Saya masih ingat ketika 1 dekade lalu ditawari untuk tinggal di sebuah desa nun jauh di selatan Kota Yogyakarta oleh ayah sahabat saya setelah saya diterima melanjutkan sekolah S-2 di Program Profesi Psikologi Universitas Gajah Mada (UGM). Jarak antara rumah dengan kampus sekitar 45 menit. Suatu variabel yang dipertimbangkan untuk menolak tawaran tersebut. Namun setelah mengambil jeda sejenak, saya menerimanya.
Alasannya sederhana, ingin merasakan sensasi yang berbeda sekaligus menjalani "Kuliah Kerja Nyata" (KKN) yang ketika kuliah S-1 tidak ada mata kuliahnya. Thus, saya akhirnya tinggal di sebuah rumah di desa bernama Wukirsari yang tepat di sebelahnya terdapat Masjid yang dibangun sejak abad 17 dan Komplek Pemakaman Giriloyo. Di dalam komplek tersebut terdapat makam keluarga Sultan Agung dan Sultan Cirebon, Syekh Abdul Karim.
Kehidupan desa tentunya berbeda dengan kota. Kota yang megah dan menawarkan pernak-pernik materi memikat mata, namun nampak manusianya begitu terburu-buru memburu sesuatu. Di desa, seolah waktu melambat mengajak untuk duduk bersama-sama dengan segala kehangatan dan kedamaian yang ada di dalamnya.
Selama 4 tahun "KKN" di Desa Wukirsari justru bukan saya yang memberi, tapi kehidupan desa itulah yang berbagi. Orang-orang begitu ramah dan saling bergotong royong, kesederhanaan, dan cinta. Ada makna berbekas yang tersimpan erat dalam kenangan mengingatkan tentang damainya kehidupan.
Kuliah Kerja Nyata sejatinya berbaur dengan masyarakat. Menyatu dan merasakan kehidupan yang sebenarnya. Dalam era yang semakin mekanik dan robotik, KKN merupakan literasi menjadi manusia yang sangat dibutuhkan dimana individu saling belajar dalam interaksi kolektif serta kolaboratif.
Maka dalam KKN ada semangat membangun yang anggun dalam upaya mewujudkan cita-cita yang tiada lain raharja atau sejahtera. Dua kata, yaitu membangun kesejahteraan dapat disingkat menjadi bangunharja atau wangunharja. Dan kata Wangunharja sendiri digunakan sebagai nama salah satu desa di Kecamatan Jamblang, Kabupaten Cirebon. Tempat kami menjalani KKN, sebagai mahasiswa Universitas Swadaya Gunung Jati Cirebon.
Wangunharja tidak seterkenal saudaranya, Bakung yang identik dengan es tape ketannya. Atau juga dengan Sitiwinangun dengan kerajinan gerabahnya. Namun begitu, Wangunharja tetap spesial karena kebersahajaannya.
Permasalahan yang muncul di masyarakat disikapi tanpa kepanikan dan berlebihan. Seperti halnya stunting yang tidak terkecuali menjadi bagian masalah kesehatan di desa ini. Perangkat desa, posyandu, dan posbindu turun rembuk mengatasi masalah ini. Kami ikut membantu sesuai daya dan kapasitas sebagai mahasiswa yang hanya memiliki secuil ilmu dan keterampilan melalui edukasi stunting dan simulasi hidup sehat di Sekolah Dasar (SD).
Edukasi, simulasi, ditambah dengan Jumsi (Jumat Bersih), dan PoPi (Posko Pintar) adalah rangkaian kecil pengabdian yang semoga menjadi manfaat. Justru sebagai individu yang haus akan ilmu, kami justru mendapatkan sesuatu yang tidak ternilai harganya selama KKN ini. Dan hal itu bernama kebersamaan, kesederhanaan, dan kebersahajaan, yang akhirnya maujud pada kedamaian.
Alasannya sederhana, ingin merasakan sensasi yang berbeda sekaligus menjalani "Kuliah Kerja Nyata" (KKN) yang ketika kuliah S-1 tidak ada mata kuliahnya. Thus, saya akhirnya tinggal di sebuah rumah di desa bernama Wukirsari yang tepat di sebelahnya terdapat Masjid yang dibangun sejak abad 17 dan Komplek Pemakaman Giriloyo. Di dalam komplek tersebut terdapat makam keluarga Sultan Agung dan Sultan Cirebon, Syekh Abdul Karim.
Kehidupan desa tentunya berbeda dengan kota. Kota yang megah dan menawarkan pernak-pernik materi memikat mata, namun nampak manusianya begitu terburu-buru memburu sesuatu. Di desa, seolah waktu melambat mengajak untuk duduk bersama-sama dengan segala kehangatan dan kedamaian yang ada di dalamnya.
Selama 4 tahun "KKN" di Desa Wukirsari justru bukan saya yang memberi, tapi kehidupan desa itulah yang berbagi. Orang-orang begitu ramah dan saling bergotong royong, kesederhanaan, dan cinta. Ada makna berbekas yang tersimpan erat dalam kenangan mengingatkan tentang damainya kehidupan.
Kuliah Kerja Nyata sejatinya berbaur dengan masyarakat. Menyatu dan merasakan kehidupan yang sebenarnya. Dalam era yang semakin mekanik dan robotik, KKN merupakan literasi menjadi manusia yang sangat dibutuhkan dimana individu saling belajar dalam interaksi kolektif serta kolaboratif.
Maka dalam KKN ada semangat membangun yang anggun dalam upaya mewujudkan cita-cita yang tiada lain raharja atau sejahtera. Dua kata, yaitu membangun kesejahteraan dapat disingkat menjadi bangunharja atau wangunharja. Dan kata Wangunharja sendiri digunakan sebagai nama salah satu desa di Kecamatan Jamblang, Kabupaten Cirebon. Tempat kami menjalani KKN, sebagai mahasiswa Universitas Swadaya Gunung Jati Cirebon.
Wangunharja tidak seterkenal saudaranya, Bakung yang identik dengan es tape ketannya. Atau juga dengan Sitiwinangun dengan kerajinan gerabahnya. Namun begitu, Wangunharja tetap spesial karena kebersahajaannya.
Permasalahan yang muncul di masyarakat disikapi tanpa kepanikan dan berlebihan. Seperti halnya stunting yang tidak terkecuali menjadi bagian masalah kesehatan di desa ini. Perangkat desa, posyandu, dan posbindu turun rembuk mengatasi masalah ini. Kami ikut membantu sesuai daya dan kapasitas sebagai mahasiswa yang hanya memiliki secuil ilmu dan keterampilan melalui edukasi stunting dan simulasi hidup sehat di Sekolah Dasar (SD).
Edukasi, simulasi, ditambah dengan Jumsi (Jumat Bersih), dan PoPi (Posko Pintar) adalah rangkaian kecil pengabdian yang semoga menjadi manfaat. Justru sebagai individu yang haus akan ilmu, kami justru mendapatkan sesuatu yang tidak ternilai harganya selama KKN ini. Dan hal itu bernama kebersamaan, kesederhanaan, dan kebersahajaan, yang akhirnya maujud pada kedamaian.
Sumber gambar:
Dokumentasi KKN