Oleh Tauhid Nur Azhar
Maka kita manusia adalah makhluk yang bahagia sekaligus
menderita. Punya cinta sekaligus teraniaya. Tersandera dalam pilihan, terjebak
dalam pusar keputusan. Terbudak oleh puser kenikmatan, dan terus berlari dari
kenyataan, karena itu amat menyakitkan.
Maka menjadi ksatria, kata Marinta si
anak Matahari, adalah kehendak watak yang setia pada kejernihan hati dan kebeningan
pikir. Bening yang hening dan hening yang bening. Boleh kalah tetapi merasa
menang, khususnya pada saat yang dihadapi adalah pertempuran mengatasi
pemberontakan dalam diri.
Boleh juga menang dan merasa menang, karena pada
hakikatnya manusia akan selalu berada di fase interstitia... makhluk dua dunia
yang selalu dapat bermetamorfosa. Makhluk antara 0 dan 1, antara ada dan tiada.
Lalu mengapa harus mengada? Apalagi mengada-ada? Padahal menjadi
"ada" itu punya alasan sempurna.
Yen tanana sira iku, Ingsun tanana
ngarani, mung sira ngarani ing wang, dene tunggal lan sireki iya Ingsun iya
sira, aranira aran mami.
Karena kita adalah lukisan sempurna yang menggambarkan
kehadiran-Nya tentu saja. Karena sifat tan keno kinoyo ngopo sudah semestinya
terintegrasi ke dalam susunan sel-sel tubuh, darah, dan syaraf dan maujud dalam
wadag yang berpikir dan mengonstruksi kesadaran soal takdir dan hadir.
Maka
menyelami kemanusiaan adalah mereguk Tirta Pawitra Mahening Suci yang sumbernya
hanya bisa didapatkan jika kita jujur pada diri sendiri. Saat kita dapat
melihat dengan jernih sosok "Dewa Ruci", homunculus, yang terproyeksi
pada sekumpulan memori dan persepsi tentang siapa "aku" itu.
"Aku" yang asli tanpa atribut syahwati karena sekedar takut mati
dalam kondisi tak berarti. Karena pati jroning urip itu keniscyaan yang membuat
hidup kita itu tak ubahnya bak sesosok zombie. Atau vampir penyedot energi
hanya demi eksistensi. Menjadi Rara Kenyot yang menyedot segenap daya linuwih
semesta hanya agar teraktualisasi selamanya.
Selamanya yang maya dalam nyata.
Semua terjadi karena manusia terpenjara dalam cinta yang terkomoditisasi, lalu
melahirkan hasrat untuk dimiliki. Cinta yang tak lagi mengalir mengikuti
takdir. Menepati janji pada ruang dan waktu untuk selalu maju dan berlalu.
Cinta dan Berada itu mengalir...
Sumber gambar:
0 komentar:
Posting Komentar