolog, yang diduga akibat terkontaminasi dan terinfeksi patogen saat melakukan autopsi. Dan kejadian semacam itu jamak terjadi pada jaman itu. Patolog yang seyogianya bertugas mencari sebab sebab kematian melalui proses autopsi, kerap sakit dan bahkan meninggal karena tertular dari jenazah yang diautopsi.

Melihat kondisi tersebut Semmelweis mendapatkan suatu titik cerah. Dari catatan hasil observasinya, Semmelweis menemukan bahwa para dokter dan mahasiswa kedokteran selain menjalankan tugas klinik, juga mendapatkan penugasan untuk melakukan autopsi.

Ada kemungkinan pasca proses autopsi para dokter dan mahasiswa kedokteran yang langsung menangani persalinan justru menjadi vektor pembawa patogen infeksius ke pasiennya. Di zaman modern kondisi ini dikenal sebagai infeksi nosokomial.

Untuk membuktikan dan mencegah terjadinya kejadian serupa terus berlangsung, Semmelweis memperkenalkan metoda desinfeksi dengan menggunakan klorin/chlorine (Cl2) atau bentuk sediaannya NaOCl (sodium hipochloride). Hasil riset dan eksperimentasi kliniknya berhasil. Angka kematian di bangsal persalinan yang ditangani dokter dan mahasiswa kedokteran menurun seiring dengan diberlakukannya protokol mencuci tangan dengan klorin sebelum melakukan tindakan persalinan.

Sumber gambar:

Sikap Mindfulness Beginner's Mind: Gila Pada Jamannya (Bagian 1)



Oleh Tauhid Nur Azhar

Pandemi mengajarkan pada kita normalitas baru dalam beraktivitas dan berinteraksi di antara sesama manusia. 3M, 5M, bahkan 6M. Di antara M itu mencuci tangan menjadi salah satu M yang dianggap berperan signifikan dalam upaya mengurasi resiko penularan.

Kisah kita berawal dari soal cuci mencuci tangan, tetapi izinkanlah saya membawa kita semua mengembara menelusuri lorong waktu, kembali ke tahun 1846.

Alkisah pada tahun 1846 di Viena General Hospital seorang dokter Hungaria bernama Ignaz Semmelweis bertugas. Semmelweis bukanlah seperti klinisi pada umumnya, ia klinisi yang kritis dan gemar meneliti serta selalu mencari hubungan sebab akibat dari berbagai fenomena yang kerap dihadapi di rumah sakit.

Salah satu hal yang menarik perhatiannya adalah perbedaan angka kematian di bangsal persalinan yang ditangani dokter dan mahasiswa kedokteran dengan bangsal yang ditangani bidan. Tingkat kematian di bangsal persalinan yang ditangani dokter 5x lebih tinggi dibandingkan di bangsal yang ditangani bidan. Fakta ini amat mengganggu pikiran Semmelweis yang tak puas dengan berbagai penjelasan yang ada.

Meski pada masa itu metodologi penelitian klinis belumlah berkembang sebagaimana yang kita kenal hari ini, Semmelweis dengan jeli telah melihat adanya kemungkinan faktor-faktor penyebab tertentu yang mendasari terjadinya perbedaan tingkat kematian tersebut.

Pada abad ke X dunia sains telah diperkenalkan berbagai upaya validasi hasil pengamatan dan penerapan berbagai metoda untuk mencari hubungan baik asosiatif, korelatif, maupun kausalistik dengan model sampling dan pengujian yang dapat menjamin objektivitas, oleh seorang ahli optik Timur Tengah yang juga penemu kamera Obscura, Abu Ali Al Hasan Ibnu Haytham yang biasa dipanggil Al Haytham saja. 


Al Haytham adalah cendekiawan polimat yang berasal dari Basrah (kini masuk wilayah Irak). Pemikirannya banyak dipengaruhi oleh Aristoteles (384 SM–322 SM), Euclid yang hidup sekitar abad ke-4 SM, Ptolemy (90–168), ilmuwan Fisika Yunani Galen (129–200), Al-Kindi (801–873), Banu Musa yang hidup di abad ke-9, Thabit ibn Qurra (826–901), Ibrahim ibn Sinan (908–946), Al-Quhi, dan Ibn Sahl (940–1000). Intinya pendekatan bermetodologis ala Al Haytham inilah yang kemudian melahirkan revolusi sains dengan berbagai implikasi terapannya.

Perkembangan konsep metodologi ilmiah dan penelitian sendiri berlanjut berabad abad kemudian yang antara lain dikembangkan oleh Francis Bacon yang memperkenalkan metoda induksi. Dalam magnum opus-Novum Organum atau instrumen baru, Bacon ber­argumentasi bahwa meskipun pada umumnya filsafat menggunakan silogisme deduktif untuk menginter­pretasikan alam, terutama menurut logika Aristotelian, seorang filsuf dan ilmuwan seharusnya juga memulai penalaran induktif dari fakta ke aksioma, lalu ke hukum fisika.

Dimana metoda deduksi yang selama ini dikenal adalah metoda dengan proses penalaran dari satu atau lebih pernyataan umum untuk mencapai kesimpulan logis tertentu. Sedangkan metoda induksi ala Bacon adalah mengambil simpulan yang bersifat umum dari data dan fakta yang bersifat khusus.

Halaman Selanjutnya >>>

Senin, 26 April 2021

Mindfulness dalam Pendidikan Dokter


Oleh 
Duddy Fachrudin 
Tauhid Nur Azhar 

*Korespondensi, email: duddy.fahrifitria@gmail.com 

Profesi dokter merupakan salah satu profesi yang menjadi dambaan setiap orang. Dokter merupakan profesi yang prestisius di kalangan masyarakat. Profesi dokter juga dipercaya dapat menjamin lehidupan masa depan seseorang.

Untuk menjadi seorang dokter, seseorang perlu menempuh studi yang membutuhkan waktu tidak sedikit. Rinciannya adalah menyelesaikan sarjana kedokteran (S.Ked) selama 4 tahun dan Program Profesi Dokter 1,5-2 tahun. Artinya untuk menjadi dokter dibutuhkan waktu paling cepat 5,5 tahun. Lalu setelah mendapat gelar dokter, seorang dokter belum dapat praktik secara mandiri, ia harus menjalani internship selama 1 tahun. Bayangkan, begitu lelahnya menjadi dokter, belum lagi jika mahasiswa kedokteran memiliki permasalahan akademik atau psikologis yang menghambat studinya.

Permasalahan stres, fatigue (kelelahan), burnout, dan depresi merupakan permasalahan yang berkaitan dengan kesehatan mental yang sering terjadi pada mahasiswa kedokteran [1]. Permasalahan-permasalahan tersebut dapat berujung pada komunikasi yang kurang empatik dan work engagement yang rendah [2].

Selain itu kecemasan dan kekhawatiran tidak dapat menjadi dokter yang baik juga terjadi pada mereka. Permasalahan lain yang juga perlu menjadi perhatian yaitu yang berhubungan dengan kemampuan menyerap pembelajaran, seperti fokus yang berkurang, dan mudah lupa. Penunda-nundaan (prokrastinasi) dalam mengerjakan tugas menjadi tantangan utama [3]. Era digital saat ini memungkinkan seorang individu lebih terdistraksi sehingga menunda pekerjaan yang seharusnya dilakukan saat itu juga.

Berdasarkan permasalahan-permasalahan yang telah diuraikan perlu adanya solusi dapat dikembangkan atau bahkan diintegrasikan dalam kurikulum pendidikan dokter. Fakultas Kedokteran di Massachussetts University, Monash University, University of Rochester, dan McGill University telah mengembangkan Mindfulness-Based Interventions (MBIs), sebuah intervensi psikologis yang menekankan pada praktik berkesadaran [2].

Germer, Siegel, dan Fulton menyebutkan mindfulness adalah suatu kondisi kesadaran pada saat ini dengan penuh penerimaan [4]. Mindfulness merupakan suatu keterampilan dalam memberikan perhatian dengan berfokus pada satu tujuan, saat ini, dan tidak menilai [5]. Intinya, mindfulness merupakan suatu kondisi di mana pikiran, perasaan, dan tubuh individu berada pada saat ini, tidak mengembara ke masa lalu maupun masa depan.

Tujuan dari berlatih dan mengembangkan mindfulness agar individu dapat lebih menyadari proses mental yang terjadi, lebih dapat mendengarkan secara penuh, lebih fleksibel, tidak menilai (non-judgemental), dan bertindak sesuai prinsip serta penuh kasih sayang (compassion) [6]. Keterampilan-keterampilan ini sangat bermanfaat dalam pengembangan karakter mahasiswa kedokteran selama pendidikan dokter. Karakter dengan toleransi stres yang tinggi, mawas diri, empati merupakan karakter seorang dokter.

Komponen Mindfulness
Mindfulness sangat berorientasi pada hidup saat ini. Konsep hidup pada saat ini (living in the present) berbeda dengan hidup untuk saat ini (living for the present). Hidup untuk saat ini dapat membuat seorang individu berperilaku dengan tidak mempertimbangkan konsekuensi yang terjadi di masa depan. Hidup pada saat ini mengembangkan perilaku berdasarkan kontrol diri dan pencapaian tujuan yang lebih efektif [7].

Baer, Smith, dan Allen merumuskan empat komponen mindfulness yang menunjang seorang individu untuk hidup pada saat ini, yaitu:

1. Observasi. Kemampuan observasi meliputi kemampuan memperhatikan stimulus yang muncul, yaitu dalam hal asal, bentuk, intensitas, dan durasi stimulus tersebut.

2. Deskripsi. Pada saat mengobservasi stimulus, diperlukan kemampuan untuk mendeskripsikan stimulus dengan memberi nama atas fenomena yang terjadi pada saat itu (present moment), tanpa mengelaborasi atau menganalisis.

3. Bertindak dengan kesadaran, yaitu melakukan sesuatu (aktivitas) dengan perhatian yang tidak terbagi (fokus). Seseorang yang bertindak dengan kesadaran mampu menyadari apa yang dilakukannya dan tidak menjadi “automatic pilot” pada kehidupannya.

4. Menerima tanpa menilai. Kemampuan ini berhubungan dengan deskripsi. Ketika menerima stimulus dan mengamatinya, lalu mendeskripsikannya. Selanjutnya menerima tanpa menilai, membiarkan apa adanya tanpa adanya keinginan untuk mengubah secara impulsif [8].

Latihan Mindfulness
Kemampuan melakukan observasi, deskripsi, bertindak dengan kesadaran, dan menerima tanpa menilai dilakukan dengan latihan-latihan sederhana. Latihan-latihan mindfulness sendiri berupa mindful breathing, body scan meditation, eating awareness, mindful walking dan movement, sitting meditation, SOBER (Stop-Observe-Breathing-Expand-Respond), dan lovingkindness [9]. Selain latihan-latihan tersebut, individu dapat mengembangkan mindfulness dalam aktivitas sehari-hari, seperti saat makan, mandi, dan berkendara.

Neurobiologi Mindfulness
Keterampilan mindfulness memiliki korelasi yang erat dengan kemampuan melihat sesuatu secara menyeluruh dan mempertimbangkan berbagai alternatif [10,11]. Individu yang bertindak dan beraksi secara mindful, tidak akan reaktif dalam mengambil keputusan. Hal ini berkaitan dengan meningkatnya aktivitas otak bagian korteks prefrontal [12]. Korteks prefrontal memiliki fungsi luhur, yaitu dalam berpikir, berencana, mengambil keputusan secara bijaksana, memusatkan perhatian, ketabahan dan kesabaran, pengendalian impuls, kesadaran diri, belajar dari pengalaman, mengungkapkan emosi, dan mengembangkan empati/ kasih sayang [13].

Otak manusia bersifat plastis atau yang biasa dikenal dengan neuroplastisitas. Konsep neuroplatisitas merujuk pada kemampuan otak untuk berubah secara struktural dan fungsional akibat dari input lingkungan [14]. Sebagai bukti bahwa terjadi neuroplatisitas adalah adanya peningkatan atau penurunan aktivitas pada bagian otak tertentu. 

Sara Lazar, seorang neurosaintis dari Harvard melakukan penelitian dengan membandingkan otak kelompok meditator dan non-meditator. Kelompok meditator adalah orang umum yang biasa melakukan meditasi selama kurang lebih satu jam setiap harinya. Lazar menemukan di beberapa area kortikal pada kelompok meditator lebih tebal daripada kelompok non-meditator. Dua area kortikal yang menjadi perhatian Lazar adalah korteks prefrontal dan insula. Korteks prefrontal memiliki fungsi kognitif yang luhur seperti pengambilan keputusan dan penilaian secara bijaksana. Insula terhubung dengan kemampuan beremosi secara sosial dan kesadaran diri (self-awareness) [15].

Pengaruh meditasi mindfulness tidak hanya pada tataran organ seperti otak, namun juga struktur tubuh manusia yang lebih kecil yaitu sel. Pada sebuah sel terdapat berbagai organela, salah satunya adalah mitokondria. Menurut Nishihara, mitokondria adalah organ kecil sel yang berfungsi dalam metabolisme energi dan berada di dalam semua butiran sel selain sel darah merah [16].

Pada tubuh manusia terdapat 60 triliun sel dan pada masing-masing terdapat 800-3000 mitokondria. Mitokondria menggunakan semua bahan yang ada di dalam tubuh seperti vitamin, mineral, asam amino esensial, lemak esensial, air, oksigen, dan asam piruvat yang merupakan hasil penguraian glukogen untuk menghasilkan energi. Pada pengertian lain, mitokondria adalah pabrik atau tempat produksi energi sebagai penunjang kehidupan [16]. Penelitian Bhasin, dkk. menunjukkan meditasi dapat meningkatkan produksi energi yang dilakukan mitokondria [17].

Usulan Penelitian dan Penerapan Mindfulness
Mempertimbangkan manfaat yang diperoleh dari hasil berlatih mindfulness, maka penelitian mengenai penerapan mindfulness dalam pendidikan dokter, khususnya di sekolah-sekolah kedokteran di Indonesia dapat dikembangkan lebih lanjut. Penelitian-penelitian ini dapat terkait permasalahan psikologis, seperti stres akademik, depresi, kecemasan, kelelahan (fatigue), dan burn-out. Selain tema-tema klinis tersebut, juga menarik dikaitkan dengan psikologi positif, seperti kesejahteraan (well-being), kebersyukuran, dan kebahagiaan.

Referensi:
[1] Daya, Z., & Hearn, JH. Mindfulness interventions in medical education: A systematic review of their impact on medical student stress, depression, fatigue, and burnout. Medical Teacher 2008; 40(2): 146-153.
[2] Dobkin, PL., & Hassed, CS. Mindful Medical Practitioners: A Guide for Clinicians and Educators. Switzerland: Springer International Publishing 2016.
[3] Fachrudin, D. Laporan Trisemester I Badan Konseling dan Konsultasi Mahasiswa Fakultas Kedokteran Unswagati Cirebon. (Tidak Diterbitkan) 2018.
[4] Germer, CK., Siegel, RD., & Fulton, PR. Mindfulness and Psychotherapy. New York: Guilford Press 2005.
[5] Kabat-Zinn, J. Full Catasthrope Living: Using The Wisdom of Your Body and Mind to Face Stress, Pain, and Illness. New York: Bantam Dell 1990.
[6] Epstein, RM. Mindful practice. JAMA 1999; 282(9): 833-839.
[7] Brown, KW., Ryan, RM., & Creswell, JD. Mindfulness: Theoretical foundations and evidence for its salutary effects. Psychological Inquiry 2007; 18(4): 211-237.
[8] Baer, RA., Smith GT., & Allen, KB. Assessment of mindfulness by self-report: The kentucky inventory of mindfulness skills. Assessment 2004; 11: 191-206.
[9] Fachrudin, D. Program Mindfulness untuk Meningkatkan Kesejahteraan Subjektif Perawat. (Tesis). Universitas Gadjah Mada 2017.
[10] Carmody, J., Baer, RA., Lykins, ELB., & Olendzki, N. An empirical study of the mechanisms of mindfulness in a mindfulness-based stress reduction program. Journal of Clinical Psychology 2009; 65(6): 613-626.
[11] Shapiro, SL., Carlson, LE., Astin, JA., & Freedman, B. Mechanisms of mindfulness. Journal of Clinical Psychology 2006; 62: 373–386.
[12] Greeson, J., & Brantley, J. Mindfulness and anxiety disorders: Developing a wise relationship with the inner experience of fear. Dalam F. Didonna (Ed.), Clinical handbook of mindfulness (hal. 171-188). New York: Springer Science & Business Media 2009.
[13] Amen, DG. Change your brain change your life. (Nukman, EY., terj). Bandung: Qanita 2011.
[14] Setiabudhi, T. Neuroplatisitas dan tai chi. Dalam J. Sutanto (Ed.), The dancing leader 4.0: Tai chi dan kesehatan otak, senam berbasis neuroplastisitas (hal. 1-48). Jakarta: Penerbit Buku Kompas 2015.
[15] Baime, M. This is your brain on mindfulness. Shambala Sun. http://www.nmr.mgh.harvard.edu/~britta/SUN_July11_Baime.pdf 2011.
[16] Nishihara, K. Keajaiban mitokondria: Menyembuhkan penyakit-penyakit yang belum ada obatnya. (Wardani, DK, terj). Bandung: Qanita 2015.
[17] Bhasin, MK., Dusek, JA., Chang, BH., Joseph, MG., Denninger, JW., Fricchione, GL. Benson, H., & Libermann, TA. Relaxation response induces temporal transcriptome changes in energy metabolism, insulin secretion, and inflammatory pathways. PLos ONE 2013; 8(5): e62817.

Sumber gambar: