Tampilkan postingan dengan label Inspirasi dari Psikologi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Inspirasi dari Psikologi. Tampilkan semua postingan

Rabu, 01 Januari 2020

Demi Waktu (Bagian 2, Habis)


Oleh Nita Fahri Fitria

Lantas, apa yang harus dilakukan? Waktu jualah yang akan menjawab. Oh bahkan untuk tahu apa yang harus aku lakukan akupun masih harus menunggu? 

Ya, karena terkadang waktu adalah guru terbaik yang akan membimbing kita untuk menemukan sebuah jawaban kiranya apa hal terbaik yang bisa kita lakukan sembari menanti buah perjuangan kita selama ini.

Alkisah ada seorang ibu yang memiliki seorang anak yang dianggap tidak cakap belajar dan juga sering menimbulkan masalah di sekolah. Entah berapa orang temannya yang dibuat cedera oleh anak tersebut. 

Sang ibu bingung dan nyaris kehilangan arah, harus ke mana, harus bagaimana, dan harus meminta tolong kepada siapa. Tentu saja segala upaya dikerahkan, mulai dari berkonsultasi dengan psikolog, memanggil guru les, bersedekah, menyantuni anak yatim, pokoknya segalanya telah dicoba. 

Tapi laporan dari guru tentang perangai buruk sang anak tetap berdatangan setiap harinya. Ia cemas, takut bukan main, bagaimana nasib anaknya kelak? Akankah sang anak bisa bertahan menjalani kehidupan setelah ia tiada? 

Segala tanya bercampur rasa sedih yang tak terbendung lagi hingga rasanya tak ada lagi tempat untuk sesuatu yang bernama harapan.

Setiap hari sang ibu terbangun, ia mengawali harinya dengan do’a agar anaknya bisa menjalani kehidupan dengan baik. Ia juga tidak pernah membiarkan satu hari pun berlalu kecuali ia sudah memeluk dan mengelus kepala anaknya dengan penuh kasih. 

Ibu itu benar-benar sudah berada pada puncak kepasrahan terhadap apapun yang digariskan untuk anaknya.

Angka pada penunjuk tahun berubah, ibu dengan anak yang sudah ia pasrahkan terhadap takdir tadi, akhirnya mengalami momen puncak penantian yang indah. Atas ijin Allah, sang anak tumbuh menjadi pria dewasa yang mandiri dan menjalani kehidupannya dengan sangat baik, persis seperti yang sering diucapkan dalam do’a ibunya.

Apakah kisah ini nyata? Ya... dalam kenyataannya, ada jutaan manusia bergelut dengan waktu, menanti keajaiban, dan terus melakukan segala hal yang diajarkan waktu untuk terus berupaya dan berpasrah akan apa yang digariskan takdir. Karena pada waktu yang dijanjikan, segala yang kita cemaskan hari ini akan bertemu dengan penawarnya.

Maka, mari menjalani waktu di saat ini meski dengan segala tanya, kita jalani saja. Karena Allah telah menetapkan waktu untuk masing-masing yang kita perjuangkan.

Selamat menanti dan menikmati waktu.


Sumber gambar:

Demi Waktu (Bagian 1)


Oleh Nita Fahri Fitria

Tersebut dalam Al-Qur’an pada sebuah surat yang mungkin paling sering kita baca dalam shalat, sesuatu yang sangat akrab dengan kita sejak hari pertama menjadi penghuni bumi, yakni waktu.

Sangat penting dan perlu mendapat perhatian utama soal bagaimana kita menjalani waktu yang Allah berikan dengan gratis sepanjang usia. Konsekuensinya tidak main-main, berada dalam kerugian yang amat besar jika lalai akannya.

Waktu bukan hanya sekedar menjalani pergantian detik menjadi menit, jam, hari, minggu, bulan, dan tahun. Waktu mengandung makna besar tentang perjalanan hidup. Kita tentu menyaksikan bagaimana orang-orang mencapai titik yang diidamkan sejak lama setelah berhasil menjalani waktu penantian yang tidak sebentar.

Kata "akhirnya" yang diucapkan dengan wajah sumringah, mata berbinar, dan suara yang penuh dengan nada kegembiraan bercampur lega tak terkira oleh orang-orang yang berhasil “menaklukan” waktu, selalu berhasil membuat darah berdesir turut merasa haru. 

Mereka yang mengucapkan akhirnya dengan dramatis itulah pejuang sejati yang berhasil menjalani waktu yang penuh dengan peluh, tangis tak terputus, hingga jutaan luka yang membuat malam dan siang terasa dikuadratkan. Dan mereka berhasil sampai pada waktu yang memang telah ditetapkan untuk melenyapkan putus asa yang nyaris singgah di setiap kesempatan.

Akhirnya lulus juga! Akhirnya menikah juga! Akhirnya hamil juga! Akhirnya dapat pekerjaan! Akhirnya sembuh! Akhirnya punya rumah sendiri! Akhirnya anakku berubah! Akhirnya suamiku sadar! Akhirnya istriku memahami mauku! Akhirnya...

Dan waktu yang harus kita jalani untuk sampai pada akhirnya itu adalah misteri yang tersimpan dengan sangat rapi dalam perencanaan-Nya. 

Kita mungkin akan tergoda untuk bertanya, berapa lama lagi? Harus menunggu sampai kapan?, karena merasa entah berapa kali 24 jam yang telah dilewati dengan teka-teki. 

Tapi bukankah semakin kita tidak tahu batasnya, maka perjalanan menanti ini semakin seru? 


Sumber gambar:

Kamis, 05 Desember 2019

Mindful Couple: Jika Engkau Ingin Menikah... (Bagian 2, Habis)


Oleh Nita Fahri Fitria

Yang kita perlukan adalah membuka diri terhadap segala perbedaan yang dihadapi, kemudian bertoleransi akan hal-hal yang mungkin tidak kita sukai, gak gue banget, agar mempermudah diri kita untuk menghadapi tantangan lain yang sudah pasti akan datang.

Menerima dan berdamai dengan harapan-harapan kita yang mungkin belum bisa dipenuhi oleh pasangan. Serta menerima dan berdamai dengan situasi pasca menikah yang mungkin tidak seindah bayangan. Di situlah pentingnya kesediaan untuk terus belajar.

Begitu kita membuka diri, ok suami aku begini, situasi saat ini begini dan aku terima dengan hati yang terbuka. Kita akan secara otomatis belajar beradaptasi dengan semua itu. Untuk menghadapi sifat pasangan yang begini, kita harus bagaimana atau untuk menjalani situasi begitu, harus bagaimana, dan seterusnya. 

Dan melalui proses belajar itulah kita akan menemukan cara untuk terus berjalan seimbang dan harmonis, tidak lagi sikut-sikutan, ingin jalan duluan, atau saling menyalahkan. Kalau sudah begitu, tantangan apapun yang dihadapi akan membuat hubungan kita semakin solid. 

Coba bayangkan jika dalam satu tubuh, kaki kanan memakai flat shoes sementara kaki kiri menggunakan sepatu setinggi tujuh senti, dan disuruh berjalan di atas hamparan kerikil. 

Terbayang? Itulah gambaran pasangan yang tidak bisa saling membuka dan menyeimbangkan diri. Baru beberapa langkah saja pasti sudah jatuh tersungkur. Maka, mari seimbangkan.

Tentu saja proses membuka diri agar bisa saling menyeimbangkan dengan pasangan ini tidak hadir begitu saja. Kemampuan ini perlu dibangun sejak masih sendiri. 

Untuk membangunnya kita perlu banyak memberikan kesempatan pada diri untuk menerima tantangan baru seperti bepergian ke tempat asing, bertemu dengan banyak orang, serta melakukan banyak aktivitas yang memungkinkan diri kita untuk mendapatkan pengalaman yang berbeda. 

Hal-hal tersebut akan melatih diri kita untuk memiliki kemampuan adaptasi yang baik serta terbiasa untuk belajar dan menerima hal baru.

Jadi, jika engkau ingin menikah...

Bepergianlah, merantaulah, berteman dengan banyak orang, belajar hal baru, ijinkan diri sendiri untuk menerima hal yang gak gue banget. 

Sumber gambar:

Mindful Couple: Jika Engkau Ingin Menikah... (Bagian 1)


Oleh Nita Fahri Fitria

Termasuk kategori life event dalam teori perkembangan, menikah memang momen super penting bagi setiap insan. Life event adalah sebuah kejadian/ pengalaman yang menghadirkan perubahan yang signifikan terhadap kehidupan manusia. Tentu saja, menikah menghadirkan begitu banyak perubahan pada diri kita, bukan?

Perubahan dalam pernikahan tidak hanya sekedar perubahan dulu tidur sendiri sekarang berdua, atau dulu ngurusin diri sendiri sekarang ngurusin suami. Tapi dalam pernikahan ada banyak sekali perubahan yang detail, rumit, dan penuh kejutan. Maka tidak heran, mereka yang melewati masa berpacaran sekian tahun saja mengatakan bahwa setelah menikah semuanya berbeda.

Setelah menikah kita akan menghadapi pasangan dengan karakter, latar belakang, sudut pandang, kebiasaan, dan segalanya bisa jadi benar-benar berbeda dengan kita. Di hadapan kita juga ada keluarga pasangan yang terdiri dari ayah dan ibu mertua, saudara ipar, keponakan, om, tante, kakek, nenek, sepupu yang masing-masingnya juga memiliki detail kepribadian yang berbeda dengan kita. Terhampar pula di hadapan, perbedaan budaya, tradisi keluarga, bahasa, cara pengelolaan keuangan, hobi, dan sederet detail lainnya. Belum lagi soal manajemen diri, waktu, dan pekerjaan pasca menikah yang tentunya juga akan mengalami perubahan.

Banyak orang kemudian merasa seperti terpenjara, tidak nyaman, ingin kembali membujang, atau sekedar melarikan diri sejenak karena tidak siap menghadapi sederet perbedaan tadi.

Bahkan ada yang berpisah dengan dalih terlalu banyak perbedaan, tidak lagi cocok, buntu, dan sebagainya di usia pernikahan yang masih seumur jagung. 

Jadi sebetulnya pernikahan itu apa sih? Kok orang-orang begitu mendambakan pernikahan, tapi kemudian merasa stress, depresi, merasa terpenjara, dan menjadi sebal setengah mati pada pasangan yang dulu dicintai, justru setelah hidup bersama dalam ikatan yang katanya membahagiakan itu?

Pernikahan adalah soal membuka diri. Dalam mindfulness, sikap membuka diri dinamakan beginners mind

Sepasang pria dan wanita yang tengah dimabuk cinta dan ingin melewatkan sisa hidup bersama, perlu untuk terus saling membuka diri untuk saling belajar, saling bertoleransi, dan saling berupaya agar bisa berjalan seimbang sebagai sepasang kaki yang menapaki jalan menuju satu tujuan. 

Sekali saja kita menutup diri dan berkata, “Aku gak mau ya, itu gak aku banget.”, maka sejatinya kita tengah membangun tirani kita sendiri. Lantas, apakah kita harus menjadi orang lain? Tidak juga...


Sumber gambar:

Rabu, 15 Agustus 2018

Kongres HIMPSI 2018: Inspirasi dari Psikologi


Oleh Duddy Fachrudin

Kalau kata Alm. Kang Agus Sofyandi Kahfi (Dosen Psikologi Unisba), belajar di psikologi itu enak, bisa menertawakan diri sendiri...

Sejenak kata-kata beliau mirip sekali dengan yang diungkapkan oleh salah satu sahabat Ki Hajar Dewantara. Ia juga merupakan seorang yang pernah memberikan nasihat kepada Presiden Soekarno. Siapa lagi jika bukan Ki Ageng Suryomentaram. Sosok cerdas yang "kabur" dari Keraton Yogyakarta untuk nggolek i yang namanya menungso.

Sampai suatu ketika setelah bangun tidur Suryomentaram berkata kepada istrinya, "Mbok.. mbok aku wis nemu wong..."

"Sopo," kata istrinya.

"Orang itu yang nggak pernah puas... "

"Sopo," ujar istrinya lagi.

"Ya aku iki, Si Suryomentaram," jawab Ki Ageng dengan wajah sumringahnya.

Manusia itu ya aku. Si nggak pernah puas, si kecewa, si pemarah, si iri, si dengki, si sombong, si pemaaf, si penerima, si penyayang, si penolong, dan lain-lain.

Maka, kemudian Suryomentaram yang tidak pernah kuliah psikologi ini mengajar psikologi kebahagiaan "Kawruh Jiwo" jauh-jauh hari sebelum Martin Seligman melakukannya.

Uniknya Kawruh Jiwo ini mengajarkan kita untuk meruhi awakipun piyambak alias mengenal dan memahami diri secara tepat. Inilah awal kunci hidup bahagia.

Maka, bahagia itu adanya di dalam diri, tidak perlu dicari di luar diri. Search inside yourself, merujuk para pengajar mindfulness di Google University.

Inspirasi ini yang perlu ditularkan oleh siapapun yang berkecimpung dalam dunia psikologi, terlebih para Psikolog, Sarjana Psikologi, maupun Civitas Akademik di Fakultas atau Prodi Psikologi se-Indonesia. Dan Kongres HIMPSI tanggal 6-8 September 2018 merupakan langkah awal kita untuk memberikan sumbangsih bagi bangsa ini.

Sebuah karya nyata mengajak setiap elemen masyarakat untuk bebas dari penjara pikiran yang menghimpit. Merdeka dari belenggu rasa yang mengganggu. Menemukan Centhini, kekasih yang tersembunyi. Lalu hidup sepenuhnya di setiap momen tanpa keluh kesah, amarah, serta wiwaha yuda naraga. Kemudian menikmati pengembaraan dalam ruang kehidupan dengan penuh kebersyukuran dan cinta kasih.

Semoga.

Sumber gambar:
http://kongres2018.himpsi.or.id/