Tampilkan postingan dengan label Mindful Walking. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Mindful Walking. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 28 Desember 2024

Kekuatan Afirmasi


Oleh Duddy Fachrudin & Mindfulnesia Walking Group 

Dalam memotivasi diri serta orang lain, kata-kata menjadi sarana yang bisa menjadi catudaya penggerak mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Buku “10 Pesan Tersembunyi & 1 Wasiat Rahasia” memberikan banyak contoh bagaimana afirmasi melalui kata-kata sangat dianjurkan untuk diucapkan. Seperti kisah One Piece, dimana Luffy seringkali berkata “Aku akan menjadi Raja Bajak Laut!”. Meski kemudian diremehkan dan ditertawakan, nyatanya sugesti tersebut menjadi bagian pelayaran serta petualangan yang tidak mudah dan penuh dengan tantangan.

Contoh lainnya yang dituliskan dalam buku tersebut ialah afirmasi yang selalu diucapkan oleh Mohammad Ali saat bertanding melawan George Foreman. Pertandingan itu ibarat David versus Goliath, karena Big Foreman sepertinya akan mudah meng-KO Ali yang “kecil”. Namun rupanya Ali memiliki strategi yang tiada lain mengucapkan kata-kata penuh energi. “Ayo, mana pukulanmu!”, “Pukulanmu tidak menyakitiku!”, Ali mengatakannya sembari memamerkan moncongnya di depan Foreman. Prediksi KO memang benar terjadi. Tapi berlaku untuk Foreman. Ali berhasil memukul telak lawannya di ronde ke-8, setelah sebelumnya “hanya” menghindar dari hantaman Foreman[1].

Sebagai pendaki gunung jelata yang gear pendakiannya apa adanya, afirmasi ke diri juga sangat mempengaruhi. Contoh saja begini: “Puncak memang bukan tujuan, tapi tidak sampai puncak keterlaluan”. Atau saat lelah melanda hati ini kemudian berkata, “Sedikit lagi!”. Dan benar saja saat energi sepertinya sudah habis, tiba-tiba tubuh kemudian bangkit dan melangkah lagi.

Dan sekali lagi, kekuatan kata-kata digunakan dalam pendakian kali ini. Pendakian yang dibilang tidak sulit karena gunung yang didaki bukan gunung yang berketinggian 3000 mdpl. Bukan juga 1000 hingga 2000-an mdpl dengan jalur yang “pedas”. Gunung ini, atau lebih layak disebut bukit berketinggian 451 mdpl. Jajar Sinapeul namanya.

Pendakian kali ini bertajuk “Mindfulnesia Trail Walk”, tujuannya untuk meningkatkan kualitas kesehatan mental. Karena jalan kaki sendiri memang salah satu aktivitas fisik yang mudah dan murah, serta memiliki manfaat yang bagus sekali dalam meregulasi emosi. Bahkan berjalan kaki selama 10 menit saja dapat meningkatkan energi serta kualitas suasana hati[2].

Puncak Gunung Sinapeul. Itulah tujuan kami. Lokasinya tepat di atas Desa Ujungberung Blok Sinapeul. Terdapat dua cara menujunya dari rumah. Pertama ialah menggunakan kendaraan selama 20 menit dan menitipkannya di salah satu rumah warga. Kedua melalui berjalan kaki selama 2 jam menyusuri kampung, sawah, kebun, bukit kuda, hingga akhirnya tiba di blok Sinapeul. Kami memutuskan untuk menggunakan cara kedua.

Setelah hampir 10 km berjalan kaki, kami tiba di lokasi. Suatu kawasan wisata durian yang terkenal di Kabupaten Majalengka. Sebelum melanjutkan perjalanan menuju Puncak Jajar Sinapeul, kami beristirahat ditemani serabi hangat yang begitu lezat. Sekitar pukul 10.15 kami berjalan kembali dimulai dengan menyusuri kebun durian. Beberapa petani durian dijumpai, salah satunya yang kemudian bertanya tentang perjalanan kami. “Mau ke puncak Pak,” ujar kami. Dengan wajah ceria dan semangat, bapak itu membalas, “Bala…!”.

Bala. Terheran-heranlah Azru, Reno, dan Tamami. Ketiga anak muda yang berapi-api itu lantas bertanya kepada saya makna kata “bala”. Karena bapak tersebut mengucapkannya dengan wajah yang sumringah, maka saya mengira-ngira saja maknanya. “Artinya hebat, keren!” ujar saya.

Hebat. Pendakian yang keren, karena tidak ada orang lain yang mendaki saat itu. Hanya kami berempat. Kata “hebat” menjadi afirmasi sepanjang perjalanan pendakian. Sehingga segala rintangan yang menghadang, baik itu rasa lelah, medan yang curam, serbuan nyamuk, serta keinginan untuk berhenti dari mendaki bisa teratasi. Afirmasi “hebat dan keren” benar-benar ampuh menjadi catudaya “menaklukan” Gunung Jajar Sinapeul.

Gunung ini sunyi dan sepi. Sudah tidak banyak yang mendaki karena tidak ada lagi yang mengelola. Gunung ini ramai dikunjungi 4 hingga 2 tahun lalu di era pandemi. Penduduk lokal membuat jalur pendakian dan menatanya. Beberapa video pendakian Gunung Jajar Sinapeul bisa dilihat di Youtube dimana jalur pendakian jelas dan tertata rapih. Di Puncak Jajar Sinapeul, atap Jawa Barat Gunung Ciremai terlihat begitu gagah dan megah. Sementara jajaran gunung di perbatasan Cirebon Barat-Majalengka amat menawan, bagaikan Raja Ampat.

Bala. Kata itu kembali terngiang selama turun dari puncak. Langit mulai gelap yang membuat kami perlu bergegas. Namun sayangnya yang dihadapi ialah turunan curam penuh dengan dedaunan berserakan. Salah melangkah, tubuh bisa hilang keseimbangan lalu terperosok ke bawah. Meski ingin bergerak cepat, kenyataannya justru melambat.

Bala. Benarkah artinya keren atau hebat?

Hujan akhirnya mengguyur bumi. Untungnya kami sudah melalui turunan curam berduri itu. “Kita benar-benar bala! Hebat!” Apalagi Tamami dan Azru baru pertama kali naik gunung. Sementara Reno tidak menyangka medan Gunung Sinapeul diluar perkirannya. Dikiranya Sanghyangdora yang asyik dan ramah.

Bala. Akhirnya saya mencari tahu maknanya.

Bala seringkali digunakan pada kalimat “bala tantara…”, maka artinya bisa “pasukan”. Tapi sepertinya makna ini tidak sesuai dengan konteks pendakian. Sementara, bala dalam bahasa Sunda memiliki arti “berantakan”. Dalam kamus bahasa Sunda, bala memiliki arti: penuh rumput atau sampah serta bahaya.

Jadi… makna bala sejatinya suatu kondisi yang berantakan, awut-awutan, tidak tertata, tidak rapih seperti halnya gorengan bala-bala yang dibuat tanpa cetakan.

Selama perjalanan sendiri kami menjumpai jalur yang amat rimbun. Tumbuhan liar menutupi jalur pendakian. Daun-daun berserakan menutupi tanjakan/ turunan curam yang membahayakan. Sementara di jalur puncak yang menyerupai punggungan naga, ilalang menjulang setinggi badan sehingga menyulitkan pergerakan.

Ternyata… benar yang dikatakan bapak petani durian yang kami jumpai di awal pendakian. Bala pisan!
 
Referensi:
[1] Fachrudin, D. 10 Pesan Tersembunyi & 1 Wasiat Rahasia. Solo: Metagraf 2011.
[2] https://www.mentalhealth.org.uk/explore-mental-health/publications/how-look-after-your-mental-health-using-exercise#paragraph-18511

Sumber gambar:
https://www.instagram.com/duddyfahri/

Selasa, 06 November 2018

[Mindful Journey] Menyusuri Salabintana Hingga Puncak Gede (Bagian 3, Habis)

Di Puncak Gn. Gede 

Oleh Duddy Fachrudin

Tidak berlama-lama di puncak, kami lalu turun melalui jalur Cibodas. Kami bermalam sambil melepas lelah di Pos Kandang Badak. Baru esok harinya melanjutkan perjalanan sambil membawa sampah-sampah bekas makanan dan minuman kami serta sampah yang ditemui selama perjalanan.

Turun Membawa Sampah

Gunung, sungai, dan samudera adalah sahabat manusia. Cinta dan kasih sayang merupakan nilai yang dipegang oleh seorang sahabat. Maka membawa pulang sampah adalah kewajiban kami para pendaki.

Maka meniti sebuah pendakian merupakan bentuk menjaga keseimbangan dan keselarasan pada alam. Maka Sekolah Pendaki Gunung Wanadri ini mengajarkan kesadaran serta kewaskitaan dalam menjalani sebuah kehidupan.

Dan... pelajaran paling penting dari petualangan ini adalah: tujuan dari mendaki gunung bukan mencapai puncak, melainkan kembali ke rumah dengan selamat.

<<< Halaman Sebelumnya

Sumber gambar:
Dokumentasi Sekolah Pendaki Gunung Wanadri 2007

Minggu, 04 November 2018

[Mindful Journey] Menyusuri Salabintana Hingga Puncak Gede (Bagian 2)


Oleh Duddy Fachrudin

Setelah mengikuti materi dan simulasi dasar, saya yang masih tergolong pemula dalam mendaki gunung sadar bahwa mendaki gunung bukan sekedar memakai kaos oblong, beralaskan sandal jepit dan bermodal beberapa buah roti dan sebotol air mineral, atau 20 ribu rupiah. Bahaya subjektif dan objektif menanti kita para pendaki dan ketika hal itu datang kita harus sudah siap mengatasinya.

Bahkan, kesuksesan dalam pendakian bukan hanya terletak pada persiapan dan perbekalan yang cukup, tapi juga memiliki niat yang baik serta senantiasa memelihara perasaan positif. Pesan tersebut diucapkan Kepala Desa Linggarjati dan pemandu Gunung Ciremai kepada Clement Steve dan dua temannya yang hendak mendaki Ciremai pada pertengahan tahun 1974[1].

Adzan Menggema di Surya Kencana
Rabu sore, kami mulai mengaplikasikan materi yang didapat ke dalam kondisi sesungguhnya. Walau masih di Salabintana, kami membuat bivak dengan menggunakan ponco dan membuat makanan sendiri. Sebelumnya kami bermalam di barak dan makan makanan yang disediakan oleh Wanadri. Karena saya tidak terlalu mahir dalam urusan bivak, maka sayalah yang membuat makanan. Selanjutnya, saya dan 4 teman sekelompok menyantap nasi, mie dan abon dengan nikmatnya.

Esok paginya kami berangkat mendaki Gunung Gede (2958 mdpl) melalui jalur Salabintana yang terkenal lebih rumit dan jarang dilalui dibanding jalur-jalur lainnya, seperti Cibodas dan Gn. Putri. Di awal pendakian kami langsung menghadapi punggungan yang cukup curam dengan diapit 2 lembahan yang mengalir sungai dibawahnya.

Selama melalui trail (jalan setapak), banyak dijumpai pohon tumbang yang harus kami panjat atau merangkak dibawahnya. Di ketinggian 2100 mdpl kami beristirahat dan melakukan evaluasi perjalanan pada malam harinya.

Pendakian dilanjutkan dengan mencapai target Alun-alun Surya Kencana (2800 mdpl) untuk melaksanakan shalat Jum’at. Dalam perjalanan, kami tidak hanya sekedar melangkahkan kaki dan membawa ransel yang berat, tapi juga belajar menentukan posisi (resection) menggunakan peta topografi, kompas bidik, penggaris dan busur atau protactor. Hal ini penting karena banyak juga para pendaki yang tersesat dan tidak tahu posisinya dimana, karena mereka tidak membawa peralatan navigasi.

Pukul 12.30 kami sampai di Surya Kencana. Adzan berkumandang di padang leontopodium alpinum atau yang biasa disebut edelweiss tersebut. Teddy, teman sekelompok saya menjadi khatib dan imam untuk pelaksanaan shalat Jum’at. Pukul 14.30 kami menuju Puncak Gede. Dalam pendakian yang sejengkal lagi, kami harus meninggalkan salah satu peserta wanita yang kelelahan. "Maniikk, ayo kamu bisa!" teriak kami mendahuluinya. Terik matahari menemani nyanyian kami menuju puncak punggungan. Kemudian beberapa orang di depan saya berteriak, "Woii sudah sampai, semangat... semangat...!". Pukul 15.00 kami tiba di Puncak Gede.

Di depan kami terhampar Kawah Ratu dan jika menggeserkan pandangan beberapa senti ke arah kiri terlihat Gunung Pangrango (3019 mdpl). "Wow, ini luar biasaa... ini baru pertama kali!!!" teriak Madewanti yang memecah langit. Sementara yang lain saling ber-tos ria, tertawa dan menyemangati Manik yang masih berjuang menggapai puncak bersama panitia. Akhirnya Manik melengkapi senyum 40 peserta yang lainnya di Puncak Gede.

Selama memandangi keindahan alam dari puncak Gunung Gede ini, terbersit satu tanya pada Sang Maha, "Apakah dengan mencapai puncak suatu gunung, tujuan pendakian ini sudah dikatakan berhasil?"


Referensi:
1. Steve, C. Menyusuri Garis Bumi. Grasindo: Jakarta 2015.

Sumber gambar:
https://zonalibur.com/jalur-pendakian-gunung-gede-pangrango-via-selabintana/

Kamis, 01 November 2018

[Mindful Journey] Menyusuri Salabintana Hingga Puncak Gede (Bagian 1)


Oleh Duddy Fachrudin

“Ngapain lama-lama tinggal di Jakarta. Mendingan naik gunung. Di gunung kita akan menguji diri dengan hidup sulit, jauh dari fasilitas enak-enak. Biasanya akan ketahuan, seseorang itu egois atau tidak. Juga dengan olahraga mendaki gunung, kita akan dekat dengan rakyat di pedalaman. Jadi selain fisik sehat, pertumbuhan jiwa juga sehat. Makanya yuk kita naik gunung. Ayo ke Semeru…”

Kata-kata itu diucapkan Soe Hok Gie sebelum keberangkatan menuju Puncak Mahameru 16 Desember 1969. Namun sayangnya, setelah bersimpuh di Puncak Para Dewa tersebut, Soe yang turun terakhir dari puncak bersama Idhan Lubis meninggal dunia akibat menghirup gas beracun.

Kematian Soe Hok Gie merupakan salah satu dari sekian banyak kecelakaan yang menimpa para pendaki gunung, baik mereka yang pemula bahkan yang sudah sering mendaki seperti Soe. Berbagai tragedi di gunung tersebut melecutkan Wanadri yang menamakan dirinya sebagai perhimpunan penempuh rimba dan pendaki gunung untuk mengadakan Sekolah Pendaki Gunung (SPG). Sejak 1973 Wanadri mengadakan SPG untuk berbagi pengetahuan bagaimana caranya agar mendaki gunung dengan aman dan nyaman.

Selama 8 hari (8-15 Juli 2007), saya termasuk dalam 41 peserta mengikuti SPG Wanadri Gede-Pangrango. Sebelum keberangkatan, kami melakukan tes kemampuan dasar, tes fisik dan tentunya tes medis. Poin ketiga ini merupakan hal yang wajib dilakukan bagi siapa saja yang akan melakukan pendakian. Berbagai perlengkapan pun harus kami siapkan seperti ransel, pakaian lapangan, perlengkapan bivak dan tidur, perlengkapan masak dan makan, perlengkapan navigasi, perlengkapan lain seperti MCK, peralatan jahit, obat-obatan pribadi dan 18 paket makanan sebagai perbekalan.

4 Hari di Camp Salabintana
Minggu (8 Juli) jam 6 pagi kami berangkat dari Sekretariat Wanadri di Jl. Aceh Bandung dengan tujuan Salabintana Sukabumi. Sekitar pukul 9.45 kami sampai di Pondok Halimun (± 1200 mdpl) lalu dikumpulkan dengan para peserta yang mendaftar di Jakarta dan dibagi dalam 9 kelompok. Peserta SPG yang berjumlah 41 orang sendiri berasal dari berbagai kalangan, dari mulai siswa SMA sampai bapak-bapak berumur 44 tahun, namun kebanyakan dari kami adalah mahasiswa.

Selama 4 hari kami dibekali berbagai materi dasar yang diperlukan bagi seorang pendaki gunung. Materi-materi tersebut mencakupi: perencanaan perjalanan, perlengkapan perbekalan, iklim medan dan penaksiran, kesehatan perjalanan dan penanganan gawat darurat, navigasi darat, pengantar ilmu survival, bootani dan zoologi praktis, tali temali, pengenalan konservasi, kesadaran lingkungan, dan manfaat hidup di alam terbuka. Para pemateri berasal dari senior-senior Wanadri, tim dokter Atlas Medical Pioneer (AMP) Fakultas Kedokteran Unpad dan tim pelestari Taman Nasional Gede-Pangrango.

Beberapa hari sebelum SPG, saya mendengar berita tentang tewasnya salah seorang pendaki di Gunung Ciremai. Dikabarkan dia tewas akibat hipotermia karena cuaca buruk pada saat itu. Kemudian saya mendapatkan informasi lagi bahwa dia hanya membawa bekal 20 ribu rupiah untuk mendaki puncak Ciremai tersebut!


Sumber gambar:
http://sejarahri.com/mengenang-soe-hok-gie/

Selasa, 17 Juli 2018

Achterhuis


Oleh Duddy Fachrudin

Selama mengungsi dari kejaran tentara Nazi, Anne Frank tinggal di sebuah gedung kantor di Amsterdam Belanda yang memiliki ruangan tersembunyi, Achterhuis.

Di dalam kamar rahasia yang ditutup dengan rak buku tersebut, gadis itu mencurahkan perasaan, pikiran, atau apapun yang dialaminya di buku harian.

Lantas diary itu diterbitkan dengan judul Het Achterhuis. Dan karena buku itu pula, kata "achterhuis" menjadi lebih populer.

Selain memiliki arti ruangan tersembunyi atau ruangan yang letaknya di belakang dari sebuah rumah, jika kita mengetikkan "achterhuis" ke google translate muncul arti "rumah kembali".

Rumah kembali?

Sebuah makna yang terdengar ambigu, bukan?

Namun ketidakjelasan itu memudar ketika saya bertemu dengan kata itu (lagi) di kawasan Kota Lama Semarang.

Setelah napak tilas Laksamana Cheng Ho di klenteng Tay Kak Sie, menikmati pisang plenet, soto Pak Bambang, dan es hawa di Waroeng Semawis, serta berdiskusi dengan pengelola Djikstra Library & Community Cafe, saya tiba di Tekodeko Koffiehuis. Di sebelah kedai kopi akulturasi itu terdapat Achterhuis, sebuah guest house.

Malam itu menunjukkan pukul 11. Taman Srigunting sudah ditinggalkan oleh pengunjungnya. Kopi Gendhis yang saya pesan di Tekodeko perlahan mulai habis.

Kata "achterhuis" kembali terngiang setelah saya melangkahkan kaki keluar Koffiehuis menuju sebuah "kapsul" di Sleep & Sleep yang saya sewa semalam untuk merebahkan tubuh.

Kapsul itu berdimensi 2x1x1,5.

Tak terasa, perjalanan malam di Kota Lama sesungguhnya adalah perjalanan kehidupan yang kelak akan kembali dan pulang.

Achterhuis, seperti yang diterjemahkan google translate, yaitu rumah untuk kembali (pulang). Dan rumah itu berdimensi hampir sama dengan "kapsul" yang saya sewa. Ya, achterhuis adalah rumah yang kelak akan ditinggali oleh tubuh kita yang tidak abadi.

Namun, sebelum kita menuju kesana, pulanglah pada ruang tersembunyi. Tempat Sang Maha Cinta meletakkan cahaya cintanya. Sebuah ruang rindu dimana manusia ingin selalu bertemu dengan-Nya.

Pulanglah ke dalam hati. Lalu menyelam mereguk saripati cahaya-Nya.

Pulanglah... ke achterhuis sejati.

Sumber gambar:
https://www.swanngalleries.com/news/2016/05/20444/attachment/718562/

Minggu, 01 Oktober 2017

Mindful Walking: Ketika Jalan Kaki Begitu Menggoda..

Latihan mindful walking @Sharing Session IPK Jabar

Oleh Duddy Fachrudin

Pernahkah terlintas bahwa jalan kaki perlu dilatih? Sebagian orang mungkin berkomentar, “Jalan kaki kok perlu training, dari dulu jalan kaki begitu-begitu saja dan tidak ada yang perlu diubah dari kebiasaan ini.”

Ya, tidak ada salahnya dengan komentar tersebut. Tapi coba sekali-kali nongkrong di mall dan mengamati orang-orang yang sedang berlalu lalang. Lihat cara jalan mereka. Ada yang jalan sambil wajahnya menunduk melihat handphone, lalu ada jalan dengan langkah kaki panjang, kemudian jalan kaki dengan kedua kaki yang dilebarkan (lebih lebar dari pinggul), berjalan kaki dengan kedua kaki dibuka keluar membentuk sudut tertentu atau kaki yang ke dalam sehingga seperti membentuk O. Sebagian orang juga memiliki cara jalan yang dipengaruhi alas kaki, seperti sepatu hak tinggi, sepatu yang solnya sudah aus, alas kaki yang solnya terlalu tipis dan terlalu tebal.

Kesimpulannya.. ternyata cara berjalan kaki orang berbeda-beda dan sebagian besar tidak disadari.

Jalan kaki nyatanya perlu disadari. Bahasa kerennya mindful walking, berjalan dengan penuh kesadaran. Kita benar-benar menyadari dan merasakan diri kita yang sedang berjalan kaki. Dan yang lebih penting mindful walking menyehatkan fisik dan psikis. Mengapa?

Teut, dkk (2013) dari Universitas Berlin meneliti pengaruh mindful walking terhadap stres psikologis. Hasilnya partisipan yang melakukan mindful walking selama 4 minggu menunjukkan stres psikologis yang menurun dibanding kelompok kontrol. Maka pelajaran yang dapat diambil dari penelitian ini, yaitu saat kita stres maka berjalan kakilah secara sadar.

Teknik mindful walking memiliki persamaan dengan bagaimana berlatih tai chi. Keseimbangan tubuh benar-benar diperhatikan. Kedua kaki sejajar dengan tulang pinggul (bukan pinggul). Kedua kaki lurus ke depan (tidak membentuk sudut tertentu), melangkah kaki secara proporsional (tidak terlalu panjang juga tidak terlalu pendek) dan tumit terlebih dahulu menyentuh tanah kemudian dilanjutkan dengan memompa bantalan kaki. Kita benar-benar merasakan adanya tekanan pada kaki lalu menyadarinya. Berjalan secara rileks dan hanya berjalan.

Berjalan kakilah... karena jalan kaki merupakan obat terbaik bagi manusia, begitu kata Hipokrates.

Cek pelatihan mindfulness terbaru di sini >>>

Referensi:
Teut, M., Roesner, E.J., Ortiz, M., Reese, F., Binting, S., Roll, S., Fischer, H.F., Michalsen, A., Willich, S.N., & Brinkhaus, B. (2013). Mindful walking in psychologically distressed individuals: A randomized controlled trial. Evidence-Based Complementary and Alternative Medicine, DOI : 10.1155/2013/489856

Sumber gambar:
Dokumen pribadi