Tampilkan postingan dengan label SOBER. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label SOBER. Tampilkan semua postingan

Selasa, 14 Juli 2020

Non-Judgement: Apa Salahnya Menjadi Janda?



Oleh Tauhid Nur Azhar 

Ada stigma dan penilaian yang acapkali disematkan pada sekelompok orang atau komunitas. Misalnya saja terjadi pada wanita yang menjadi janda, khususnya mereka yang mendapatkan status tersebut karena perceraian. 

Tentu hal ini perlu dikaji secara holistik dan multiaspek agar tidak terjadi stigma kurang produktif pada kelompok tertebut. Perjalanan hidup manusia kan dinamis. Stigma ini juga mendera para penderita Covid, pelaku poligami, pengidap HIV, dan banyak lagi pada mereka yang kita anggap berbeda. 

Padahal kita tidak pernah tahu apa yang sesungguhnya mereka alami dan apa yang melatarbelakangi pilihan hidup mereka tersebut. Kita terlalu nyaman dalam zona "menilai" dan berasumsi dengan persepsi kita sendiri secara sesuka hati. Maka berbeda menjadi masalah besar di negeri ini.

Sayangnya konteks kebersamaan yang dibangun tidak dalam kontribusi konstruktif. Padahal keberagaman justru potensi besar untuk saling mensubstitusi dan mengomplementasi. Membantu dan saling melengkapi, kalau bisa memperkaya wawasan dengan memberi ruang untuk saling belajar dan memetik hikmah dari interaksi serta pertukaran pengalaman.

Jadi tema besarnya bukan lagi #savejanda, tapi semestinya lebih ke arah #savekemanusiaan. Karena rasa kemanusiaanlah yang telah luntur dalam tradisi kita bermasyarakat. Otak kita terkapitalisasi dan pada akhirnya profit menjadi motivasi dan transaksi menjadi satu-satunya mekanisme yang diketahui.

Lihat pohon ditebang, lihat burung ditangkap, lihat apapun yang dapat menjadi sumber kenyamanan langsung diterkam. Tidak salah memang, tapi itu semua perlu niat suci untuk saling memberdayakan, bukan saling memperdayakan. Kan tugas kita adalah menjadi Khalifah. Misinya membumikan Rahmah. Karakternya harus amanah. Sikap mentalnya haruslah kaffah, Istiqomah, dan tak mengenal lelah dalam Lillah.

Wejangan bagi jiwa-jiwa yang lelah, juga yang jengah dengan kondisi yang terjajah oleh pragmatisme, pesimisme, dan melahirkan oportunisme yang mengerdilkan nilai dan makna hidup menjadi sekedar deretan angka-angka yang dianggap dapat membeli cinta serta menebus waktu agar mau sejenak membeku.

Padahal fitrahnya hanyalah satu. Terus maju. Dan kita yang tersandera dalam detik dan detak seolah tak menyadari bahwa yang berlalu itu akan hadir selalu, dan yang saat ini adalah konstruksi dari mimpi yang perlahan mulai menyetubuhi bumi dan mencumbui tubir memori. Dan masa depan adalah cakrawala harapan dengan berbagai jalan yang tersedia sebagai pilihan.

Dan kita ditakdirkan untuk menjadi makhluk persimpangan. Dimana setiap detik waktu dan setiap detak jantung memerlukan keberanian untuk memutuskan. Dan hidup dapat dipremiskan sebagai sekumpulan keputusan. Juga setumpuk penyesalan yang kerap menimbuni rasa syukur yang lantas terlupakan.

Tapi syukur itu "benih". Meski ditimbuni "tahi sapi" ia tak pernah menyesali. Karena ia tahu, tahi sapi kaya nutrisi. Maka diserapnya sajalah kepedihan dan kekecewaan yang telah menjadi "tahi" dan kerap kita emohi. Kita sembunyikan dan tutup rapat-rapat dalam septic tank lalu kita menipu diri dengan semprotan parfum wangi bebungaan.

Kentut dan tahi fitrahnya berbau busuk. Tentu untuk mengingatkan bahwa pahit dan getir adalah syarat untuk manis dan lezat. Maka yang bisa menerima tahi sebagai kompos atau biogas akan dapat tahu dan berbagai hal yang dia mau. Tapi jangan tolak dulu tahinya. Syukuri semuanya. Jangan hanya mau mengunyah yang kita suka lalu melepehkan semua yang tak kita kehendaki.

Siapa tahu dari tahi yang tidak kita kehendaki itulah benih bahagia akan tumbuh dan bertunas... 

Minggu, 10 Februari 2019

Berlatih Sabar dengan SOBER


Oleh Duddy Fachrudin

Alkisah seorang cowok keren berkelana dari kampungnya nun jauh di sudut Sanur menuju Jakarta, sebuah kota yang penuh ambisi dan memiliki tingkat stres yang tinggi. Meskipun begitu kota tersebut merupakan kota cinta dan penuh hikmah, setidaknya bagi pemuda ini.

Ia merantau mencari ilmu dan karena kecerdasannya ia diterima di jurusan psikologi di kampus ternama. Kadek nama pemuda itu, yang selama menempuh studi lebih banyak melakukan eksperimen kehidupan dibanding membaca buku. Ia bahkan jarang terlihat belajar oleh teman-teman atau dosen-dosennya. Namun nilai-nilainya justru yang paling tinggi dibandingkan dengan teman-teman satu angkatannya.

Semua orang curiga bahwa ia melakukan kecurangan, seperti mencontek atau bahkan menyogok. Teman-temannya berkomentar negatif tentangnya, bahkan ia juga mulai dijauhi oleh mereka. Hanya seorang karib yang senantiasa menemaninya, meskipun ia berada di kota sebelah tempat Kadek menempuh studi.

Sendiri ia menghadapi kenyataan yang sebenarnya fiksi. Jiwanya gelisah ingin marah serta membuktikan diri bahwa ia tak bersalah. Namun kemudian ia teringat pesan gurunya di Sanur, "Orang-orang yang berkomentar menjelekkan adalah mereka yang belum mengenal kebenaran dan tersentuh cinta dalam hatinya."

Maka pesan itu yang menjaganya untuk tetap bijaksana layaknya Arjuna yang tak ternoda dan bercahaya mengendara kereta di Padang Baratayudha sembari ditemani Krisna.

"Mereka (Kurawa) juga saudaraku, maka jika aku menjelekkan atau berkomentar negatif kepadanya sama seperti melukai diriku sendiri."

Begitulah Kadek berbagi rasa dengan teman satu-satunya di suatu senja di Kedai Kopi 372 Dago Pakar.

Tak ada yang kebetulan. Sore itu diskusi menarik tentang "Menerima dan Memaafkan" tersaji bersama hangatnya kopi dibawakan oleh Bu Diana, seorang Guru Mindfulness dari kaki Gunung Ungaran dan muridnya mba Fefi.

Kadek dan temannya mengikuti diskusi interaktif yang diselingi musik dan latihan mindfulness nan asyik. Salah satu latihannya adalah SOBER.

SOBER merupakan konsep dari sabar yang merupakan bagian dari hidup mindful. "Carilah pertolongan, salah satunya melalui sabar..." Begitu ujar Bu Diana di hadapan audiens yang begitu antusias...

Bu Diana kemudian meminta mba Fefi menjabarkan SOBER. Dengan mindfulnya, wanita berparas lembut itu menyampaikan SOBER yang ternyata merupakan sebuah singkatan dari:

Stop
Observe
Breathing
Expand
Respond


"Bisa dijelaskan lebih lanjut"?, tanya seorang peserta bernama Anisa, seorang staf riset dan pengembangan di sebuah sekolah bisnis yang saat itu sedang mempelajari mindfulness.

Mba Fefi kemudian melanjutkan:

Stop: disaat mendapatkan suatu kejadian yang tidak menyenangkan, kita tidak langsung merespon. Tapi ijinkan diri kita untuk sejenak berhenti.

Observe: lalu amati pikiran dan perasaan kita, termasuk amati lingkungan juga.

Breathing: kemudian tarik nafas. Ijinkan diri kita nyaman, rileks dan dalam kondisi yang tenang serta penuh kedamaian.

Expand: setelahnya kita mungkin mendapatkan berbagai alternatif respon yang bijaksana atas peristiwa negatif yang baru saja terjadi.

Respond: kalau sudah mendapat respon terbaik, lakukan respon tersebut.

"Itulah SOBER," lanjut mba Fefi.

Kadek yang menyimak diskusi itu semakin yakin bahwa komentar negatif hanya bisa dikalahkan dengan mempraktikkan SOBER.

Sumber gambar:
Dokumentasi Pribadi

Kamis, 30 Agustus 2018

Sikap Mindfulness: Rahasia Sabar


Oleh Tauhid Nur Azhar

Seorang pemuda mendatangi tukang tato. “Tolong buatkan tato terhebat untukku,” pintanya.

“Baik Tuan, tapi gambar apa yang harus kubuat?” tanya pembuat tato.

“Seekor singa yang gagah. Engkau lihat, perawakan badanku gagah serupa singa, maka buatlah gambar singa yang melambangkan keperkasaanku. Kerahkan segenap kemampuanmu. Totolkan warna biru dan merah sebanyak-banyaknya,” ungkapnya penuh semangat.

“Di mana saya harus membuatnya Tuan?”

“Tato yang indah itu pantasnya engkau buat di punggung.”

Sewaktu tukang tato hendak memasukkan tinta melalui jarum ke kulit pemuda itu, terasa olehnya rasa sakit menjalar di punggungnya. Pemuda gagah itu berteriak, “Aduh, gila. Kamu hendak membunuhku ya? Gambar apa yang sedang kau buat?”

“Katanya Tuan meminta gambar singa!”

“Bagian mana yang mulai kau buat?”

“Saya mulai dari bagian ekor,” kata tukang tato itu sedikit takut.

“Tidak usah memakai ekor. Nafasku tersengal-sengal gara-gara ekor singa sialan itu. Biarlah gambar singa itu tanpa ekor!”

Tukang tato itu pun membuat bagian lain dengan hati-hati, tanpa menggunakan pisau. Dia kembali menusukkan jarum. Seketika itu si pemuda menjerit kesakitan.

“Bagian mana yang kau buat?” tanyanya sambil meringis.

“Ini telinga, wahai Tuan yang baik hati,” hibur tukang tato.

“Tak perlu pakai telinga. Potong saja telinganya.”

Tukang tato itu kembali bekerja. Dia menusukkan jarum ke bagian lain. Pemuda itu pun menjerit kesakitan. “Bagian mana lagi yang sedang kau buat?” rintihnya dengan wajah memerah.

“Oh ini perutnya Tuan yang gagah,” ujar tukang tato mulai kesal.

“Singaku tidak memerlukan perut. Bagian itu tentu menghabiskan banyak tinta!”

Tukang tato mulai kebingungan. Rasa jengkel dan kecewa berbaur menjadi satu. Dia terdiam dan tak tahu harus berbuat apa.

“Belum pernah ada orang berlaku seperti Anda? Mana ada seekor singa yang tak memiliki ekor, telinga dan perut? Tuhan tidak pernah menciptakan singa seperti itu."

Begitulah kawan ... Hal besar berawal dari hal kecil. Kesuksesan hidup diawali oleh aneka ujian dan tantangan.

Untuk mentato gambar singa di badan pun, seseorang harus rela ditusuki jarum, mulai dari gambar ekor, telinga, kaki, dan lainnya.

Tanpa kesabaran menahan sakit, mustahil akan terbentuk gambar singa yang gagah. Hikayat yang diungkapkan Jalaluddin Rumi dalam Matsnawi ini, mengandung hikmah bahwa sabar adalah kunci meraih kesuksesan hidup. 

Sabar bisa bermakna positif menyikapi derita, menahan diri dari syahwat nan gawat, serta memfokuskan diri berbuat taat.

Maka be mindful, be patient.

Sumber gambar:
https://www.pinterest.com/pin/384354149432001173/