Tampilkan postingan dengan label Psikologi Positif. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Psikologi Positif. Tampilkan semua postingan

Senin, 11 Januari 2021

Cara Meningkatkan Kualitas Motivasi & Kepribadian Calon Dokter (Bagian 2, Habis)


Oleh Duddy Fachrudin 

Motivasi sederhananya adalah motive to action. Niat atau dorongan untuk berubah yang dapat muncul dari internal maupun eksternal. Motivasi juga berupa alasan tertinggi mengapa seseorang melakukan sesuatu.

Contoh seorang mahasiswa kedokteran memiliki motivasi mendapatkan nilai IPK 3,5. Alasan ia mengapa ingin mendapatkan nilai 3,5 adalah agar ia bisa mendapat beasiswa. Jadi mendapat beasiswa dapat mendorong seseorang untuk mendapatkan nilai IPK 3,5.

Seyogyanya motivasi bersumber dari dalam diri, karena biasanya motivasi yang bersifat internal lebih kuat dibandingkan yang berasal dari luar dirinya.

Jadi mau memiliki nilai tinggi, atau aktif berorganisasi, coba tanyakan motifmu, niatmu. Karena motif ini mendorong seseorang untuk bisa bergerak dan melakukan perubahan dalam hidupnya.

Motivasi perlu dikelola atau dievaluasi. Kadang-kadang motivasi luntur juga, atau seperti yoyo, naik dan turun. Salah satu yang bisa digunakan sebagai sumberdaya dalam mengelola motivasi, yaitu kita perlu mengenal sejauh mana diri kita. Mengenal kelebihan dan kekurangan, minat, hobi, impian. Dan yang paling penting mengenal kepribadian.

Mungkin agak kompleks jika kita berbicara tentang kepribadian. Mudahnya dalam kepribadian ada yang namanya subkepribadian. Subkepribadian ini bisa dikatakan sebagai karakter diri kita.

Manusia memiliki karakter yang beragam. Kajian mengenai karakter sendiri dalam psikologi semakin luas, khususnya setelah Seligman membuat teori mengenai Psikologi Positif. Dalam kajian tersebut kita dapat melakukan pengukuran diri dan mengenal lebih jauh karakter-karakter positif yang telah diklasifikasikan oleh Seligman, dan koleganya.

Maka ijinkan saya berbagi satu tools yang bisa digunakan teman-teman mahasiswa kedokteran agar teman-teman mengenal lebih jauh mengenai diri teman-teman.

Silahkan buka:
https://www.viacharacter.org/survey/account/register  

Dan kemudian melakukan survei online mengenai character strength.

Ada setidaknya 24 karakter dalam 6 virtue (kebajikan), yaitu wisdom, courage, humanity, justice, temperance, dan transcendence.

Sebagai calon dokter, tentu setidaknya perlu memiliki virtue humanity, yang didalamnya terdapat karakter love, kindness, dan social intelligence. Bagaimana jika tidak? Maka perlu adanya evaluasi sekaligus menganalisis diri ini. Selain melakukan perenungan, dapat juga kita bertanya kepada orang lain, "Apa yg bisa saya lakukan untuk memunculkan dan menguatkan karakter ini?" 

Salah satu tumbuhnya karakter karena adanya faktor belajar dan latihan. Keteladanan pun dapat dijadikan sarana internalisasi karakter. Maka pilihlah seseorang yang memiliki karakter yang ingin kita tiru, amati, dan ikuti bagaimana ia berpikir dan berperilaku. Strategi ini dinamakan dengan modeling

Pentingnya memiliki karakter yang sesuai baik itu saat masih menjadi mahasiswa atau dokter nanti adalah bekal keterampilan dan kompetensi sikap. Pada saatnya kita tidak dinilai hanya dari pemahaman tentang sebuah ilmu, tapi juga memiliki kecerdasan berbasis emosional dan spiritual. 

Keseimbangan antara IQ, EQ, dan SQ akan menjadi pemandu menjalani kehidupan dan profesi menjadi dokter. Apalagi dokter adalah seorang community leader, pemimpin di masyarakat yang sudah tentu bagi masyarakat umum merupakan profesi mulia, dan karena ia adalah pemimpin maka haruslah insan yang solutif (memiliki solusi) terhadap permasalahan yang nampak (yang bukan hanya terkait permasalahan kesehatan).

Pada akhirnya, saatnya bagi kita semua untuk hening sejenak, menanyakan motif dan alasan menjadi dokter, mengikuti organisasi, menumbuhkembangkan karakter tertentu, dan mengasah kecerdasan secara holistik yang meliputi IQ, EQ, dan SQ.

Sumber gambar:

Cara Meningkatkan Kualitas Motivasi & Kepribadian Calon Dokter (Bagian 1)


Oleh Duddy Fachrudin

Alkisah, seorang remaja, mahasiswa kedokteran bernama Siro tengah gundah gulana. Nilai-nilainya kurang memuaskan di tahun pertamanya. Meski begitu ia dapat naik ke semester 3.

Meski nilainya tidak sebaik teman-temannya, pada awal tahun kedua studinya, Siro mulai mengikuti berbagai organisasi. Ia menjadi pengurus BEM dan aktif pada kegiatan ekstrakurikuler olahraga.

Ia sempat meminta saran kepada kakak kelasnya, apakah fokus pada pencapaian akademik atau juga ikut organisasi di kampusnya. Kakak kelasnya menyarankan agar ia aktif berorganisasi dengan tujuan mendapatkan pengalaman serta belajar untuk berinteraksi dengan orang lain. Bukankah, dokter adalah pekerjaan sosial yang sangat menekankan humanisme?

Siro mengikuti masukan dari kakak kelasnya itu. Sembari ia juga mulai belajar mengenai self-development. Setiap bulan ia mewajibkan untuk membeli dan membaca satu buku pengembangan diri.

Sampai suatu ketika, Siro sedang membaca buku motivasi yg berjudul "Mengubah Kegagalan Menjadi Kesuksesan". Ia sangat tertarik dengan buku tersebut, sampai-sampai menerapkan satu per satu tips yang ada dalam buku.

Setelah menamatkan dan mempraktikkan isi buku, Siro rupanya masih penasaran. Ia ingin bertemu penulisnya langsung, kemudian meminta tips dan rahasia agar bisa memiliki motivasi yang tinggi dan menjadi mahasiswa kedokteran yang sukses secara akademik maupun organisasi.

Sampai akhirnya Siro menghubungi penulis buku tersebut yang tiada lain adalah seorang psikolog. Psikolog itu sangat baik dan mau membuat janji untuk bertemu Siro.

Pada hari yang ditentukan, Siro begitu bersemangat untuk bertemu penulis buku. Sesampainya di rumah sang penulis, ia menceritakan kegelisahannya.

"Jadi saat ini saya adalah mahasiswa kedokteran yang memiliki nilai yang tidak terlalu bagus. IPK saya 2.3. Dengan nilai yang kecil ini kadang saya minder dan ingin fokus saja memperbaiki nilai. Namun di sisi lain, saya juga ingin ikut berorganisasi sehingga bisa menambah pengalaman saya.

Saya sangat senang sekali membaca buku ini. Buku ini membantu saya untuk bisa berubah menjadi pribadi lebih baik. Tapi... Ada satu hal yang ingin tanyakan, adakah tips dan rahasia yang masih belum dituliskan dalam buku ini sehingga bisa saya praktikkan?"

Sang penulis buku menyadari dan merasakan apa yg dialami Siro. Ia berkata, "Saya sudah memberikan semua tips untuk pembaca terapkan. Mohon maaf tak ada yang bisa saya berikan lagi untuk anda."

Mendengar hal tersebut Siro kecewa...

"Tapi..." Ucap penulis lagi, "Saya akan memperkenalkan seseorang kepadamu. Orang tersebut dapat membuatmu berubah, bangkit, dan juga menyelesaikan konflikmu. Oya, orang itu juga akan membuatmu memiliki motivasi yang luar biasa dalam hidup."

Mendengar hal itu Siro antusias. "Dimana... Dimana saya dapat berjumpa dengan orang itu?"

Sang penulis terdiam sejenak. Lalu ia menjawab pertanyaan pemuda di depannya.

"Kamu bisa menemuinya di ruangan yang ada di sudut rumah ini. Melangkahlah lurus dari sini. Setelah itu belok kiri. Dan di situ ada sebuah ruangan. Masuklah. Kamu akan menemui orang yang dapat mengubah hidupmu."

Siro mengucapkan terima kasih. Lantas ia bergegas pergi ke ruangan yang dituju. Ia berhenti sejenak di depan pintu ruangan. Hatinya deg-degan. Perlahan dibukanya pintu itu. Ruangan itu besar dan nampak gelap. Ditutupnya pintu dan dicarinya tombol lampu. Perlahan ia nyalakan lampu. Dan...

Siro menemui orang itu. Ia sedang menatapnya. Memandang orang yang dapat mengubah hidupnya, yang membuatnya lebih termotivasi dalam hidup, dan bisa menyelesaikan segala masalahnya.

Siro sekali lagi memandangnya. Nampak di depannya sebuah cermin. Kini ia mengerti apa maksud sang penulis buku.

Halaman selanjutnya >>>

Sumber gambar:

Rabu, 14 Agustus 2019

Manusia Tidak Seperti Daun yang Bahagia dalam Diamnya (Bagian 3, Habis)


Oleh Tauhid Nur Azhar

Lalu apapun hasilnya, kita berhak untuk bahagia.

Mengapa?

Karena itulah proses yang berkelindan dengan rasa syukur karena kita ada dan berada. Yah daripada habis tenaga untuk terus bertanya tentang mengapa dan bagaimana.. jalani saja dulu pertanyaan itu, toh di ujungnya kunci jawaban tersedia kok.

Bahagia itu gratis, kecuali bahagia yang sudah jadi komoditas dan bersifat transaksional.

Jenis bahagia yang kedua butuh modal, beresiko dan berbahaya juga. Kenapa? Karena komoditas punya life cycle dan transaksional amat bergantung pada dinamika nilai tukar. 

Awas lo, nanti belum balik investasinya sudah keluar produk bahagia model baru loh.. ga kebeli deh.. sedih merana deh.. galau deh.. 

Makanya mungkin sekarang banyak orang galau, salah satunya mungkin kehabisan modal buat beli kebahagiaan kali ya? 

Padahal bahagia di dunia ini adalah kunci untuk bahagia di akhirat loh.. kan ada dalam doa yang kita semua hapal dan lancar membacakannya 😊

Sumber gambar:

Manusia Tidak Seperti Daun yang Bahagia dalam Diamnya (Bagian 2)


Oleh Tauhid Nur Azhar

Karena hidup itu sebuah perjanjian yang harus ditepati. Karena ruang itu harus dijalani. Karena umur itu harus dihabiskan sendiri. Karena kalau tidak kita habiskan kan tetap habis sendiri.

Bagaimana cara kita menghabiskannya? Ya sama seperti makan, sama-sama harus dihabiskan dan disyukuri. Apa yang terjadi pada saat kita makan? 

Syaraf-syaraf keren berujung papila, berbuhul gema gustatoria, bersimpul kelindan dengan serabut fasial dan trigeminal akan mengolah dan membawa rasa yang menimbulkan suka, juga cita, dan daya untuk merasakannya kembali. Begitulah makan, prosesnya diawali dengan kebutuhan biologi, mekanismenya diwarnai kenikmatan, dan diakhiri dengan kebermanfaatan. 

Seharusnya demikian pula hidup dan kehidupan. Lahir dan hadir secara hayati adalah keniscayaan. Dipungkiri pasti utopi. Ditolak pasti cuma bisa sebatas kehendak. Hendak menolak hal yang nyata takkan tertolak. 

Itulah mengapa hidup harus dijalani, ditepati, dinikmati, dan disyukuri. Seperti daun yang lebih dari separuhnya pasti tak mengerti mengapa ia sampai harus berada di bumi. Sebaliknya kita, lebih dari separuhnya sepertinya mengerti tentang arti hadir, berada, dan menjalani "kini" yang dilahirkan "lalu" dan akan melahirkan "akan". 

Maka biarkan hidup mengalir, mengambang, dan tertiup kemana angin bertiup karena pasti angin pun ada yang mengatur dan mengendalikannya bukan. 

Apakah hanya Buys Ballot yang dapat melihat itu? Angin hanya keniscayaan yang lahir dari interaksi sebab-akibat. Sebab ada ruang bertekanan rendah dan ada yang bertekanan tinggi, akibatnya terjadi perpindahan massa udara melintasi media atmosfera. Gitu aja kok repot ya? 

Ikut saja sama yang punya skenario ya. Yang punya banyak kejutan ajaib semudah menambah kurang tekanan di seantero bumi sesuka dan semaunya, la wong yang punya kok

Maka ini saatnya mikir dan bertanya.. nah ada waktunya kan? Apa mikir dan pertanyaannya? "Lalu kita bisa apa ?" Nah itu pertanyaan saya, mungkin anda juga sama ya? Kalau kita bertanya secara retoris seperti itu, apa perlu dijawab? 

Karena baik anda, saya, dan juga mereka pasti sudah tahu jawabannya. Ya ndak bisa apa-apa. Karena ndak bisa apa-apa yang usaha dan doa saja apa-apa yang bisa kan? 


Sumber gambar:

Manusia Tidak Seperti Daun yang Bahagia dalam Diamnya (Bagian 1)


Oleh Tauhid Nur Azhar

Melanjutkan renungan kayu dan api yang saling meniadakan karena tiada pada hakikatnya adalah ada yang sejati, pagi ini saya ingin bertanya lebih pada diri sendiri.

Mengapa berada menjadi begitu penuh drama dan diwarnai kepemilikan dan rasa kehilangan? 

Apakah daun juga bertanya mengapa ia diberi stomata? Mengapa ia begitu butuh cahaya? Mengapa ia harus menghisap CO2 yang jelas bukan semata dihasilkan dari ulahnya? Mengapa pula ia butuh air hingga di sekujur tubuhnya dijaluri oleh pembuluh xylem dan phloem? 

Iya tidak tahu mengapa ada cairan bernama giberelin dan auksin yang seolah memaksa dirinya untuk terus bertumbuh dan meliuk mengikuti arah datangnya cahaya. 

Mengapa cahaya? Ingin ia berteriak dan bertanya, mewakili triliunan daun sedunia... tapi untuk apa? 

Untuk apa bertanya jika hanya kau sendiri yang akan tahu jawabannya. Tentu pada waktunya. Lalu untuk apa juga kita bertanya? Dan berteriak tak terima? 

Jamak sebenarnya. Kita dipersyarafi dan merasakan begitu banyak nyeri, derita, juga nestapa. Berimbang dengan nikmatnya guyuran cinta, tawa, gembira, dan tentu saja bahagia. Tapi mengapa? 

Toh bahagia itu bila dalam terminologi kimia fasanya adalah liquid dan bersifat termolabil yang volatil. Terkena terpaan panas sedikit saja, maka ia akan menguap dan menghablur entah kemana. Mungkin di ketinggian tertentu ia akan kembali menyublimasi dan menjadi kebahagiaan di hati orang lain. 

Ya , orang lain. Bukan kita. Maka bahagia menjadi bagian dari proses transaksional yang dimasukkan dalam ranah ekonomi matematika. Bahkan kadang diukur dengan indikator psikometrika. Bisa juga pada gilirannya dikemas dan dirapihkan pasca disetrika. 

Kebahagiaan menjadi komoditas. Sama seperti akal dan kecerdasan yang menyisakan sejumlah tanya.

Manusia tidak seperti daun yang bahagia dalam diamnya.

Membuka tutup stomata, memeluk cahaya, dan mengubah air serta CO2 menjadi gula dan O dua, lalu tumbuh, ruku ke arah sang surya-foto taksis namanya, berbuah dan segera saja segenap entitasnya larut dalam semangat tulus untuk melayani, memberi, dan sekedar berbagi. 

Inilah ikhlas di level sangat tinggi. Inilah jalan Salik untuk mengerti. Bertanya pada diri sendiri, lalu menjalani pertanyaanmu sendiri, dan kau akan menemukan jawaban jika engkau terus berjalan. 

Mengapa? 

Sumber gambar:

Rabu, 13 Maret 2019

Terminal 4 Changi, Sebuah Pelabuhan Pelepasan Hati


Oleh Tauhid Nur Azhar

Tak saya duga sebelumnya sebuah embarkasi paling canggih di dunia yang dilengkapi dengan orkestrasi teknologi terkini yang serba terotomasi ternyata menyimpan segenggam kehangatan hati.

Betapa tidak terpukau, bahkan terperangahnya kita menyaksikan serangkaian "atraksi" teknologi yang dimulai dari garda depan layanan penerbangan, area check in. Semua dikerjakan mandiri dengan bantuan teknologi yang telah mumpuni dalam pengolahan citra dan pengenalan pola (image processing & pattern recognition).

Bahkan konsep ini telah berhasil diterapkan di counter imigrasi digital dan titik pemeriksaan keamanan (security check point). Koper dan tas dengan benda mencurigakan akan dipisahkan ke jalur khusus dan mendapat penanganan yang terukur sesuai dengan kategori potensi bahaya yang dapat ditimbulkan.

Permutasi penumpang menjadi sangat efektif, waktu tunggu yang singkat membuat kondisi awal penerbangan nyaman dan menyenangkan.

Selepas prosedur rutin di setiap titik embarkasi, kita akan memasuki area layanan sebelum gerbang keberangkatan yang didesain lapang dan memberi kesan menenangkan serta menyenangkan. Atraksi seni gerak perpetual dengan pilihan musik mesmerizing yang mendamaikan serta menentramkan jiwa-jiwa kembara yang kadang gelisah dan sedih karena perpisahan dipadu padankan dengan sangat sempurna.

Pilihan desain sofa dan kursi tunggu di area layanan dan bisnis sungguh unik dan menarik. Bentuk organik asimetris seolah tak beraturan menjadi pilihan. Tak dinyana, desain tersebut ergonomis dan amat nyaman saat digunakan.

Tapi sungguh yang di luar dugaan adalah konstruksi hiper realitas yang dibangun melalui pendekatan multimedia yang lebih advanced dibanding sekedar citra augmented reality.

Sebuah layar LED raksasa tersembunyi diantara desain toko peranakan yang salah satunya cukup membanggakan, karena terselip nama Bengawan Solo di sana, kedai kopi Indonesia, di waktu tertentu akan menampilkan sebuah film pendek nirkata, Peranakan Love Story.

Film ini ciamik karena begitu interaktifnya "melompat-lompat", "out of the frame" karena bisa berpindah dari satu balkon toko ke tingkat lainnya, dan terjalinlah romansa antar tetangga yang melahirkan dan menghadirkan lagi Bunga Sayang dari komposer keren Dick Lee. Sebuah lagu dengan lirik dan melodi yang sangat kuat dan pasti melahirkan rindu dan genangan airmata bagi siapa saja yang menyimaknya.

Tetiba ada rasa rindu, kangen, yang menyeruak dan membuat kita sesaat terpaku dan terhenyak. Gesekan biola yang ditimpali bersahutan denting piano dan vokal mendayu ala Melayu pasti membuat kita termangu. Seolah ada seberkas kenangan yang merusak hipokampus dan memaksanya membuka kembali lembar-lembar album lama yang selama ini tersimpan berdebu di sudut sana.

Ini bukan semata soal kinerja Broca dan Broadman dalam menafsir dan memproduksi bahasa, tanpa lirik pun lagi ini mampu membuat kita afasia, membisu kehilangan kata. Fragmen cinta di layar multimedia membawa kita dalam pajanan cerita kita sendiri  yang pasti pernah mengecap asmara.

Ini mengguncang banyak area, membakar kawat-kawat caraka yang melintasi nukleus geniculatum, dan kedua kolikulus superior dan inferior untuk pada akhirnya sampai dan menggedor hipotalamus untuk hadirkan gelenyar hormonal yang akan membuat tubuh kita sejenak lumpuh dalam badai rasa rindu yang kembali hadirkan mimpi-mimpi berserotonin yang diikuti tumbuhnya harap berkelindan dopamin.

Tak lama setelah melangkah memasuki garbarata di gerbang pelepasan nomor 16, seolah hati berasa terpisah dan tertinggal bersama gaung suara Dick Lee yang seolah terus bernaung bersama kenangan tentang sebuah senja di tepi desa dengan berpayung langit lembayung... memang benar kiranya, selalu ada pohon di setiap desa yang benihnya terjatuh dari surga.

Dan pohon itu terus bertumbuh dengan pupuk berupa cerita DNA cinta juga mungkin disirami air mata... tapi bunganya hanya satu jua, bunga sayang namanya...

Siapapun yang mendesain Terminal 4 Changi, anda dengan kurang ajarnya telah berhasil merampok sebagian ruang hati saya dan mengisinya dengan rindu... yang anehnya tidak masuk dengan dipaksa melainkan sukarela. Terminal 4 adalah contoh nyata bagi kita bahwa tak semua teknologi akan meninggalkan hati. Ada banyak teknologi yang akan membuat kita menjadi jauh lebih manusiawi.

Sumber gambar: 
https://www.instagram.com/tauhidnurazhar/?hl=id

Rabu, 10 Oktober 2018

Bahagia itu Luka


Oleh Duddy Fachrudin

Masih dalam rangka hari Kesehatan Jiwa Sedunia, diskusi orang-orang di sosial media tidak terlepas dari ranah ilmu psikologi. Sementara yang lain bertukar kata, saya memilih mendengarkan lagu lalu tertidur pulas sebelum jarum jam menunjukkan pukul 10 malam. Bahagia.

Kata terakhir itu yang paling dicari dan dinantikan hadir oleh manusia. Kalau perlu melekat selamanya. Karena itu, premis bahagia itu sederhana banyak digunakan para motivator dan penulis buku self-help yang buku-bukunya mengantri dipajang di toko buku.

Bagi saya, bahagia itu tidak sederhana.

Dan bahagia itu luka.

Mungkin suatu saat kalimat di atas itu akan menjadi judul sebuah buku atau film. Layaknya Cinta itu Luka karya Eka Kurniawan yang diterjemahkan ke dalam 34 bahasa dan memenangi beragam penghargaan internasional.

Asik ya? Apalagi Kang Eka bisa jalan-jalan keliling Eropa diundang panitia book fair dari beberapa negara.

Siapa yang tidak mau seperti itu? Saya mengamati pikiran saya. Lalu kembali membaca sejarah Cinta itu Luka yang ternyata...

diterbitkan pertama kali pada 2002.

Baru setelah pengembaraan 13 tahun kemudian novel itu baru menjadi perbincangan para penikmat sastra.

Dari kisah ini kita boleh mengambil kesimpulan, bahagia itu sebuah journey. Di dalamnya ada penolakan, kesabaran, hingga tentunya kebersyukuran. Itulah mengapa bahagia itu tidak sederhana... apalagi jika melihat kebahagian seperti dalam penggalan dialog dari sebuah kisah berjudul Ilyas yang ditulis oleh Count Lev Nikolayevich atau Leo Tolstoy:

“Tapi , apa yang sesungguhnya membuatmu bahagia sekarang?”

“Ketika kami kaya-raya, kami tak pernah merasakan kedamaian: tak ada waktu untuk bercakap-cakap, berpikir tentang jiwa kami atau berdoa pada Tuhan. Kami punya banyak kecemasan. Jika kedatangan tamu, kami cemas tak bisa menjamu mereka dengan baik. Kami cemas tak memperlakukan para pekerja kami dengan benar. Kami takut berdosa. Jika hendak tidur, kami cemas jangan-jangan ternak kami dimakan binatang buas. Tidur kami jadi tidak nyenyak. Kecemasan yang satu berganti dengan kecemasan yang lain. Kami jadi sering berselisih paham. Suamiku berpendapat begini dan aku berpendapat begitu. Dan itu adalah dosa yang membuat kami tak pernah bahagia.”

“Lalu sekarang?”

“Kini kami bangun pagi bersama dan berbicara dari hati ke hati dengan penuh cinta dan kedamaian. Kami tak pernah lagi bertengkar, tak ada lagi yang perlu dicemaskan. Kami hanya perlu melayani majikan kami dengan baik. Kami bekerja keras sebisa mungkin dan itu membuat majikan kami menyayangi kami. Setelah usai bekerja, tersedia makanan dan kumiss. Jika kami kedinginan, ada selimut dan pediangan yang akan menghangatkan tubuh kami. Ada banyak waktu untuk bercakap-cakap, berpikir tentang jiwa kami, dan berdoa pada Tuhan. Kami akhirnya menemukan kebahagiaan setelah lima puluh tahun mencarinya.”


Perspektif bahagia seorang sastrawan sekaliber Tolstoy sangat tidak sederhana, bukan?

Oleh karenanya bahagia itu subjektif. Seperti halnya pandangan sebagian besar orang yang menginginkan bahagia itu secepatnya hadir. 

Instan, terburu-buru, tanpa pikir panjang, dan kadang-kadang dalam mencapainya melanggar norma. Primal fear mendominasi pengambilan keputusan. Pikiran telah dibajak dan dijarah oleh nafsu mempertahankan hidup belaka.

Maka, jika itu yang terjadi, bahagianya semu. Bahagia hanyalah sebuah luka yang berada di titik terendah kehidupan manusia.

Sumber gambar:
https://hellogiggles.com/love-sex/self-sabotage-why-people-ruin-happy-relationships/