Rabu, 14 Agustus 2019

Manusia Tidak Seperti Daun yang Bahagia dalam Diamnya (Bagian 2)


Oleh Tauhid Nur Azhar

Karena hidup itu sebuah perjanjian yang harus ditepati. Karena ruang itu harus dijalani. Karena umur itu harus dihabiskan sendiri. Karena kalau tidak kita habiskan kan tetap habis sendiri.

Bagaimana cara kita menghabiskannya? Ya sama seperti makan, sama-sama harus dihabiskan dan disyukuri. Apa yang terjadi pada saat kita makan? 

Syaraf-syaraf keren berujung papila, berbuhul gema gustatoria, bersimpul kelindan dengan serabut fasial dan trigeminal akan mengolah dan membawa rasa yang menimbulkan suka, juga cita, dan daya untuk merasakannya kembali. Begitulah makan, prosesnya diawali dengan kebutuhan biologi, mekanismenya diwarnai kenikmatan, dan diakhiri dengan kebermanfaatan. 

Seharusnya demikian pula hidup dan kehidupan. Lahir dan hadir secara hayati adalah keniscayaan. Dipungkiri pasti utopi. Ditolak pasti cuma bisa sebatas kehendak. Hendak menolak hal yang nyata takkan tertolak. 

Itulah mengapa hidup harus dijalani, ditepati, dinikmati, dan disyukuri. Seperti daun yang lebih dari separuhnya pasti tak mengerti mengapa ia sampai harus berada di bumi. Sebaliknya kita, lebih dari separuhnya sepertinya mengerti tentang arti hadir, berada, dan menjalani "kini" yang dilahirkan "lalu" dan akan melahirkan "akan". 

Maka biarkan hidup mengalir, mengambang, dan tertiup kemana angin bertiup karena pasti angin pun ada yang mengatur dan mengendalikannya bukan. 

Apakah hanya Buys Ballot yang dapat melihat itu? Angin hanya keniscayaan yang lahir dari interaksi sebab-akibat. Sebab ada ruang bertekanan rendah dan ada yang bertekanan tinggi, akibatnya terjadi perpindahan massa udara melintasi media atmosfera. Gitu aja kok repot ya? 

Ikut saja sama yang punya skenario ya. Yang punya banyak kejutan ajaib semudah menambah kurang tekanan di seantero bumi sesuka dan semaunya, la wong yang punya kok

Maka ini saatnya mikir dan bertanya.. nah ada waktunya kan? Apa mikir dan pertanyaannya? "Lalu kita bisa apa ?" Nah itu pertanyaan saya, mungkin anda juga sama ya? Kalau kita bertanya secara retoris seperti itu, apa perlu dijawab? 

Karena baik anda, saya, dan juga mereka pasti sudah tahu jawabannya. Ya ndak bisa apa-apa. Karena ndak bisa apa-apa yang usaha dan doa saja apa-apa yang bisa kan? 


Sumber gambar:
Share:

0 komentar:

Posting Komentar