Tampilkan postingan dengan label Mindfulness Berbasis Terapi Kognitif. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Mindfulness Berbasis Terapi Kognitif. Tampilkan semua postingan

Senin, 26 April 2021

Mindfulness dalam Pendidikan Dokter


Oleh 
Duddy Fachrudin 
Tauhid Nur Azhar 

*Korespondensi, email: duddy.fahrifitria@gmail.com 

Profesi dokter merupakan salah satu profesi yang menjadi dambaan setiap orang. Dokter merupakan profesi yang prestisius di kalangan masyarakat. Profesi dokter juga dipercaya dapat menjamin lehidupan masa depan seseorang.

Untuk menjadi seorang dokter, seseorang perlu menempuh studi yang membutuhkan waktu tidak sedikit. Rinciannya adalah menyelesaikan sarjana kedokteran (S.Ked) selama 4 tahun dan Program Profesi Dokter 1,5-2 tahun. Artinya untuk menjadi dokter dibutuhkan waktu paling cepat 5,5 tahun. Lalu setelah mendapat gelar dokter, seorang dokter belum dapat praktik secara mandiri, ia harus menjalani internship selama 1 tahun. Bayangkan, begitu lelahnya menjadi dokter, belum lagi jika mahasiswa kedokteran memiliki permasalahan akademik atau psikologis yang menghambat studinya.

Permasalahan stres, fatigue (kelelahan), burnout, dan depresi merupakan permasalahan yang berkaitan dengan kesehatan mental yang sering terjadi pada mahasiswa kedokteran [1]. Permasalahan-permasalahan tersebut dapat berujung pada komunikasi yang kurang empatik dan work engagement yang rendah [2].

Selain itu kecemasan dan kekhawatiran tidak dapat menjadi dokter yang baik juga terjadi pada mereka. Permasalahan lain yang juga perlu menjadi perhatian yaitu yang berhubungan dengan kemampuan menyerap pembelajaran, seperti fokus yang berkurang, dan mudah lupa. Penunda-nundaan (prokrastinasi) dalam mengerjakan tugas menjadi tantangan utama [3]. Era digital saat ini memungkinkan seorang individu lebih terdistraksi sehingga menunda pekerjaan yang seharusnya dilakukan saat itu juga.

Berdasarkan permasalahan-permasalahan yang telah diuraikan perlu adanya solusi dapat dikembangkan atau bahkan diintegrasikan dalam kurikulum pendidikan dokter. Fakultas Kedokteran di Massachussetts University, Monash University, University of Rochester, dan McGill University telah mengembangkan Mindfulness-Based Interventions (MBIs), sebuah intervensi psikologis yang menekankan pada praktik berkesadaran [2].

Germer, Siegel, dan Fulton menyebutkan mindfulness adalah suatu kondisi kesadaran pada saat ini dengan penuh penerimaan [4]. Mindfulness merupakan suatu keterampilan dalam memberikan perhatian dengan berfokus pada satu tujuan, saat ini, dan tidak menilai [5]. Intinya, mindfulness merupakan suatu kondisi di mana pikiran, perasaan, dan tubuh individu berada pada saat ini, tidak mengembara ke masa lalu maupun masa depan.

Tujuan dari berlatih dan mengembangkan mindfulness agar individu dapat lebih menyadari proses mental yang terjadi, lebih dapat mendengarkan secara penuh, lebih fleksibel, tidak menilai (non-judgemental), dan bertindak sesuai prinsip serta penuh kasih sayang (compassion) [6]. Keterampilan-keterampilan ini sangat bermanfaat dalam pengembangan karakter mahasiswa kedokteran selama pendidikan dokter. Karakter dengan toleransi stres yang tinggi, mawas diri, empati merupakan karakter seorang dokter.

Komponen Mindfulness
Mindfulness sangat berorientasi pada hidup saat ini. Konsep hidup pada saat ini (living in the present) berbeda dengan hidup untuk saat ini (living for the present). Hidup untuk saat ini dapat membuat seorang individu berperilaku dengan tidak mempertimbangkan konsekuensi yang terjadi di masa depan. Hidup pada saat ini mengembangkan perilaku berdasarkan kontrol diri dan pencapaian tujuan yang lebih efektif [7].

Baer, Smith, dan Allen merumuskan empat komponen mindfulness yang menunjang seorang individu untuk hidup pada saat ini, yaitu:

1. Observasi. Kemampuan observasi meliputi kemampuan memperhatikan stimulus yang muncul, yaitu dalam hal asal, bentuk, intensitas, dan durasi stimulus tersebut.

2. Deskripsi. Pada saat mengobservasi stimulus, diperlukan kemampuan untuk mendeskripsikan stimulus dengan memberi nama atas fenomena yang terjadi pada saat itu (present moment), tanpa mengelaborasi atau menganalisis.

3. Bertindak dengan kesadaran, yaitu melakukan sesuatu (aktivitas) dengan perhatian yang tidak terbagi (fokus). Seseorang yang bertindak dengan kesadaran mampu menyadari apa yang dilakukannya dan tidak menjadi “automatic pilot” pada kehidupannya.

4. Menerima tanpa menilai. Kemampuan ini berhubungan dengan deskripsi. Ketika menerima stimulus dan mengamatinya, lalu mendeskripsikannya. Selanjutnya menerima tanpa menilai, membiarkan apa adanya tanpa adanya keinginan untuk mengubah secara impulsif [8].

Latihan Mindfulness
Kemampuan melakukan observasi, deskripsi, bertindak dengan kesadaran, dan menerima tanpa menilai dilakukan dengan latihan-latihan sederhana. Latihan-latihan mindfulness sendiri berupa mindful breathing, body scan meditation, eating awareness, mindful walking dan movement, sitting meditation, SOBER (Stop-Observe-Breathing-Expand-Respond), dan lovingkindness [9]. Selain latihan-latihan tersebut, individu dapat mengembangkan mindfulness dalam aktivitas sehari-hari, seperti saat makan, mandi, dan berkendara.

Neurobiologi Mindfulness
Keterampilan mindfulness memiliki korelasi yang erat dengan kemampuan melihat sesuatu secara menyeluruh dan mempertimbangkan berbagai alternatif [10,11]. Individu yang bertindak dan beraksi secara mindful, tidak akan reaktif dalam mengambil keputusan. Hal ini berkaitan dengan meningkatnya aktivitas otak bagian korteks prefrontal [12]. Korteks prefrontal memiliki fungsi luhur, yaitu dalam berpikir, berencana, mengambil keputusan secara bijaksana, memusatkan perhatian, ketabahan dan kesabaran, pengendalian impuls, kesadaran diri, belajar dari pengalaman, mengungkapkan emosi, dan mengembangkan empati/ kasih sayang [13].

Otak manusia bersifat plastis atau yang biasa dikenal dengan neuroplastisitas. Konsep neuroplatisitas merujuk pada kemampuan otak untuk berubah secara struktural dan fungsional akibat dari input lingkungan [14]. Sebagai bukti bahwa terjadi neuroplatisitas adalah adanya peningkatan atau penurunan aktivitas pada bagian otak tertentu. 

Sara Lazar, seorang neurosaintis dari Harvard melakukan penelitian dengan membandingkan otak kelompok meditator dan non-meditator. Kelompok meditator adalah orang umum yang biasa melakukan meditasi selama kurang lebih satu jam setiap harinya. Lazar menemukan di beberapa area kortikal pada kelompok meditator lebih tebal daripada kelompok non-meditator. Dua area kortikal yang menjadi perhatian Lazar adalah korteks prefrontal dan insula. Korteks prefrontal memiliki fungsi kognitif yang luhur seperti pengambilan keputusan dan penilaian secara bijaksana. Insula terhubung dengan kemampuan beremosi secara sosial dan kesadaran diri (self-awareness) [15].

Pengaruh meditasi mindfulness tidak hanya pada tataran organ seperti otak, namun juga struktur tubuh manusia yang lebih kecil yaitu sel. Pada sebuah sel terdapat berbagai organela, salah satunya adalah mitokondria. Menurut Nishihara, mitokondria adalah organ kecil sel yang berfungsi dalam metabolisme energi dan berada di dalam semua butiran sel selain sel darah merah [16].

Pada tubuh manusia terdapat 60 triliun sel dan pada masing-masing terdapat 800-3000 mitokondria. Mitokondria menggunakan semua bahan yang ada di dalam tubuh seperti vitamin, mineral, asam amino esensial, lemak esensial, air, oksigen, dan asam piruvat yang merupakan hasil penguraian glukogen untuk menghasilkan energi. Pada pengertian lain, mitokondria adalah pabrik atau tempat produksi energi sebagai penunjang kehidupan [16]. Penelitian Bhasin, dkk. menunjukkan meditasi dapat meningkatkan produksi energi yang dilakukan mitokondria [17].

Usulan Penelitian dan Penerapan Mindfulness
Mempertimbangkan manfaat yang diperoleh dari hasil berlatih mindfulness, maka penelitian mengenai penerapan mindfulness dalam pendidikan dokter, khususnya di sekolah-sekolah kedokteran di Indonesia dapat dikembangkan lebih lanjut. Penelitian-penelitian ini dapat terkait permasalahan psikologis, seperti stres akademik, depresi, kecemasan, kelelahan (fatigue), dan burn-out. Selain tema-tema klinis tersebut, juga menarik dikaitkan dengan psikologi positif, seperti kesejahteraan (well-being), kebersyukuran, dan kebahagiaan.

Referensi:
[1] Daya, Z., & Hearn, JH. Mindfulness interventions in medical education: A systematic review of their impact on medical student stress, depression, fatigue, and burnout. Medical Teacher 2008; 40(2): 146-153.
[2] Dobkin, PL., & Hassed, CS. Mindful Medical Practitioners: A Guide for Clinicians and Educators. Switzerland: Springer International Publishing 2016.
[3] Fachrudin, D. Laporan Trisemester I Badan Konseling dan Konsultasi Mahasiswa Fakultas Kedokteran Unswagati Cirebon. (Tidak Diterbitkan) 2018.
[4] Germer, CK., Siegel, RD., & Fulton, PR. Mindfulness and Psychotherapy. New York: Guilford Press 2005.
[5] Kabat-Zinn, J. Full Catasthrope Living: Using The Wisdom of Your Body and Mind to Face Stress, Pain, and Illness. New York: Bantam Dell 1990.
[6] Epstein, RM. Mindful practice. JAMA 1999; 282(9): 833-839.
[7] Brown, KW., Ryan, RM., & Creswell, JD. Mindfulness: Theoretical foundations and evidence for its salutary effects. Psychological Inquiry 2007; 18(4): 211-237.
[8] Baer, RA., Smith GT., & Allen, KB. Assessment of mindfulness by self-report: The kentucky inventory of mindfulness skills. Assessment 2004; 11: 191-206.
[9] Fachrudin, D. Program Mindfulness untuk Meningkatkan Kesejahteraan Subjektif Perawat. (Tesis). Universitas Gadjah Mada 2017.
[10] Carmody, J., Baer, RA., Lykins, ELB., & Olendzki, N. An empirical study of the mechanisms of mindfulness in a mindfulness-based stress reduction program. Journal of Clinical Psychology 2009; 65(6): 613-626.
[11] Shapiro, SL., Carlson, LE., Astin, JA., & Freedman, B. Mechanisms of mindfulness. Journal of Clinical Psychology 2006; 62: 373–386.
[12] Greeson, J., & Brantley, J. Mindfulness and anxiety disorders: Developing a wise relationship with the inner experience of fear. Dalam F. Didonna (Ed.), Clinical handbook of mindfulness (hal. 171-188). New York: Springer Science & Business Media 2009.
[13] Amen, DG. Change your brain change your life. (Nukman, EY., terj). Bandung: Qanita 2011.
[14] Setiabudhi, T. Neuroplatisitas dan tai chi. Dalam J. Sutanto (Ed.), The dancing leader 4.0: Tai chi dan kesehatan otak, senam berbasis neuroplastisitas (hal. 1-48). Jakarta: Penerbit Buku Kompas 2015.
[15] Baime, M. This is your brain on mindfulness. Shambala Sun. http://www.nmr.mgh.harvard.edu/~britta/SUN_July11_Baime.pdf 2011.
[16] Nishihara, K. Keajaiban mitokondria: Menyembuhkan penyakit-penyakit yang belum ada obatnya. (Wardani, DK, terj). Bandung: Qanita 2015.
[17] Bhasin, MK., Dusek, JA., Chang, BH., Joseph, MG., Denninger, JW., Fricchione, GL. Benson, H., & Libermann, TA. Relaxation response induces temporal transcriptome changes in energy metabolism, insulin secretion, and inflammatory pathways. PLos ONE 2013; 8(5): e62817.

Sumber gambar:

Jumat, 03 Agustus 2018

Yes, Akhirnya Merasakan "Living In The Moment" [Pengalaman Berlatih Mindfulness]


Oleh Oka Ivan Robiyanto

Gegara video pemandangan super lambat berdurasi 6 menit itu pikiran saya semakin mengembara.

"Apa maksudnya ini?"

"Saya kan mau belajar mindfulness berbasis terapi kognitif, kenapa dikasih video yang nggak jelas seperti ini?"

Saya mengikuti pelatihan ini agar saya mendapatkan ilmu sebanyak-banyaknya dan target seminar proposal cepat terealisasi.

Namun, nyatanya selama pelatihan hari pertama pikiran saya terus dibayangi target. Ditambah video itu... "Oh sepertinya gua dikadalin nih sama pematerinya..." 

Alhasil, pada hari itu, saya belum bisa merasakan hidup dengan memberikan perhatian sepenuhnya di setiap momen.

Pada pelatihan pertama, kami memang belum berlatih mindfulness. Kami banyak berdiskusi mengenai mindfulness dari berbagai pengalaman dan juga dari literatur-literatur ilmiah sesuai dengan tujuan pelatihan ini, yang salah satunya untuk kepentingan penelitian.

Pada hari kedua, barulah saya dan teman-teman berlatih mindfulness.

Hari itu diawali dengan apa yang disebut sebagai mindful walking. Berjalan dengan penuh kesadaran, bagaimana kaki ini melangkah dan merasakan apa yang tersentuh oleh kaki kami sebagai peserta.

Kasar, basah, kotor, pegal yang terasa oleh kaki ini ditambah suara angin hingga kendaraan yang melintas di sekitar wilayah pepohonan tempat kami berjalan. Lalu juga tampak kucing yang sedang tidur berbaring dan suara-suara tonggeret yang bertengger di pepohonan pinus disekitarnya.

Seolah saya bisa memberikan perhatian penuh saat mindful walking... 

Tapi pikiran ini ternyata masih mengembara pada proposal, pekerjaan yang tertunda, serta keinginan mengabadikan pemandangan nan asri ini melalui kamera.

Rasa cemas pun mulai muncul seiring pikiran yang mengembara tersebut. Namun, saat latihan mindful walking berikutnya pikiran ini mulai bisa ditata hanya untuk merasakan langkah kaki dan apa yang terinjak dibawahnya.

Saat otot-otot paha ini melangkah secara bergantian, tumit yang menyentuh tanah dilanjutkan dengan jari-jari kaki yang menyentuh ranting-ranting yang berserakan sungguh amat terasa.

Perasaan nyaman dan tenang pun mulai muncul meskipun sesekali pikiran ini kembali mengembara ke tempat lain namun bisa kembali lagi untuk merasakan sentuhan pada kaki ini. 

Selain berlatih mindful walking di hutan pinus yang asri itu, kami juga berlatih mindful hearingmindful eating, breathing, meditasi duduk, dan body scanning.

Pikiran mengembara tetap muncul, bahkan tidak jarang berupa judgement. Sensasi tidak nyaman terjadi, seperti pusing. Puncaknya ketika latihan body scan, rasa pusing dan mual tersebut tidak tertahankan, yang akhirnya membawa saya untuk segera bangun di pertengahan sesi dan berlari menuju ke toilet.

Lega terasa karena sudah membuang racun yang bersarang di dalam tubuh.

Rasa mual ini terjadi mungkin karena saya cemas akan target proposal atau juga karena minum kopi saat sesi coffe break.

Maka saat ada sesi berlatih mindfulness lagi yaitu pada pelatihan hari keempat (pelatihan hari ketiga membahas desain intervensi mindfulness), saya tidak minum kopi, dan tentunya saya juga melepaskan kecemasan saya. Dan, I'm really fine and yes, finally i feel "living in the moment".

Non-striving kuncinya. Tidak berambisi karena semua akan sampai pada waktunya.


Sumber gambar:
http://healthcoachpenny.com/strive-to-non-strive/