Tampilkan postingan dengan label Hikmah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Hikmah. Tampilkan semua postingan

Senin, 25 Oktober 2021

Ikan Asin Laut Mati (Bagian 3, Habis)



Oleh Tauhid Nur Azhar

Ini seolah mengingatkan kita terkait situasi yang kerap kita hadapi ya? 

Jika kita hidup di tengah karut marut dinamika sosial yang secara moral mungkin bertentangan dengan hati nurani kita, apakah kita akan larut dan hanyut serta terdilusi dalam kondisi hiper konsentrasi yang membuat kita menjadi "ikan asin". 

Ataukah kita tetap menjalani fitrah dan fungsi kita, bahkan mendapatkan limpahan kesyukuran karena mampu menjadi spesies eksklusif yang tidak dipusingkan karena keterbatasan sumber daya dan perebutan support system karena keterbatasan telah kita ubah menjadi keberlimpahan melalui sikap berterimakasih atas semua yang telah dikaruniakan?

Tak heran ya jika lembah Jordan, Laut Mati, dan kawasan segitiga yang dibentuk oleh ujung 3 benua ini menjadi tempat lahirnya peradaban. Banyak hikmah dan nilai intrinsik kemanusiaan yang dapat dipetik dari interaksi manusia dan alam yang menjadi media dan platform hidupnya.

Maka di seputaran Laut Mati pula ditemukan manuskrip penting yang kini dikenal sebagai Dead Sea Scroll. Sebuah manuskrip Alkitab Ibrani tertua yang diprakirakan berasal dari abad ke-3 sebelum masehi sampai abad pertama Masehi, dengan jumlah gulungan 900, manuskrip kuno itu ditemukan antara tahun 1947 dan 1956 di gua Qumran.

Uniknya ini manuskrip berupa naskah multi lingual. Manuskrip ini tidak hanya ditulis dalam bahasa Ibrani saja, melainkan juga berisi tulisan Yunani dan Aramaic, termasuk beberapa teks awal yang berasal dari dari Alkitab. Misalnya, salinan kuno Sepuluh Perintah Allah (Ten Commandments).

Sungguh suatu fakta yang tak dapat dipungkiri, bahwa peradaban senantiasa lahir dan tumbuh dimana alam terkembang menjadi guru. Dimana alam menjadi tempat belajar untuk membangun sadar melalui tanda berkadar yang dapat dicerna nalar secara tertakar. Dan pada akhirnya akan lahir pengetahuan, ilmu, dan iman yang mengakar.

Belajar dari Laut Mati dan juga ikan Aphanius, bersisa sepotong pertanyaan: apakah kita mau menjadi ikan asin atau ikan yang hidup bahagia di air asin?

Sumber gambar:
http://awesomeocean.com/guest-columns/visit-dead-sea-bucket-list/

Ikan Asin Laut Mati (Bagian 2)



Oleh Tauhid Nur Azhar 

Lalu pertanyaan berikutnya, kemana perginya air yang memasuki Laut Mati? 

Ada teori bahwa keberadaan air dengan volume tertentu di Laut Mati terjadi karena adanya evaporasi atau penguapan yang masif. Kondisi ini juga tentu mempengaruhi tingkat kepekatan atau molaritas dari air yang terkumpul. Ada kemungkinan air permukaan di Laut Mati merembes masuk menjadi air tanah. Karena secara geologis memang terletak di jalur patahan Laut Merah dan Great Rift Valley.

Secara geologis Laut Mati diduga terbentuk di masa akhir Pliosene dan awal Plestosen sekitar 3,7 juta tahun lalu. Semula berhubungan dengan laut dan dikenal sebagai Laguna Purba Sedom. Aliran air yang bersumber dari sungai Mujib dan Jordan mengalir ke laut melalui lembah Jerzeel. Tetapi ketika blok Korazim secara evolutif terangkat, maka terjebaklah beberapa danau seperti Amora dan Lisan di masa Pliosen dan menjadi cikal bakal terbentuknya Laut Mati atau Birket Lut (Yam Hamelah) dengan kadar salinitas mencapai 342g/kg dan densitas air yang mencapai 1,24 kg/L.

Tingginya deposit kadar garam yang tertimbun selama jutaan tahun juga tergambarkan melalui terbentuknya beberapa formasi gunung garam di sekitar Laut Mati, salah satunya adalah gunung garam Sodom.

Meski bersalinitas sangat tinggi, tetapi ternyata masih ada organisme biologi yang dapat hidup dalam kondisi ekstrem tersebut. Beberapa bakteri, arkea, dan alga seperti Dunaliella mampu beradaptasi dengan kondisi hipersalinitas tersebut.

Bahkan di beberapa lokus tertentu ada spesies ikan yang mampu bertahan hidup di salinitas yang hampir 10x lipat konsentrasi garam di laut. Ikan itu adalah Aphanius dispar richardsoni. Spesies ikan ini berwarna perak. Untuk dewasa, ukuran panjangnya hanya sekitar 4-5 sentimeter. Spesies ini telah masuk daftar merah dalam organisasi Persatuan Internasional bagi Konservasi Alam atau International Union for Conservation of Nature (IUCN) sejak 2014. Populasi nya terus merosot seiring dengan menyusutnya volume air Laut Mati yang tentu berakibat antara lain pada peningkatan salinitasnya.

Jika dipikir pikir ajaib bukan? 

Ada ikan yang mampu bertahan hidup dalam kondisi seekstrem Laut Mati ini. Dari sini kita dapat mengambil hikmah, bahwa sesulit apapun kondisi yang kita hadapi, akan selalu ada jalan untuk menyikapinya hingga kita dapat beradaptasi, bahkan menikmati. 

Mengapa? 

Karena tercipta habitat atau lingkungan eksklusif, dimana hanya yang dapat beradaptasi dan mampu mensyukuri segenap potensilah yang akan berhasil mengonstruksi sinergi yang menghasilkan solusi. Esensinya adalah observasi, adaptasi, identifikasi potensi, sinergi, dan jangan pernah berhenti mensyukuri.

Maka Aphanius tak menjadi ikan asin di Laut Mati, karena spesies ini mampu meregulasi osmosis dan menyeleksi ion sehingga dapat menjaga molaritas cairan tubuhnya agar tidak terpengaruh oleh dinamika konsentrasi cairan eksternal. Menyaring dan menjaga keseimbangan adalah kata kuncinya. 

Kita dapat meneladani Aphanius yang mensyukuri semua potensi yang telah dikaruniakan melalui kekhasan sistem saluran cernanya (gut system) dan desain insang nya yang khas. Artinya setiap kita sebenarnya memiliki potensi untuk beradaptasi dan itu dapat dioptimasi jika kita sepenuhnya menyadari dan ikhlas menerimanya sebagai sebuah konsekuensi dari hadir dan menjalani takdir bukan?


Sumber gambar:
http://awesomeocean.com/guest-columns/visit-dead-sea-bucket-list/ 

Ikan Asin Laut Mati (Bagian 1)



Oleh Tauhid Nur Azhar 

Saat berkesempatan menjelajahi Yordania, Palestina, dan sebagian wilayah Israel, banyak hal berkesan di dalam pikiran saya. Bayangkan kita berjalan di atas lahan yang sama di kawasan yang pada masanya dijelajahi para Nabi.

Seolah terputar kembali di dalam benak cerita yang disampaikan dalam berbagai kitab yang mengisahkan dialektika, suasana bathin, dan dinamika sosial yang tercipta dalam suatu model interaksi pada zamannya. Betapa alam dan bentang kawasan ini telah menjadi saksi dari kiprah Nabi Idris, Luth, Nuh, Syuaib, Musa, Harun, Yaqub, Ishaq, Ibrahim, Ismail, Zakaria, Yahya, dan Isa pernah menapaki tanah ini dan setiap bulir molekulnya pernah berinteraksi di sini.

Kota kota tua di seputar Al Qadisiyah atau Al Quds yang dikenal sebagai Yerusalem seperti Hebron, Haifa, Betlehem, Jericho, Nablus, Nazaret, Khan Yunis dan banyak situs bersejarah lainnya telah menorehkan berbagai kisah untuk kita generasi yang datang kemudian.

Dan salah satu keajaiban geologi yang mungkin tak ada orang yang tak mengenalnya di muka bumi ini adalah Laut Mati. Saat mengunjungi keajaiban geologi berupa danau laut mati yang memiliki kadar garam berkonsentrasi sangat tinggi itu sayapun terkagum kagum dan merasa takjub menyaksikan fenomena alam dimana berat jenis cairan atau air laut mati itu tinggi sekali, dan kita dapat mengapung di atasnya tanpa perlu pelampung ataupun gerakan gerakan renang.

Kondisi kandungan kadar garam tinggi ini dapat terjadi karena adanya fenomena geologi yang unik di kawasan terkait, dimana air sungai Jordan yang mengalir dari danau Galilea terhenti di Laut Mati sehingga terjadi konsentrasi dari kandungan mineral, termasuk garam tentunya. Hingga Laut Mati disebut juga kawasan hipersalinitas karena konsentrasi garamnya mencapai 35%.

Laut Mati disebut Laut Mati sejak Era Romawi oleh orang-orang Yudea. Karena saat itu air Laut Mati diasumsikan tidak memungkinkan semua bentuk kehidupan, baik vegetasi ataupun fauna.

Di masa lalu, ketika Sungai Jordan mengalir ke selatan dari Danau Galilea di musim hujan, tumbuhan air dan ikan terbawa oleh aliran sungai ke Laut Mati yang airnya sangat asin.

Ikan maupun ganggang tidak dapat bertahan hidup di air yang hampir 10 kali lebih asin daripada kebanyakan samudera. Dengan kata lain, Laut Mati seperti jebakan maut bagi makhluk hidup.


Sumber gambar:

Senin, 11 Januari 2021

Cara Meningkatkan Kualitas Motivasi & Kepribadian Calon Dokter (Bagian 1)


Oleh Duddy Fachrudin

Alkisah, seorang remaja, mahasiswa kedokteran bernama Siro tengah gundah gulana. Nilai-nilainya kurang memuaskan di tahun pertamanya. Meski begitu ia dapat naik ke semester 3.

Meski nilainya tidak sebaik teman-temannya, pada awal tahun kedua studinya, Siro mulai mengikuti berbagai organisasi. Ia menjadi pengurus BEM dan aktif pada kegiatan ekstrakurikuler olahraga.

Ia sempat meminta saran kepada kakak kelasnya, apakah fokus pada pencapaian akademik atau juga ikut organisasi di kampusnya. Kakak kelasnya menyarankan agar ia aktif berorganisasi dengan tujuan mendapatkan pengalaman serta belajar untuk berinteraksi dengan orang lain. Bukankah, dokter adalah pekerjaan sosial yang sangat menekankan humanisme?

Siro mengikuti masukan dari kakak kelasnya itu. Sembari ia juga mulai belajar mengenai self-development. Setiap bulan ia mewajibkan untuk membeli dan membaca satu buku pengembangan diri.

Sampai suatu ketika, Siro sedang membaca buku motivasi yg berjudul "Mengubah Kegagalan Menjadi Kesuksesan". Ia sangat tertarik dengan buku tersebut, sampai-sampai menerapkan satu per satu tips yang ada dalam buku.

Setelah menamatkan dan mempraktikkan isi buku, Siro rupanya masih penasaran. Ia ingin bertemu penulisnya langsung, kemudian meminta tips dan rahasia agar bisa memiliki motivasi yang tinggi dan menjadi mahasiswa kedokteran yang sukses secara akademik maupun organisasi.

Sampai akhirnya Siro menghubungi penulis buku tersebut yang tiada lain adalah seorang psikolog. Psikolog itu sangat baik dan mau membuat janji untuk bertemu Siro.

Pada hari yang ditentukan, Siro begitu bersemangat untuk bertemu penulis buku. Sesampainya di rumah sang penulis, ia menceritakan kegelisahannya.

"Jadi saat ini saya adalah mahasiswa kedokteran yang memiliki nilai yang tidak terlalu bagus. IPK saya 2.3. Dengan nilai yang kecil ini kadang saya minder dan ingin fokus saja memperbaiki nilai. Namun di sisi lain, saya juga ingin ikut berorganisasi sehingga bisa menambah pengalaman saya.

Saya sangat senang sekali membaca buku ini. Buku ini membantu saya untuk bisa berubah menjadi pribadi lebih baik. Tapi... Ada satu hal yang ingin tanyakan, adakah tips dan rahasia yang masih belum dituliskan dalam buku ini sehingga bisa saya praktikkan?"

Sang penulis buku menyadari dan merasakan apa yg dialami Siro. Ia berkata, "Saya sudah memberikan semua tips untuk pembaca terapkan. Mohon maaf tak ada yang bisa saya berikan lagi untuk anda."

Mendengar hal tersebut Siro kecewa...

"Tapi..." Ucap penulis lagi, "Saya akan memperkenalkan seseorang kepadamu. Orang tersebut dapat membuatmu berubah, bangkit, dan juga menyelesaikan konflikmu. Oya, orang itu juga akan membuatmu memiliki motivasi yang luar biasa dalam hidup."

Mendengar hal itu Siro antusias. "Dimana... Dimana saya dapat berjumpa dengan orang itu?"

Sang penulis terdiam sejenak. Lalu ia menjawab pertanyaan pemuda di depannya.

"Kamu bisa menemuinya di ruangan yang ada di sudut rumah ini. Melangkahlah lurus dari sini. Setelah itu belok kiri. Dan di situ ada sebuah ruangan. Masuklah. Kamu akan menemui orang yang dapat mengubah hidupmu."

Siro mengucapkan terima kasih. Lantas ia bergegas pergi ke ruangan yang dituju. Ia berhenti sejenak di depan pintu ruangan. Hatinya deg-degan. Perlahan dibukanya pintu itu. Ruangan itu besar dan nampak gelap. Ditutupnya pintu dan dicarinya tombol lampu. Perlahan ia nyalakan lampu. Dan...

Siro menemui orang itu. Ia sedang menatapnya. Memandang orang yang dapat mengubah hidupnya, yang membuatnya lebih termotivasi dalam hidup, dan bisa menyelesaikan segala masalahnya.

Siro sekali lagi memandangnya. Nampak di depannya sebuah cermin. Kini ia mengerti apa maksud sang penulis buku.

Halaman selanjutnya >>>

Sumber gambar:

Senin, 06 Juli 2020

11 Film Asyik Tentang Mindfulness



Oleh Duddy Fachrudin 

All this anger, man... It just begets greater anger.

Kemarahan memunculkan kemarahan yang lebih besar. 

Premis tersebut tesaji dalam film Three Billboards Outside Ebbing, Missouri, sebuah kisah tentang ketidakrelaan, kurangnya penerimaan, kemarahan, dan ambisi yang meletup-letup dari seorang ibu atas kematian remaja putrinya. 

Pusaran konflik tak hanya pada kehidupan dirinya dengan para polisi yang menurutnya "tidak cakap" dalam menangani kasus anaknya. Sang ibu bernama Mildred ini pun memiliki masalah dengan dirinya sendiri yang suka minum alkohol. Kemudian seorang polisi yang rasis, dan kepala polisi yang rapuh karena kanker. 

Banyak sekali hikmah terkait mindfulness dalam film ini, seperti belajar untuk tidak reaktif, tidak menghakimi, mengembangkan kedermawanan, penerimaan, dan belajar untuk melepas (letting go) dari masa lalu. 

Three Billboards Outside Ebbing, Missouri yang memenangi berbagai penghargaan di OSCAR 2018 merupakan satu dari 11 film asyik tentang mindfulness yang sayang untuk dilewatkan. Berikut daftar ke-11 film yang bisa kita tonton di saat jeda dari kesibukan sekaligus upaya untuk mengembangkan kemampuan mindfulness kita.

  1. Capernaum (2018, IMDB: 8,4)
  2. 27 Steps of May (2019, IMDB: 8,2)
  3. Spiderman: Far From Home (2019, IMDB: 7,5)
  4. Seven Years in Tibet (1997, IMDB: 7,1)
  5. Peaceful Warrior (2006, IMDB: 7,3)
  6. How to Train Your Dragon (2010, IMDB: 8,1)
  7. Le Grand Voyage (2004, IMDB: 7,2)
  8. A Street Cat Named Bob (2016, IMDB: 7,3)
  9. Three Billboards Outside Ebbing, Missouri (2017, IMDB: 8,2)
  10. The Lives of Others (2006, IMDB: 8,4)
  11. Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini (2020, IMDB: 7,5)
Semuanya bagus dan sarat akan pembelajaran. Namun jika boleh memilih highly recommended, tiga terbaik maka pilihannya jatuh pada Le Grand Voyage, sebuah road movie perjalanan haji seorang ayah dan anaknya menggunakan mobil dari Prancis. Lalu The Lives of Others, kisah tentang polisi intel di era Jerman Timur yang melakukan pengamatan pada kehidupan seorang penulis. Dan tentu saja Three Billboards Outside Ebbing, Missouri. 


Sumber gambar: 

Minggu, 14 Juni 2020

Buku Mindfulness: Waras From Home (WFH)



Oleh Duddy Fachrudin

Corona bukan lagi soal menyoal virus dan permasalahan kesehatan dunia. Ia laksana cermin jiwa yang mengukur sejauhmana kejernihan dan kewarasan pikiran serta hati manusia.

Kewarasan memang seyogianya berhulu dari rumah (home). Rumah bukan hanya terkait tempat tinggal dan berlindung dari hujan dan terik matahari. Juga bukan cuma tentang kenyamanan dan kehangatan cinta yang diperoleh oleh penghuninya.

Salah satu definisi rumah menurut kamus Merriam-Webster adalah a place of origin. Rumah adalah tempat asal.

Pertanyaannya: dimanakah tempat asal kita, manusia?

Manusia yang menyadarinya, sesadar-sadarnya, akan menjalani hidup dengan waras (sehat), meski ia tahu bahwa dunia berisi segala macam rasa, yang salah satunya adalah derita.

Corona menyambangi kehidupan manusia membawa pesan yang ditangkap indera dan dipersepsi secara berbeda-beda oleh setiap individu.

Buku ini adalah sekumpulan persepsi itu, yang semoga bisa memberikan sedikit saja kebermanfaatan bagi siapapun yang membacanya. 




Senin, 01 Juni 2020

Meditasi Hijau: Fase Belajar dan Bertumbuh di Kala Pandemi



Oleh Prinska Damara Sastri 

Gimana jadinya kalau kita yang sehari-harinya lebih sering menghabiskan waktu di luar rumah lalu berubah harus tetap #dirumahaja. Ya, khususnya selama pandemi corona ini.

Sebagian besar orang mungkin mengalami kebosanan. Aku dan kamu bisa termasuk ke dalam golongan sebagian besar itu.

Dengan kondisi seperti ini, sebisa mungkin melakukan kegiatan positif agar cerita #dirumahaja ini tidak hanya menjadi ajang untuk mengeluh. Karena keluh hanya memproduksi stres berkepanjangan dan tidak membuat pribadi untuk belajar utuh serta bertumbuh.

Kalau dipikir-pikir, stay at home bisa jadi satu ajang yang baik bagi kita untuk mengenal diri, memahami keluarga kita lebih dekat, serta mengetahui kondisi lingkungan di rumah dan di sekitarnya dengan lebih baik. 

Masa pandemi adalah saat yang tepat untuk rehat.

Meditasi dan berolahraga menjadi opsi utama aktivitas yang dilakukan sehari-hari. Selain itu, berkebun menjadi suatu hal baru yang menarik untuk dicoba.

Mengapa berkebun?

Hal ini diawali dengan kebiasaan saya membuat pupuk kompos sendiri dari sampah rumah tangga. Sebuah hobi yang iseng dilakukan akibat jenuh dari tugas akhir yang tak kunjung beres sejak dua tahun lalu. 

Mengkompos... ternyata setelah dijalani menyenangkan juga. Dan pada akhirnya aktivitas ini menjadi sebuah hobi yang sifatnya berkelanjutan.

Setelah mulai terbiasa membuat pupuk kompos, terpikir untuk menekuni aktivitas berkebun. 

Kita semua percaya bahwa dengan memulai hobi seperti ini, secara langsung menyumbangkan banyak oksigen untuk bumi. Hal ini akan berdampak pada keadaan bumi yang semakin sehat yang pada akhirnya ia memberikan energi baik pada penghuninya.

Maka, sejak awal Covid-19 memasuki negeri ini, saya mencoba mengulik sendiri tentang berkebun, diawali dengan membeli beberapa benih dan juga bibit untuk ditanam.

Saat berkebun saya melihat betul bagaimana proses tanaman-tanaman ini tumbuh. Mulai dari benih sampai mereka bertransformasi menjadi tumbuhan.

Banyak hikmah yang saya pelajari dari berkebun. Ada suka, juga duka.

Dibanding sukanya, diawal-awal berkebun banyak dukanya juga. Seperti harus merelakan benih yang tidak tumbuh, lalu kebingungan saat tanamannya tumbuh dengan tidak sehat, dan sebagainya.

Mulai muncul pikiran otomatis: benar ya, kegiatan berkebun adalah kegiatan menjenuhkan dan juga kuno. 

Rasanya seperti menunggu sesuatu yang tak pasti. Ingin menyerah saja, karena seperti menambah beban baru. 

Tapi...

Dibalik semua itu ternyata saya belajar untuk lebih bersabar, kemudian mengobservasi kesalahan dan belajar untuk lebih berusaha lagi. Hikmah ini bisa diterapkan ketika harus menghadapi Covid-19 yang tak tahu kapan usainya.

Rehat dengan meditasi hijau alias berkebun menyadarkan bahwa semuanya membutuhkan proses. 

Ada kegagalan, lalu pembelajaran, kesabaran, pemaknaan yang dalam, keikhlasan, hingga tumbuh kecintaan untuk menjalani kehidupan dengan lebih baik dengan melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi bumi ini.

Di sinilah kita berpindah dari fase. Dari yang awalnya mengeluh ke tahapan belajar serta bertumbuh. 

Sumber gambar: 

Kamis, 30 April 2020

Mengemis Meringis di Tengah Pandemi



Oleh Duddy Fachrudin 

Ternyata corona memang benar-benar tamu agung bagi penduduk bumi. Ia bukan mahluk kecil dan tengil yang menjadi bahan cengengesan manusia tempo hari. 

Kamu ikut tertawa angkuh kan? 

Kini, kamu, manusia, menangis meringis dan mengemis tak berdaya serta putus asa. 

Aku mengemis kepada-Nya bukan untuk memohon agar corona tak mendatangiku. 

Aku putus asa dan tak berdaya melihat tingkah manusia yang sok berkuasa atas tanahnya; memangnya itu tanahmu? Sehingga kamu berhak mengusir jenazah saudaramu. 

Bahkan tubuhmu bukanlah milikmu. Rambut hingga ujung kuku kakimu bukanlah milikmu. 

Tanah, air, udara, bumi, dan semesta raya bukan milikmu. 

Manusia tak pernah memiliki apa-apa. 

Namun, manusia ya manusia. Berusaha menjadi akbar dengan berkoar-koar. Negara adidaya dan besar itu saja kini lumpuh dan jatuh. 

### 

Siapakah kita manusia? 

Langit, bumi, dan gunung saja menolak untuk menjadi wakil-Nya di bumi. Manusia dhalim dan dungu yang kemudian menerimanya. 

Sampai dungunya keterusan hingga akhir jaman. 

Siapakah kita manusia? 

Telah datang utusan-utusan-Nya sebagai teladan. Membawa kebutuhan pokok bagi umat manusia. Mereka nyangoni generasi selanjutnya dengan hikmah. 

Tapi kemudian manusia membuat kebutuhan-kebutuhan primer lain yang sejatinya bukan yang utama. 

Sejak revolusi industri, peradaban manusia memang lebih canggih. Tapi kerakusan dalam pemenuhan kebutuhan pun semakin obsesif dan menjadi-jadi. 

Siapakah kita manusia? 

Setelah usai pandemi, manusia berandai-andai apa yang ingin dikerjakannya. Seolah selama ini tersiksa dan tertawan dalam penjara yang melelahkan. 

Kamu mau melakukan apa?
-jalan-jalan sambil kulineran 
-nongkrong bersama teman semalaman 
-cari uang sebanyak-banyaknya dan berpesta pora 

Sementara jawaban Simbah, 
"Le, aku tetep nang omah... Omah Tuhan, " dhawuh-nya sambil mengarahkan telapak tangan kanannya pada bagian dada kirinya. 

Siapakah kita manusia? 

Di sini baru aku benar-benar menangis, tak berdaya mendengar jawaban jujur apa adanya. 

Jawaban Simbah yang sekaligus menempeleng hatiku yang tak memahami kebutuhan utama sebagai prioritas hidup. 

Asyhadu an-laa ilaaha illallaah 
Wa asyhadu anna Muhammadan-rasuulullah 

Inilah aku, manusia dungu yang alpa bahwa syahadat adalah puncak segala ilmu. 

Sumber gambar: 
   

Rabu, 12 September 2018

Belajar Cinta dari Garam


Oleh Tauhid Nur Azhar

Ada garam ada lautan.

Kala berbicara lautan, kita tidak bisa melupakan garam. Betapa tidak, garam adalah salah satu produk terpenting lautan, selain produk hewani. Hadirnya garam telah menjadikan dunia kita memiliki cita rasa.

Berbicara masalah garam, khususnya natrium klorida alias garam dapur yang hampir setiap hari kita konsumsi, ada pelajaran luar biasa yang bisa kita dapatkan. 

Garam, sebagaimana nama ilmiahnya, merupakan persatuan antara unsur natrium dan klorida. Apabila kita perhatikan, kedua unsur ini jarang berdiri sendiri. Mereka bisa bersatu karena “dicomblangi” oleh air sebagai mediator. 

Ketika masih sendiri, klorida termasuk unsur berbahaya bagi tubuh, biasanya berbentuk asam (HCL). Demikian pula natrium karbonat, walau tidak seberbahaya HCL.

Namun, ketika natrium dan klorida dipertemukan dengan mediasi air, masing-masing melepaskan ikatan dengan pasangannya terdahulu, kemudian mereka saling berikatan membentuk kristal. 

Jika sebuah ikatan kimia sampai membentuk kristal, maka tingkat kecocokannya pasti sangat tinggi, dari fase liquid sampai menjadi solid, terkristalisasi. Ikatan keduanya termasuk ikatan yang sempurna. 

Dengan karakter ini, ada sisi-sisi secara molekuler baik dari sebelah natrium maupun sebelah klorida yang awalnya memiliki efek membahayakan atau membentuk asam, menjadi hilang. Sebab, sisi-sisi “negatifnya” saling menutup dan yang terlihat adalah sisi-sisi indahnya; sisi positifnya.

Jadi, konsep sebuah pasangan, khususnya dalam pernikahan, harus meniru garam. Sisi-sisi buruk yang tidak menyenangkan bisa menjadi simpul dari sebuah ikatan yang mempersatukan, untuk kemudian menghasilkan sebuah molekul yang indah serta memancarkan kebaikan. 

Kelemahan yang ada bukan untuk disesali atau dicemooh, akan tetapi dimanfaatkan untuk berikatan. Inilah gambaran sederhana dari upaya saling mengoptimalkan potensi dan saling mengurangi kekurangan.

Sesungguhnya, natrium yang ada di darah kita harus bertemu dengan pasangannya agar tidak menimbulkan penyakit. Salah satu penyebab terjadinya darah tinggi dan stroke adalah ketika natrium tidak lagi berpasangan dengan klorida.

Sumber gambar:
https://www.seruni.id/garam-dapur-bermanfaat-untuk-kecantikan/