Tampilkan postingan dengan label Tauhid Nur Azhar. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tauhid Nur Azhar. Tampilkan semua postingan

Kamis, 01 Oktober 2020

Belajar Mengajar dan Health Promoting University




Oleh Duddy Fachrudin 

Dua hari itu di sudut Bandung nan dingin, kami--saya dan senior saya dan juga psikolog di salah satu fakultas di UGM, Mba Dina Wahida--bersua sekaligus ngobrol-ngobrol sedikit tentang Health Promoting University (HPU). 

Kebijakan mempromosikan kesehatan dalam ruang lingkup sivitas akademika merupakan suatu upaya yang tepat di kala individu menghadapi ragam varian stressor dan juga potensi penyakit yang dapat menghambat tujuan pendidikan.

Ini bukan hanya soal kampus bebas rokok, penyediaan fasilitas olahraga, dan menciptakan ekosistem hijau yang sehat, melainkan juga mengembangkan kebiasaan hidup sehat. Selain itu, menempatkan psikolog di fakultas atau universitas juga menjadi hal yang esensial untuk meningkatkan kualitas kesehatan mental. 

Sembari diskusi, pikiran saya melayang jauh ke masa lalu, melintasi waktu. Teringat pada sosok yang secara tidak langsung ikut mempromosikan kesehatan di sela-sela aktivitas belajar mengajar...

###

“Bukan tujuanlah esensi dari sebuah perjalanan, melainkan ‘berlayar’ dan ‘berpetualang’-lah nilai terpenting dari kehidupan.” (Tauhid Nur Azhar)

Apa yang Anda pikirkan ketika melihat seorang dosen masuk ke dalam kelas mengajar tanpa membawa buku teks, malah membawa komik, memakai jins belel, dan kemeja yang tampak lusuh. 

Mungkin sebagian dari Anda akan mempertanyakan kualitas keilmuannya, atau Anda kemudian berkata, “Kok ada ya dosen seperti ini?”

Pada kenyataannya memang ada dosen seperti itu, salah satunya Tauhid Nur Azhar atau Kang Tauhid—biasa kami memanggilnya. 

Beliau mengajar mata kuliah Biopsikologi dan Psikologi Faal pada semester satu dan dua. 

Aneh bin ajaibnya kami sekelas begitu nyaman dengan Kang Tauhid, bukan hanya karena penampilannya yang berbeda daripada dosen-dosen yang lain, namun pembawaannya yang lembut, dan cara mengajar yang menyenangkan. Kehadirannya pun ditunggu-tunggu oleh para mahasiswanya.

Kang Tauhid tentu memiliki alasan mengapa beliau berpenampilan tidak seperti dosen pada umumnya. Bukankah membawa komik ke kampus, memakai jins belel, dan kemeja lusuh adalah cerminan seorang mahasiswa pada umumnya? 

Kang Tauhid memposisikan dirinya sebagai seorang mahasiswa. Maka tentu saja tidak ada sekat antara seorang mahasiswa dengan mahasiswa yang lainnya. 

Karena penampilannya tersebut, Kang Tauhid bahkan pernah dianggap seorang mahasiswa senior yang sedang mengulang mata kuliah oleh mahasiswanya.

Satu hal lagi mengapa kami mehasiswanya begitu nyaman saat diajar oleh Kang Tauhid adalah beliau tidak menekankan hasil dalam bentuk angka, namun esensi kuliah atau belajar adalah menikmati prosesnya. “Bukan tujuanlah esensi dari sebuah perjalanan, melainkan ‘berlayar’ dan ‘berpetualang’-lah nilai terpenting dari kehidupan,” begitu kata beliau.

Sehingga saat berlayar, atau bertualang, kita akan menemukan berbagai hal yang tak terduga. Kita takjub dan terperangah saat memandang keindahan lautan. Pada kesempatan yang lain mungkin kita terdampar di sebuah pulau tak bertuan. Dan dengan segala upaya, ikhtiar, dan do’a kita berjuang menaklukan badai lautan, hingga pada saatnya kapal yang kita nahkodai bermuara pada pelabuhan bernama kebersyukuran. 

### 

Maka pleasure experience itu seyogyanya hadir tidak hanya ketika menikmati es krim, tapi juga belajar. Ketika proses belajar dan mengajar adalah kebahagiaan, setiap tekanan yang menimbulkan stres berlebihan dan menggerus keseimbangan dapat terkelola dengan baik. 

Pada akhirnya, strategi ini dapat berperan sebagai meningkatkan kualitas kesehatan mental as part of kesehatan holistik bagi seluruh sivitas akademika di lingkungan universitas. 

Sumber gambar: 

Senin, 21 September 2020

Kebahagiaan yang Tidak Disangka-sangka




Oleh Duddy Fachrudin & Tauhid Nur Azhar

Kadang kita bingung, takut dan khawatir dalam mengambil keputusan mengenai hidup kita, karena keputusan tersebut bukan hanya berhubungan dengan diri sendiri tapi juga orang-orang terdekat. 

Atau keputusan hidup kita bertentangan dengan harapan yang dimiliki orang tua dan keluarga terhadap kita. Misalnya saja seorang perempuan yang ingin menikah dengan laki-laki pujaannya, namun ternyata orang tuanya meminta agar ia mencari laki-laki yang lebih sederajat dengan keluarganya. 

Atau seorang siswa SMA telah memilih jurusan yang ia ambil di Perguruan Tinggi, namun ayahnya menghendakinya menjadi dokter karena ayahnya seorang dokter.

Saya beberapa kali menjumpai permasalahan tersebut pada klien-klien yang datang pada saya. Mereka terlihat bingung apa yang harus dilakukannya. Karena suatu keputusan, mereka dapat mengecewakan orang terdekatnya atau justru mengecewakan dirinya sendiri. 

Pada kondisi seperti ini, sebelum mengambil keputusan kita perlu melihat segalanya secara ekologis. Tentu saja kita juga perlu meminta bantuan Tuhan lewat do’a maupun shalat istikharah agar diberikan yang terbaik. 

Dan keputusan dibuat dengan menggunakan nalar secara dengan sadar, bukan emosi sesaat.

Kang Tauhid, seorang dosen, guru, dan sahabat kehidupan menceritakan bahwa ia juga pernah mengalami konflik antara mengikuti keinginannya atau mewujudkan harapan orang tuanya. Dalam sebuah pengantar di buku saya beliau menulis:

“Saya mengambil program penerimaan mahasiswa berdasar potensi bakat di IPB, dan diterima bukan karena berminat melainkan lebih karena “malas” mengikuti seleksi perguruan tinggi negeri. 

Seluruh keluarga tidak setuju dengan apa yang saya mau, lalu saya masuk Fakultas Kedokteran Negeri. 

Lucunya saya tidak jadi dokter yang berpraktek sesuai disiplin ilmu. 

Modal kedokteran justru dipakai di pengajian. Saya masuk S-2 berlatar bioteknologi dan ilmunya saya pakai menulis buku. 

Saya mendapat beasiswa Bank Dunia untuk program S-3 di bidang Imunologi dan berakhir sebagai bahan ajar di Fakultas Psikologi!”

Kang Tauhid memang tidak berpraktek sebagai dokter dengan jubah putihnya, namun orang-orang memanggilnya dokter karena beliau banyak memberi, berbagi, dan melayani layaknya dokter. 

Bahkan beliau bukan hanya dokter dalam disiplin ilmu kesehatan medis, tapi juga dokter dalam berbagai bidang, mulai dari farmasi, biologi, psikologi, pendidikan anak, parenting, transportasi, kulinari, sejarah peradaban, geografi, spiritual, sampai ICT (Information and Communication Technology) hingga kecerdasan artifisial.

Bagi kebanyakan orang, menempuh studi kedokteran namun tidak berpraktek menjadi dokter sangat disayangkan. 

Kang Tauhid pun bercerita kembali:

“Sebagai bajak laut tua, saya akui sextan dan peta laut saya salah semua. Saya kandas di pulau-pulau yang tak jelas. 

Tapi Subhanallah... pulau-pulau tempat saya karam itu indah semua! 

Jadi rupanya sistem navigasi bajak laut itu memang sangat rahasia. Meski kita menggunakan peta, selalu saja kita akan tiba di tujuan yang berbeda. 

Itulah indahnya hidup yang direncanakan Allah, “Grand Line”-nya nggak ketebak! Sehingga setiap hari kita akan selalu tersenyum, kejutan demi kejutan manis akan senantiasa datang menghampiri.”

Bagi Kang Tauhid, setelah kita mengambil keputusan—apapun itu, kita harus menjalaninya dengan tanpa penyesalan, ikhlas, sabar, dan tentu perlu disyukuri. Lalu menjalani keputusan itu dengan hati yang riang gembira dan penuh cinta sambil berserah diri kepada Yang Maha Pembuat Rencana. 

Saat itulah kita akan selalu menemui kebahagiaan yang tidak disangka-sangka.

Sumber gambar:

Rabu, 15 April 2020

Saat Bala Melahirkan Waskita (Bagian 2, Habis)



Oleh Tauhid Nur Azhar 

Kecerdasan kognitif terkanalisasi dalam saluran berprioritas tinggi untuk memodulasi, bahkan memanipulasi berbagai potensi untuk mempertahankan eksistensi. 

Kebijakan didominasi upaya terkonstruksi mempertahankan eksistensi, bahkan melalui cara-cara yang bersifat agresi, ekspansi, okupasi, dan terkadang semua itu disertai sifat destruksi. 

Angkara yang bersimaharaja, berkelindan dengan banjir neurotransmiter pengeksitasi dan melahirkan ketrampilan berseni tinggi dalam proses mengeksploitasi berbagai hal yang semestinya dimaknai sebagai potensi untuk berbagi. 

Domain qualia atau roso yang sebenarnya merupakan representasi akumulasi kecerdasan dalam modul intelijensia qolbiyah, kini menyusut kisut, terpojok ke sudut, tergantikan oleh pusaran vorteks kusut yang berasal dari olah pikir yang kalut. 

Ketidakseimbangan stream konektomik antar wilayah pengambilan keputusan strategik, mengakibatkan lahirnya turbulensi sistemik. PFC dan Insula sulit berkolaborasi dengan area Basal Ganglia. 

Hipokampal area teralienasi dalam kepungan arus deras kecemasan yang membanjir deras, dari hulu Batang Otak yang telah tererosi dan daya dukung rasionalnya terdegradasi. 

Konflik keluarga sesama trah prosensefalon yang rukun sejak embrional kini meruncing. Telensefalon tak lagi bertegur sapa dengan diensefalon. Neokorteks dan PFC tak lagi hangat bercerita dengan thalamus dan hipokampus. 

Apalagi jika bicara di tingkat wangsa keturunan tuba neuralis: prosensefalon, mesensefalon, dan rhombencephalon yang telah berdiferensiasi dan mengalami spesifikasi fungsi meski sudah semestinya terus menyambung silaturahmi dan membina komunikasi karena toh bersama menjalankan banyak fungsi. 

Grup WA keluarga menjadi panas, banyak kasus unfriend dan unfollow di berbagai media di mana bagian-bagian fungsional otak semestinya saling berinteraksi untuk membangun sinergi. 

Maka tak heran jika jonggring salaka bernama qualia terdampak panasnya olakan kawah Chandradimuka yang meletupkan nafsu membara dari dasar dapur magma naluri manusia. 

Dan kini di saat langit mendadak sepi dan riuh rendah jalanan tak lagi bersahutan. Ada bisikan halus yang perlahan terdengar semakin keras. Bahkan semakin lama semakin tegas. Mungkin agar selain mulai berpikir cerdas, juga harus bertindak gegas, sekaligus belajar bersikap ikhlas. 

Pageblug meredam nafsu kemayu untuk tampil oke selalu, ia menggantikan itu dengan panggilan cumbu rayu untuk bersatu dan melangkah secara padu. 

Kearifan dan welas asih kembali mendapat pentas yang pantas untuk tak sekedar menyintas, tapi juga menjadi bagian dari solusi tuntas. 

Mari kita lihat bagaimana kini manusia lebih peduli pada saudara dibanding pada dirinya sendiri. Empati lahir dalam bentuk partisipasi untuk saling mensubstitusi dan melengkapi apa yang kini banyak tak lagi dimiliki. 

Kolaborasi hadir nyaris tanpa koordinasi karena yang berbicara adalah frekuensi hati. OFC, PFC, ACC, dan Insula tak lagi menjadi sekedar kuda penghela, melainkan ber tiwikrama menjadi maruta (angin) yang memutar kincir peniup akasa (langit) yang menjadi media lahirnya dahana (api). 

Daya guna bertenaga untuk mengubah petaka menjadi penyubur banthala (bumi) dengan berpandu kerlip kartika (bintang) ilmu yang menjadi navigasi dalam proses mencari jati diri. 

Maka pageblug ini adalah medan kurusetra dimana angkara akan berguguran disapu sifat Asta Brata yang merepresentasi jiwa ksatria dalam setiap dimensi spiritual manusia. 

Lihatlah ksatria-ksatria muda dari berbagai tlatah bangsa, kini menyatu bersama, mengikhlaskan diri dalam jalan dharma bagi kepentingan ummat manusia. 

Inilah mungkin makna qualia semesta yang datang bersama bala yang seolah merenggut rasa aman maya, dan menghempaskan kita ke dasar nalar tak berkadar. 

Dan di saat terkapar, terlihatlah kerlip berpendar di tubir sadar... selalu ada jalan keluar, jika ada kekuatan untuk bersandar. 

La haula wala quwwata illa billahil aliyil adzim,  lafadz hauqalah yang menisbatkan bahwa kita semua tak bisa terlepas dari kuasa dan ketentuan Allah.

Sumber gambar:

Senin, 09 Maret 2020

Amartya... Percik Sadar di Pusar Syahwat yang Berkelindan dengan Hasrat (Bagian 3, Habis)


Oleh Tauhid Nur Azhar

Karena mengalir itu mengikuti tanpa hilang kendali. Merasakan dan mensyukuri tanpa terbenam di dalamnya. Mengapung dan menghiliri kehidupan. Karena menghulu di ruang waktu adalah keyakinan semu.

Kita semua maju untuk bertemu dengan titik terdahulu. 

Kita berputar dan mengalir. Kita terhempas di banyak batu. Kita kadang terdampar diserap debu. 

Tapi bahagia itu tak pernah kering karena selalu akan ada cinta di setiap titik temu. Dan cinta itu temu, juga titik. Karena mencintai itu proyeksi, juga refleksi, dan iluminensi. Datang dari sumber kita, membersamai kita, dan membentuk bayang-bayang semu yang termaktub dalam harap dan rindu. 

Maka sumber cinta pastilah Cahaya. Dan kita adalah penghalang yang ada dan membuat bayang. 

Maka cinta kadang kelam, juga gelap bahkan pekat karena menjadi tanda bahwa adanya kita adalah niscaya. Dan niscaya adalah kunci percaya bahwa bayang yang membumi dan menubuh dalam eskalasi materi adalah bukti bahwa selalu ada Cahaya yang bukan sekedar hipotesa. 

Kita adalah makhluk tanah yang menerima Cahaya agar berada dan membayang dalam kelana cinta yang menubuh dalam sosok rubuh yang tak runtuh melainkan utuh saat bersetubuh dengan materi yang meluruh.

Maka maafkanlah saya yang malam ini tersandar lemas karena pesona Amartya... karena sejam bersamamu benar-benar telah menguras segenap tirta kamanungsan yang mengkristal menjadi roso kamanungsan. 

Mohon izin Mbak Marinta, kristal roso ini mau saya bawa pulang ya... mau saya bawa pas makan bakso, ngaso, atau juga pas cuma bisa melongo.

<<< Halaman Sebelumnya

Sumber gambar:

Amartya... Percik Sadar di Pusar Syahwat yang Berkelindan dengan Hasrat (Bagian 2)


Oleh Tauhid Nur Azhar

Maka kita manusia adalah makhluk yang bahagia sekaligus menderita. Punya cinta sekaligus teraniaya. Tersandera dalam pilihan, terjebak dalam pusar keputusan. Terbudak oleh puser kenikmatan, dan terus berlari dari kenyataan, karena itu amat menyakitkan. 

Maka menjadi ksatria, kata Marinta si anak Matahari, adalah kehendak watak yang setia pada kejernihan hati dan kebeningan pikir. Bening yang hening dan hening yang bening. Boleh kalah tetapi merasa menang, khususnya pada saat yang dihadapi adalah pertempuran mengatasi pemberontakan dalam diri. 

Boleh juga menang dan merasa menang, karena pada hakikatnya manusia akan selalu berada di fase interstitia... makhluk dua dunia yang selalu dapat bermetamorfosa. Makhluk antara 0 dan 1, antara ada dan tiada. 

Lalu mengapa harus mengada? Apalagi mengada-ada? Padahal menjadi "ada" itu punya alasan sempurna. 

Yen tanana sira iku, Ingsun tanana ngarani, mung sira ngarani ing wang, dene tunggal lan sireki iya Ingsun iya sira, aranira aran mami. 

Karena kita adalah lukisan sempurna yang menggambarkan kehadiran-Nya tentu saja. Karena sifat tan keno kinoyo ngopo sudah semestinya terintegrasi ke dalam susunan sel-sel tubuh, darah, dan syaraf dan maujud dalam wadag yang berpikir dan mengonstruksi kesadaran soal takdir dan hadir. 

Maka menyelami kemanusiaan adalah mereguk Tirta Pawitra Mahening Suci yang sumbernya hanya bisa didapatkan jika kita jujur pada diri sendiri. Saat kita dapat melihat dengan jernih sosok "Dewa Ruci", homunculus, yang terproyeksi pada sekumpulan memori dan persepsi tentang siapa "aku" itu. 

"Aku" yang asli tanpa atribut syahwati karena sekedar takut mati dalam kondisi tak berarti. Karena pati jroning urip itu keniscyaan yang membuat hidup kita itu tak ubahnya bak sesosok zombie. Atau vampir penyedot energi hanya demi eksistensi. Menjadi Rara Kenyot yang menyedot segenap daya linuwih semesta hanya agar teraktualisasi selamanya. 

Selamanya yang maya dalam nyata. Semua terjadi karena manusia terpenjara dalam cinta yang terkomoditisasi, lalu melahirkan hasrat untuk dimiliki. Cinta yang tak lagi mengalir mengikuti takdir. Menepati janji pada ruang dan waktu untuk selalu maju dan berlalu. Cinta dan Berada itu mengalir...


Sumber gambar:

Kamis, 13 Desember 2018

Doa Penangkal Belanja (Bagian 2, Habis)


Oleh Tauhid Nur Azhar

Akan tetapi, ketika tangan (kulit) kita menyentuh dan meraba kain tersebut, lengkaplah sudah "berkas-berkas" sensor yang terkumpul di talamus untuk selanjutnya dikirim ke korteks otak.

Gerakan dan sensasi ketika menyentuh direncanakan dan melibatkan beberapa bagian otak sekaligus, mulai dari serebelum, girus singulata (bagian dari striatum) sampai daerah kenyamanan (korteks preorbital dan kawan-kawan). Akumulasi sensasi inilah yang membuat otak tidak kuasa untuk menahan gejolak. 

Amigdala akan bekerja dan mulai mengembangkan emosi negatif berupa ketakutan akan hilangnya kenyamanan jika kita tidak bergegas untuk membeli. Pada saat itulah seorang shopaholic (orang yang gila belanja) akan kehilangan akal sehatnya, dan pada saat diraba-raba pula seorang yang semula berperilaku alim dapat kehilangan kemampuan mengendalikan dirinya.

Oleh karena itu, sangat beralasan apabila Rasulullah Saw. memerintahkan kita untuk berdoa dan memohon perlindungan ketika hendak melakukan aktivitas, termasuk saat hendak berbelanja. Ada doa yang sebaiknya kita baca sebelum masuk ke pusat perbelanjaan, yaitu:

"Bismillâhi Allâhumma inni as aluka min khairi hâdihissûqi wa khairi mâ fîhâ wa a’udzubika min syarri hâdihissûqi wa syarri mâ fîhâ, wa a’udzubika an ashabtu fîhâ yamînan fâjiratun aushafaqatan khâsiratan." (HR Tirmidzi)

Artinya, "Dengan nama Allah. Ya Allah, aku memohon kepada-Mu kebaikan pasar ini dan kebaikan yang terdapat di dalamnya. Aku berlindung kepada-Mu dari keburukan pasar ini dan keburukan yang terdapat di dalamnya. Aku berlindung kepada-Mu dari terkena sumpah palsu dan dari perniagaan yang merugi di sana."

Doa ini bukan sekadar untuk berlindung dari kejahatan pencopet, pencuri, kecurangan, kerugian, atau hal-hal membahayakan lainnya, tetapi juga melindungi kita dari kecenderungan buruk dalam diri, yang apabila tidak dikendalikan bisa menguras isi dompet kita.


Sumber gambar:
https://www.mnn.com/lifestyle/responsible-living/stories/7-signs-you-may-be-addicted-shopping

Doa Penangkal Belanja (Bagian 1)


Oleh Tauhid Nur Azhar

Acapkali ketika kita sedang berjalan-jalan di pusat perbelanjaan seperti pasar, mall, ataupun pusat grosir. Dari semula hanya melihat-lihat dan tidak berniat membeli, setelah lirik sana lirik sini lalu raba-raba, eh keterusan, akhirnya uang di dompet terkuras semua! Begitu juga ketika sepasang kekasih asyik masyuk berpacaran, dari yang semula hanya saling bertukar cerita, bertukar pandang, bergandeng tangan, saling meraba dan menyentuh … eh akhirnya belanja juga!

Hasil penelitian Joan Peck dan Suzanne Tzhu dari University of Wisconsin dan University of California Los Angeles yang diumuat dalam Journal of Consumer Research awal 2009 menunjukkan bahwa menyentuh benda-benda atau obyek yang tengah kita amati akan mendorong kita untuk mengembangkan sikap ingin mengeksploitasi dan memiliki lebih jauh lagi.

Dalam salah satu sesi kuliah psikofisiologi di Fakultas Psikologi Universitas Maranatha, salah satu kelompok mahasiswa yang maju presentasi menampilkan sebuah gambar "homunculus", yaitu sebuah peta virtual yang menggambarkan lokasi dan proporsi sensorik dan motorik di otak dari daerah-daerah (organ) yang dipersarafi.

Tangan misalnya memiliki peta fungsional luas di area motorik, sebuah area di sebelah depan dari girus presentralis. Untuk sensoris, bibir dan lidah memiliki cakupan area sensoris di area sensoris yang terletak di daerah post sentralis. Maka ketika kita menyentuh sesuatu yang sudah kita lihat plus kita juga sudah dengar "kecap" promosi dari penjualnya, "gelombang tsunami" ingin memiliki tak tertahankan lagi.

Dalam konteks aktivasi sirkuit neuronal, menyentuh barang yang akan dibeli adalah rangsangan yang merupakan "penguat" dari serangkaian rangsangan yang masuk melalui jaringan sensoris. Sebagai contoh, ketika kita berada di dalam sebuah toko kain, pandangan kita akan tertumbuk pada sehelai kain yang warna dan tekturnya cocok dengan selera dan kebutuhan kita. Proses visualisasi akan mendominasi jalur talamikus.

Dengan demikian, walaupun si penjual berusaha membujuk dengan kata-kata manis untuk memilih kain lain yang berharga lebih mahal kita akan terus terfokus pada "cinta pertama" kita. Lengkung atau loop weber yang merupakan lokasi terjadinya konjungsi dan interseksi atau "saling menimpa" antara saraf pendengaran dan penglihatan, menjadikan apa yang dilihat akan berpengaruh pada otak lebih kuat.


Sumber gambar:
https://www.mnn.com/lifestyle/responsible-living/stories/7-signs-you-may-be-addicted-shopping

Rabu, 12 Desember 2018

Dunia Masa Depan


Oleh Duddy Fachrudin

Dalam suatu perjalanan cinta Bandung-Sukabumi 6 tahun lalu, Kang Tauhid Nur Azhar memaparkan kepada saya, Kang Emsoe, dan Kang Rizal mengenai berbagai perubahan yang akan terjadi di masa depan.

What’s next in future?

Ketika sebagian besar aktivitas kehidupan manusia digantikan oleh mesin dan dilakukan secara digital. Ketiadaan sentuhan dan interaksi manusia secara langsung semakin minim. Bahkan untuk berkonsultasi ke dokter atau psikolog pun tidak perlu bertatap muka.

What’s next in future?

Selain pertumbuhan penduduk semakin meningkat, angka stres, depresi, dan bunuh diri pun seirama melonjak. Terjadi ketidakseimbangan aktivitas otak pada bagian basal ganglia, korteks prefrontal, dan lobus temporal kiri.

What’s next in future?

Semuanya serba instan, dan teknologi dapat menjadi bumerang bagi manusia sendiri jika kurangnya kesadaran (mindful) dan iman serta kecintaan manusia untuk menebar manfaat di muka bumi ini.

Sumber gambar:
https://www.sciencefocus.com/future-technology/future-technology-22-ideas-about-to-change-our-world/

Selasa, 16 Oktober 2018

Cara Agar Uang Membuat Dirimu dan Semesta Lebih Bahagia


Oleh Tauhid Nur Azhar

Zakat, infak, dan sedekah tidak sekadar melipatgandakan rezeki, menyehatkan jiwa, tetapi juga mampu menyehatkan badan dan mempertajam pikiran.

Kini, hal tersebut sudah dapat dibuktikan secara ilmiah oleh para ilmuwan melalui serangkaian penelitian. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Elisabeth Dunn[1], seorang pakar psikologi dari University of British Columbia, Vancouver, Kanada.

Hasil penelitian yang diterbitkan di jurnal Science, volume 319, edisi Maret 2008 tersebut, menyimpulkan bahwa semakin besar uang yang dibelanjakan orang untuk menolong sesama atau dalam rangka memberi hadiah untuk orang lain, akan menjadikan seseorang lebih bahagia dalam hidupnya. 

Itulah mengapa, Elisabeth Dunn memberi judul tulisannya dengan sangat provokatif, yaitu ”Spending Money on Others Promotes Happiness” atau ”Membelanjakan Uang untuk Orang Lain akan Meningkatkan Kebahagiaan”.

Dalam penelitian tersebut, Dunn dan rekannya meneliti 109 orang mahasiswa. Para mahasiswa tersebut dibagi ke dalam dua kelompok besar. Kelompok pertama diberi kebebasan untuk memilih jumlah uang yang ditawarkan, apakah 20 dolar ataukah 5 dolar. 

Hasilnya sudah bisa ditebak, para mahasiswa memilih yang 20 dolar dan mengatakan bahwa mereka lebih bahagia dengan uang 20 dolar ketimbang hanya 5 dolar. Sebuah hasil yang wajar tentunya. Para mahasiswa itu menambahkan pula bahwa mereka akan membelanjakannya untuk diri sendiri ketimbang untuk orang lain. 

Dunn dan timnya kemudian memberi 46 mahasiswa lain amplop berisi uang 5 dolar atau 20 dolar, akan tetapi mereka tidak diberi kebebasan memilih untuk apa uang tersebut akan dibelanjakan. Para peneliti menyuruh mereka membelanjakan uang itu untuk hal-hal tertentu.

Menariknya, mahasiswa yang mengeluarkan uang untuk amal kemanusiaan atau membeli hadiah untuk orang lain ternyata lebih bahagia dibandingkan mereka yang membelanjakan untuk kepentingan pribadi, seperti melunasi rekening atau bersenang-senang. 

Dengan memberi, mereka mendapatkan kebahagiaan dan kepuasan plus yang tidak didapatkan dari sekadar membelanjakan uang untuk kepentingan sendiri.

Fenomena ini tidak hanya berlaku di kalangan mahasiswa saja. Kelompok penelitian Dunn juga melakukan jajak pendapat pada 16 karyawan di sebuah perusahaan di Boston sebelum dan sesudah mereka mendapatkan bonus dengan beragam besaran. 

Dunn dan rekannya pun mengumpulkan data tentang gaji, pengeluaran, dan tingkat kebahagiaan dari 632 orang di seantero Amerika Serikat. Kesimpulannya sungguh menarik. Dalam kedua kelompok orang tersebut, kebahagiaan ternyata ada hubungannya dengan jumlah uang yang dikeluarkan untuk orang lain daripada jumlah absolut bonus atau gaji.

Itulah mengapa, Jonah Lehler[2] dalam bukunya How We Decided (2009) mengatakan bahwa berlaku dermawan alias altruistik alias itu terasa enak. 

Mengapa demikian? Sesungguhnya, Allah Swt. telah merancang otak manusia sedemikian rupa sehingga yang namanya berbagi, memberi, dan bersikap dermawan itu menyenangkan. Dengan kata lain, bersikap baik kepada orang lain itu akan membuat kita merasa lebih aman dan nyaman daripada kita berlaku kikir.

Referensi:
1. Dunn, EW., Aknin, LB., & Norton, MI. Spending money on others promotes happiness. Science 2008; 319: 1687-1688.
2. Lehrer, J. How We Decide. New York: Houghton Mifflin Harcourt 2009.

Sumber gambar:
https://givingcompass.org/article/how-to-give-money-and-get-happiness-more-easily/

Selasa, 02 Oktober 2018

Mindful Diet: Rahasia Umur Panjang


Oleh Tauhid Nur Azhar

Seorang rekan baru saja berduka ketika neneknya yang berusia 89 tahun meninggal dunia. “Tetap saja sedih rasanya ketika melihat kursi jati tua di rumah nenek tak lagi ada yang mendudukinya, meski usia 89 tentulah relatif panjang bagi manusia,” begitu komentarnya ketika ia mengenang sang nenek tercinta.

Kisah berikutnya adalah ketika saya mengantarkan istri untuk melakukan foto keluarga seorang rekan yang tampaknya keturunan Indo-Belanda. Di beranda depan rumahnya duduk dengan tenang sang Oma yang ternyata telah berusia sangat lanjut, mendekati 90 tahun dan masih sangat bugar. Nenek saya sendiri ketika meninggal dunia berusia 87 tahun.

Apakah rahasia panjang umur mereka?

Sebuah penelitian yang dirilis di Jurnal Nature Genetics menunjukkan bahwa variasi dari gen TERC yang mengatur panjang telomer diduga mempengaruhi panjang usia. Sekurangnya 500 ribu variasi gen diamati untuk mendapatkan pola-pola genetika yang hanya terdapat pada mereka yang berusia relatif lebih panjang. 

Peneliti gabungan dari Belanda dan Inggris akhirnya menemukan pola variasi gen TERC yang diprakirakan membuat seorang manusia memiliki umur biologis lebih panjang 3-4 tahun. 

Nilesh Samani seorang profesor kardiologi dari Leicester University yang terlibat dalam penelitian tersebut menyatakan bahwa panjang telomer terkait dengan derajat resiko penyakit degeneratif seperti penyakit kardiovaskuler dan kanker.

Telomer sendiri adalah bagian yang menyerupai jumbai atau ekor pada struktur kromosom yang akan terus memendek pada saat sel yang bersangkutan membelah diri (replikasi). 

Telomer memiliki urutan atau sekuen khas yang terdiri dari susunan nukleotida sebagai berikut: TTAGG. Fungsi utamanya adalah menjaga stabilitas kromosom saat terjadi proses pembelahan agar materi genetika yang terkandung di dalamnya tidak mengalami kecacatan penyandian. 

Penyakit degeneratif seperti jantung koroner ataupun kanker diketahui memang berawal dari adanya ekspresi protein abnormal yang diduga terkait erat dengan perubahan di tingkat DNA atau kromosomal. 

Dalam keadaan normal, panjang telomer dijaga dan dipertahankan oleh suatu enzim yang disebut telomerase. Gangguan produksi enzim telomerase diduga dapat mengakibatkan pemendekan struktur telomer yang pada gilirannya akan mengakibatkan proses penuaan dini (premature aging).

Secara spiritual kita pun dapat memetik hikmah yang indah dari peran telomer ini, yaitu bahwa umur manusia dan setiap sel yang terdapat di dalam tubuhnya memang telah ditetapkan dan ditakdirkan secara biologis (biological age). Meskipun memang dalam ranah kronologis (chronological age), dapat saja seseorang yang masih belia dalam konteks biologis justru meninggal dunia terlebih dahulu karena penyebab yang beragam mulai dari serangan penyakit akut sampai kecelakaan yang fatal.

Sumber gambar:
https://www.gulalives.co/negara-dengan-penduduk-yang-memiliki-usia-panjang/

Rabu, 12 September 2018

Belajar Cinta dari Garam


Oleh Tauhid Nur Azhar

Ada garam ada lautan.

Kala berbicara lautan, kita tidak bisa melupakan garam. Betapa tidak, garam adalah salah satu produk terpenting lautan, selain produk hewani. Hadirnya garam telah menjadikan dunia kita memiliki cita rasa.

Berbicara masalah garam, khususnya natrium klorida alias garam dapur yang hampir setiap hari kita konsumsi, ada pelajaran luar biasa yang bisa kita dapatkan. 

Garam, sebagaimana nama ilmiahnya, merupakan persatuan antara unsur natrium dan klorida. Apabila kita perhatikan, kedua unsur ini jarang berdiri sendiri. Mereka bisa bersatu karena “dicomblangi” oleh air sebagai mediator. 

Ketika masih sendiri, klorida termasuk unsur berbahaya bagi tubuh, biasanya berbentuk asam (HCL). Demikian pula natrium karbonat, walau tidak seberbahaya HCL.

Namun, ketika natrium dan klorida dipertemukan dengan mediasi air, masing-masing melepaskan ikatan dengan pasangannya terdahulu, kemudian mereka saling berikatan membentuk kristal. 

Jika sebuah ikatan kimia sampai membentuk kristal, maka tingkat kecocokannya pasti sangat tinggi, dari fase liquid sampai menjadi solid, terkristalisasi. Ikatan keduanya termasuk ikatan yang sempurna. 

Dengan karakter ini, ada sisi-sisi secara molekuler baik dari sebelah natrium maupun sebelah klorida yang awalnya memiliki efek membahayakan atau membentuk asam, menjadi hilang. Sebab, sisi-sisi “negatifnya” saling menutup dan yang terlihat adalah sisi-sisi indahnya; sisi positifnya.

Jadi, konsep sebuah pasangan, khususnya dalam pernikahan, harus meniru garam. Sisi-sisi buruk yang tidak menyenangkan bisa menjadi simpul dari sebuah ikatan yang mempersatukan, untuk kemudian menghasilkan sebuah molekul yang indah serta memancarkan kebaikan. 

Kelemahan yang ada bukan untuk disesali atau dicemooh, akan tetapi dimanfaatkan untuk berikatan. Inilah gambaran sederhana dari upaya saling mengoptimalkan potensi dan saling mengurangi kekurangan.

Sesungguhnya, natrium yang ada di darah kita harus bertemu dengan pasangannya agar tidak menimbulkan penyakit. Salah satu penyebab terjadinya darah tinggi dan stroke adalah ketika natrium tidak lagi berpasangan dengan klorida.

Sumber gambar:
https://www.seruni.id/garam-dapur-bermanfaat-untuk-kecantikan/

Rabu, 15 Agustus 2018

Ruang Antara The Age of Reason dan The Web of Significance (Bagian 2, Habis)


Oleh Tauhid Nur Azhar

Alam saiber yang sesungguhnya tanpa ruang ini juga melucuti dan menanggalkan segenap identitas dan karakter yang kita sematkan pada peran yang kita jalani dalam proses interaksi di dimensi materi. Anonimitas menjadi ciri pribadi virtual. Transparan sekaligus getas. Fleksibel sekaligus dapat mengeras.

Makhluk-makhluk di dunia daring bersifat invisible, alias tidak terlihat yang berkorelasi dengan hilangnya ketakutan untuk bertanggungjawab. Kejahatan lintas dimensi menjadi kehilangan aturan dan alat bukti. Semua ini pada gilirannya akan diikuti oleh terjadinya banjir bit yang terangkai sebagai informasi. Di tengah banjir informasi yang menyebabkan cognitive exhausted ini, ada beberapa informasi yang dapat "singgah" bahkan menetap di benak kita.

Priming. Tim dari Stanford memberi contoh kongkrit betapa otak manusia bekerja berdasarkan asumsi yang berbasis dari pengalaman dan informasi yang diterima sebelumnya.

Tim ini meminta kita untuk menatap sebuah gambar berupa bercak-bercak tinta di bidang putih dan entah apa yang terlintas di sistem asosiasi visual kita tentang bentuk apa yang tergambar di sana. Tapi sebuah petunjuk kecil yang menunjukkan adanya seekor anjing Dalmatian sedang merunduk dan minum akan membuat kita takkan pernah lagi lupa gambar apa itu sesungguhnya setiap kali gambar itu ditunjukkan pada kita.

Daerah visual primer yang telah mendapat asupan data dari beberapa area fungsi luhur (higher function) dan sistem memori akan selalu menampilkan interpretasi terhadap citra berdasar pengetahuan yang telah diinstalkan. Selain itu hasil riset menunjukkan bahwa karakter info yang bersifat trailer vision atau info yang bersifat suspense/ drama serta penuh kejutan disukai oleh otak kita.

Mengapa? Karena kita lelah dengan banjir data yang tak "menarik" untuk dianalisa. Kita perlu drama, kita perlu misteri, kita perlu kondisi "uncertainty". Karena kita berharap bahwa kejutan dapat menjadikan lini masa kehidupan kita akan dipenuhi letupan-letupan kecil kebahagiaan yang menjanjikan serangkaian kenikmatan.

Maka kita pun mengenal konsep loss aversion, rasa kehilangan pada "sesuatu" yang menurut kita "semestinya" menjadi milik kita. Maka sebagian dari kita menisbatkan ritual agama dan pengalaman spiritualitas adalah fragmen-fragmen kenikmatan yang dapat terus memberikan harapan dan menumbuhkan motivasi untuk terus dapat merasakan sensasinya.

Terdengar seperti seks dan judi ya? Atau kuliner dan petualangan ekstrem? Demikianlah kira-kira.

Penelitian di School of Medicine-nya University of Utah menunjukkan bahwa pengalaman spiritual terkait dengan simbol dan prosesi keagamaan pada probandus di sana mengaktivasi pusat reward yang bernama nukleus akumben dan daerah ventro medial prefrontal cortex (vmPFC) yang berfungsi sebagai pusat pemilahan, pembobotan, dan penilaian berkonotasi moral. Serta menyita perhatian karena teraktivasinya area focused attention yang secara anatomi dikenal sebagai inferior frontal junction. Konstruksi persepsi dari sensasi ini terbentuk antara lain karena konstruksi simbol (semiotika).

Menurut Edelman (1964) dalam proses transmisi pesan melalui simbol semiotika, dikenal dua kategori simbol yaitu referential dan condensation symbol. Ada peristiwa atau fenomena yang menjadi rujukan dan jika terjadi secara serial maupun paralel akan terkonsentrasi sebagai suatu kebenaran, kita menyebutnya sebagai fakta.

Apakah semua fakta selalu benar? Kembali pada konsep referensi dan kondensasi serta priming. Sebuah fakta akan melahirkan banyak kebenaran. Dan kebenaran akan selalu memerlukan alasan.

Tibalah kita di abad alasannya Sartre, hingga jika ada fakta yang ingin kita benarkan, kita pun akan membuat alasannya. Sekaligus kita terjebak dalam jejaring pemaknaan (signifikansi), apakah kebenaran itu penting untuk kita carikan alasan?

Maka ujung pencarian sebenarnya sederhana saja, menemukan sebuah kebenaran yang tak lagi memerlukan alasan dan sederet teori tentang kebermaknaan. Kebenaran di seberang alasan dan makna.

Halaman Sebelumnya <<<

Referensi:
Edelman, M. J. (1964). The symbolic uses of politics. Urbana: University of Illinois Press.

Sumber gambar:
https://www.videoblocks.com/video/digital-cyber-world-04-rwmwkbfugiypv2q8x

Ruang Antara The Age of Reason dan The Web of Significance (Bagian 1)


Oleh Tauhid Nur Azhar

Kita hidup di sebuah dunia yang terbukti semakin paralel meski belum lintas dimensi. Alam virtual yang semula hanya tersedia sebagai peluang dan potensi, kini maujud nyata melalui perkembangan teknologi dan sistem komputasi. Ada ruang hidup baru yang berwujud semesta sebagaimana bagian barat Amerika sebelum datangnya para petualang Eropa.

Maka judul di atas adalah diskursus antara Sartre dan Clifford Geertz yang lebih dikenal dengan idiom santri-abangannya.

Abad kecerdasan ditandai dengan terelaborasinya data menjadi pengetahuan dan terkonvergensinya pengetahuan menjadi sains yang memerlukan metodologi dan alasan. Perspektif berikutnya tentulah iman dan kebijaksanaan (wisdom). Alam daring dengan ciri kemudahan komunikasi akan melahirkan peradaban saling mengunci dan terkoneksi (connected). Untuk selanjutnya tentulah akan lahir kerjasama dan kolaborasi yang menghadirkan produk serta tatanan.

Pro kreasi.

Inilah keistimewaan manusia yang punya daya cipta dan sistematika berpikir adi daya. Kita membangun, menciptakan, dan disadari ataupun tidak, juga menghancurkan. Bahkan bukan cuma menghancurkan, melainkan meluluhlantakkan. Katastropik.

Bukankah dengan logika sederhana dan premis-premis bersahaja saja sudah langsung terlihat kasat mata, bahwa manusia mengkreasikan bencana dan berperan sebagai korban di dalamnya.

Alam hanya menjalankan peran dan ketetapannya, tapi manusia punya kesempatan. Punya pilihan. Punya daya nalar. Punya daya kreasi dan kemampuan untuk menyelaraskan antara gagasan dan aksi. 

Lalu alam baru yang dinamai dunia saiber mulai menggeser batasan ruang dan waktu. Bahkan manusia telah menciptakan mesin-mesin peradabannya yang mengadopsi nyaris sempurna kemampuan istimewa otak manusia.

Big data, data mining, AI, DL dan knowledge growing system-nya Mas Arwin Sumari telah melahirkan dunia autonomous dimana manusia perlahan tapi pasti mulai kehilangan kendali terhadap nilai-nilai kemanusiaannya.

Mari kita simak lahir dan bergulirnya mesin pencari dan berbagai aplikasi perpanjangan inderawi; peta, layanan daring multiguna, sampai habitat baru yang dibangun lewat media sosial. Mesin yang semakin cerdas mulai membangun lapis perasaan dan kesadaran. 

Sadarkah kita jika setiap jejak digital kita dapat memberikan engine gambaran tentang siapa kita?

Preferensi kita, dinamika emosi kita, psikografik, bahkan prediksi jalan hidup kita yang bahkan kita sendiri belum yakin akannya.

Ada konsep filter bubble yg menghasilkan algorithmic enclave (Lim, 2017) di mana pola dan kebiasaan yang tercermin dalam aktivitas di alam saiber akan memerangkap kita dalam jebakan infrastruktur manufaktur jiwa.

Apa itu manufaktur jiwa? Kita akan masuk ke dalam balon-balon preferensi yang mengepung kita dengan data dan fakta yang dipakaikan sesuai dengan pola yang kita tampilkan. Dengan kata lain, kita menciptakan posibilitas lahirnya dunia kita sendiri, dan itu dirancang dengan cerdasnya oleh mesin dan sistem yang kita buat sendiri. 

Kita terkepung dengan data yang kita sukai dan kita rasa sesuai dengan kebutuhan kita. Mesin menawarkan efek psikadelik halusinogenik yang tak kalah trengginas dengan Meskalin dan senyawa sejenisnya seperti Psylocibin dari jamur tahi sapi.

Lalu bukan hanya preferensi suka dan kegembiraan saja yang direkonstruksi oleh engine yang dibangun oleh para engineer yang ahli dalam perkara engineering. Perkara reka dan merekayasa. 

Maka kebencian, kemarahan, dan variabel penderitaan juga direkayasa hingga kita terekadaya. Sebagaimana yang oleh Daniel Keats Citron (2014) lebih ditekankan pada proses pelabelan negatif yang destruktif pada seseorang atau sesuatu hal hingga patut untuk dibenci dan disakiti. 

>>> Halaman Berikutnya

Referensi:
Citron, DK. (2014). Hate crimes in cyberspace. Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press. 

Lim, M. (2017). Freedom to hate: Social media, algorithmic enclaves, and the rise of tribal nationalism in Indonesia. Critical Asian Studies, 49(3): 411-427

Sumber gambar:
https://www.videoblocks.com/video/digital-cyber-world-04-rwmwkbfugiypv2q8x

Selasa, 07 Agustus 2018

Gence Nan Kece Senikmat Latte (Review Buku)


Oleh Duddy Fachrudin

Gence: Membedah Anatomi Peradaban Digital.

Dari judulnya saja kita dapat menebak isi buku ini tidak hanya berbicara tentang satu hal. Ibarat membuka sebuah kulkas, maka kita akan mendapatkan beragam "makanan dan minuman" dalam buku Gence.

Ada kajian mengenai sejarah peradaban manusia, teknologi informasi dan komunikasi (ICT), tata kelola kota (smart city), smart tourism, kecerdasan buatan, kesehatan dan psikologi (perubahan perilaku di jaman now), diskusi mengenai hoak, manajemen dan leadership, fintech, otak dan neurobiologi, serta banyak lagi.

Semua itu dikupas secara cantik oleh Kang Tauhid Nur Azhar, dan penulis lainnya  yang memiliki keilmuwan yang beragam. Maka Gence adalah sebuah kolaborasi ciamik yang perlu kita baca oleh kita (baca: warga peradaban digital) agar mengoptimasi kemampuan iqra sehingga dapat "berselancar" di revolusi indutri ke 4.0.

Satu hal yang mungkin spesial dari Gence adalah kadang-kadang kita mengernyitkan dahi ketika membacanya, terutama saat menemukan istilah atau vocabulary yang sebelumnya belum kita ketahui.

Kalau dianalogikan dengan latte, maka itulah bagian espresso-nya. Pahit.

Namun karena kita terus membaca dan memiliki rasa ingin tahu yang besar, susu yang telah di-steam "mengguyur" espresso tersebut. Rasa pun berubah dan lebih berwarna.

Lalu setelah selesai membaca Gence, kita "merasakan" foam susu dari latte masih melekat dalam pikiran kita yang kemudian...

membuat kita memikirkan arti sesungguhnya dari spesies bernama manusia.

###

Judul Buku: 
Gence: Membedah Anatomi Peradaban Digital

Penulis: 
Tauhid Nur Azhar, Bambang Iman Santoso, Arwin Datumaya WS, Adang Suwandi Ahmad, Suhono Harso Supangkat, Supra Wimbarti, Shelly Iskandar, Elvine Gunawan, FX Wikan Indrarto, Budi Syihabuddin, NGX, Andhita Nurul Khasanah, Insan Firdaus, Dani Sumarsono, Dody Qori Utama, Ian Agustiawan, Alila Pramiyanti, Ina Kurniati, Santi Indra Astuti, Nugraha P. Utama, Duddy Fachrudin, N. Nurlaela Arief, Diana Hasansulama

Penerbit:
Tasdiqiya Publisher

Sumber gambar:
https://deskgram.org/explore/tags/PeradabanDigital

Rabu, 11 April 2018

Tidak Ada yang Kebetulan... (bagian 2)


Oleh Derie Imani

“Duddy” ujarnya ketika saya berjabat tangan dengannya. Saya tidak mengira orang yang ada dihadapan saya ini justru menjadi mentor saya kelak. Pak Tauhid menjelaskan maksudnya mengundang Duddy siang itu, “Saya punya temen anaknya itu hiperaktif. Saya coba bilang untuk coba hipnotherapi dan berencana mengenalkan denganmu Dud,” ucap Pak Tauhid dengan santai.

Dirinya tidak langsung menjawab, Kang Duddy menunggu kalimat lanjutan dari Pak Tauhid, seolah ia tahu masih ada pesan lain yang ingin disampaikan.

“Kapan ada waktu Kang? Bisa bertemu dan ngobrol dulu?” tutupnya.

Hipnoterapi! Saya masih menerawang dan terus menyimak percakapan tersebut, Hipnosis?

Apa saya tidak salah mendengar, ilmu yang biasa digunakan untuk membuat orang mengikuti orang yang melakukan hipnosis tersebut. Saat itu dibenak saya hanya tertuju pada aktifitas memanipulasi orang untuk menyerahkan barang berharga dan berujung tindak kriminal! Belum terbayang jelas apa itu hipnoterapi atau hipnosis.

Singkat cerita Kang Duddy menyepakati tanggal dan hari untuk bertemu dengan kolega Pak Tauhid. Saya masih penasaran dengan apa itu hipnoterapi, namun adzan Dhuzur sudah terdengar saat itu, dan akhirnya kami memutuskan untuk shalat dhuzur berjama’ah.

Dalam hati saya masih sangat menyimpan penasaran yang luar biasa. Saya memperhatikan setiap gerakan Kang Duddy tidak ada yang spesial, dan dari aksesoris yang ia gunakan tidak ada gelang akar bahar atau kalung jimat yang ia kenakan.

Ia bahkan ikut wudhu dan shalat. Saya penasaran dengan orang ini. Orang ini mampu menghipnosis orang lain, mampu mengubah pandangan seseorang akan sesuatu... hebat sekali! Saya harus tahu lebih jauh! ujar saya dalam hati.

Usai shalat saya memberanikan diri berbincang lebih jauh dan meminta kontaknya. Saya menawarkan diri untuk bisa diajarkan hipnoterapi, karena jujur saja saya masih tidak percaya dengan kemampuan yang ia miliki. Ia dengan santai menjawab, “Yah nanti kita ngobrol lebih lanjut yah,” diakhiri dengan senyuman.

Saya masih penasaran dan mencoba membuka jalur komunikasi pribadi dengannya melalui pesan singkat. Saya menunjukan ketertarikan yang tinggi dengan hipnoterapi. Landasannya satu: saya sangat tidak percaya dengan dunia seperti itu.

Dunia yang katanya berbau mistik dan bisa memperoleh apapun yang kita inginkan dari orang lain, terlebih lagi saat itu ternyata di televisi mulai banyak program salah satu presenter Uya Kuya dengan teknik hipnosisnya yang mampu membongkar semua rahasia “korbannya”!

Saya semakin penasaran, saya terus bertanya apa benar orang bisa dihipnosis dan menuruti semua permintaan kita? Saya bisa nggak ya dihipnosis?

Singkat cerita saya diberikan kesempatan untuk mengikuti private course dengan Kang Duddy. Tempat belajar atau bertemu kami cukup unik di sebuah food corner pusat perbelanjaan di daerah Balubur Bandung yang saat itu belum terlalu ramai dengan pengunjung.

Kami melakukan pertemuan rutin dua kali dalam seminggu di sana. Kang Duddy membimbing saya dengan sabar dan memberikan pemahaman serta ilmu terkait dunia hipnoterapi yang jauh dari pandangan miring saya sebelumnya.

Hari demi hari Kang Duddy memberikan pelatihan dan contoh kepada saya. Saya sempat dibuat tidak bisa bangun dari kursi yang saya tempati karena pantat saya terasa lengket dan menempel di kursi tersebut hingga kedua mata saya yang juga sempat tidak bisa dibuka karena kelopak matanya merapat seakan terkena lem. Sebuah pengalaman yang berharga dan unik yang saya dapatkan saat itu.

<<<Before - Next>>>

Sumber gambar:
https://www.independent.co.uk/happylist/how-self-hypnosis-changed-my-life-a7980306.html

Senin, 09 April 2018

Tidak Ada yang Kebetulan... (Sebuah Keajaiban)



Oleh Derie Imani

Saya masih ingat betul...
Ingat dengan jelas kejadian saat itu...
Sekejap bulu kuduk saya merinding...
Momen yang akhirnya membuat saya tertegun dan tidak bisa mengucapkan sepatah kata pun, hanya terus menyimak sebuah video berdurasi lebih dari setengah jam tersebut di handycam pribadi yang baru saya temukan kembali setelah sekian lama.

Seakan tak percaya itu saya lima tahun lalu...
Berbicara dengan seseorang...
Pembicaraan serius menyangkut masa depan...
Yah itu saya... Dan saya masih terpaku melihatnya...

Saya masih terus memperhatikan video itu. Saya seakan kembali terbawa dalam ruang dan waktu yang sama. Saya di lima tahun yang lalu, yang baru menyelesaikan kuliah, yang terbebas dari beban rutin dan tugas kuliah, terlepas dari tanggung jawab “minta” uang kepada orang tua, dan berusaha untuk hidup mandiri. Ternyata tidak mudah!

Kejadian sore itu kembali mengingatkan saya dengan awal saya bertemu dengan orang-orang hebat jauh sebelum video tersebut direkam dan akhirnya menjadi sebuah kenyataan. Kebetulankah? Atau memang sudah alur dan skenario Sang Maha Pencipta membuatnya seperti itu?

Pada tahun 2010 saya bertemu dengan suami dari dosen saya di STMB Telkom (Sekolah Tinggi Manajemen Bisnis Telkom) Bandung. Berawal sebagai mentor di bisnis yang saya kerjakan bersama teman saya, hingga akhirnya kami bersama tim sering melakukan sharing dan diskusi untuk perkembangan bisnis tersebut dengan beliau.

Sosok tersebut adalah Dr. Tauhid Nur Azhar, seorang Akedemisi, Pembicara, Ustad, Dosen, dan Koki. Jujur saja hingga saat ini saya masih bingung dengan profesinya. Orang ini seakan menguasai bidang ilmu yang mempuni di segala lini.

Sekilas ia bisa menceritakan idenya di dunia teknologi dihubungkan dengan kajian kesehatan, dijembatani dengan nilai seni yang tinggi namun bisa dibalut dengan kebesaran Sang Pencipta.

Jika anda baru mengenalnya anda pasti akan terkesima dan mungkin merasa kurang banyak belajar. Atau beliau yang sebenarnya sudah menjadi ensiklopedia berjalan? Di saat itulah saya sering berkunjung dan bersilahturahmi ke rumahnya di kawasan Gegerkalong Bandung.

Hingga pada suatu hari Pak Tauhid menerima tamu sosok pemuda yang secara tampilannya memang tidak terlihat seperti anak muda pada umumnya, yang terlihat lebih modis menggunakan jeans atau kaos bergambar band kesayanganya.

Sosok pemuda ini sederhana, menggunakan kacamata, rambut terpotong rapih, menggunakan celana bahan dan kemeja dilapisi jaket dari bahan kain yang menyerupai seperti jas. Tubuhnya tidak terlalu tinggi, suaranya pelan dan tenang, sesekali ia melontarkan senyum dengan lawan bicaranya.

Bersambung... Next >>>

Sumber gambar:
http://spiritualproductreviews.com/manifestation-miracle-review-and-bonus/

Rabu, 28 Maret 2018

Sikap Mindfulness: Sabar, Syukur, dan Sejatinya Kehidupan


Oleh Hamzah Abdurahman

Perpisahan kedua orang tua membuat saya memendam rasa. Kesal dan sedih bergantian mengisi ruang hati. Namun, apa yang saya pendam tak pernah sedikitpun tercurahkan. Apa daya, Freud memang benar, memendam rasa sama saja membiarkan emosi saya meledak. Dan pada tahun 2017, akun sosial media saya menjadi saksi bahwa diri berada dalam puncak emosi. Mereka saya hentikan. Pada tahun itu pula, impian, ambisi, dan cita-cita saya meredup. Saya menjadi sering mengalami stres yang biasanya ditandai dengan rasa sakit di tengkuk kepala, tidur tidak tenang, dan sering bermimpi aneh.

Namun ternyata, seperti kata pepatah, “Saat kematian, disitulah ada kehidupan baru.” Benar rupanya, ketika saya sedang terpuruk dan kondisi kesehatan menurun, justru saya dipertemukan dengan orang-orang yang inspiratif. Dr. Tauhid Nur Azhar dan Dr. Yono Budhiono merupakan dua diantaranya.

Berawal dengan seringnya saya mengikuti sesi kedua sosok inspiratif tersebut di kelas Masa Persiapan Pensiun (MPP), kunci kesehatan sesungguhnya terletak pada kemampuan kita dalam mengelola stres melalui sabar dan syukur. Begitu Dr. Tauhid memaparkan kepada para peserta dan saya sebagai panitia.

Kemudian pada sesi Dr. Yono, saya mengukur tingkat stres saya. Hasilnya saya tergolong individu yang mudah sekali stres. Dr. Yono, menjelaskan saya termasuk tipe A+, yaitu individu yang ambisius, gigih, tekun, namun rentan stres. Beliau kemudian menyarankan saya untuk mengatur ulang perjalanan hidup saya dalam mencapai impian-impian saya serta meminta saya untuk tidak memendam emosi.

Pada titik ini, saya teringkat akan orang paling mulia yang pernah hidup di dunia ini, yaitu Muhammad Saw. Beliau selalu sehat, bahkan diriwayatkan hanya 2 kali mengalami sakit selama hidupnya. Apa rahasia beliau? Padahal beliau memiliki target, impian, dan berbagai aktivitas yang sangat banyak. Selain itu beliau mengalami berbagai penolakan saat menyampaikan kebenaran.

Thoif salah satunya. Sebuah daerah dimana Sang Nabi disiksa dan dilempari batu. Namun segala rintangan tak membuatnya menyerah untuk terus menyampaikan misinya. Dan tidak ditemukan dalam satu riwayatpun jika Rasulullah pernah mengalami stres.

Artinya, kondisi psikologis beliau tidak seperti kebanyakan orang yang ketika mendapat penolakan langsung turun semangatnya. Kala rintangan menghadang, orang nomor satu menurut Michael Hart tersebut memanjatkan doa seraya memasrahkan diri kepada Tuhan.

Ketenangan. Hal ini yang sedang saya upayakan untuk senantiasa hadir.

Maka, ketika gundah gulana melanda, sabar dan syukur adalah obatnya. Dan ketika penolakan, cemoohan, dan rintangan menghadang, kita terus melangkah untuk meraih cita. Hingga akhirnya kita menerima apapun yang Allah Swt. berikan dengan penuh cinta dan hati yang lapang. Inilah sejatinya kehidupan.

Sumber gambar:
http://ulamasedunia.org/2016/06/28/ketenangan-adalah-anugerah-allah-buat-golongan-beriman/