Oleh Duddy Fachrudin
Bermain
sebanyak 206 pertandingan dan mencetak 129 gol di berbagai kompetisi dalam
rentang 1992-1999 menjadikan Jari Litmanen seorang legend di Ajax Amsterdam. Mengenakan nomor punggung 10, Litmanen
berhasil menjalankan perannya sebagai fantasia
atau playmaker dengan sangat baik.
Bersama para pemain hebat lainnya seperti Marc Overmars, Edgar Davids, Edwin
van Der Sar, Clarence Seedorf, De Boer bersaudara, Danny Blind, dan Patrick
Kluivert, Litmanen membawa Ajax dua kali ke final Liga Champions. Ajax berhasil
mengalahkan AC Milan di tahun 1995, namun satu tahun berikutnya kalah adu
penalti melawan Juventus. Meskipun kalah, pada tahun 1996, Jari Litmanen
menjadi top skor Liga Champions dengan torehan 9 gol. Pada ajang Ballon d’Or
tahun 1995, Litmanen berada di posisi ketiga dibawah George Weah dan Jurgen
Klinsmann.
Jari
Litmanen bukan berasal dari Brasil atau Argentina yang terkenal menghasilkan
pemain-pemain top dunia. Pemain yang pernah membela Barcelona dan Liverpool itu
berasal dari sebuah negara Eropa Timur bernama Suomi atau Finlandia.
Finlandia,
sebuah negara yang memiliki luas wilayah 1/6 dari luas Indonesia, namun jumlah
penduduknya ½ dari total penduduk Jakarta itu mulai saya kenal karena melihat
aksi Jari Litmanen di pertengahan tahun 1990. Mendengar Finlandia terasa asing
bagi saya yang saat itu masih seorang anak Sekolah Dasar (SD). Jika mendengar Finlandia yang terbayang hanya seorang Jari Litmanen.
Namun
saat ini, mendengar Finlandia bukan hanya teringat Litmanen. Mendengar Finlandia
langsung terasosiasi akan sistem pendidikannya. Hal ini tidak terlepas dari
pencapaian Negeri Tanpa Malam di Programme
for International Student Assesment (PISA). Pada empat edisi PISA (2000,
2003, 2006, 2009), anak-anak Finlandia menduduki peringkat mengagumkan di
bidang Sains, Membaca, dan Matematika. Sementara pada edisi 2012 dan 2015,
peringkat Finlandia mulai melorot di bawah negara-negara Asia seperti Singapura,
Shanghai China, Hongkong, dan Jepang.
Turunnya
pencapaian tersebut bukan berarti kita tidak perlu belajar dari sistem
pendidikan Finlandia. Justru kita perlu mengambil pelajaran dari apa yang sudah
dilakukan oleh para pakar pendidikan di negara itu. Hal ini juga yang sedikit
saya bahas ketika mengisi training
untuk seluruh Guru Bimbingan Konseling SMA/SMK Kota Yogyakarta.
Sistem
pendidikan di Finlandia tidak hanya (bahkan mungkin benar-benar tidak)
menekankan pada pencapaian. Proses belajar dan mengajar dibuat dengan
mengutamakan kebahagiaan. Intinya belajar dan mengajar itu harus menyenangkan, tidak
ada beban, dan membuat ketagihan.
Dalam buku
“Teach Like Finland”, Timothy D. Walker, seorang guru SD di Finlandia merangkum
33 strategi sederhana yang diterapkan oleh guru dan siswa selama program
belajar mengajar. Dari 33 strategi tersebut, terdapat strategi-strategi yang
sangat berkaitan dengan mindfulness. Satu
strategi dibahas Tim di awal bab bukunya, yaitu pentingnya mengistirahatkan
pikiran. Oleh karenanya, setelah belajar 1 jam pelajaran (45 menit), para siswa
beristirahat selama 15 menit. Dengan pola 45 dan 15 ini, mereka tetap dapat menjaga
fokus saat belajar.
Strategi
ini mirip dengan teknik Pomodoro yang dikembangkan oleh Franscesco Cirillo. Pada
teknik Pomodoro, kita mengerjakan tugas selama 25 menit lalu beristirahat
selama 3-5 menit. Pola tersebut dilakukan hingga tugas selesai dikerjakan. Setelah
tugas tuntas, kita beristirahat 15-30 menit, lalu mengerjakan tugas berikutnya.
Perlunya
jeda selama belajar atau mengerjakan tugas tertentu adalah agar otak kita tidak
terbebani dan menjadi stres. Jeda atau istirahat merupakan momen melepas lelah.
Jeda pula saat-saat meletakkan atau mengendapkan apa yang telah dipelajari atau
yang sudah dikerjakan. Kita dapat melakukan hal-hal ringan selama istirahat
atau jeda seperti membuat kopi, mendengarkan musik, hingga bermeditasi. Bagi anak-anak
Finlandia, 15 menit jeda merupakan saat-saat untuk tertawa, melompat-lompat,
termasuk berimajinasi.
Selain strategi
mengistirahatkan pikiran, setidaknya ada beberapa strategi lain terkait mindfulness yang diterapkan di
sekolah-sekolah Finlandia. Strategi tersebut yaitu memberikan sedikit Pekerjaan
Rumah (PR) (yang bahkan PR tersebut dapat dikerjakan hanya selama 30 menit),
menyederhanakan ruang kelas, menjaga ketenangan dan kedamaian kelas, menghirup
udara segar, bermain di alam liar (lingkungan yang masih benar-benar alami),
dan finding flow dengan cara
menikmati proses, atau tidak berorientasi pada hasil akhir serta mengaitkan
satu ilmu dengan ilmu lainnya. Strategi yang terakhir ini dapat membawa
siswa-siswa Finlandia pada holistic
atau integrated education yang
menghasilkan integrated intelligence
yang akan saya bahas lain waktu.
Sebagai
penutup tulisan ini, kita perlu merenungi kembali makna “less is more”. Sebuah
idiom yang erat dengan mindfulness. Dan
Finlandia menerapkannya pada waktu belajar sekolah yang hanya 5 jam saja.
Referensi:
Walker,
T. D. (2017). Teach like Finland: 33
strategi sederhana untuk kelas yang menyenangkan. (Wicakso, F., terj). Jakarta:
Grasindo (Karya asli terbit tahun 2017)
Sumber gambar:
https://finland.fi/life-society/american-teacher-gets-lost-found-finland/
Bener banget Kang. Learning is fun, so let's have fun ;-)
BalasHapusFun learning with mindful learning. Bang Widya Gunawan ditunggu tulisan berikutnya :)
Hapus