Tampilkan postingan dengan label Happiness. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Happiness. Tampilkan semua postingan

Senin, 20 Juli 2020

Metafora: Keluarga



Oleh Duddy Fachrudin 

Laki-laki berusia 45 tahun itu berjalan gontai. Wajahnya kuyu, namun tetap berusaha memperlihatkan senyumnya kepada saya. 

Senyumnya layu. 

Tampak bibir dan gigi-giginya menghitam akibat tar yang ia nikmati dalam belasan puntung rokok setiap harinya. Ia duduk di sebelah saya. 

Tangan kanannya diangkat dan diusapkan ke wajah tirus dan kepalanya yang beruban. Nafasnya begitu berat. 

Lalu, tak lama kemudian ia berucap, “Apa yang terjadi pada saya? Kenapa saya begini?” 

Sejak 3 hari bertemu dengannya, hanya kalimat itu yang ia lontarkan dari mulutnya. 

Hiburan satu-satunya di bangsal hanya sebuah televisi. 

Sore itu, sebelum mentari tenggelam dan adzan berkumandang kami menonton tv. Tidak ada acara yang menarik, hanya berita biasa seputar artis yang mempertontonkan gaya hidupnya yang berkecukupan. 

Tiba-tiba laki-laki itu berkata, “Dulu saya begitu, tapi sekarang...”, lagi-lagi tangan kanannya diangkat dan jemarinya mengusap wajah dan kepalanya. “Kenapa saya sakit seperti ini?” lirih laki-laki itu lagi.

Dua tahun yang lalu, tubuhnya masih tegak dan berjalan dengan penuh semangat. Ia masih bekerja di sebuah pabrik gula di sebuah kota di Jawa Timur. Namun dua kecelakaan motor dan peristiwa keracunan pestisida membuat hidupnya berubah. 

Kinerja fisiknya menurun. Tangannya kaku dan sering bergetar. Penglihatannya kabur dan tubuhnya lemas. Kondisi fisik mempengaruhi kinerjanya di pabrik. Dan ia pun di PHK oleh perusahaan.

Sebelum kejadian-kejadian itu hidupnya bahagia, berkecukupan, dan senantiasa berinteraksi secara sosial dengan keluarga dan tetangganya. 

Saat ini jiwanya begitu rapuh, depresif, dan hampa. Semuanya tampak hancur baginya. Satu-satunya yang ingin dilakukannya adalah bertemu dengan istri dan anak-anaknya.

Saya bertemu dengannya selama kurang lebih 3 minggu, menemaninya dan mengajaknya berbincang-bincang layaknya seorang kawan. 

Di sela-sela itu, saya menyempatkan diri untuk menemui keluarganya—istri dan ketiga anaknya serta saudara-saudaranya. Tak lupa saya meminta ijin untuk mengambil foto mereka.

Di akhir pertemuan dengannya, saya memberikan foto istri dan anak-anaknya. Tampak wajahnya tersenyum dan rona bahagia memancar di wajahnya. 

Ia lalu bercerita bahwa ia sudah boleh pulang dengan syarat mengurangi frekuensi merokoknya. Laki-laki itu menceritakan rencana-rencana yang akan dilakukannya setelah kembali ke keluarga. Saya senang dengan perkembangan ini.

Saya mohon pamit kepadanya karena memang waktu praktek telah usai. Kami berpisah dengan masing-masing mengucapkan terima kasih. 

Satu hal yang tak terduga adalah ketika ia mengatakan, “Salam untuk keluarga” kepada saya. 

Sumber gambar: 

Selasa, 08 Oktober 2019

Menjalani Koas dengan Mindful


Oleh Duddy Fachrudin

Syahdan, Rizki telah selesai menempuh 8 semester di Fakultas Kedokteran (FK) dengan nilai yang sangat memuaskan. Orangtua dan saudara-saudara tercintanya begitu bangga. Bahkan kucing dan ayam peliharaannya juga ikut senang ketika mengetahui majikannya akan menapaki langkah berikutnya untuk menjadi seorang dokter.

Koas. Fase yang begitu ditunggu sejak awal masuk FK kini benar-benar ada di hadapannya. Setiap hari, Rizki begitu merindukan tahap ini. Dalam tidurnya ia seringkali bermimpi sedang berinteraksi dengan pasien dan konsulen di Rumah Sakit.

Namun, saat asyik-asyik pulang ke Dermayu dan memberi butiran jagung untuk ayam kesayangannya, terbersit satu kebingungan yang menjadi kendalanya saat itu. Apa ya yang perlu jadi bekalku agar bisa sukses menjalani koas?

Dalam gelisahnya ia teringat dr. Ayat yang juga memiliki pesantren di pesisir Karangampel. Buya Ayat--begitu panggilannya, memiliki pemahaman ilmu yang luas sehingga banyak orang berdatangan untuk meminta nasihat kepadanya.

Tak terkecuali pemuda satu ini. Ia datang ke padepokan Buya Ayat sambil membawa ayam goreng kampung--yang rupanya adalah ayam kesayangannya. Tak lupa sambal bawang dan lalapan ia bawa untuk menambahkan kelezatan pada ayam goreng kampungnya.

Sesampainya di Karangampel, Rizki disambut baik oleh Buya Ayat yang kebetulan saat itu memang sedang tidak bekerja. Ia terlihat sedang leyeh-leyeh sambil sesekali mencorat coret sebuah kanvas. Rupanya Buya Ayat sedang menulis kaligrafi. Ia tuangkan hobinya di saat sore dimana senja menyapanya.

Bau sambal bawang dan ayam goreng membuatnya berhenti dari menggores tinta. Kepalanya menengok ke kanan dan kiri mencari tanda hadirnya stimulus yang merangsang saraf olfaktoriusnya.

Rizki pun tiba dan disambut Buya Ayat dengan sukacita. Aha, ini dia rupanya sumber kebahagiaanku hari ini, ujar Buya polos.

Sambil makan ayam goreng kesayangan, Rizki menuturkan keluh kesahnya. Sambil memohon ia berkata, Buya, berikan aku nasihat, agar koas ini berjalan lancar...

Buya tak langsung menanggapi permintaan orang di depannya. Mulutnya masih penuh dengan ayam, sambal bawang, dan nasi. Setelah menegak air kelapa yang dipetik dari belakang rumahnya, Buya berkata:

Gini aja ya, sebenarnya tidak ada rumus kesuksesan. Cuma aku kasih tips aja menurutku. Ini boleh dilakukan boleh tidak...

Jalani koas dengan KOAS. Apa itu KOAS?

K: Kindness, kamu mengembangkan kebaikan kepada pasien, teman-teman, konsulen, dan siapapun yang kamu temui selama stase. Wis pokoe berbuat baik, hadirkan cinta dan kasih sayang.

O: Open Mind, kamu harus terbuka, jangan sok pinter. Jadilah seperti bayi yang penasaran saat ketemu objek baru. Matanya berbinar-binar dapat ilmu baru. Supaya open mind, kosongkan gelasmu, jadilah bodoh, supaya belajar terus.

A: Awareness, eling, sadar, menyadari posisimu sebagai calon dokter dengan segala tanggungjawabnya. Lalu menyadari pasien adalah seorang manusia yang perlu kita perlakukan sebagai manusia. Menyadari segala hal. Kesadaran ini kunci dari berfungsinya kecerdasan.

S: Sincerity, tulus, ikhlas dalam menjalani semuanya. Ga perlu apa untungnya saya kalau begini, apa ruginya saya kalau begitu. Koas ini satu tahap untuk dirimu menjadi dokter sejati. Sebuah fase latihan di kawah candradimuka agar kamu jadi dokter yang mengabdi pada kemanusiaan dengan ikhlas.

Rizki mendengarkan seksama pencerahan dari Buya Ayat. Wajahnya sumringah seakan memiliki makna akan kehidupan bernama koas yang sebentar lagi dijalaninya.

Tak terasa sajian ayam kesayangan Rizki yang ikhlas dijadikan ayam goreng sudah habis. Sore itu benar-benar indah, seindah hamparan mimpi yang biasa mampir dalam malam-malam Rizki.

Mimpi?

Rizki terbangun. Jam di hape-nya menunjukkan pukul 7 pagi.

Waduh, PBL blok 3.1 nih...

Langsung berkemas ia, cuci muka seadanya, lalu memakai sepatu. Keluar dari kosnya bertemu dengan Tito.

Ki, mau kemana?

Sambil terburu-buru Rizki menjawab Tito.

PBL cuy...

Tito terheran-heran, Lu PBL ga pake celana...?

Sumber gambar:

Rabu, 14 Agustus 2019

Manusia Tidak Seperti Daun yang Bahagia dalam Diamnya (Bagian 3, Habis)


Oleh Tauhid Nur Azhar

Lalu apapun hasilnya, kita berhak untuk bahagia.

Mengapa?

Karena itulah proses yang berkelindan dengan rasa syukur karena kita ada dan berada. Yah daripada habis tenaga untuk terus bertanya tentang mengapa dan bagaimana.. jalani saja dulu pertanyaan itu, toh di ujungnya kunci jawaban tersedia kok.

Bahagia itu gratis, kecuali bahagia yang sudah jadi komoditas dan bersifat transaksional.

Jenis bahagia yang kedua butuh modal, beresiko dan berbahaya juga. Kenapa? Karena komoditas punya life cycle dan transaksional amat bergantung pada dinamika nilai tukar. 

Awas lo, nanti belum balik investasinya sudah keluar produk bahagia model baru loh.. ga kebeli deh.. sedih merana deh.. galau deh.. 

Makanya mungkin sekarang banyak orang galau, salah satunya mungkin kehabisan modal buat beli kebahagiaan kali ya? 

Padahal bahagia di dunia ini adalah kunci untuk bahagia di akhirat loh.. kan ada dalam doa yang kita semua hapal dan lancar membacakannya 😊

Sumber gambar:

Manusia Tidak Seperti Daun yang Bahagia dalam Diamnya (Bagian 2)


Oleh Tauhid Nur Azhar

Karena hidup itu sebuah perjanjian yang harus ditepati. Karena ruang itu harus dijalani. Karena umur itu harus dihabiskan sendiri. Karena kalau tidak kita habiskan kan tetap habis sendiri.

Bagaimana cara kita menghabiskannya? Ya sama seperti makan, sama-sama harus dihabiskan dan disyukuri. Apa yang terjadi pada saat kita makan? 

Syaraf-syaraf keren berujung papila, berbuhul gema gustatoria, bersimpul kelindan dengan serabut fasial dan trigeminal akan mengolah dan membawa rasa yang menimbulkan suka, juga cita, dan daya untuk merasakannya kembali. Begitulah makan, prosesnya diawali dengan kebutuhan biologi, mekanismenya diwarnai kenikmatan, dan diakhiri dengan kebermanfaatan. 

Seharusnya demikian pula hidup dan kehidupan. Lahir dan hadir secara hayati adalah keniscayaan. Dipungkiri pasti utopi. Ditolak pasti cuma bisa sebatas kehendak. Hendak menolak hal yang nyata takkan tertolak. 

Itulah mengapa hidup harus dijalani, ditepati, dinikmati, dan disyukuri. Seperti daun yang lebih dari separuhnya pasti tak mengerti mengapa ia sampai harus berada di bumi. Sebaliknya kita, lebih dari separuhnya sepertinya mengerti tentang arti hadir, berada, dan menjalani "kini" yang dilahirkan "lalu" dan akan melahirkan "akan". 

Maka biarkan hidup mengalir, mengambang, dan tertiup kemana angin bertiup karena pasti angin pun ada yang mengatur dan mengendalikannya bukan. 

Apakah hanya Buys Ballot yang dapat melihat itu? Angin hanya keniscayaan yang lahir dari interaksi sebab-akibat. Sebab ada ruang bertekanan rendah dan ada yang bertekanan tinggi, akibatnya terjadi perpindahan massa udara melintasi media atmosfera. Gitu aja kok repot ya? 

Ikut saja sama yang punya skenario ya. Yang punya banyak kejutan ajaib semudah menambah kurang tekanan di seantero bumi sesuka dan semaunya, la wong yang punya kok

Maka ini saatnya mikir dan bertanya.. nah ada waktunya kan? Apa mikir dan pertanyaannya? "Lalu kita bisa apa ?" Nah itu pertanyaan saya, mungkin anda juga sama ya? Kalau kita bertanya secara retoris seperti itu, apa perlu dijawab? 

Karena baik anda, saya, dan juga mereka pasti sudah tahu jawabannya. Ya ndak bisa apa-apa. Karena ndak bisa apa-apa yang usaha dan doa saja apa-apa yang bisa kan? 


Sumber gambar:

Manusia Tidak Seperti Daun yang Bahagia dalam Diamnya (Bagian 1)


Oleh Tauhid Nur Azhar

Melanjutkan renungan kayu dan api yang saling meniadakan karena tiada pada hakikatnya adalah ada yang sejati, pagi ini saya ingin bertanya lebih pada diri sendiri.

Mengapa berada menjadi begitu penuh drama dan diwarnai kepemilikan dan rasa kehilangan? 

Apakah daun juga bertanya mengapa ia diberi stomata? Mengapa ia begitu butuh cahaya? Mengapa ia harus menghisap CO2 yang jelas bukan semata dihasilkan dari ulahnya? Mengapa pula ia butuh air hingga di sekujur tubuhnya dijaluri oleh pembuluh xylem dan phloem? 

Iya tidak tahu mengapa ada cairan bernama giberelin dan auksin yang seolah memaksa dirinya untuk terus bertumbuh dan meliuk mengikuti arah datangnya cahaya. 

Mengapa cahaya? Ingin ia berteriak dan bertanya, mewakili triliunan daun sedunia... tapi untuk apa? 

Untuk apa bertanya jika hanya kau sendiri yang akan tahu jawabannya. Tentu pada waktunya. Lalu untuk apa juga kita bertanya? Dan berteriak tak terima? 

Jamak sebenarnya. Kita dipersyarafi dan merasakan begitu banyak nyeri, derita, juga nestapa. Berimbang dengan nikmatnya guyuran cinta, tawa, gembira, dan tentu saja bahagia. Tapi mengapa? 

Toh bahagia itu bila dalam terminologi kimia fasanya adalah liquid dan bersifat termolabil yang volatil. Terkena terpaan panas sedikit saja, maka ia akan menguap dan menghablur entah kemana. Mungkin di ketinggian tertentu ia akan kembali menyublimasi dan menjadi kebahagiaan di hati orang lain. 

Ya , orang lain. Bukan kita. Maka bahagia menjadi bagian dari proses transaksional yang dimasukkan dalam ranah ekonomi matematika. Bahkan kadang diukur dengan indikator psikometrika. Bisa juga pada gilirannya dikemas dan dirapihkan pasca disetrika. 

Kebahagiaan menjadi komoditas. Sama seperti akal dan kecerdasan yang menyisakan sejumlah tanya.

Manusia tidak seperti daun yang bahagia dalam diamnya.

Membuka tutup stomata, memeluk cahaya, dan mengubah air serta CO2 menjadi gula dan O dua, lalu tumbuh, ruku ke arah sang surya-foto taksis namanya, berbuah dan segera saja segenap entitasnya larut dalam semangat tulus untuk melayani, memberi, dan sekedar berbagi. 

Inilah ikhlas di level sangat tinggi. Inilah jalan Salik untuk mengerti. Bertanya pada diri sendiri, lalu menjalani pertanyaanmu sendiri, dan kau akan menemukan jawaban jika engkau terus berjalan. 

Mengapa? 

Sumber gambar:

Jumat, 26 Oktober 2018

#TerimaKasihTabloidBola


Oleh Duddy Fachrudin

Kebahagiaan utama anak laki-laki generasi tahun 90'an adalah bisa bermain bebas dan lepas di ruang terbuka, seperti mandi di sungai, menjelajah alas (hutan), mengejar layangan putus, main gundu (kelereng), dan tentu saja tidak ketinggalan untuk bal-balan saban sore di lapangan. Karena hobi saya yang terakhir yang akhirnya kemudian membuat saya setia menonton pertandingan sepakbola di layarkaca.

Seusai Piala Dunia 1994, euforia sepakbola pun dimulai. Nama-nama seperti Roberto Baggio, Paolo Maldini, duet maut Romario dan Bebeto, Gabriel Batistuta, George Weah, dan Alan Shearer lebih saya hafal dibanding nama-nama pahlawan nasional.

Liga Italia menjadi tontonan wajib setiap minggu dan lebih utama dibanding melihat Yoko Si Pendekar Rajawali dan Ksatria Baja Hitam serta Power Rangers. Dan bacaan wajib seorang anak SD seperti saya, tiada lain tiada bukan, yaitu Tabloid Bola.

Untungnya bapak saya tahu menahu kebutuhan anaknya dan dengan setianya membawakan Tabloid Bola setiap selasa dan jum'at. Gambar-gambar pemain bola dan juga poster dari Tabloid Bola saya tempel di kamar.

Pada tahun 1999, saya membuat kliping AC Milan, yang saat itu juara Serie A setelah bersaing dengan Lazio hingga pekan terakhir. Sumber kliping sebagian besar dari Tabloid Bola.

Tahun terus melaju, dan muncul tabloid serupa seperti GO dan Soccer, saya masih tetap membaca Tabloid Bola. Ulasannya menarik, tulisannya berbeda, dan membuka jendela wawasan mengenai dunia sepakbola yang lebih luas.

Maka, Tabloid Bola bukan sekedar tempat dan sahabat mendapatkan informasi bola saja, melainkan teman belajar menulis bagi saya, khususnya ketika saya menjadi seorang jurnalis untuk sebuah majalah mahasiswa yang berkantor di Jakarta pada tahun 2007. Kemudian beberapa tulisan di buku "10 Pesan Tersembunyi & 1 Wasiat Rahasia" dan "Hidup Bahagia Mati Lebih Bahagia" merupakan kisah-kisah inspiratif dari dunia sepakbola yang awalnya saya temukan di Tabloid Bola.

Hingga saat ini, tidak ada bacaan olahraga yang seasyik Tabloid Bola. Meski akhirnya mulai 2013, frekuensi dan membaca serta membelinya turun, saya masih menyempatkan membuka halaman-demi halaman Tabloid Bola yang tidak disegel ketika berkunjung ke Gramedia atau Togamas. Dan peradaban digital membuat pembaca Tabloid Bola, beralih ke portal-portal olahraga di detik.com, atau bola.net, panditfootball.com dan tentu bolasport.com (wajah Tabloid Bola online).

Membaca artikel "Edisi Terakhir Tabloid Bola, Terbit Hari Ini" memberikan inspirasi, bahwa suatu produk benar-benar diterima dan membekas di benak kita jika ia dibuat dengan ketulusan, passion, dan totalitas serta ikhlas. Inilah yang tercermin dari karyawan-karyawan Tabloid Bola (lihat video "Terima Kasih Tabloid Bola") yang merasakan sendiri engagement antara dirinya dengan pekerjaannya dan antara dirinya dengan rekan kerja serta lingkungan kerja. Maka apa yang telah Tabloid Bola persembahkan kepada kita selama 34 tahun ini adalah perwujudan syukur setiap individu yang bekerja di Tabloid Bola.

Dan kami beryukur memiliki teman dan sahabat yang tak kunjung lelah memberikan yang terbaik di setiap waktunya. Ah... Generasi-Z merasakan hal ini nggak ya, tapi inilah Generasi Milenial (Gen-Y) bertutur dengan jujur, bahwa Tabloid Bola adalah legend, asyik, dan benar-benar dibuat dengan rasa syukur yang luar biasa.

#TerimaKasihTabloidBola

Sumber gambar:
https://www.bolasport.com/sportbiz/314062-edisi-terakhir-tabloid-bola-terbit-hari-ini

Selasa, 16 Oktober 2018

Cara Agar Uang Membuat Dirimu dan Semesta Lebih Bahagia


Oleh Tauhid Nur Azhar

Zakat, infak, dan sedekah tidak sekadar melipatgandakan rezeki, menyehatkan jiwa, tetapi juga mampu menyehatkan badan dan mempertajam pikiran.

Kini, hal tersebut sudah dapat dibuktikan secara ilmiah oleh para ilmuwan melalui serangkaian penelitian. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Elisabeth Dunn[1], seorang pakar psikologi dari University of British Columbia, Vancouver, Kanada.

Hasil penelitian yang diterbitkan di jurnal Science, volume 319, edisi Maret 2008 tersebut, menyimpulkan bahwa semakin besar uang yang dibelanjakan orang untuk menolong sesama atau dalam rangka memberi hadiah untuk orang lain, akan menjadikan seseorang lebih bahagia dalam hidupnya. 

Itulah mengapa, Elisabeth Dunn memberi judul tulisannya dengan sangat provokatif, yaitu ”Spending Money on Others Promotes Happiness” atau ”Membelanjakan Uang untuk Orang Lain akan Meningkatkan Kebahagiaan”.

Dalam penelitian tersebut, Dunn dan rekannya meneliti 109 orang mahasiswa. Para mahasiswa tersebut dibagi ke dalam dua kelompok besar. Kelompok pertama diberi kebebasan untuk memilih jumlah uang yang ditawarkan, apakah 20 dolar ataukah 5 dolar. 

Hasilnya sudah bisa ditebak, para mahasiswa memilih yang 20 dolar dan mengatakan bahwa mereka lebih bahagia dengan uang 20 dolar ketimbang hanya 5 dolar. Sebuah hasil yang wajar tentunya. Para mahasiswa itu menambahkan pula bahwa mereka akan membelanjakannya untuk diri sendiri ketimbang untuk orang lain. 

Dunn dan timnya kemudian memberi 46 mahasiswa lain amplop berisi uang 5 dolar atau 20 dolar, akan tetapi mereka tidak diberi kebebasan memilih untuk apa uang tersebut akan dibelanjakan. Para peneliti menyuruh mereka membelanjakan uang itu untuk hal-hal tertentu.

Menariknya, mahasiswa yang mengeluarkan uang untuk amal kemanusiaan atau membeli hadiah untuk orang lain ternyata lebih bahagia dibandingkan mereka yang membelanjakan untuk kepentingan pribadi, seperti melunasi rekening atau bersenang-senang. 

Dengan memberi, mereka mendapatkan kebahagiaan dan kepuasan plus yang tidak didapatkan dari sekadar membelanjakan uang untuk kepentingan sendiri.

Fenomena ini tidak hanya berlaku di kalangan mahasiswa saja. Kelompok penelitian Dunn juga melakukan jajak pendapat pada 16 karyawan di sebuah perusahaan di Boston sebelum dan sesudah mereka mendapatkan bonus dengan beragam besaran. 

Dunn dan rekannya pun mengumpulkan data tentang gaji, pengeluaran, dan tingkat kebahagiaan dari 632 orang di seantero Amerika Serikat. Kesimpulannya sungguh menarik. Dalam kedua kelompok orang tersebut, kebahagiaan ternyata ada hubungannya dengan jumlah uang yang dikeluarkan untuk orang lain daripada jumlah absolut bonus atau gaji.

Itulah mengapa, Jonah Lehler[2] dalam bukunya How We Decided (2009) mengatakan bahwa berlaku dermawan alias altruistik alias itu terasa enak. 

Mengapa demikian? Sesungguhnya, Allah Swt. telah merancang otak manusia sedemikian rupa sehingga yang namanya berbagi, memberi, dan bersikap dermawan itu menyenangkan. Dengan kata lain, bersikap baik kepada orang lain itu akan membuat kita merasa lebih aman dan nyaman daripada kita berlaku kikir.

Referensi:
1. Dunn, EW., Aknin, LB., & Norton, MI. Spending money on others promotes happiness. Science 2008; 319: 1687-1688.
2. Lehrer, J. How We Decide. New York: Houghton Mifflin Harcourt 2009.

Sumber gambar:
https://givingcompass.org/article/how-to-give-money-and-get-happiness-more-easily/

Rabu, 10 Oktober 2018

Bahagia itu Luka


Oleh Duddy Fachrudin

Masih dalam rangka hari Kesehatan Jiwa Sedunia, diskusi orang-orang di sosial media tidak terlepas dari ranah ilmu psikologi. Sementara yang lain bertukar kata, saya memilih mendengarkan lagu lalu tertidur pulas sebelum jarum jam menunjukkan pukul 10 malam. Bahagia.

Kata terakhir itu yang paling dicari dan dinantikan hadir oleh manusia. Kalau perlu melekat selamanya. Karena itu, premis bahagia itu sederhana banyak digunakan para motivator dan penulis buku self-help yang buku-bukunya mengantri dipajang di toko buku.

Bagi saya, bahagia itu tidak sederhana.

Dan bahagia itu luka.

Mungkin suatu saat kalimat di atas itu akan menjadi judul sebuah buku atau film. Layaknya Cinta itu Luka karya Eka Kurniawan yang diterjemahkan ke dalam 34 bahasa dan memenangi beragam penghargaan internasional.

Asik ya? Apalagi Kang Eka bisa jalan-jalan keliling Eropa diundang panitia book fair dari beberapa negara.

Siapa yang tidak mau seperti itu? Saya mengamati pikiran saya. Lalu kembali membaca sejarah Cinta itu Luka yang ternyata...

diterbitkan pertama kali pada 2002.

Baru setelah pengembaraan 13 tahun kemudian novel itu baru menjadi perbincangan para penikmat sastra.

Dari kisah ini kita boleh mengambil kesimpulan, bahagia itu sebuah journey. Di dalamnya ada penolakan, kesabaran, hingga tentunya kebersyukuran. Itulah mengapa bahagia itu tidak sederhana... apalagi jika melihat kebahagian seperti dalam penggalan dialog dari sebuah kisah berjudul Ilyas yang ditulis oleh Count Lev Nikolayevich atau Leo Tolstoy:

“Tapi , apa yang sesungguhnya membuatmu bahagia sekarang?”

“Ketika kami kaya-raya, kami tak pernah merasakan kedamaian: tak ada waktu untuk bercakap-cakap, berpikir tentang jiwa kami atau berdoa pada Tuhan. Kami punya banyak kecemasan. Jika kedatangan tamu, kami cemas tak bisa menjamu mereka dengan baik. Kami cemas tak memperlakukan para pekerja kami dengan benar. Kami takut berdosa. Jika hendak tidur, kami cemas jangan-jangan ternak kami dimakan binatang buas. Tidur kami jadi tidak nyenyak. Kecemasan yang satu berganti dengan kecemasan yang lain. Kami jadi sering berselisih paham. Suamiku berpendapat begini dan aku berpendapat begitu. Dan itu adalah dosa yang membuat kami tak pernah bahagia.”

“Lalu sekarang?”

“Kini kami bangun pagi bersama dan berbicara dari hati ke hati dengan penuh cinta dan kedamaian. Kami tak pernah lagi bertengkar, tak ada lagi yang perlu dicemaskan. Kami hanya perlu melayani majikan kami dengan baik. Kami bekerja keras sebisa mungkin dan itu membuat majikan kami menyayangi kami. Setelah usai bekerja, tersedia makanan dan kumiss. Jika kami kedinginan, ada selimut dan pediangan yang akan menghangatkan tubuh kami. Ada banyak waktu untuk bercakap-cakap, berpikir tentang jiwa kami, dan berdoa pada Tuhan. Kami akhirnya menemukan kebahagiaan setelah lima puluh tahun mencarinya.”


Perspektif bahagia seorang sastrawan sekaliber Tolstoy sangat tidak sederhana, bukan?

Oleh karenanya bahagia itu subjektif. Seperti halnya pandangan sebagian besar orang yang menginginkan bahagia itu secepatnya hadir. 

Instan, terburu-buru, tanpa pikir panjang, dan kadang-kadang dalam mencapainya melanggar norma. Primal fear mendominasi pengambilan keputusan. Pikiran telah dibajak dan dijarah oleh nafsu mempertahankan hidup belaka.

Maka, jika itu yang terjadi, bahagianya semu. Bahagia hanyalah sebuah luka yang berada di titik terendah kehidupan manusia.

Sumber gambar:
https://hellogiggles.com/love-sex/self-sabotage-why-people-ruin-happy-relationships/

Selasa, 28 Agustus 2018

Event Mindfulness: Metode Mindfulness-Based Strength Practice (MBSP)


Oleh Duddy Fachrudin

Tiga puluh sembilan orang menjadi partisipan sebuah penelitian psikologi. Mereka kemudian dibagi menjadi dalam dua kelompok: 19 orang menjadi kelompok eksperimen, sementara 20 orang bergabung dalam kelompok kontrol.

Kelompok eksperimen diberikan intervensi psikologi, sementara kelompok kontrol tidak.

Partisipan diberikan self-report mengenai well-being, yaitu: Satisfaction With Life Scale, Flourishing Scale, Positive Psychotherapy Inventory, dan Signature Strengths Inventory Scale.

Kuesioner tersebut diberikan kepada dua kelompok penelitian sebelum dan sesudah intervensi psikologi.

Pertanyaan sederhananya adalah apakah ada perbedaan yang signifikan skor well-being antara kelompok eksperimen dan kontrol? (baca hasil dan diskusinya di sini)

Penelitian yang dilakukan Ivtzan, Niemic, dan Briscoe (2016) ini menggunakan Mindfulness-Based Strength Practice (MBSP) sebagai intervensi psikologi yang diberikan kepada kelompok eksperimen selama  8 minggu secara daring.

MBSP sendiri merupakan intervensi yang memadukan antara konsep mindfulness dengan psikologi positif. It's sounds interesting.

Dan metode MBSP dapat dipelajari beberapa hari lagi di sebuah workshop yang merupakan rangkaian dari event Kongres HIMPSI di bulan september.


So, it's time to enjoy the moment, 
cultivating happiness and flourishing, 

keep positive :)

Referensi:
Ivtzan, I., Niemiec, R. M., & Briscoe, C. (2016). A study investigating the effects of Mindfulness-Based Strengths Practice (MBSP) on wellbeing. International Journal of Wellbeing, 6(2), 1-13. doi:10.5502/ijw.v6i2.557

Sumber gambar:
http://picbear.online/himpsipusat

Selasa, 13 Maret 2018

Manusia Di Ruang Semesta (Bagian 2, habis)



Oleh Tauhid Nur Azhar

Tulisan sebelumnya dapat dibaca di sini.

Lalu kita (baca: saya dan anda) itu sesungguhnya apa? Dan semesta yang katanya tempat kita itu apa? Jika kita makhluk persepsi, dari apakah semesta kita ini dibangun?

Sekitar 2600 tahun yang lalu seorang bijak bernama Anaximandros merasa semesta adalah sebuah ruang, dimana benda-benda diletakkan dan berputar saling mengitari. Parmenides dan Phytagoras membayangkan bumi dan berbagai benda angkasa adalah benda bulat yang saling berinteraksi, terbang, dan punya hubungan ke semua arah. Peri Ouranou yang ditulis Aristoteles menjabarkan bahwa langit adalah rumah kita, dan kelak Dante mencari gubug derita tempat semua sengsara dunia bermuara, inferno.

Tetapi apa sesungguhnya semesta?

Albert Einstein, Faraday, Maxwell, Bohr, Heisenberg, Riemann, sampai Gell-Man pada akhirnya bersepakat dalam kurun waktu yang berbeda dan satu sama lain mungkin tak pernah jumpa. Bahwa semesta ini adalah medan. Medan gravitasi dan medan elektromagnetik, dimana mekanika deterministik Newton mendapat tempat untuk unjuk manfaat. Di mana gelombang radio dan elektromagnetik dapat berosilasi, bervibrasi, dan menggoda indera dengan menghasilkan rasa berupa citra atau suara yang dapat ditransmisikan ke mana saja. Albert jua lah yang bersabda bahwa semesta ini wajib memuai karena ia bukan bola. Ia materi yang terdorong oleh daya maha luar biasa yang meninggalkan tapak berupa cosmic microwave background dan juga bentuknya yang melengkung menyerupai kurvatura (Reimann Curvature).

Maka matahari, bumi, juga bulan adalah sekumpulan materi bulat yang dijatuhkan ke dalam selongsong lonjong yang membuatnya berputar secara revolusioner sembari terus berthawaf dalam rotasinya. Lalu dikenalah konsep kuanta dengan probabilitasnya yang tak mampu ditebak sempurna. Lalu Planck dan banyak ilmuwan sejenisnya mengenal konsep ada dan hadir jika suatu partikel atau elektron keluar dari kebiasaannya, melompat, bereksitasi dan melepas energi.

Itulah tanda. Hadir dan ada itu berbuat dan beraksi. Maka Abdussalam mengumpulkan semua gaya yang menjadi syarat hadir dan ada. Nuklir kuat dan lemah di inti, elektromagnetik, dan gravitasi.

Maka terangkailah partikel elementer, elemen dasar eksistensi yang terdiri dari quark-quark yang membentuk proton dan netron yang dilekatkan oleh gluon. Dan ruang terisi. Dan neutrino hadir dalam diam yang tak sunyi, dan Higg Bosson merajut elemen dasar menjadi sesuatu yang dilabeli fungsi. Lalu berturut-turut terciptalah termodinamika dengan entropinya, dan energi hadir, dikonversi dan melekat sebagai catu daya fungsi. Sebagaimana mekanika kuantum, maka perpindahan panas (kalor adalah energi) tak lepas dari "peluang" atau probabilitas.

Boltzman bersikukuh bahwa termodinamika berbeda dengan konsep kuanta, meski jawabnya sangatlah sederhana: ia dan juga kita tidak tahu dan tidak mampu.

Jeremy England pada akhirnya berpendapat bahwa sistem dan fungsi khususnya terbangun karena kebutuhan yang mengharuskan adanya interaksi sebagaimana foton dalam proses fotosintesa memerlukan fusi hidrogen dan juga sekumpulan unsur logam seperti magnesium dan besi dalam klorofila.

Maka semesta terbangun sebagaimana juga persepsi. Semua bagi saya dan anda adalah asumsi yang terverifikasi melalui konsistensi pencarian yang disepakati. Namanya riset dan penelitian. Tapi pertanyaan besarnya adalah, apakah semua yang dilihat, diukur, dan disepakati itu nyata ada? Atau hanya dinyatakan ada, atau bahkan di"ada-ada"kan nyata?

Jawabannya mungkin sebagaimana "relativitas khusus" Einstein yang kerap dianalogikan dalam kisah metafora tentang 2 bersaudara yang hidup di dimensi dengan kecepatan gerak yang berbeda.

Yang hidup dan bergerak secepat cahaya tak bisa dipenjara ruang dan waktu. Karena cahaya adalah "jeruji" dan tembok yang menghasilkan persepsi tentang ruang dan masa yang memenjara kita dalam makna. Maka kita yang berada dalam ruang yang dicipta konsensus cahaya akan menua, pudar, dan terurai berulang dan berulang hingga tak berhingga.

Lalu jika demikian apa yang tersisa? Sisa itulah sesungguhnya kita. Remah kecil yang tercipta, keping mungil yang mendamba. Bayangan yang hanya ingin kembali pada Sang Pemilik-Nya.

Sumber gambar:
Dokumen pribadi (Tauhid Nur Azhar)

Manusia Di Ruang Semesta (Bagian 1)


Oleh Tauhid Nur Azhar

Di keheningan atap dunia saya terhenyak. Selarik kesadaran merembes perlahan ke dalam benak. Dingin dan menyegarkan. Lalu seberkas cahaya yang terpantul dari kilau salju nan putih mengguncang mesin tanya dalam pikiran, apakah manusia itu? Di mana kita sesungguhnya berada? Dan mengapa?

Sejauh mata memandang hanya indah yang terhampar dalam sunyi seolah mengajak diri untuk larut merenungi. Perlahan air mata membulir, entah karena apa. Sontak semua kata kehilangan makna. Bahkan diri kecil yang tersuruk dan terpuruk di bentang ke Maha Akbaran Sang Pencipta ini tak kuasa menjawab tentang apa yang hendak dicarinya. 

Saya terduduk dan tertunduk lemas. Kesadaran yang meruyak merusak semua mimpi tentang nilai yang diyakini. Bahkan kini saya tidak yakin dengan diri saya sendiri. Benarkah saya ada di sini? 

Karena terbersit dalam otak saya bahwa saya dan disini, serta saat ini adalah sebentuk produk mental yang dihasilkan serangkaian mekanisme kognitif kompleks yang mengurai tanda dan data menjadi ada. Apakah saya ini sebentuk persepsi tentang saya yang dihasilkan oleh konspirasi indera dengan semesta? 

Lalu semesta itu apa? Mengapa saya ada? Lanjut saya bertanya, entah pada siapa. Bukankah saya "merasa" ada karena saya teraba, terlihat, terdengar, terhidu, tersakiti, terindui, ternikmati, terzhalimi, tersedihi, termarahi, dan tertawa-tawa sendiri semata karena sebuah pemahaman tentang proses interaksi dan pemahaman yang disepakati? 

Saya ini Maya karena menjadi Ada hanya karena merasa. Saya ini makhluk gagasan yang berkonsensus untuk merasa sebagai sebuah makhluk. Lalu apakah saya sebuah proyeksi lintas dimensi dari Sang Pemilik gagasan sejati? Apakah saya sekedar refleksi? Pantulan dari wujud yang Hakiki? Apakah saya bayangan tak berbatang tubuh yang hanya hadir bersyarat karena adanya wujud yang mewujudkan cahaya menjadi bayang bernama manusia? Saya meremas segenggam salju dan menamparkannya ke muka. Otak saya beku. Lidah saya kelu.

Ada listrik mengalir di sela sulkus sentralis yang memisahkan lobus parietalis dan frontalis di hemisferium otak saya. Nyetrum. Dan membuat kilau salju membutakan pandang dan membawa khayal berenang di lautan awan yang terbentang di depan sana. Raba, dengar, lihat, panas-dingin, gurih umami, juga pada gilirannya warna, renyah tawa, eksotika rupa, keseksian istri tercinta, serta duka dan air mata yang menyertai kecewa dan kehilangan adalah sebentuk kesepakatan belaka. Tentang makna dan yang dimaknai. 

Harapan adalah kesepakatan konspiratif antara memori yang berisi hasil belajar dan pengalaman dengan sensor nafsu yang menamainya kenikmatan. Maka bercinta secara fisik adalah bentuk prokreasi, proses regenerasi dan rekreasi. Anehnya pemenuhan harapan adalah hadiah yang didambakan (reward), bahkan menjadi motivasi kuat agar makhluk virtual ini manglih rupa menjadi robot pemuas diri (masturbating robot). 

Meski tak dapat dipungkiri bahwa segerombol sel-sel neuron haus dopamin yang berkumpul dalam nukleus akumben atau juga ventral tegmental area juga adalah motivator konstruktif yang tak kalah ciamik dengan motivator cantik sekelas Merry Riana dalam kehidupan nyata. Ingin bahagia adalah syarat bahagia, demikian kira-kira, dan itulah tugas mereka. Pemuas harapan. Pemupus kerinduan. Penuntas dahaga terhadap kenikmatan. 

Lalu makhluk virtual yang relatif dan terpolarisasi ini jatuh terpuruk dalam neraka dunia yang bernama konsep diametral. Dalam konsep yang menyiksa ini tersedia ruang untuk hadirnya sedih, marah, dan kecewa. Karena semua harapan akan punya pasangan antagonis yang dari seberang sisi terpolar seolah tersenyum bengis. Lalu saya dan anda mengenal tangis, juga mampu bertindak sadis bin bengis. Itulah kita, yang katanya manusia, dan sepakat meyakini kalau kita itu manusia.

Bersambung ke Manusia Di Ruang Semesta (Bagian 2, Habis)

Sumber gambar:
Dokumen pribadi (Tauhid Nur Azhar)

Jumat, 17 November 2017

Modul Mindfulness untuk Meningkatkan Well-Being (Unduh Gratis)

Modul Mindfulness

Oleh Duddy Fachrudin

Menyambung tulisan sebelumnya mengenai penggunaan mindfulness dalam meningkatkan kesejahteraan (well-being) perawat, maka tentu sebagian besar dari Anda bertanya, “Bagaimana langkah-langkah intervensinya (mindfulness)?”

Bagi Anda, praktisi dan profesional kesehatan, peneliti, dosen, atau siapapun yang tertarik dengan mindfulness dapat mengunduh modul mindfulness yang saya susun dalam rangka penelitian tesis saya, “Program Mindfulness untuk Meningkatkan Kesejahteraan Subjektif Perawat”.

Anda dapat mengunduh modul ini di laman Buku Gratis.

Selamat membaca dan semoga mendapatkan manfaat dari modul ini.

Cek pelatihan mindfulness terbaru di sini >>>

Minggu, 12 November 2017

Buku Mindfulness: Unduh Buku Gratis


Oleh Duddy Fachrudin

“Begitu nikmatnya saat melepas diri yang penuh nafsu dan diri yang gaduh gelisah. Dalam diri yang tenang dan damai, maka akan mudah tercipta cahaya yang indah. Cahaya yang yang sinarnya siap menerangi berbagai sudut semesta.”




Untaian kata itu hanya bagian kecil dari keseluruhan kata dalam buku “Inner Peace, Hidup Bahagia Mati Lebih Bahagia”, sebuah buku yang bertemakan psikologi dan spiritual yang dikemas dengan bahasa sederhana.

Buku ini dapat Anda baca dengan mengunduhnya terlebih dahulu di laman Buku Gratis.

Selamat membaca dan semoga mendapatkan manfaat dari buku ini.

Cek pelatihan mindfulness terbaru di sini >>>


Minggu, 08 Oktober 2017

Let’s Talk Well-Being in The Workplace


Oleh Duddy Fachrudin

Let's talk well-being-Hari Kesehatan Mental Sedunia

Parjo : Min aku wis ora kuat nyambut gawe

Dalimin : Ono opo toh Jo?
Parjo : Aku kesel iki... diparingi kerjaan sing ora cocok karo jobdesku
Dalimin : Oalah...

Mari sedikit membicarakan well-being di tempat kerja.

Well-being sendiri dapat diartikan suatu kondisi kesejahteraan individu. Bukan kesejahteraan secara materi, melainkan lebih ke arah psikologis yang domainnya lebih ke arah afeksi dan kognisi. Perasaan bahagia, stres, serta puas dan tidaknya Anda pada pimpinan merupakan bagian dari well-being, khususnya di tempat kerja. Dalam dialog Parjo dan Dalimin, kita bisa menangkap curhatan Parjo kepada Dalimin yang merasa lelah karena di tempat kerjanya disuruh mengerjakan tugas-tugas yang tidak sesuai dengan jobdesknya. Ini suatu kondisi yang tidak nyaman yang dialami Parjo, dan realitanya kasus-kasus serupa banyak terjadi di berbagai lingkungan kerja.

Maka, kajian-kajian well-being mulai diperhatikan oleh organisasi, baik level pemerintah maupun swasta. Psikolog-psikolog klinis mulai dilibatkan untuk menangani stres kerja, burnout, dan ketidakbahagiaan yang muncul selama individu bekerja. Program-program stress reduction, happiness at work, dan work engagement frekuensinya diperbanyak dibandingkan dengan program-program lain. Hal tersebut menjadi sebuah investasi penting bagi perusahaan untuk meningkatkan produktivitas dan motivasi kerja sumber daya manusianya. Bahkan demi hal itu, organisasi mulai berani menerapkan suatu hal yang tidak biasa, yaitu memangkas jam kerja dari biasanya 8 jam ke 6 jam saja setiap harinya. Atau tetap bekerja selama 8 jam, namun 20% dari jam kerja tersebut boleh digunakan untuk mengerjakan hal yang tidak berhubungan dengan pekerjaan. Ya, itu terjadi di Google, salah satu perusahaan terbaik dunia.

Saat ini bukan banyaknya waktu yang mempengaruhi kinerja dan produktivitas seseorang, melainkan kemampuan menggunakan energi secara efektif yang menjadi pembeda antara yang produktif dan tidak produktif. Antara yang stres dan flow saat bekerja.

Terlalu banyak bekerja akan menggerus keseimbangan pada aspek fisik tubuh kita. Masih ingat dengan seorang copywriter yang meninggal setelah 30 jam bekerja? Atau berita mengenai dua orang karyawan Jepang yang lembur lebih dari 100 jam kemudian meninggal: yang satu karena serangan jantung, satunya lagi bunuh diri.

Mari bicarakan kesejahteraan di tempat kerja kita. Semoga Hari Kesehatan Mental Sedunia, 10 Oktober 2017 ini menjadi momen untuk meningkatkan kualitas kesejahteraan (well-being) sumber daya manusia di organisasi kita.

Sumber gambar:
http://himpsi.or.id/31-semua-kategori/menu/publikasi/106-let-s-talk-wellbeing-program-himpsi-dalam-rangka-hari-kesehatan-mental-sedunia-10-oktober-2017

Kamis, 28 September 2017

Mindful Couple: Bersyukurlah Ketika Anda Patah Hati, Loh Mengapa?


Oleh Tauhid Nur Azhar

…too much love will kill you… (Queen),
cinta ini membunuhku… (d’Masiv)

Tahukah anda bahwa para ilmuwan neurosains baru saja mendefinisikan sebuah fenomena fisiologis yang unik di saat seseorang mengalami tekanan batin yang berat. Tekanan tersebut dapat ditimbulkan oleh masalah-masalah yang terkait dengan proses interaksi dan komunikasi sosial, termasuk persoalan hubungan cinta antara dua orang yang tengah dimabuk asmara.

Hasil pengamatan di beberapa negara ditemui sindrom “putus cinta” ini seringkali menimbulkan gangguan yang menyerupai gejala serangan jantung, infark miokardium akut. Timbul serangan rasa nyeri di daerah dada yang menjalar ke punggung, lambung, dan daerah lengan sebelah kiri. Dapat pula diikuti dengan kesulitan bernafas (sesak), keluarnya keringat dingin, dan tubuh terasa lemas.

Sindroma ini dikenal sebagai sindroma Takotsubo atau miokardiopati Takotsubo. Dr. Ilan Wittstein, MD kardiolog dari The John Hopkins University Medical School dan kawan-kawan, menemukan kasus takotsubo terjadi akibat adanya akumulasi neuropeptida otak yang merupakan keturunan katekolamin. Turunan katekolamin yang kerap dijumpai serta memiliki efek simpatik secara sistemik antara lain adalah epinefrin dan norepinefrin.

Tetapi di dalam kasus Takotsubo ternyata tidak hanya epinefrin dan norepinefrin saja yang kadarnya melonjak drastis, melainkan juga molekul-molekul peptida kecil dan neurotransmiter seperti metaneprin, normetaneprin, neuropeptida Y, dan peptida natriuretik turut melonjak secara drastis.

Akumulasi produksi faktor kimiawi yang terjadi di saat amigdala menerima data yang “,menyakitkan” serta “gagal” meregulasi emosi negatif, akan menyebabkan efek kardiak berupa fibrilasi sesaat yang diikuti dengan “pingsan”nya sejumlah sel-sel otot jantung. Jadi putus cinta, ditolak, ataupun patah hati memang bisa membuat jantung “klenger” atau “semaput” !

Apakah sindroma ini berbahaya? Tergantung kepada seberapa luasnya daerah otot jantung yang “semaput”. Jika daerah yang mengalami kardiomiopati sesaat itu cukup luas, maka bisa saja akibatnya fatal.

Mengingat fungsi utama jantung adalah mensuplai kebutuhan oksigen untuk seluruh sistem tubuh, termasuk otak, maka keadaan jantung “mogok” bekerja ini dapat menimbulkan hipoksia (kekurangan oksigen) di jaringan. Jika kekurangan oksigen ini berlangsung dalam jangka waktu yang cukup lama maka jaringan yang amat bergantung pada asupan oksigen akan tertganggu bahkan rusak permanen.

Tetapi catatan klinis Dr. Ilan Wittstein dan kawan-kawan yang telah dipublikasikan di jurnal New England Journal of Medicine (2005), menunjukkan bahwa kasus-kasus kardiomiopati akibat kejutan psikologis ini biasanya bersifat reversible, alias dapat pulih kembali.

Kondisi jantung pun pada umumnya baik dan tidak disertai dengan kerusakan yang bersifat kronis. Cara membedakan dengan serangan jantung pada umumnya pun relatif mudah. Pada sindroma kardiomiopati Takotsubo tidak ditemukan adanya peningkatan kadar enzim-enzim penanda kerusajan jaringan otot jantung seperti CK dan CK-MB.

Siapa saja yang mungkin mengalami sindroma Takotsubo? Orang-orang yang memiliki tingkat stres harian sudah sangat tinggi, orang-orang yang kinerja otaknya lebih didominasi oleh sirkuit amigdala, dan orang yang memiliki tipologi kepribadian rentan terhadap stres.


Maka syukurilah peristiwa “patah hati”, cari hikmahnya dan jangan terlalu disesali. Sebab “patah hati” pasti adalah karunia Allah yang belum kita sadari maknanya. Jika disesali maka QS. Ibrahim ayat 7 akan berlaku, dimana nikmat jika disesali akan berubah menjadi azab. Nah, salah satu manifestasi azab itu mungkin sindroma jantung “klenger” yang dinamai Takotsubo!

Referensi:
Wittstein, I. S., Thiemann, D. R., Lima, J. A. C., Baughman, K. L., Schulman, S. P., Gerstenblith, G., Wu, K. C., Rade, J. J., Bivalacqua, T. J., Champion, H. C. (2005). Neurohumoral features of myocardial stunning due to sudden emotional stress. New England Journal of Medicine, 352 (6), 539-548.

Sumber gambar:
https://mysendoff.com/2011/05/dying-of-a-broken-heart/

Kamis, 14 September 2017

Joyful Learning: Bagaimana Mindfulness Diterapkan di Sistem Pendidikan Finlandia


Oleh Duddy Fachrudin

Bermain sebanyak 206 pertandingan dan mencetak 129 gol di berbagai kompetisi dalam rentang 1992-1999 menjadikan Jari Litmanen seorang legend di Ajax Amsterdam. Mengenakan nomor punggung 10, Litmanen berhasil menjalankan perannya sebagai fantasia atau playmaker dengan sangat baik. Bersama para pemain hebat lainnya seperti Marc Overmars, Edgar Davids, Edwin van Der Sar, Clarence Seedorf, De Boer bersaudara, Danny Blind, dan Patrick Kluivert, Litmanen membawa Ajax dua kali ke final Liga Champions. Ajax berhasil mengalahkan AC Milan di tahun 1995, namun satu tahun berikutnya kalah adu penalti melawan Juventus. Meskipun kalah, pada tahun 1996, Jari Litmanen menjadi top skor Liga Champions dengan torehan 9 gol. Pada ajang Ballon d’Or tahun 1995, Litmanen berada di posisi ketiga dibawah George Weah dan Jurgen Klinsmann.

Jari Litmanen bukan berasal dari Brasil atau Argentina yang terkenal menghasilkan pemain-pemain top dunia. Pemain yang pernah membela Barcelona dan Liverpool itu berasal dari sebuah negara Eropa Timur bernama Suomi atau Finlandia.       

Finlandia, sebuah negara yang memiliki luas wilayah 1/6 dari luas Indonesia, namun jumlah penduduknya ½ dari total penduduk Jakarta itu mulai saya kenal karena melihat aksi Jari Litmanen di pertengahan tahun 1990. Mendengar Finlandia terasa asing bagi saya yang saat itu masih seorang anak Sekolah Dasar (SD). Jika mendengar Finlandia yang terbayang hanya seorang Jari Litmanen.

Namun saat ini, mendengar Finlandia bukan hanya teringat Litmanen. Mendengar Finlandia langsung terasosiasi akan sistem pendidikannya. Hal ini tidak terlepas dari pencapaian Negeri Tanpa Malam di Programme for International Student Assesment (PISA). Pada empat edisi PISA (2000, 2003, 2006, 2009), anak-anak Finlandia menduduki peringkat mengagumkan di bidang Sains, Membaca, dan Matematika. Sementara pada edisi 2012 dan 2015, peringkat Finlandia mulai melorot di bawah negara-negara Asia seperti Singapura, Shanghai China, Hongkong, dan Jepang.  

Turunnya pencapaian tersebut bukan berarti kita tidak perlu belajar dari sistem pendidikan Finlandia. Justru kita perlu mengambil pelajaran dari apa yang sudah dilakukan oleh para pakar pendidikan di negara itu. Hal ini juga yang sedikit saya bahas ketika mengisi training untuk seluruh Guru Bimbingan Konseling SMA/SMK Kota Yogyakarta.

Sistem pendidikan di Finlandia tidak hanya (bahkan mungkin benar-benar tidak) menekankan pada pencapaian. Proses belajar dan mengajar dibuat dengan mengutamakan kebahagiaan. Intinya belajar dan mengajar itu harus menyenangkan, tidak ada beban, dan membuat ketagihan.


Dalam buku “Teach Like Finland”, Timothy D. Walker, seorang guru SD di Finlandia merangkum 33 strategi sederhana yang diterapkan oleh guru dan siswa selama program belajar mengajar. Dari 33 strategi tersebut, terdapat strategi-strategi yang sangat berkaitan dengan mindfulness. Satu strategi dibahas Tim di awal bab bukunya, yaitu pentingnya mengistirahatkan pikiran. Oleh karenanya, setelah belajar 1 jam pelajaran (45 menit), para siswa beristirahat selama 15 menit. Dengan pola 45 dan 15 ini, mereka tetap dapat menjaga fokus saat belajar.

Strategi ini mirip dengan teknik Pomodoro yang dikembangkan oleh Franscesco Cirillo. Pada teknik Pomodoro, kita mengerjakan tugas selama 25 menit lalu beristirahat selama 3-5 menit. Pola tersebut dilakukan hingga tugas selesai dikerjakan. Setelah tugas tuntas, kita beristirahat 15-30 menit, lalu mengerjakan tugas berikutnya.  

Perlunya jeda selama belajar atau mengerjakan tugas tertentu adalah agar otak kita tidak terbebani dan menjadi stres. Jeda atau istirahat merupakan momen melepas lelah. Jeda pula saat-saat meletakkan atau mengendapkan apa yang telah dipelajari atau yang sudah dikerjakan. Kita dapat melakukan hal-hal ringan selama istirahat atau jeda seperti membuat kopi, mendengarkan musik, hingga bermeditasi. Bagi anak-anak Finlandia, 15 menit jeda merupakan saat-saat untuk tertawa, melompat-lompat, termasuk berimajinasi.  

Selain strategi mengistirahatkan pikiran, setidaknya ada beberapa strategi lain terkait mindfulness yang diterapkan di sekolah-sekolah Finlandia. Strategi tersebut yaitu memberikan sedikit Pekerjaan Rumah (PR) (yang bahkan PR tersebut dapat dikerjakan hanya selama 30 menit), menyederhanakan ruang kelas, menjaga ketenangan dan kedamaian kelas, menghirup udara segar, bermain di alam liar (lingkungan yang masih benar-benar alami), dan finding flow dengan cara menikmati proses, atau tidak berorientasi pada hasil akhir serta mengaitkan satu ilmu dengan ilmu lainnya. Strategi yang terakhir ini dapat membawa siswa-siswa Finlandia pada holistic atau integrated education yang menghasilkan integrated intelligence yang akan saya bahas lain waktu.

Sebagai penutup tulisan ini, kita perlu merenungi kembali makna “less is more”. Sebuah idiom yang erat dengan mindfulness. Dan Finlandia menerapkannya pada waktu belajar sekolah yang hanya 5 jam saja.
Referensi:
Walker, T. D. (2017). Teach like Finland: 33 strategi sederhana untuk kelas yang menyenangkan(Wicakso, F., terj). Jakarta: Grasindo (Karya asli terbit tahun 2017)

Sumber gambar:
https://finland.fi/life-society/american-teacher-gets-lost-found-finland/

Selasa, 23 Mei 2017

Melihat ke dalam Kebahagiaan [Bahagia itu Proses]


Oleh Kadek Widya Gunawan




Pembicaraan tentang kebahagiaan telah di mulai sejak begitu lama, kembali ke zaman Yunani kuno, dimulai oleh seorang filsuf ternama, yaitu Aristoteles, murid dari Plato dan guru dari “The Great Alexander.”

Pembicaraan awal tentang kebahagiaan oleh Aristoteles menyebutkan bahwa kebahagiaan terdiri dari 2 (dua) aspek yaitu hedonia dan eudaimonia.

Kedua aspek tersebut dalam psikologi kontemporel lebih dikenal sebagai pleasure atau kepuasan dan meaning atau makna.

Jadi mudahnya, hedonia adalah aspek kebahagiaan terkait dengan kepuasan, dan kepuasan bisa didapat melalui sesuatu di luar diri manusia seperti benda-benda material, hiburan, jabatan, karier, status sosial, dan sebagainya.

Sedangkan eudaimonia adalah aspek kebahagiaan terkait dengan pandangan tentang kehidupan yang bermakna serta bagaimana menjalani hidup dengan baik.

Aspek eudaimonia juga terkait dengan menggali kebahagiaan yang ada di dalam diri manusia melalui kegiatan kerohanian, spiritual, ataupun berbagai kegiatan sosial dengan tujuan membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik.

Mungkin, dari hal yang dikemukakan oleh Aristoteles tentang hedonia dan eudaimonia, akan muncul pertanyaan seperti, “Diantara hedonia dan eudaimonia, jika ingin bahagia, maka sebaiknya kita memilih aspek yang mana?”

Pertanyaan tersebut pun pernah muncul di benak Daniel Kahneman, seorang psikolog yang menerima pengghargaan nobel di bidang ekonomi. Kahneman berusaha mengivestigasi hedonia dan eudaimonia dalam studinya tentang objective happiness (1999).

Hasil dari studi yang dilakukan oleh Kahneman (1999) menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang mencolok pada konsep kebahagiaan baik itu dilihat dari aspek kepuasan (hedonia) ataupun makna dalam hidup (eudaimonia).

Kedua aspek tersebut ditemukan konsisten pada orang yang bahagia. Dengan kata lain seseorang akan bahagia jika mampu memaknai setiap hal yang dicapainya dalam hidup, entah itu karier, status sosial, ataupun tujuan lain yang ingin dicapai dalam kehidupan.

Lalu, beralih ke periode perkembangan selanjutnya dari pembahasan tentang kebahagiaan yaitu ketika aliran psikologi positif mulai berkembang dengan pesat.

Konstribusi psikologi positif dalam kajian tentang kebahagiaan adalah memunculkan sudut pandang modern tentang kebahagiaan dengan menambahkan aspek ketiga, yaitu engagement.

Engagement dalam konteks kebahagiaan bisa diartikan sebagai komitmen dan partisipasi aktif individu dalam menjalani kehidupannya (Seligman et al, 2005).

Konsep engagement ini dalam kajian mindfulness mengarah pada konsep living in the moment (fokus pada hal yang ada/ hal yang dilakukan sekarang dan saat ini-meskipun konsep ini masih dalam perdebatan).

Sedangkan dalam dunia industri dan organisasi konsep engagement berhubungan erat dengan konsep autonomy atau kebebasan yang dimiliki individu dalam mengembangkan diri terkait pekerjaannya.

Saat ini pun, sudah muncul banyak kajian tentang menemukan kebahagiaan melalui mindfulness maupun studi tentang konsep autonomy untuk meningkatkan kebahagiaan di tempat kerja.

Kembali ke pembahasan awal tentang kebahagiaan. Masih tersisa satu pertanyaan mendasar, “Sebenarnya apakah kebahagiaan itu?”

Aristoteles pernah mengungkapkan bahwa kebahagiaan bukanlah suatu kondisi, melainkan kebahagiaan adalah sebuah aktivitas.

Hal ini dipertegas oleh Rubin Khoddam (2015) yang juga menyebutkan bahwa Aristoteles telah memberikan sudut pandang yang krusial tentang definisi kebahagiaan, yaitu untuk bahagia, manusia harus tetap beraktivitas atau dengan kata lain 'berproses'.

Lebih jauh lagi, Khoddam juga menyebutkan bahwa kebahagiaan merupakan kemampuan manusia untuk mampu menerima situasi yang dialami dalam hidupnya, baik itu situasi yang amat tidak biasa sekali pun (situasi depresi atau kesedihan yang sangat mendalam) sebagai bagian alami dari kehidupan.

Berdasarkan hal yang disampaikan oleh Aristoteles maupun Khoddam, maka dapat kita pahami bahwa sejatinya kebahagiaan merupakan suatu tindakan, proses untuk mampu menerima dan menjalani kehidupan apa adanya, yang oleh seorang senior saya di lobimesen.com disebut sebagai suatu keikhlasan dalam menerima segala takdir yang diberikan oleh Yang Maha Pencipta.

# Terinspirasi dari 'Mas Burhan' dalam artikel “Kamu Bahagia?” dari http://www.lobimesen.com/2017/05/kamu-bahagia.html

Referensi:
Kahneman, D. (1999). Objective happiness. Well-Being: The Foundation of Hedonic Psychology. Eds. D. Kahneman, E. Diener, and N. Schwartz. Russell Sage Foundation, 3-25.

Khodam, R. (2015). What’s your definition of happiness? Didapat dari https://www.psychologytoday.com/blog/the-addiction-connection/201506/whats-your-definition-happiness.

Kringelbach, M. L. & Berridge, K. C. (2010). The neuroscience of happiness and pleasure. Social Research, 77(2), 659-678.

Seligman, M. E., et al. (2005). Positive psychology progress: Empirical validation of interventions. American Psychologist, 60(5), 410-21.

Sumber Gambar:
http://womaura.com/where-is-happiness/

Senin, 17 April 2017

Berhentilah Mencari! [Cara Memaknai Hidup]


Oleh Kadek Widya Gunawan

Pencarian makna dalam kehidupan merupakan hal yang diperlukan untuk mampu melewati rintangan dalam hidup yang kita jalani.

Namun, terkadang kemampuan kita untuk mencari makna dalam kehidupan dapat berakibat buruk bagi diri. Pencarian makna dalam kehidupan sama halnya dengan pedang bermata dua.

Penelitian dari Whitson dan Galinsky (2008) menunjukkan bahwa pencarian makna kehidupan merupakan salah satu faktor menyebab dari adanya kecenderungan untuk menerima atau mempercayai pemikiran konspirasional.

Selain itu Graeupner dan Coman (2016) dalam penelitiannya tentang hubugan antara sosial-ekonomi dengan penerimaan terhadap pemikiran konspirasional menunjukkan bahwa golongan dengan status sosial-ekonomi redah cenderung lebih menerima pemikiran konspirational (mereka lebih cenderung menjadi anggota konspirasi), dan hal ini dimediasi oleh pencarian akan makna kehidupan.

Mungkin bisa dibilang contoh nyata dari hal ini adalah pelaku bom bunuh diri di Indonesia yang sebagian besar berasal dari golongan menengah kebawah.

Hal-hal seperti itu terjadi ketika kita hanya berfokus pada pencarian makna kehidupan. Namun, tren yang berkembang saat ini, khususnya bagi generasi Y (generasi yang lahir tahun 1981-1994) tidak hanya sebatas mencari makna hidup, melainkan lebih kepada membuat makna dalam hidup.

Saya rasa dengan membuat makna, bukan hanya mencarinya, kita bisa terhindar dari kecenderungan untuk mendukung pemikiran konpirational.




Pertanyaan besarnya adalah “Bagaimana cara kita membuat makna dalam hidup?”

Menurut Mark Manson (2017) dalam artikelnya di Business Insider, cara untuk menciptakan makna hidup bagi individu adalah dengan menyelesaikan permasalahan.

Semakin besar permasalahan, maka semakin besar makna yang akan diperoleh individu dalam menyelesaikannya.

Semakin banyak usaha yang diberikan dalam pemecahan suatu permasalahan, maka semakin dalam makna yang akan dirasakan individu.

Dalam hal ini, memecahkan suatu permasalahan yang dimaksud oleh Mark Manson adalah menemukan cara agar dunia menjadi tempat yang lebih baik.

Bisa dimulai dari menyelesaikan hal yang sederhana, seperti membantu ibu untuk membersihkan rumah ataupun dengan melakukan hal yang sangat kompleks seperti membuktikan kebenaran teori fisika kuantum.

Yang terpenting disini adalah tidak pilih-pilih. Mungkin kita pernah merasa bahwa tak ada makna dalam apapun yang kita kerjakan kecuali kita sudah tahu bahwa hal yang kita lakukan dapat menyelamatkan dunia dari kehancuran.

Nyatanya pikiran semacam ini hanyalah distraksi, sebenarnya ada ribuan permasalahan kecil di sekitar kita dan semua masalah itu menunggu perhatian kita. Jadi, coba selesaikanlah!

Senada dengan Mark Manson, Brian Whetten (2016) melalui artikelnya di Huffington Post, telah terlebih dulu mengungkapkan bahwa makna kehidupan bisa kita peroleh dengan memberikan nilai tambah dalam kehidupan orang lain. Baik itu menyelesaikan permasalahan kecil ataupun memberikan pertolongan bagi sesama.

Yang terpenting adalah kita mampu membuat perbedaan dalam kehidupan orang lain, dan tentunya perbedaan itu harus bersifat positif.

Baik Mark Manson maupun Brian Whetten mengajarkan kita tentang satu hal, yaitu makna hidup bukanlah sesuatu yang harus kita temukan.

Melainkan makna hidup memerlukan tindakan, makna ada dalam perbuatan yang kita lakukan. Bahkan dalam berbuatan yang paling sederhana sekali pun seperti memposting cerita inspiratif di social media. Jadi, berhentilah mencari dan mulailah perbuatan baikmu hari ini!

Referensi:
Graeupner, D. & Coman, A. (2016). The dark side of meaning-making: how social exclusion leads to superstitious thinking. Journal of Experimental Social Psychology, xxx–xxx.

Manson, M. (2017). How to create meaning when you feel like your life lacking it. Business Insider, March 13.

Whetten, B. (2016). The meaning of life. Huffington Post, May 31.

Whitson, J. A., & Galinsky, A. D. (2008). Lacking control increases illusory pattern perception. Science, 322, 115–117.

Sumber gambar:
http://7-themes.com/data_images/out/75/7028475-sometimes-stop-and-look.jpg