Minggu, 04 November 2018

[Mindful Journey] Menyusuri Salabintana Hingga Puncak Gede (Bagian 2)


Oleh Duddy Fachrudin

Setelah mengikuti materi dan simulasi dasar, saya yang masih tergolong pemula dalam mendaki gunung sadar bahwa mendaki gunung bukan sekedar memakai kaos oblong, beralaskan sandal jepit dan bermodal beberapa buah roti dan sebotol air mineral, atau 20 ribu rupiah. Bahaya subjektif dan objektif menanti kita para pendaki dan ketika hal itu datang kita harus sudah siap mengatasinya.

Bahkan, kesuksesan dalam pendakian bukan hanya terletak pada persiapan dan perbekalan yang cukup, tapi juga memiliki niat yang baik serta senantiasa memelihara perasaan positif. Pesan tersebut diucapkan Kepala Desa Linggarjati dan pemandu Gunung Ciremai kepada Clement Steve dan dua temannya yang hendak mendaki Ciremai pada pertengahan tahun 1974[1].

Adzan Menggema di Surya Kencana
Rabu sore, kami mulai mengaplikasikan materi yang didapat ke dalam kondisi sesungguhnya. Walau masih di Salabintana, kami membuat bivak dengan menggunakan ponco dan membuat makanan sendiri. Sebelumnya kami bermalam di barak dan makan makanan yang disediakan oleh Wanadri. Karena saya tidak terlalu mahir dalam urusan bivak, maka sayalah yang membuat makanan. Selanjutnya, saya dan 4 teman sekelompok menyantap nasi, mie dan abon dengan nikmatnya.

Esok paginya kami berangkat mendaki Gunung Gede (2958 mdpl) melalui jalur Salabintana yang terkenal lebih rumit dan jarang dilalui dibanding jalur-jalur lainnya, seperti Cibodas dan Gn. Putri. Di awal pendakian kami langsung menghadapi punggungan yang cukup curam dengan diapit 2 lembahan yang mengalir sungai dibawahnya.

Selama melalui trail (jalan setapak), banyak dijumpai pohon tumbang yang harus kami panjat atau merangkak dibawahnya. Di ketinggian 2100 mdpl kami beristirahat dan melakukan evaluasi perjalanan pada malam harinya.

Pendakian dilanjutkan dengan mencapai target Alun-alun Surya Kencana (2800 mdpl) untuk melaksanakan shalat Jum’at. Dalam perjalanan, kami tidak hanya sekedar melangkahkan kaki dan membawa ransel yang berat, tapi juga belajar menentukan posisi (resection) menggunakan peta topografi, kompas bidik, penggaris dan busur atau protactor. Hal ini penting karena banyak juga para pendaki yang tersesat dan tidak tahu posisinya dimana, karena mereka tidak membawa peralatan navigasi.

Pukul 12.30 kami sampai di Surya Kencana. Adzan berkumandang di padang leontopodium alpinum atau yang biasa disebut edelweiss tersebut. Teddy, teman sekelompok saya menjadi khatib dan imam untuk pelaksanaan shalat Jum’at. Pukul 14.30 kami menuju Puncak Gede. Dalam pendakian yang sejengkal lagi, kami harus meninggalkan salah satu peserta wanita yang kelelahan. "Maniikk, ayo kamu bisa!" teriak kami mendahuluinya. Terik matahari menemani nyanyian kami menuju puncak punggungan. Kemudian beberapa orang di depan saya berteriak, "Woii sudah sampai, semangat... semangat...!". Pukul 15.00 kami tiba di Puncak Gede.

Di depan kami terhampar Kawah Ratu dan jika menggeserkan pandangan beberapa senti ke arah kiri terlihat Gunung Pangrango (3019 mdpl). "Wow, ini luar biasaa... ini baru pertama kali!!!" teriak Madewanti yang memecah langit. Sementara yang lain saling ber-tos ria, tertawa dan menyemangati Manik yang masih berjuang menggapai puncak bersama panitia. Akhirnya Manik melengkapi senyum 40 peserta yang lainnya di Puncak Gede.

Selama memandangi keindahan alam dari puncak Gunung Gede ini, terbersit satu tanya pada Sang Maha, "Apakah dengan mencapai puncak suatu gunung, tujuan pendakian ini sudah dikatakan berhasil?"


Referensi:
1. Steve, C. Menyusuri Garis Bumi. Grasindo: Jakarta 2015.

Sumber gambar:
https://zonalibur.com/jalur-pendakian-gunung-gede-pangrango-via-selabintana/

Share:

0 komentar:

Posting Komentar