Tampilkan postingan dengan label Mendaki Gunung. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Mendaki Gunung. Tampilkan semua postingan

Rabu, 20 November 2019

3 Cara untuk Menjalani Hidup Tanpa Keruwetan


Oleh Duddy Fachrudin

Kadang saya iri dengan gunung. Ia begitu elok, tempat bersemayam beraneka rupa flora serta fauna, dan pastinya banyak dikunjungi manusia.

Gunung tak mengeluh saat didaki manusia yang terkadang malah mengotorinya. Ia juga tak menampakkan kemarahan saat badai hujan menerpa. Pun saat terik matahari menyengat, ia tetap tabah.

Gunung mengajarkan keteguhan, kemantapan, sekaligus bagaimana menjalani kehidupan tanpa keruwetan. Ia tetap istiqomah menjalankan tugas menjaga keseimbangan di bumi tercinta.

Dibalik tugas besarnya, ia tak memiliki keinginan apa-apa, ia pandai menerima dan melepas segala sampah kotoran yang dibawa manusia, serta begitu ikhlas menjalani ketidakpastian.

Maka belajar dari gunung berarti belajar bagaimana menjalani kehidupan ini dengan santuy, mindful, tanpa keribetan, tanpa keruwetan. Bagaimana?

1. Memilih dan memilah mana yang menjadi kebutuhan kita. Hidup adalah tentang keseimbangan. Berlebihan akan menggerus keseimbangan. Mengecek keinginan yang muncul segaligus mempertanyakannya, "apakah saya benar-benar membutuhkan ini?"

2. Melepas. Kurangi hal-hal yang tidak penting: barang-barang yang memenuhi space (ruang), sampah pikiran dan perasaan yang terus mengendap, serta informasi tidak penting yang terus membanjiri indera. Melepas berarti menata hidup, menjadi sadar sepenuhnya akan kehidupan kita.

3. Menjalani ketidakpastian dengan keyakinan, kesabaran, keikhlasan, dan kebersyukuran. Suatu hal yang pasti adalah ketidakpastian tersebut, bukan? Selalu ada ujian, tantangan, penderitaan. Dan itu adalah kewajaran. Justru jika tidak ada semua itu, apa asyiknya mengarungi kehidupan?

Maka berfokus saja memberi kebermanfaatan. Meniatkan diri untuk menjadi baik dan menebar kebaikan.

Sumber gambar:

Selasa, 06 November 2018

[Mindful Journey] Menyusuri Salabintana Hingga Puncak Gede (Bagian 3, Habis)

Di Puncak Gn. Gede 

Oleh Duddy Fachrudin

Tidak berlama-lama di puncak, kami lalu turun melalui jalur Cibodas. Kami bermalam sambil melepas lelah di Pos Kandang Badak. Baru esok harinya melanjutkan perjalanan sambil membawa sampah-sampah bekas makanan dan minuman kami serta sampah yang ditemui selama perjalanan.

Turun Membawa Sampah

Gunung, sungai, dan samudera adalah sahabat manusia. Cinta dan kasih sayang merupakan nilai yang dipegang oleh seorang sahabat. Maka membawa pulang sampah adalah kewajiban kami para pendaki.

Maka meniti sebuah pendakian merupakan bentuk menjaga keseimbangan dan keselarasan pada alam. Maka Sekolah Pendaki Gunung Wanadri ini mengajarkan kesadaran serta kewaskitaan dalam menjalani sebuah kehidupan.

Dan... pelajaran paling penting dari petualangan ini adalah: tujuan dari mendaki gunung bukan mencapai puncak, melainkan kembali ke rumah dengan selamat.

<<< Halaman Sebelumnya

Sumber gambar:
Dokumentasi Sekolah Pendaki Gunung Wanadri 2007

Minggu, 04 November 2018

[Mindful Journey] Menyusuri Salabintana Hingga Puncak Gede (Bagian 2)


Oleh Duddy Fachrudin

Setelah mengikuti materi dan simulasi dasar, saya yang masih tergolong pemula dalam mendaki gunung sadar bahwa mendaki gunung bukan sekedar memakai kaos oblong, beralaskan sandal jepit dan bermodal beberapa buah roti dan sebotol air mineral, atau 20 ribu rupiah. Bahaya subjektif dan objektif menanti kita para pendaki dan ketika hal itu datang kita harus sudah siap mengatasinya.

Bahkan, kesuksesan dalam pendakian bukan hanya terletak pada persiapan dan perbekalan yang cukup, tapi juga memiliki niat yang baik serta senantiasa memelihara perasaan positif. Pesan tersebut diucapkan Kepala Desa Linggarjati dan pemandu Gunung Ciremai kepada Clement Steve dan dua temannya yang hendak mendaki Ciremai pada pertengahan tahun 1974[1].

Adzan Menggema di Surya Kencana
Rabu sore, kami mulai mengaplikasikan materi yang didapat ke dalam kondisi sesungguhnya. Walau masih di Salabintana, kami membuat bivak dengan menggunakan ponco dan membuat makanan sendiri. Sebelumnya kami bermalam di barak dan makan makanan yang disediakan oleh Wanadri. Karena saya tidak terlalu mahir dalam urusan bivak, maka sayalah yang membuat makanan. Selanjutnya, saya dan 4 teman sekelompok menyantap nasi, mie dan abon dengan nikmatnya.

Esok paginya kami berangkat mendaki Gunung Gede (2958 mdpl) melalui jalur Salabintana yang terkenal lebih rumit dan jarang dilalui dibanding jalur-jalur lainnya, seperti Cibodas dan Gn. Putri. Di awal pendakian kami langsung menghadapi punggungan yang cukup curam dengan diapit 2 lembahan yang mengalir sungai dibawahnya.

Selama melalui trail (jalan setapak), banyak dijumpai pohon tumbang yang harus kami panjat atau merangkak dibawahnya. Di ketinggian 2100 mdpl kami beristirahat dan melakukan evaluasi perjalanan pada malam harinya.

Pendakian dilanjutkan dengan mencapai target Alun-alun Surya Kencana (2800 mdpl) untuk melaksanakan shalat Jum’at. Dalam perjalanan, kami tidak hanya sekedar melangkahkan kaki dan membawa ransel yang berat, tapi juga belajar menentukan posisi (resection) menggunakan peta topografi, kompas bidik, penggaris dan busur atau protactor. Hal ini penting karena banyak juga para pendaki yang tersesat dan tidak tahu posisinya dimana, karena mereka tidak membawa peralatan navigasi.

Pukul 12.30 kami sampai di Surya Kencana. Adzan berkumandang di padang leontopodium alpinum atau yang biasa disebut edelweiss tersebut. Teddy, teman sekelompok saya menjadi khatib dan imam untuk pelaksanaan shalat Jum’at. Pukul 14.30 kami menuju Puncak Gede. Dalam pendakian yang sejengkal lagi, kami harus meninggalkan salah satu peserta wanita yang kelelahan. "Maniikk, ayo kamu bisa!" teriak kami mendahuluinya. Terik matahari menemani nyanyian kami menuju puncak punggungan. Kemudian beberapa orang di depan saya berteriak, "Woii sudah sampai, semangat... semangat...!". Pukul 15.00 kami tiba di Puncak Gede.

Di depan kami terhampar Kawah Ratu dan jika menggeserkan pandangan beberapa senti ke arah kiri terlihat Gunung Pangrango (3019 mdpl). "Wow, ini luar biasaa... ini baru pertama kali!!!" teriak Madewanti yang memecah langit. Sementara yang lain saling ber-tos ria, tertawa dan menyemangati Manik yang masih berjuang menggapai puncak bersama panitia. Akhirnya Manik melengkapi senyum 40 peserta yang lainnya di Puncak Gede.

Selama memandangi keindahan alam dari puncak Gunung Gede ini, terbersit satu tanya pada Sang Maha, "Apakah dengan mencapai puncak suatu gunung, tujuan pendakian ini sudah dikatakan berhasil?"


Referensi:
1. Steve, C. Menyusuri Garis Bumi. Grasindo: Jakarta 2015.

Sumber gambar:
https://zonalibur.com/jalur-pendakian-gunung-gede-pangrango-via-selabintana/

Kamis, 01 November 2018

[Mindful Journey] Menyusuri Salabintana Hingga Puncak Gede (Bagian 1)


Oleh Duddy Fachrudin

“Ngapain lama-lama tinggal di Jakarta. Mendingan naik gunung. Di gunung kita akan menguji diri dengan hidup sulit, jauh dari fasilitas enak-enak. Biasanya akan ketahuan, seseorang itu egois atau tidak. Juga dengan olahraga mendaki gunung, kita akan dekat dengan rakyat di pedalaman. Jadi selain fisik sehat, pertumbuhan jiwa juga sehat. Makanya yuk kita naik gunung. Ayo ke Semeru…”

Kata-kata itu diucapkan Soe Hok Gie sebelum keberangkatan menuju Puncak Mahameru 16 Desember 1969. Namun sayangnya, setelah bersimpuh di Puncak Para Dewa tersebut, Soe yang turun terakhir dari puncak bersama Idhan Lubis meninggal dunia akibat menghirup gas beracun.

Kematian Soe Hok Gie merupakan salah satu dari sekian banyak kecelakaan yang menimpa para pendaki gunung, baik mereka yang pemula bahkan yang sudah sering mendaki seperti Soe. Berbagai tragedi di gunung tersebut melecutkan Wanadri yang menamakan dirinya sebagai perhimpunan penempuh rimba dan pendaki gunung untuk mengadakan Sekolah Pendaki Gunung (SPG). Sejak 1973 Wanadri mengadakan SPG untuk berbagi pengetahuan bagaimana caranya agar mendaki gunung dengan aman dan nyaman.

Selama 8 hari (8-15 Juli 2007), saya termasuk dalam 41 peserta mengikuti SPG Wanadri Gede-Pangrango. Sebelum keberangkatan, kami melakukan tes kemampuan dasar, tes fisik dan tentunya tes medis. Poin ketiga ini merupakan hal yang wajib dilakukan bagi siapa saja yang akan melakukan pendakian. Berbagai perlengkapan pun harus kami siapkan seperti ransel, pakaian lapangan, perlengkapan bivak dan tidur, perlengkapan masak dan makan, perlengkapan navigasi, perlengkapan lain seperti MCK, peralatan jahit, obat-obatan pribadi dan 18 paket makanan sebagai perbekalan.

4 Hari di Camp Salabintana
Minggu (8 Juli) jam 6 pagi kami berangkat dari Sekretariat Wanadri di Jl. Aceh Bandung dengan tujuan Salabintana Sukabumi. Sekitar pukul 9.45 kami sampai di Pondok Halimun (± 1200 mdpl) lalu dikumpulkan dengan para peserta yang mendaftar di Jakarta dan dibagi dalam 9 kelompok. Peserta SPG yang berjumlah 41 orang sendiri berasal dari berbagai kalangan, dari mulai siswa SMA sampai bapak-bapak berumur 44 tahun, namun kebanyakan dari kami adalah mahasiswa.

Selama 4 hari kami dibekali berbagai materi dasar yang diperlukan bagi seorang pendaki gunung. Materi-materi tersebut mencakupi: perencanaan perjalanan, perlengkapan perbekalan, iklim medan dan penaksiran, kesehatan perjalanan dan penanganan gawat darurat, navigasi darat, pengantar ilmu survival, bootani dan zoologi praktis, tali temali, pengenalan konservasi, kesadaran lingkungan, dan manfaat hidup di alam terbuka. Para pemateri berasal dari senior-senior Wanadri, tim dokter Atlas Medical Pioneer (AMP) Fakultas Kedokteran Unpad dan tim pelestari Taman Nasional Gede-Pangrango.

Beberapa hari sebelum SPG, saya mendengar berita tentang tewasnya salah seorang pendaki di Gunung Ciremai. Dikabarkan dia tewas akibat hipotermia karena cuaca buruk pada saat itu. Kemudian saya mendapatkan informasi lagi bahwa dia hanya membawa bekal 20 ribu rupiah untuk mendaki puncak Ciremai tersebut!


Sumber gambar:
http://sejarahri.com/mengenang-soe-hok-gie/

Selasa, 19 Desember 2017

Seandainya Kim Jong-hyun Suka Mendaki Gunung Seperti Gie...

Jong-hyun dalam video klip "Lonely"

Oleh Duddy Fachrudin

Mungkin bunuh diri itu tak akan terjadi. Dan fans K-Pop, khususnya Oppa Jong-hyun tetap menikmati karya-karyanya. Mungkin.. jika Kim Jong-hyun menjadi seorang Soe Hoek Gie, ia juga tidak akan kesepian seperti ungkapannya dalam lagunya:

Baby I’m so lonely so lonely
Baby I’m so lonely so lonely
Sayang aku sangat kesepian sangat kesepian
나도 혼자 있는 것만 같아요
Nado honja issneun geosman gatayo
Aku merasa seolah aku sendiri
그래도 너에게 티 내기 싫어
Geuraedo neoege ti naegi silheo
Aku tak ingin kau mengetahuinya
나는 혼자 참는 게 더 익숙해
Naneun honja chamneun ge deo iksukhae
Aku sudah terbiasa memendamnya



Pada masanya, Soe Hoek Gie boleh dibilang setenar Jong-hyun, namun dalam domain yang berbeda. Gie terkenal karena ia seorang aktivis yang vokal terhadap situasi politik dan sosial yang terjadi di Indonesia pada periode 1960-an serta seorang pecinta alam yang sering mendaki gunung. Sementara vokalis SHINee tersebut seorang bintang K-Pop di era milenial. Selain tenar, keduanya memiliki persamaan, yaitu sama-sama meninggal di bulan Desember karena menghisap gas. Gie meninggal pada 16 Desember 1969 karena terlambat turun dari puncak Mahameru dan menghisap gas beracun dari kawah Semeru, sementara Jong-hyun menghirup karbon monoksida hasil dari pembakaran briket batubara pada 18 Desember 2017 di apartemen yang disewanya.

Keputusan Jong-hyun untuk meninggal dengan bunuh diri tidak terlepas dari depresi yang dialaminya. Penyakit tak kasat mata ini ibarat monster pembunuh yang diam-diam mengintai penderitanya untuk akhirnya melakukan bunuh diri. Para artis lain seperti Chester Bennington dan Robin Williams pun menjadi korbannya. Maka tidak heran jika depresi, di masa ini hingga di masa depan menjadi salah satu dari 3 penyakit yang mematikan yang ada di dunia.

Namun, tidak ada penyakit yang tidak ada obatnya. Artinya depresi pun dapat disembuhkan. Pada tahap awal penderita perlu mengenali gejala-gejala depresi seperti perasaan-perasaan tidak berharga, merasa bersalah yang berlebihan, pikiran-pikiran tidak layak hidup atau gagal dalam kehidupan, merasa sendiri, menjauh dari lingkungan sosial, sering kelelahan, sulit tidur/ insomnia, sedih dan murung berlarut-larut, hingga adanya percobaan bunuh diri. Psikolog atau dokter dapat membantu penderita untuk mengenali gejala-gejala tersebut.

Pada tahap berikutnya, penderita dapat belajar mengelola gejala-gejala tersebut agar tidak menjadi depresi. Banyak cara efektif yang bisa dilakukan, seperti halnya Dialectical Behavior Therapy (DBT), Cognitive Behavior Therapy (CBT), mindfulness, gabungan mindfulness dan CBT atau biasa disebut Mindfulness-Based Cognitive Therapy (MBCT), terapi yang melibatkan movement yaitu tai chi dan yoga juga efektif menangani depresi. Bahkan berjalan kaki pun dapat mengurangi depresi. Dengan tubuh kita bergerak maka energi pun ikut mengalir. Itulah mengapa jika kita merasa tidak nyaman dengan pikiran maupun emosi tertentu, berpindahlah, bergeraklah.

Dari aspek psikofisiologi, gerak dapat dikaitkan dengan produksi dopamin dan teraktivasinya sistem saraf otonom. Basal ganglia yang di dalamnya terdapat globus palidus, nukleus kaudatus, dan putamen, serta arkhistriatum sebagai bagian otak yang mengontrol dan menata gerakan mendapat sinyal dari area motorik dan mengirimkannya ke talamus lalu dari talamus dihantarkan ke korteks otak dan serebrum. Gerakan yang tertata hasilkan koordinasi yang indah. Malah, meskipun pada akhirnya seseorang merasa lelah karena bergerak, namun dibalik kelelahan itu semburat cinta endorfin dan oksitosin menenangkan tubuh dan pikiran.

Maka dengan naik gunung atau treking sesungguhnya dapat mencegah atau mengobati depresi. Dalam setiap langkah kaki yang menghujam mengalirlah segala pilu yang selama ini terpaku dalam pikiran. Sementara keindahan alam menjadi penampakan yang meruntuhkan segala kesedihan maupun ketidakberhargaan diri. Karena takjub, syukur pun melantun memenuhi kalbu dan cahaya kelembutan-Nya menyentuh relung jiwa. Canda tawa teman-teman sependakian menghadirkan makna mengenai hidup yang perlu dinikmati meski kadang dalam perjalanannya terasa berat karena beban ransel di punggung menggoyahkan keseimbangan. Full catastrophe living, begitu kata John Kabat-Zinn, segala penderitaan pasti hadir, namun kita tidak menyerah, melainkan mengalir bersama penderitaan itu hingga akhirnya hidup ini terasa menakjubkan.

Maka jika kau merasa kesepian, jelajahi dunia ini, menyatulah dengan perjalananmu, dan nikmatilah hingga akhirnya kau menemukan laguna yang indah.

Selamat jalan Oppa Jong-hyun.

Sumber gambar:
https://twitter.com/forever_shinee/status/856444299788955648