Kamis, 14 September 2017

Joyful Learning: Bagaimana Mindfulness Diterapkan di Sistem Pendidikan Finlandia


Oleh Duddy Fachrudin

Bermain sebanyak 206 pertandingan dan mencetak 129 gol di berbagai kompetisi dalam rentang 1992-1999 menjadikan Jari Litmanen seorang legend di Ajax Amsterdam. Mengenakan nomor punggung 10, Litmanen berhasil menjalankan perannya sebagai fantasia atau playmaker dengan sangat baik. Bersama para pemain hebat lainnya seperti Marc Overmars, Edgar Davids, Edwin van Der Sar, Clarence Seedorf, De Boer bersaudara, Danny Blind, dan Patrick Kluivert, Litmanen membawa Ajax dua kali ke final Liga Champions. Ajax berhasil mengalahkan AC Milan di tahun 1995, namun satu tahun berikutnya kalah adu penalti melawan Juventus. Meskipun kalah, pada tahun 1996, Jari Litmanen menjadi top skor Liga Champions dengan torehan 9 gol. Pada ajang Ballon d’Or tahun 1995, Litmanen berada di posisi ketiga dibawah George Weah dan Jurgen Klinsmann.

Jari Litmanen bukan berasal dari Brasil atau Argentina yang terkenal menghasilkan pemain-pemain top dunia. Pemain yang pernah membela Barcelona dan Liverpool itu berasal dari sebuah negara Eropa Timur bernama Suomi atau Finlandia.       

Finlandia, sebuah negara yang memiliki luas wilayah 1/6 dari luas Indonesia, namun jumlah penduduknya ½ dari total penduduk Jakarta itu mulai saya kenal karena melihat aksi Jari Litmanen di pertengahan tahun 1990. Mendengar Finlandia terasa asing bagi saya yang saat itu masih seorang anak Sekolah Dasar (SD). Jika mendengar Finlandia yang terbayang hanya seorang Jari Litmanen.

Namun saat ini, mendengar Finlandia bukan hanya teringat Litmanen. Mendengar Finlandia langsung terasosiasi akan sistem pendidikannya. Hal ini tidak terlepas dari pencapaian Negeri Tanpa Malam di Programme for International Student Assesment (PISA). Pada empat edisi PISA (2000, 2003, 2006, 2009), anak-anak Finlandia menduduki peringkat mengagumkan di bidang Sains, Membaca, dan Matematika. Sementara pada edisi 2012 dan 2015, peringkat Finlandia mulai melorot di bawah negara-negara Asia seperti Singapura, Shanghai China, Hongkong, dan Jepang.  

Turunnya pencapaian tersebut bukan berarti kita tidak perlu belajar dari sistem pendidikan Finlandia. Justru kita perlu mengambil pelajaran dari apa yang sudah dilakukan oleh para pakar pendidikan di negara itu. Hal ini juga yang sedikit saya bahas ketika mengisi training untuk seluruh Guru Bimbingan Konseling SMA/SMK Kota Yogyakarta.

Sistem pendidikan di Finlandia tidak hanya (bahkan mungkin benar-benar tidak) menekankan pada pencapaian. Proses belajar dan mengajar dibuat dengan mengutamakan kebahagiaan. Intinya belajar dan mengajar itu harus menyenangkan, tidak ada beban, dan membuat ketagihan.


Dalam buku “Teach Like Finland”, Timothy D. Walker, seorang guru SD di Finlandia merangkum 33 strategi sederhana yang diterapkan oleh guru dan siswa selama program belajar mengajar. Dari 33 strategi tersebut, terdapat strategi-strategi yang sangat berkaitan dengan mindfulness. Satu strategi dibahas Tim di awal bab bukunya, yaitu pentingnya mengistirahatkan pikiran. Oleh karenanya, setelah belajar 1 jam pelajaran (45 menit), para siswa beristirahat selama 15 menit. Dengan pola 45 dan 15 ini, mereka tetap dapat menjaga fokus saat belajar.

Strategi ini mirip dengan teknik Pomodoro yang dikembangkan oleh Franscesco Cirillo. Pada teknik Pomodoro, kita mengerjakan tugas selama 25 menit lalu beristirahat selama 3-5 menit. Pola tersebut dilakukan hingga tugas selesai dikerjakan. Setelah tugas tuntas, kita beristirahat 15-30 menit, lalu mengerjakan tugas berikutnya.  

Perlunya jeda selama belajar atau mengerjakan tugas tertentu adalah agar otak kita tidak terbebani dan menjadi stres. Jeda atau istirahat merupakan momen melepas lelah. Jeda pula saat-saat meletakkan atau mengendapkan apa yang telah dipelajari atau yang sudah dikerjakan. Kita dapat melakukan hal-hal ringan selama istirahat atau jeda seperti membuat kopi, mendengarkan musik, hingga bermeditasi. Bagi anak-anak Finlandia, 15 menit jeda merupakan saat-saat untuk tertawa, melompat-lompat, termasuk berimajinasi.  

Selain strategi mengistirahatkan pikiran, setidaknya ada beberapa strategi lain terkait mindfulness yang diterapkan di sekolah-sekolah Finlandia. Strategi tersebut yaitu memberikan sedikit Pekerjaan Rumah (PR) (yang bahkan PR tersebut dapat dikerjakan hanya selama 30 menit), menyederhanakan ruang kelas, menjaga ketenangan dan kedamaian kelas, menghirup udara segar, bermain di alam liar (lingkungan yang masih benar-benar alami), dan finding flow dengan cara menikmati proses, atau tidak berorientasi pada hasil akhir serta mengaitkan satu ilmu dengan ilmu lainnya. Strategi yang terakhir ini dapat membawa siswa-siswa Finlandia pada holistic atau integrated education yang menghasilkan integrated intelligence yang akan saya bahas lain waktu.

Sebagai penutup tulisan ini, kita perlu merenungi kembali makna “less is more”. Sebuah idiom yang erat dengan mindfulness. Dan Finlandia menerapkannya pada waktu belajar sekolah yang hanya 5 jam saja.
Referensi:
Walker, T. D. (2017). Teach like Finland: 33 strategi sederhana untuk kelas yang menyenangkan(Wicakso, F., terj). Jakarta: Grasindo (Karya asli terbit tahun 2017)

Sumber gambar:
https://finland.fi/life-society/american-teacher-gets-lost-found-finland/
Share:

2 komentar:

  1. Bener banget Kang. Learning is fun, so let's have fun ;-)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Fun learning with mindful learning. Bang Widya Gunawan ditunggu tulisan berikutnya :)

      Hapus