Tampilkan postingan dengan label Mindful Journey. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Mindful Journey. Tampilkan semua postingan

Minggu, 18 Mei 2025

Wellness Trip: Merajut Makna di Rute Rahasia


Oleh Duddy Fachrudin 

"Life was like a box of chocolates. You never know what you're gonna get." (Forrest Gump)

Apa jadinya jika kita sudah mengetahui apa yang akan hadir dalam kehidupan kita, seperti halnya rezeki, jodoh, dan segala takdir? 

Monkey D. Luffy akan berhenti berlayar mengarungi lautan jika ia mengetahui seperti apa wujud dari One Piece, harta karun berharga dambaan semua bajak laut. "Aku akan berhenti menjadi bajak laut! Aku tidak ingin melakukan petualangan yang membosankan seperti itu!" kata Luffy.

Hidup menjadi menarik saat segalanya masih menjadi misteri. Dan karena itu pula manusia diperjalankan oleh Tuhan untuk menyibak rahasia demi rahasia yang telah disiapkan oleh-Nya.

Dan untuk melakukan perjalanan itu diperlukan sumberdaya sehingga manusia mampu menempuhnya sengan riang dan suka cita. Segala potensi berupa penglihatan, pendengaran, serta hati ibarat air telaga yang kemudian dibawa dalam perjalanan hidup manusia. Pun potensi kebaikan atau senantiasa berada di jalan yang lurus (hanif) merupakan karakter default yang sudah ditanamkan oleh Sang Pencipta.

Inilah modal utama manusia untuk mengarungi kehidupan yang serba tidak pasti. Apalagi perjalanan mengharuskan kita melewati rimba yang asing dan menyusuri goa yang gelap. Kemampuan untuk senantiasa sadar amat sangat diperlukan. Di sinilah kita perlu hati-hati dan selalu wawas akan diri.

Mengawasi dan mengamati segala lintasan pikiran yang bisa mendistraksi dari tujuan utama kita menyibak misteri dan rahasia. Ketidakmampuan kita dalam niteni dapat menggoyahkan keseimbangan yang mengakibatkan kita tergelincir dan jatuh ke lorong vertikal goa. Sampai akhirnya manusia sadar bahwa ternyata waktu hidup di dunianya telah habis dan belum menemukan tujuan yang sesungguhnya.

Begitulah perjalanan dengan segala tantantangannya. Bahkan setelah kita berhasil melewati goa dan kembali mendapatkan sapa dari cahaya matahari, kita beranggapan perjalanan kita sudah usai. Padahal "One Piece" nya belum ditemukan.

Lalu sebenarnya dimana lokasi harta karun itu?

Sang Maulana bertutur:
Ayat-ayat Tuhan itu tersimpan di hati langit yang paling rahasia.

Batin mengatakan:
Rasanya tidak mungkin kita mengjangkaunya. Adalah kemustahilan untuk meneruskan perjalanan ini. Apalagi disorientasi kemudian hadir mengaburkan visi.

Maka memeluk diri kemudian bersandar pada pinus yang kaya akan fitonsida merupakan jeda untuk mengisi kembali energi yang terkuras. Tak ketinggalan pula untuk bercerita dalam kata di selembar surat cinta tentang segala yang telah dijalani:

"Hai kamu... Terima kasih sudah menjadi manusia. Apapun yang telah dilalui itu membuatmu semakin menjadi manusia. Dan perjalanan ini... masih berlanjut, kita akan melangkah bersama di kehidupan yang penuh rahasia dan menawarkan berbagai kejutan."

Perjalanan pun dilanjutkan untuk menemukan rahasia demi rahasia kehidupan. Dan seperti kata Forrest Gump, kita tidak akan pernah tahu apa yang akan kita dapatkan. Asyik, bukan?

Sistem navigasi pelayaran niscaya dan perlu ada agar di setiap langkah perjalanan berujung berkah. Di persimpangan manusia mampu untuk mengambil keputusan yang tepat sehingga meminimalisir tersesat. Meletakkan ego dan meminta bantuan kepada orang lain atau masyarakat bukan berarti menurunkan derajat.

Manusia sejatinya adalah arkeolog yang melakukan ekskavasi untuk mengetahui sejarah dan budaya peradaban serta harta karun tersembunyi. Maka menyusuri rimba dan goa merupakan bentuk syukur dan cinta kepada Sang Maha.

Dikisahkan terdapat sebuah peninggalan peninggalan kerajaan di masa lalu. Warisan tersebut adalah harta karun yang paling berharga. Para arkeolog di seluruh dunia mencarinya karena mendengar kabar bahwa dengan memiliki harta karun itu akan membuatnya bahagia .

Sampai akhirnya, seorang arkeolog bersama-sama berhasil menemukannya di kedalaman 100 meter dari permukaan bumi di dekat istana kerajaan.

Harta karun itu disimpan dalam sebuah kotak yang digembok dengan sangat kuatnya. Perlu satu hari sang arkeolog serta bekerja untuk membuka kotak itu.

Akhirnya kotak itu terbuka... dan isinya adalah... bukan emas, bukan perak, bukan pula permata kerajaan, melainkan sebuah batu pipih yang lebar berwarna putih yang ditulis dengan huruf Cina kuno.

Tulisan tersebut ternyata berupa 3 pertanyaan kaisar. Berikut pertanyaannya:
1. Kapan saat-saat paling penting dalam hidupku?
2. Siapakah orang yang paling penting dalam kehidupan?
3. Pekerjaan apa yang paling penting di dunia ini?


Arkeolog dengan dibantu seorang ahli bahasa menyelesaikan membaca ketiga pertanyaan itu. Ia tampak bingung dan berkata dalam hati, 'Apa maksud dari pertanyaan-pertanyaan ini?'

Karena bingung ia meletakkan kembali batu itu ke dalam kotak. Saat ia mengembalikan batu ke dalam kotak, ia melihat rangkaian kalimat yang ditulis sangat kecil. Secara langsung saja, ia memberi tahu ahli bahasa dan meminta untuk membacakan kalimat-kalimat itu.

Secara hati-hati, dengan menggunakan kaca pembesar ia mengucapkan kata demi kata:
1. Saat-saat terindah dalam hidupku adalah saat ini
2. Orang yang paling penting dalam hidupku adalah siapa pun orang yang bersamaku saat ini
3. Pekerjaan yang paling penting di dunia adalah melayani


Tak terasa kita sampai di penghujung kisah. Air terjun kehidupan yang tersembunyi di sudut pegunungan telah kita temukan. Dan kelak suatu saat kita akan bercerita kepada mereka tentang perjalanan rute rahasia.

Sumber gambar:
Wellness Trip Batch 7: Jelajah Rute Rahasia, Dokumentasi pribadi

Sabtu, 28 Desember 2024

Kekuatan Afirmasi


Oleh Duddy Fachrudin & Mindfulnesia Walking Group 

Dalam memotivasi diri serta orang lain, kata-kata menjadi sarana yang bisa menjadi catudaya penggerak mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Buku “10 Pesan Tersembunyi & 1 Wasiat Rahasia” memberikan banyak contoh bagaimana afirmasi melalui kata-kata sangat dianjurkan untuk diucapkan. Seperti kisah One Piece, dimana Luffy seringkali berkata “Aku akan menjadi Raja Bajak Laut!”. Meski kemudian diremehkan dan ditertawakan, nyatanya sugesti tersebut menjadi bagian pelayaran serta petualangan yang tidak mudah dan penuh dengan tantangan.

Contoh lainnya yang dituliskan dalam buku tersebut ialah afirmasi yang selalu diucapkan oleh Mohammad Ali saat bertanding melawan George Foreman. Pertandingan itu ibarat David versus Goliath, karena Big Foreman sepertinya akan mudah meng-KO Ali yang “kecil”. Namun rupanya Ali memiliki strategi yang tiada lain mengucapkan kata-kata penuh energi. “Ayo, mana pukulanmu!”, “Pukulanmu tidak menyakitiku!”, Ali mengatakannya sembari memamerkan moncongnya di depan Foreman. Prediksi KO memang benar terjadi. Tapi berlaku untuk Foreman. Ali berhasil memukul telak lawannya di ronde ke-8, setelah sebelumnya “hanya” menghindar dari hantaman Foreman[1].

Sebagai pendaki gunung jelata yang gear pendakiannya apa adanya, afirmasi ke diri juga sangat mempengaruhi. Contoh saja begini: “Puncak memang bukan tujuan, tapi tidak sampai puncak keterlaluan”. Atau saat lelah melanda hati ini kemudian berkata, “Sedikit lagi!”. Dan benar saja saat energi sepertinya sudah habis, tiba-tiba tubuh kemudian bangkit dan melangkah lagi.

Dan sekali lagi, kekuatan kata-kata digunakan dalam pendakian kali ini. Pendakian yang dibilang tidak sulit karena gunung yang didaki bukan gunung yang berketinggian 3000 mdpl. Bukan juga 1000 hingga 2000-an mdpl dengan jalur yang “pedas”. Gunung ini, atau lebih layak disebut bukit berketinggian 451 mdpl. Jajar Sinapeul namanya.

Pendakian kali ini bertajuk “Mindfulnesia Trail Walk”, tujuannya untuk meningkatkan kualitas kesehatan mental. Karena jalan kaki sendiri memang salah satu aktivitas fisik yang mudah dan murah, serta memiliki manfaat yang bagus sekali dalam meregulasi emosi. Bahkan berjalan kaki selama 10 menit saja dapat meningkatkan energi serta kualitas suasana hati[2].

Puncak Gunung Sinapeul. Itulah tujuan kami. Lokasinya tepat di atas Desa Ujungberung Blok Sinapeul. Terdapat dua cara menujunya dari rumah. Pertama ialah menggunakan kendaraan selama 20 menit dan menitipkannya di salah satu rumah warga. Kedua melalui berjalan kaki selama 2 jam menyusuri kampung, sawah, kebun, bukit kuda, hingga akhirnya tiba di blok Sinapeul. Kami memutuskan untuk menggunakan cara kedua.

Setelah hampir 10 km berjalan kaki, kami tiba di lokasi. Suatu kawasan wisata durian yang terkenal di Kabupaten Majalengka. Sebelum melanjutkan perjalanan menuju Puncak Jajar Sinapeul, kami beristirahat ditemani serabi hangat yang begitu lezat. Sekitar pukul 10.15 kami berjalan kembali dimulai dengan menyusuri kebun durian. Beberapa petani durian dijumpai, salah satunya yang kemudian bertanya tentang perjalanan kami. “Mau ke puncak Pak,” ujar kami. Dengan wajah ceria dan semangat, bapak itu membalas, “Bala…!”.

Bala. Terheran-heranlah Azru, Reno, dan Tamami. Ketiga anak muda yang berapi-api itu lantas bertanya kepada saya makna kata “bala”. Karena bapak tersebut mengucapkannya dengan wajah yang sumringah, maka saya mengira-ngira saja maknanya. “Artinya hebat, keren!” ujar saya.

Hebat. Pendakian yang keren, karena tidak ada orang lain yang mendaki saat itu. Hanya kami berempat. Kata “hebat” menjadi afirmasi sepanjang perjalanan pendakian. Sehingga segala rintangan yang menghadang, baik itu rasa lelah, medan yang curam, serbuan nyamuk, serta keinginan untuk berhenti dari mendaki bisa teratasi. Afirmasi “hebat dan keren” benar-benar ampuh menjadi catudaya “menaklukan” Gunung Jajar Sinapeul.

Gunung ini sunyi dan sepi. Sudah tidak banyak yang mendaki karena tidak ada lagi yang mengelola. Gunung ini ramai dikunjungi 4 hingga 2 tahun lalu di era pandemi. Penduduk lokal membuat jalur pendakian dan menatanya. Beberapa video pendakian Gunung Jajar Sinapeul bisa dilihat di Youtube dimana jalur pendakian jelas dan tertata rapih. Di Puncak Jajar Sinapeul, atap Jawa Barat Gunung Ciremai terlihat begitu gagah dan megah. Sementara jajaran gunung di perbatasan Cirebon Barat-Majalengka amat menawan, bagaikan Raja Ampat.

Bala. Kata itu kembali terngiang selama turun dari puncak. Langit mulai gelap yang membuat kami perlu bergegas. Namun sayangnya yang dihadapi ialah turunan curam penuh dengan dedaunan berserakan. Salah melangkah, tubuh bisa hilang keseimbangan lalu terperosok ke bawah. Meski ingin bergerak cepat, kenyataannya justru melambat.

Bala. Benarkah artinya keren atau hebat?

Hujan akhirnya mengguyur bumi. Untungnya kami sudah melalui turunan curam berduri itu. “Kita benar-benar bala! Hebat!” Apalagi Tamami dan Azru baru pertama kali naik gunung. Sementara Reno tidak menyangka medan Gunung Sinapeul diluar perkirannya. Dikiranya Sanghyangdora yang asyik dan ramah.

Bala. Akhirnya saya mencari tahu maknanya.

Bala seringkali digunakan pada kalimat “bala tantara…”, maka artinya bisa “pasukan”. Tapi sepertinya makna ini tidak sesuai dengan konteks pendakian. Sementara, bala dalam bahasa Sunda memiliki arti “berantakan”. Dalam kamus bahasa Sunda, bala memiliki arti: penuh rumput atau sampah serta bahaya.

Jadi… makna bala sejatinya suatu kondisi yang berantakan, awut-awutan, tidak tertata, tidak rapih seperti halnya gorengan bala-bala yang dibuat tanpa cetakan.

Selama perjalanan sendiri kami menjumpai jalur yang amat rimbun. Tumbuhan liar menutupi jalur pendakian. Daun-daun berserakan menutupi tanjakan/ turunan curam yang membahayakan. Sementara di jalur puncak yang menyerupai punggungan naga, ilalang menjulang setinggi badan sehingga menyulitkan pergerakan.

Ternyata… benar yang dikatakan bapak petani durian yang kami jumpai di awal pendakian. Bala pisan!
 
Referensi:
[1] Fachrudin, D. 10 Pesan Tersembunyi & 1 Wasiat Rahasia. Solo: Metagraf 2011.
[2] https://www.mentalhealth.org.uk/explore-mental-health/publications/how-look-after-your-mental-health-using-exercise#paragraph-18511

Sumber gambar:
https://www.instagram.com/duddyfahri/

Senin, 02 September 2024

Mindful Journey: Bertumbuh di Puncak Merbabu



Oleh Duddy Fachrudin 

Waktu tercepat untuk mendaki keempat belas puncak 8000 meter adalah tujuh tahun. Jika bisa bertahan, aku bisa melakukannya dalam tujuh bulan. (Nims Purja) 

Nims dan tim yang semuanya berasal dari Nepal itu akhirnya menaklukkan keempat belas puncak tertinggi di dunia—Sishapangma, Gasherburm I, Gasherburm II, Broad Peak, Annapurna, Nanga Parbat, Manaslu, Dhaulagiri, Cho Oyu, Makalu, Lhotse, Kangchenjunga, K2, dan Chomolungma atau yang terkenal dengan Everest di tahun 2019. Melalui “Project Possible”, hal yang tidak mungkin bisa terwujud dalam enam bulan enam hari. Perjalanan itu kemudian ditayangkan dalam film dokumenter “14 Peaks: Nothing Is Impossible”.

Menariknya, rekor yang terlihat sangat mustahil untuk dipecahkan itu kemudian patah. Adalah Kristin Harila dan Tenjen Sherpa yang melakukannya. Mereka mendaki dan berada di empat belas titik tertinggi di dunia hanya dalam kurun waktu 92 hari pada tahun 2023.

Setahun sebelum peristiwa itu, saya mendaki Gunung Merbabu, setelah 15 tahun tidak melakukan aktivitas hiking. Saat berjalan menuju pos 3, tubuh saya terbanting ke tanah. Betis kaki kiri mengalami kram yang luar biasa yang membuat saya meragu untuk melanjutkan perjalanan. Namun akhirnya setelah dipapah dan mengambil jeda, saya melanjutkan pendakian ke pos Sabana. Keesokan harinya, dengan kekuatan tekad dan Rahmat Allah Swt., dua puncak Merbabu, yaitu Kentengsongo dan Triangulasi berhasil didaki.

Ada sensasi yang luar biasa, kepuasan yang tak terkira mendaki sekaligus menziarahi awindya hingga berada di puncaknya. Mungkin Nims Purja dan Kristin Harila juga merasakan hal yang serupa. Dalam psikologi, hal ini termasuk dalam psychological well-being (kesejahteraan psikologis) dengan secara khusus pada aspek personal growth (pertumbuhan pribadi).

Gunung Merbabu

Pertumbuhan pribadi menekankan pada terbuka dengan pengalaman baru, perkembangan yang berkelanjutan, hingga bertumbuh dan terus berkembang sebagai manusia. Inilah mengapa dalam psikologi ada tugas atau tantangan perkembangan. Mulai dari anak-anak, remaja, dewasa, sampai lansia, terdapat tugas psikologi yang perlu dipenuhi agar siap dan adaptif menuju fase perkembangan selanjutnya.

Misalnya saja pada usia remaja ditekankan untuk mengenal dirinya, potensinya, kelemahannya, lintasan rasa dan pikirannya yang sering muncul, hingga tujuan penciptaan dirinya di dunia. Pemahaman akan diri jika sudah terpenuhi akan membawa pribadi yang matang saat menghadapi fase dewasa. Jadi, tidak ada lagi narasi dalam diri yang mengatakan “takut tambah dewasa, takut aku kecewa, dan takut tak seindah dan sekuat yang kukira…”, apalagi manusia sejatinya diberi potensi, yaitu penglihatan, pendengaran, serta hati.

Hidup memang suatu dialektika. Ada masalah, juga hal-hal indah. Keduanya silih berganti mengisi jiwa manusia. Derita bukan berarti malapetaka, karena Sang Arif Bijaksana, Ibnu Athaillah berkata:

“Datangnya beragam kesukaran merupakan hari raya bagi murid”, dan “Bisa jadi, kegelapan datang menyergapmu untuk mengingatkan anugerah Allah atas dirimu”.

Jalaludin Rumi menambahkan:

“Be grateful for whatever comes, because each has been sent as a guide from beyond”.

Ketidaknyamanan seperti saat pendakian sebuah gunung itu suatu hal yang memang perlu dijalani agar kelak manusia mekar dan tumbuh. Sabar dan syukur serta kemampuan untuk merancang solusi mewujud pada aksi ialah niscaya. Di sini, di titik jeda, di saat lelah melanda adalah masa terbaik untuk membaca dan memohon petunjuk kepada Sang Maha.

Saya jadi teringat dengan kata-kata Sir Edmund Hillary, satu dari dua orang yang berada di Puncak Gunung Everest pertama kali, “It’s not the mountain we conquer, but ourself”. Pertumbuhan pribadi itu ternyata menaklukkan diri kita sendiri, khususnya diri yang membawa kepada keburukan.

Wa mā ubarri`u nafsī, innan-nafsa la`ammāratum bis-sū`i illā mā raḥima rabbī, inna rabbī gafụrur raḥīm. (QS. Yusuf: 53)

Paparan kenikmatan dan penderitaan yang hadir selama menjalani kehidupan di dunia seringkali mengalihkan dari pemenuhan tugas perkembangan. Menurut Mbah Erik Erikson, psikolog yang mengembangkan konsep perkembangan dari perspektif psikososial, bahwa level tertinggi manusia ialah pencapaian kebijaksanaan. Menjadi manusia yang waskita dengan metakognitifnya seperti pendaki yang bertengger di Puncak Sagarmatha. Dan ciri manusia waskita pitutur Ronggowarsito, yaitu memahami “rahasia selamat” dan menjalaninya, ibarat ngelmu iku kalakone kanthi laku.

Dalam keheningan di Puncak Merbabu, hati ini bertanya, apakah “rahasia selamat” itu?

Sumber gambar:

Selasa, 12 April 2022

Mindful Journey: Ketika Anak Jaksel Naik Gunung (Bagian 2, Habis)



Oleh Tauhid Nur Azhar 

Aroma adalah suatu anugerah yang sungguh proses menghasilkan sensasinya tidak mudah. Sebaliknya dalam mekanismenya pun tersimpan begitu banyak hikmah dan makna bagi kita yang mau belajar untuk mengurai tanda cinta yang telah diberikan oleh Sang Maha Pencipta.

Menghidu kerap disama artikan dengan "mencium". Dalam pendekatan epistemologis bahasa, mencium itu berkaitan dengan fungsi bibir, sedangkan fungsi hidung adalah jalan nafas dan juga alat penghidu.

Untuk dapat menghidu, hidung secara makro dan mikro anatomi diperlengkapi dengan reseptor olfaksi (reseptor penghidu) yang akan menangkap molekul bau (odor) yang biasanya berupa volatile organic compound (VOC) yang bersifat aerosolik.

Reseptor olfaksi jamak nya berwujud dalam bentuk sel-sel khusus, berupa sel neuron bersilia yang terletak di dalam epitel olfaktorius pada rongga hidung.

Kumpulan dari akson sel reseptor olfaksi membentuk berkas nervus olfaktorius yang berjalan memasuki kranium atau rongga tengkorak melalui foramina lamina kribiformis pada tulang etmoidalis.

Nervus Olfaktorius kemudian bermuara di bulbus Olfaktorius yang lokasi anatomisnya berada di area inferior lobus Frontalis.

Pengolahan data olfaksi menjadi informasi sensasi penghiduan dimulai di bulbus Olfaktorius yang terdiri dari sel-sel interneuron dan sel-sel mitral besar.

Selanjutnya akson atau neurit dari sel-sel mitral keluar dari bulbus Olfaktorius dan membentuk traktus Olfaktorius.

Traktus Olfaktorius melewati daerah posterior basalis lobus Frontalis dan di dekat kiasma Optikum, sebagian serabut traktus Olfaktorius berbelok ke arah lateral.

Kemudian serabut traktis Olfaktorius membentuk stria Olfaktorius lateralis, yang akan menuju fissura lateralis.

Di fissura lateralis, traktus Olfaktorius menyilang dan masuk ke area lobus Temporalis, serta berakhir di korteks Olfaktorius primer.

Korteksi Olfaktorius primer sendiri terletak di unkus yang terdapat di bagian inferomedial lobus Temporalis dekat dengan Amigdala. Sementara struktur terkait fungsi olfaksi atau penghiduan lainnya adalah korteks asosiasi Olfaktorius yang terdapat di bagian anterior girus parahipokampalis (Entorhinal Cortex). Korteks primer Olfaktorius dan korteks asosiasi Olfaktorius ini dikenal sebagai korteks Piriformis.

Uniknya nervus Olfaktorius dan traktus Olfaktorius ini tidak melewati "stasiun relay" Thalamus. Maka hubungan dan fungsinya pun menjadi khusus. Aroma menjadi sensasi khusus yang punya diskresi istimewa untuk langsung mengguncang memori di hipokampus.

Saat ini diketahui bahwa hidung manusia sebagai organ terluar dari sistem penghiduan, memiliki sekitar 1000 jenis reseptor odor dengan sekitar 5 juta sel reseptor Olfaksinya.

Setiap reseptor memiliki rentang kepekaan terhadap suatu spektrum bau saja. Maka molekul odor saat memasuki rongga hidung akan "ditangkap" komponennya oleh berbagai jenis reseptor agar dapat diteruskan menjadi sinyal biolistrik melalui nervus Olfaktorius ke korteks primer dan asosiasi Olfaksi di otak.

Di pusat asosiasi Olfaktorius itulah berbagai aroma diidentifikasi dan diverifikasi serta diklasifikasi, juga diasosiasikan dan dikorelasikan dengan memori yang didapatkan dari pengalaman. Terciptalah basis data aroma, hasil pembelajaran yang dilakukan oleh sel-sel penghiduan.

Karena mekanisme itulah maka kita mampu "mengendus" nikmatnya soto dan kopi serta tentu saja petrichor dari aromanya yang menguap dan menguar di udara sekitar.

Ini belum bahas soal indahnya mekanisme penglihatan, pendengaran, rasa, raba, panas, dingin, juga kesadaran akan ruang dan refleks-refleksnya loh.

Honestly ini adalah part of miracle yang seharusnya membuat kita feel blessing dan bisa deep thinking sih. Jarang loh yang mau deep talk gini, normally orang tuh mau nya bahas topik-topik easy going aja, shallow, which is ya jadinya ga dapet apa-apa juga, wasting time. Udah ketebak end up nya, basicly yah cuman ngomongin soal temen yang flexing, temen yang ghosting, atau ketemu orang baru yang udah langsung gaslighting, cemen. Because why obrolan di circle kayak gini malah jadi nambahin mental issue aja. 

The point is, hidup itu banyak problemnya, tapi juga banyak berkahnya, maka perbanyaklah bersyukur dan kurangi keluh kesah berkepanjangan yang nggak jelas. Somehow hidup ini sementara dan kita pasti akan kembali pada-Nya, dan jangan sampai di penghujung perjalanan kita merasa hidup kita itu penuh derita dan sia-sia.

Banyak bersyukur ya Guys...

La in syakartum laazidannakum...

<<< Halaman Sebelumnya

Mindful Journey: Ketika Anak Jaksel Naik Gunung (Bagian 1)


Oleh Tauhid Nur Azhar 

Air bergemericik, dan beburung pagi yang morning person banget seolah hadir menjadi healing process untuk mereka-mereka yang burn out karena overwhelmed dalam mengelola trust dan mental health issue.

Maklumlah dinamika kehidupan itu kadang lempeng tapi lebih sering mengejutkan, reality bites, dan itu bisa sangat stressful dan painful.

Kadang support system kita juga tidak benar-benar care dengan kita. Bahkan orang yang kita anggap bestie saja, dan kita harap bisa at least memberi sepatah dua patah word of affirmation, eh malah suka guilt tripping dan yang lain malah clingy.

Masih mending kalo enggak emotional abuse atau melakukan silent treatment yang menyakitkan. Toxic relationship itu literally ga sehat banget guys.

Kalau sudah begini memang healing dan self love perlu jadi consideration deh. Perlu positive vibes dan personal space yang proper. Somehow kita memang harus menghindari environment atau circle yang terlalu banyak diisi mereka yang kerap verbally abuse atau bersifat judgemental dan oversharing yang gak penting. Jangan juga terlalu memaksa diri menjadi social butterfly agar bisa masuk banyak circle, ga guna.


Mending cari hidden gem kayak di gunung ini, dan ga terlalu sering staycation yang sebenarnya di sana-sana juga. Beri kesempatan jiwa kita self healing dengan socmed detox, dan ga ada salahnya kalau sekali-sekali kita jadi gate keeping yang nggak spill out yang kita tahu.

Saatnya menikmati me time dan beri diri kita bonus self reward, hindari timeline yang salty dan destruktif. IMO, pergi nyepi ke secret place kayak remote area yang masih nature banget gitu tuh sesuatu.

Ga usah FOMO, dan dicap social awkward, figuratively ini ibarat Robinson Crusoe yang bertualang untuk mengexplore kapasitas dirinya sendiri sih. Semacam self journey untuk mengenal inner soul sebenernya.

Ok, in a fact gemericik air dan kicau burung itu stimulan neurofisiologi banget. Lalu tetiba rasa sejuk melanda qolbu saat awan mendung mulai merintikkan gerimis. Alam gunung seolah sedang tersenyum manis.

Kabut, gemericik sungai dan rintik gerimis berpadu dengan kicau burung, kini menyatu dengan aroma tanah yang menguar.

Petrichor melanda pusat hidu di otak kita. Petra itu batu dan ichor itu cairan para dewa. Sementara sains modern menjelaskan bahwa petrichor adalah bau tanah pertama saat hujan menyapa dan melepas geosmin yang merupakan produk metabolit dari milyaran bakteri aktinobakter dari spesies Streptomyces.

Dan anehnya aroma itu compatible dengan kinerja otak kita. Aroma itu menghanyutkan kita dalam rindu tanpa lagu, tapi lewat orkestrasi bau.

Aroma itu membawa pesan cinta nan sarat makna, dengan pesan nyata bahwa rindu adalah hak semua penghuni semesta.

Lalu bagaimana aroma itu dapat menstimulasi pusat asosiasi di otak kita? Sampai ada rasa, sampai muncul cinta.

Halaman Berikutnya >>>

Sumber gambar:
https://www.instagram.com/duddyfahri/

Selasa, 05 April 2022

Mindful Journey: Merbabu, Sebuah Pejalanan yang Dirindu (Bagian 1)


Oleh Duddy Fachrudin

Beruntungnya Marto bisa wisuda dan menjadi psikolog. Pengujinya dulu melihat pemuda cengengesan itu tak layak mengobati permasalahan kesehatan mental orang lain. Metodenya tidak berdasar keilmuan psikologi, campur sari, oplosan teknik sana sini. Namun kegigihan dan keikhlasan membantu orang lain membantunya berada di gedung wisuda nan megah. Bapak ibunya yang tak mengerti apa-apa tentang kuliah anaknya itu senyum-senyum bahagia.

Ia berencana merayakan keberhasilannya dengan naik gunung seminggu kemudian. Diajaknya Dayat yang baru saja kehilangan ibunya. Awalnya Dayat menolak, hatinya masih bersedih dan tersayat. Bagaimana mungkin ia jalan-jalan bahagia sementara masih berselimut duka.

"Wis percoyo karo aku..." kata Marto berusaha menentramkan kegelisahannya.

Mengembara berputar-putar pikiran Dayat. Teringat dirinya saat kecil diajak ibunda tercinta mengalas ke hutan mencari kayu bakar di sebuah gunung. Wajahnya sumringah dan mulutnya tak pernah berhenti berkelakar. Mbah Jan yang menemani sering menimpali dengan ayat-ayat Qur'an, Wal-jibāla arsāhā. Matā'al lakum wa li`an'āmikum. (An-Nazi'at: 32-33)

Padang Sabana di Gunung Merbabu

Dayat memandangi Marto, lalu menangguk setuju. Kedua pemuda itu lantas menyiapkan perbekalan dan barang-barang untuk mendaki Merbabu. 

Gunung Merbabu terletak di tiga kabupaten, Magelang, Boyolali, dan Semarang. Puncak Merbabu tidak hanya satu. Setidaknya ada tiga puncak yang terkenal, yaitu Kenteng Songo, Triangulasi, dan Syarif. Ada lima jalur yang bisa ditempuh pendaki menuju puncak tersebut, yaitu Thekelan, Wekas, Cunthel, Suwanting, dan Selo. 

Marto dan Dayat memutuskan untuk mendaki Merbabu melalui Selo. Hujan gerimis selama pendakian sejak basecamp hingga pos 3 menemani langkah manis mereka. Meski puncak sebagai tujuan, menikmati perjalanan merupakan esensi pendakian. Itulah yang diajarkan Mbah Jan, Huwallażī ja'ala lakumul-arḍa żalụlan famsyụ fī manākibihā wa kulụ mir rizqih, wa ilaihin-nusyụr. (Al Mulk: 15)

Bersambung...

Sumber gambar:
https://www.instagram.com/duddyfahri/

Sabtu, 11 Juli 2020

Metafora: 11 Lampu Merah




Oleh Duddy Fachrudin 

Jogja kota yang unik. Makanannya khas, seperti gudeg, krecek, nasi kucing, bakmi, sate klatak, tahu guling, getuk, hingga tiwul. Bahkan di daerah Gunung Kidul ada yang namanya walang (belalang) goreng. Minumannya? Jangan ditanya, ada dawet, kopi jos, wedang ronde sampai wedang uwuh. Dijamin kuliner khas Jogja ini membuat kita ketagihan untuk terus makan dan makan.

Selain kulinernya, Jogja terkenal dengan budayanya, tempat wisatanya, pantainya, goanya, psikolog puskesmasnya, dan lalu lintasnya serta sarana transportasinya. Khusus yang terakhir ini, memang baru saya jumpai kalau di Jogja angkutan transportasi umumnya hanya ada bus kota, transjogja, ojeg, becak, dan taksi. Satu yang tidak ada yaitu angkutan kota (angkot). Karena angkot tidak ada, maka banyak penduduk Jogja yang memakai sepeda motor sebagai kendaraan sehari-harinya. Jika tidak ada motor, maka akan sulit sekali ke mana-mana.

Selama kuliah di Magister Psikologi Profesi Universitas Gadjah Mada (UGM) saya menggunakan motor untuk pulang pergi rumah-kampus UGM. Saya tinggal di Imogiri dekat makam raja-raja. Selama perjalanan Imogiri-UGM, saya menghitung ada sekitar 11 lampu merah yang saya temui. Jika di setiap lampu merah saya berhenti 40 detik, maka total saya kehilangan 440 detik atau 7 menit. Imogiri-UGM sendiri dalam waktu normal menempuh waktu 40 menit. Ditambah perkiraan kehilangan 7 menit, saya harus memiliki waktu minimal 47 menit untuk bisa sampai di UGM dari tempat tinggal saya.

Jam kuliah paling pagi adalah pukul 7.30, maka saya harus sudah berangkat maksimal pukul 6.43. Pada awalnya saya cemas, kalau-kalau saya terlambat, oleh karena itu saya biasa berangkat pukul 6.30, apalagi sepanjang jalan Imogiri penuh dengan pengendara sepeda motor yang menuju Jogja. Atau saya dapat berangkat pukul 6.43, melajukan motor dengan kecepatan 60-70 km/jam dan mengusahakan tidak terkena lampu merah.

Pada awalnya saya sering tergesa-gesa dan memacu kendaran dengan kecepatan tinggi saat berangkat kuliah. Tujuan saya hanya satu yaitu datang tepat waktu atau sebelum pembelajaran dimulai. Ketika saya harus berhenti karena lampu merah sering kali saya kesal. Pikiran pun mengembara dan menerka-nerka ke masa depan, “Jangan-jangan saya telat!”.

Beberapa waktu kemudian saya menyadari ternyata pikiran dan perasaan saya tidak nyaman.

Lalu, saya mengijinkan diri saya lebih santai ketika harus berhenti di lampu merah. Kenapa? 

Bukankah saat saya berhenti di lampu merah saya bisa menarik nafas sejenak sebelum memacu kendaraan lagi? Ketika saya berhenti di lampu merah, itu artinya saya bisa melihat ke sekeliling dan menemukan insight untuk ide-ide atau tulisan saya berikutnya. 

Atau saat saya berhenti di lampu merah, hati ini berkata, “Hidup ini kadang memang butuh berhenti sejenak. Berpikir sesaat. Atau merenungkan apa yang telah dilakukan oleh diri ini.”

Dan gara-gara daya berhenti di lampu merah, saya jadi punya ide membuat tulisan ini.

Sumber gambar:

Rabu, 15 April 2020

Saat Bala Melahirkan Waskita (Bagian 1)



Oleh Tauhid Nur Azhar 

Belum lama ini sehubungan dengan perkembangan wabah atau pageblug yang diperantarai virus SarsCoV-2, Sultan HB X menyampaikan petuah dari Sultan Agung Hanyokrokusumo yang sangat relevan dalam memaknai kondisi yang terjadi saat ini; Mangasah Mangising Budi, Memasuh Malaking Bumi

Maknanya adalah; mengasah ketajaman akal-budi, membasuh malapetaka bumi. Ini sejalan dengan dalil: 

"Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)" (QS Ar-Ruum: 41) 

Pageblug ini adalah sebuah peringatan, sekaligus sebuah proses pembelajaran komprehensif yang menempatkan manusia di posisi untuk melakukan proses kontemplasi dan secara paralel "dipaksa" untuk berpikir sistematik dalam menemukan solusi yang bersifat sistemik. 

Ketidak berimbangan pada proses eksploitasi dalam rangka mengakomodir pemenuhan kebutuhan akan rasa aman yang berlebihan, telah menempatkan manusia dalam posisi gagal mensyukuri dan menahan diri dalam mengambil manfaat di semesta sebagaimana yang telah dijanjikan. 

Padahal segenap potensi alam yang telah diciptakan Allah Swt., tak lain dan tak bukan dimaksudkan untuk diolah hingga memiliki nilai tambah serta dapat dimanfaatkan sebagai bagian dari berkah. 

Kajian tafsir, baik tafsir bil ma'sur maupun tafsir birra'yi dari berbagai ayat Allah tentang potensi sumber daya alam, menunjukkan bahwa memang semestinya manusia dapat mengolah dan mengambil manfaat dari semua yang telah diciptakan Allah hingga dapat menghadirkan banyak hal yang bersifat maslahat. 

Tetapi sekali lagi, jika saya boleh menyitir nasehat Sultan HB X, masalah kita terkait naluri impulsi serakah tak terlepas dari karakter 3G berikut: golek menange dewe (mencari menangnya sendiri), golek butuhe dewe (mencari kebutuhan sendiri), dan golek benere dewe (mencari benarnya sendiri). 

Karena teknologi teleko sudah berkembang, izin saya menambahi menjadi 5G ya: golek senenge dewe, dan golek slamete dewe

Egosentrisme yang lahir dari kinerja survival tools di otak manusia. Ketika spektrum naluri limbikiyah telah memancarkan sinar yang berintensitas tinggi, maka spektrum waskita perlahan berpendar menuju pudar karena terinferensi gelombang yang didominasi kecemasan yang berenergi reduksi yang condong mengeliminasi. 


Kamis, 09 April 2020

Gembel Mudik di Tengah Corona


Oleh Duddy Fachrudin 

Kita itu butuh mudik 

Kita? 

Kita: manusia yang terdidik 
Manusia yang menjadi manusia 

### 

Terdidik itu mengalami pendidikan 
Jiwa dan akalnya ditempa oleh kehidupan 
Jiwa dan akalnya tak mau menjadi budak penjajahan pikiran 

Sampai manusia sadar bahwa dirinya tak perlu embel-embel 
Sadar kalau dirinya gembel 

### 

Itulah mengapa manusia puasa 
Puasa dari mengembel-embeli dirinya 

Yang berhasil maujud menjadi fitri 
Sesuai hakikat ruhnya yang suci 

### 

Itulah mudik sejati

Mudik yang lebih penting dari mudik kultural yang selama ini kamu jalani 

### 

Corona bertamu,
tok tok tok...

Ben kamu mudik sejati 

### 

Ben kamu dadi sebenere menungso 

### 

Karena globalisasi yang menuhankan materi ini manusia lupa jati dirinya 

Lupa untuk mengisolasi dirinya 

### 

Manusia asyik menjadi follower 
Mencari sesuatu di luar dirinya hingga muter-muter 

Mubeng-mubeng kluwer-kluwer 

Akhirnya keder 

### 

Setiap hari adalah hari raya 
Setiap hari menjadi sejatinya manusia 

### 

Menjalani simulasi di surga
Tak ada kejahatan, korupsi, dan segala kepalsuan 

Yang ada hanyalah suap-menyuap kasih sayang 

### 

Sekiranya itu hasil dari mudik sejati

Menebarkan cinta dan kebermanfaatan,
sebagai gembel tanpa embel-embel:
ingin dihormati, ingin dikenali, ingin dicintai 
 
Sumber gambar:

Selasa, 24 Maret 2020

Covid, Hafidh, Lockdown, dan Vektor Hati


Oleh Duddy Fachrudin

Manusia diperjalankan
Tuhan memperjalankan

Virus diperjalankan
Tuhan memperjalankan

Dalam kegelapan malam, Nabi diperjalankan
Tuhan memperjalankan

Semua diperjalankan
Tuhan memperjalankan

###

Semua diberhentikan
Tuhan memberhentikan

Ikhlas menerima apapun yang datang
Ikhlas menerima apapun yang pergi

Datang untuk pergi
Pulang untuk kembali

###

Diperjalankan dengan aneka tanya yang berkelindan
Jawaban-jawaban hanya ada saat melalui jalur pendakian

Seperti Nabi yang mendaki
Seperti Mereka yang senantiasa bersuci

Atau Mereka yang berdiam diri
Menembus samudera cinta hakiki

Melepaskan diri dari jerat eksistensi materi,
untuk menghirup cahaya esensi

###

Ada covid
Ada pula hafidh

Kamu covid atau hafidh?

Hafidh pemelihara
Covid pembawa bencana dengan tingkah lakunya

###

Tak pernah bertanya akar dari masalah
Hanya mencoba mengobati dan berupaya mencegah

Mata sembab melihat jasad tergeletak di bumi tak berpetak

Lalu pernahkah bertanya sebab dari semua ini?

###

Hafidh diperjalankan
Covid diperjalankan

Ada hafidh tetap hafidh
Ada hafidh menjadi covid
Ada covid selalu covid
Ada covid berubah wujud menjadi hafidh
Ada pula hafidh berwajah covid

###

Kenapa mesti berawal di Cina?
Kenapa mesti tak kasat mata?
Kenapa mesti menjelang puasa?
Kenapa mesti melalui peringatan hari dimana Nabi mengalami perjalanan luar biasa?

Pernahkah pemimpin dunia bertanya?

###

Ada shiyam
Ada shoum

Lockdown itu shiyam sekaligus shoum

Shiyam puasa makan minum dalam sehari
Shoum lebih luas lagi, menahan diri

Shiyam dan shoum meningkatkan iman dan imun

Masa kamu tidak mau melakukan sesuatu yang baik dan bermanfaat untuk kelangsungan hidupmu?

###

Tapi nanti depresi
Resesi ekonomi
Dapur tak mengepul lagi

Dengan bilang seperti ini, kamu sudah menjadi orang yang merugi

Manusia kufur yang tak bersyukur

Hidup ini hak guna, sejak kapan hidup menjadi hak milik?

###

Sejak materi mendominasi

Akhirnya jadilah penganut materialisme
Jadilah menuhankan kapitalisme

Semua dilihat dari untung rugi duniawi

###

Maka, beruntunglah mereka yang tak menikahi dunia

Seperti Nabi,
yang perlu diteladani dan diikuti

Makan dibatasi
Stok pakaiannya hanya untuk 2 hari
Rumahnya sangat kecil dan sempit sekali
Semua kekayaannya dibagi-bagi

###

Derita umatnya saat ini tak ada apa-apanya dibanding deritanya

Semua anak cucunya mati
Pernah diracun, disantet, diludahi, dan dicaci maki
Dilempar kotoran, dikucilkan, dan diusir dari kampung halaman

Yang tak menyukainya menyeru, "Tangkap... hidup atau mati!"

###

Tapi Nabi yang paling sering menangis dan mengemis dalam sujudnya

Cinta dan takut beriringan mengisi ruang hati
Tertuju satu hanya pada Ilahi

###

Dan salah satu do'a favorit Nabi:

"Ya Tuhan, hidupkan aku keadaan miskin dan bangkitkan aku kelak bersama orang-orang miskin."

Kamu pernah berdo'a seperti itu?

###

Sehat itu tak hanya fisik
Sehat itu holistik

Sehat mental, sosial, dan spiritual

Juga sehat finansial

Tapi kalau melihat Nabi, ia begitu sangat tidak sehat finansial

Namun begitu, riwayat sakitnya hanya 2 kali

###

Andai Nabi melihat bencana ini ia sangat bersedih

Sedih bukan karena jumlah yang mati

Sedih karena melihat kepongahan manusia
Meringis karena banyak yang mengaku mencintainya, namun nyatanya tipu-tipu belaka

###

Ini bukan lagi soal lockdown atau herd immunity

Ini masalah vektor hati

###

Hati yang perlu isra' dan mi'raj,
melintasi berbagai dimensi

Referensi:
Bagian shiyam, shoum dan Nabi terinspirasi dari buku dr. Ade Hashman yang berjudul, "Cinta, Kesehatan, dan Munajat Emha Ainun Nadjib", penerbit Bentang

Sumber gambar:
https://emphaticallynomadic.com/how-to-find-yourself-through-a-spiritual-journey/

Rabu, 20 November 2019

3 Cara untuk Menjalani Hidup Tanpa Keruwetan


Oleh Duddy Fachrudin

Kadang saya iri dengan gunung. Ia begitu elok, tempat bersemayam beraneka rupa flora serta fauna, dan pastinya banyak dikunjungi manusia.

Gunung tak mengeluh saat didaki manusia yang terkadang malah mengotorinya. Ia juga tak menampakkan kemarahan saat badai hujan menerpa. Pun saat terik matahari menyengat, ia tetap tabah.

Gunung mengajarkan keteguhan, kemantapan, sekaligus bagaimana menjalani kehidupan tanpa keruwetan. Ia tetap istiqomah menjalankan tugas menjaga keseimbangan di bumi tercinta.

Dibalik tugas besarnya, ia tak memiliki keinginan apa-apa, ia pandai menerima dan melepas segala sampah kotoran yang dibawa manusia, serta begitu ikhlas menjalani ketidakpastian.

Maka belajar dari gunung berarti belajar bagaimana menjalani kehidupan ini dengan santuy, mindful, tanpa keribetan, tanpa keruwetan. Bagaimana?

1. Memilih dan memilah mana yang menjadi kebutuhan kita. Hidup adalah tentang keseimbangan. Berlebihan akan menggerus keseimbangan. Mengecek keinginan yang muncul segaligus mempertanyakannya, "apakah saya benar-benar membutuhkan ini?"

2. Melepas. Kurangi hal-hal yang tidak penting: barang-barang yang memenuhi space (ruang), sampah pikiran dan perasaan yang terus mengendap, serta informasi tidak penting yang terus membanjiri indera. Melepas berarti menata hidup, menjadi sadar sepenuhnya akan kehidupan kita.

3. Menjalani ketidakpastian dengan keyakinan, kesabaran, keikhlasan, dan kebersyukuran. Suatu hal yang pasti adalah ketidakpastian tersebut, bukan? Selalu ada ujian, tantangan, penderitaan. Dan itu adalah kewajaran. Justru jika tidak ada semua itu, apa asyiknya mengarungi kehidupan?

Maka berfokus saja memberi kebermanfaatan. Meniatkan diri untuk menjadi baik dan menebar kebaikan.

Sumber gambar:

Kamis, 24 Oktober 2019

Mbah Moen dan Metafora Perjalanan Akbar


Oleh Duddy Fachrudin

Wafatnya Mbah Moen di waktu subuh di Tanah Suci Selasa yang lalu mengingatkan pada sebuah film mindfulness bertema road movie berjudul Le Grand Voyage (Perjalanan Akbar).

Sebuah kisah perjalanan haji menggunakan mobil dari Prancis ke Makkah al-Mukarramah yang berjarak 5000 kilometer. 

Berbagai cerita sekaligus konflik mewarnai ayah dan anak yang memiliki karakter yang bertolak belakang selama perjalanan tersebut. Namun dari konflik tersebut masing-masing berusaha mengenal dan memahami. Menerima dan juga memaafkan.

Hingga suatu ketika sang anak bertanya, "Kenapa papa tidak naik pesawat saja ke Mekkah? Bukankah lebih praktis?"

Ayahnya menjawab melalui metafora yang cantik: 

"Air laut baru kehilangan rasa asin setelah ia menguap ke langit. Dengan begitu ia menemui kemurniannya... Inilah mengapa lebih baik naik haji dengan berjalan kaki daripada naik kuda. Lebih baik naik kuda daripada naik mobil. Lebih baik naik mobil daripada naik kapal. Lebih baik naik kapal daripada naik pesawat."

Perjalanan haji ibarat perjalanan air laut menuju langit yang kemudian menjadi murni, tidak lagi tercampur butiran garam.

Maka proses "menjadi murni" bisa dicek melalui pengamatan ke dalam jiwa mengenai tujuan akhir perjalanan hidup manusia. Melepas segala hal yang selama ini melekat. Hanya tersisa sekuntum rindu untuk bertemu.

Di akhir film, sang ayah melepas raga saat melaksanakan puncak ibadah tersebut. Anaknya yang begitu berlebihan dalam kehidupan duniawi dan alpa mengingat Tuhan menangis meringis. Pedih. Ia yang selama ini berkonflik dengan ayahnya dan tidak menunjukkan birrul walidaini itu perlahan menyadari segala kebodohan perilakunya. 

Air mata yang jatuh menjadi tanda bahwa ia sedang berproses menuju suatu kebaikan (al-birr). 

Dan al-birr tersebut bertransformasi menjadi mabrur. 

Kemurnian jiwa. Menuju cinta. Menuju cahaya.

Sumber gambar:

Rabu, 14 Agustus 2019

Manusia Tidak Seperti Daun yang Bahagia dalam Diamnya (Bagian 3, Habis)


Oleh Tauhid Nur Azhar

Lalu apapun hasilnya, kita berhak untuk bahagia.

Mengapa?

Karena itulah proses yang berkelindan dengan rasa syukur karena kita ada dan berada. Yah daripada habis tenaga untuk terus bertanya tentang mengapa dan bagaimana.. jalani saja dulu pertanyaan itu, toh di ujungnya kunci jawaban tersedia kok.

Bahagia itu gratis, kecuali bahagia yang sudah jadi komoditas dan bersifat transaksional.

Jenis bahagia yang kedua butuh modal, beresiko dan berbahaya juga. Kenapa? Karena komoditas punya life cycle dan transaksional amat bergantung pada dinamika nilai tukar. 

Awas lo, nanti belum balik investasinya sudah keluar produk bahagia model baru loh.. ga kebeli deh.. sedih merana deh.. galau deh.. 

Makanya mungkin sekarang banyak orang galau, salah satunya mungkin kehabisan modal buat beli kebahagiaan kali ya? 

Padahal bahagia di dunia ini adalah kunci untuk bahagia di akhirat loh.. kan ada dalam doa yang kita semua hapal dan lancar membacakannya 😊

Sumber gambar:

Manusia Tidak Seperti Daun yang Bahagia dalam Diamnya (Bagian 2)


Oleh Tauhid Nur Azhar

Karena hidup itu sebuah perjanjian yang harus ditepati. Karena ruang itu harus dijalani. Karena umur itu harus dihabiskan sendiri. Karena kalau tidak kita habiskan kan tetap habis sendiri.

Bagaimana cara kita menghabiskannya? Ya sama seperti makan, sama-sama harus dihabiskan dan disyukuri. Apa yang terjadi pada saat kita makan? 

Syaraf-syaraf keren berujung papila, berbuhul gema gustatoria, bersimpul kelindan dengan serabut fasial dan trigeminal akan mengolah dan membawa rasa yang menimbulkan suka, juga cita, dan daya untuk merasakannya kembali. Begitulah makan, prosesnya diawali dengan kebutuhan biologi, mekanismenya diwarnai kenikmatan, dan diakhiri dengan kebermanfaatan. 

Seharusnya demikian pula hidup dan kehidupan. Lahir dan hadir secara hayati adalah keniscayaan. Dipungkiri pasti utopi. Ditolak pasti cuma bisa sebatas kehendak. Hendak menolak hal yang nyata takkan tertolak. 

Itulah mengapa hidup harus dijalani, ditepati, dinikmati, dan disyukuri. Seperti daun yang lebih dari separuhnya pasti tak mengerti mengapa ia sampai harus berada di bumi. Sebaliknya kita, lebih dari separuhnya sepertinya mengerti tentang arti hadir, berada, dan menjalani "kini" yang dilahirkan "lalu" dan akan melahirkan "akan". 

Maka biarkan hidup mengalir, mengambang, dan tertiup kemana angin bertiup karena pasti angin pun ada yang mengatur dan mengendalikannya bukan. 

Apakah hanya Buys Ballot yang dapat melihat itu? Angin hanya keniscayaan yang lahir dari interaksi sebab-akibat. Sebab ada ruang bertekanan rendah dan ada yang bertekanan tinggi, akibatnya terjadi perpindahan massa udara melintasi media atmosfera. Gitu aja kok repot ya? 

Ikut saja sama yang punya skenario ya. Yang punya banyak kejutan ajaib semudah menambah kurang tekanan di seantero bumi sesuka dan semaunya, la wong yang punya kok

Maka ini saatnya mikir dan bertanya.. nah ada waktunya kan? Apa mikir dan pertanyaannya? "Lalu kita bisa apa ?" Nah itu pertanyaan saya, mungkin anda juga sama ya? Kalau kita bertanya secara retoris seperti itu, apa perlu dijawab? 

Karena baik anda, saya, dan juga mereka pasti sudah tahu jawabannya. Ya ndak bisa apa-apa. Karena ndak bisa apa-apa yang usaha dan doa saja apa-apa yang bisa kan? 


Sumber gambar:

Manusia Tidak Seperti Daun yang Bahagia dalam Diamnya (Bagian 1)


Oleh Tauhid Nur Azhar

Melanjutkan renungan kayu dan api yang saling meniadakan karena tiada pada hakikatnya adalah ada yang sejati, pagi ini saya ingin bertanya lebih pada diri sendiri.

Mengapa berada menjadi begitu penuh drama dan diwarnai kepemilikan dan rasa kehilangan? 

Apakah daun juga bertanya mengapa ia diberi stomata? Mengapa ia begitu butuh cahaya? Mengapa ia harus menghisap CO2 yang jelas bukan semata dihasilkan dari ulahnya? Mengapa pula ia butuh air hingga di sekujur tubuhnya dijaluri oleh pembuluh xylem dan phloem? 

Iya tidak tahu mengapa ada cairan bernama giberelin dan auksin yang seolah memaksa dirinya untuk terus bertumbuh dan meliuk mengikuti arah datangnya cahaya. 

Mengapa cahaya? Ingin ia berteriak dan bertanya, mewakili triliunan daun sedunia... tapi untuk apa? 

Untuk apa bertanya jika hanya kau sendiri yang akan tahu jawabannya. Tentu pada waktunya. Lalu untuk apa juga kita bertanya? Dan berteriak tak terima? 

Jamak sebenarnya. Kita dipersyarafi dan merasakan begitu banyak nyeri, derita, juga nestapa. Berimbang dengan nikmatnya guyuran cinta, tawa, gembira, dan tentu saja bahagia. Tapi mengapa? 

Toh bahagia itu bila dalam terminologi kimia fasanya adalah liquid dan bersifat termolabil yang volatil. Terkena terpaan panas sedikit saja, maka ia akan menguap dan menghablur entah kemana. Mungkin di ketinggian tertentu ia akan kembali menyublimasi dan menjadi kebahagiaan di hati orang lain. 

Ya , orang lain. Bukan kita. Maka bahagia menjadi bagian dari proses transaksional yang dimasukkan dalam ranah ekonomi matematika. Bahkan kadang diukur dengan indikator psikometrika. Bisa juga pada gilirannya dikemas dan dirapihkan pasca disetrika. 

Kebahagiaan menjadi komoditas. Sama seperti akal dan kecerdasan yang menyisakan sejumlah tanya.

Manusia tidak seperti daun yang bahagia dalam diamnya.

Membuka tutup stomata, memeluk cahaya, dan mengubah air serta CO2 menjadi gula dan O dua, lalu tumbuh, ruku ke arah sang surya-foto taksis namanya, berbuah dan segera saja segenap entitasnya larut dalam semangat tulus untuk melayani, memberi, dan sekedar berbagi. 

Inilah ikhlas di level sangat tinggi. Inilah jalan Salik untuk mengerti. Bertanya pada diri sendiri, lalu menjalani pertanyaanmu sendiri, dan kau akan menemukan jawaban jika engkau terus berjalan. 

Mengapa? 

Sumber gambar:

Kamis, 17 Januari 2019

Keliling Singapura 5 Hari Hanya 525 Ribu


Oleh Duddy Fachrudin

Bersama Prof. Aviad Haramati, Pencetus Mind-Body Medicine
 (Mindfulness Approach) di Georgetown University dan rekan-rekan FK UGM

Ongkos di atas tentu tidak termasuk penginapan, biaya transportasi Indonesia-Singapura-Batam-Jakarta, melainkan biaya hidup selama 5 hari di Singapura, membeli simcard lokal, plus membeli oleh-oleh sederhana.

Adalah undangan untuk melakukan short communication di Asia Pasific Medical Education (APMEC) ke-15 pada tanggal 9-13 Januari 2019 di National University of Singapore (NUS) yang membuat saya berkunjung ke Lion City tersebut.

Pada saat berangkat saya hanya menyiapkan 100 SGD dan 250 ribu rupiah di dompet. Saya terbiasa tidak membawa uang banyak ketika melakukan perjalanan, apalagi di Singapura terdapat ATM BNI di kawasan Robinson Road.

Selain uang, roti sobek 2 bungkus menjadi bekal untuk berhemat di sana, setidaknya selama 2 hari pertama. Satu hal lagi yang wajib dibawa adalah botol minum yang siap sedia di-refill di penginapan, bandara, atau masjid-masjid di Singapura.

Hari 1:
Pengeluaran wajib ketika tiba di Changi Airport sore hari adalah melakukan top up kartu MRT. Kartu ini dipinjamkan oleh rekan kerja saya, sehingga saya tidak perlu membeli yang baru. Isi ulang saldo 15 SGD.

Agenda hari pertama tentunya menuju penginapan di daerah Chinatown. Melalui Terminal 2 Changi kita bisa fare menggunakan MRT. Untuk bisa ke Chinatown kita perlu transit di Expo terlebih dahulu. Sesampainya di penginapan lalu jalan-jalan di sekitar Chinatown. Makan malam hanya roti yang dibawa dari Indonesia.

Hari 2:
Karena hanya mengikuti Main Conference yang dimulai pada tanggal 10 Januari, maka agenda hari ke-2 adalah jalan-jalan. Jalan-jalan di Singapura berarti benar-benar jalan kaki. Setelah check out, saya menuju Masjid Jamae Chulia yang malam sebelumnya juga saya kunjungi untuk sholat maghrib dan isya.

Tidak sengaja, saya bertemu mahasiswa S-2 IPB yang sedang solo traveling. Akhirnya kami menjelajah bersama mulai dari Pura Sri Mariamman Temple, Buddha Tooth Relic, Singapore City Gallery, Stasiun Chinatown - City Hall (transit di Dhoby Ghaut) lalu menuju St. Andrew's Cathedral dan National Gallery Singapore untuk ngadem (istirahat).

Siang yang terik tetap membuat kita melangkahkan kaki ke Esplanade Park. Di taman yang teduh, 1,5 SGD ditukar dengan es krim durian yang lezat, menikmatinya, sebelum bertolak ke Esplanade Bridge.

Jalan setapak menuju Helix Bridge dari The Float Marina Bay sayangnya ditutup, membuat kami kembali ke Esplanade Bridge-Merlion-Stasiun Raffless Place. Di kawasan Raffles sejenak sholat di sebuah basement gedung perkantoran dan mengisi botol air. Lalu dengan tenaga tersisa menuju Botanic Garden.

Karena kelelahan dan waktu juga sudah sore, kami hanya berkunjung ke satu tempat di Botanic Garden, yaitu Eco Lake. Dari Botanic Garden menuju Bugis mencoba mee goreng telor dan es kopi dengan total harga 6,5 SGD di sebuah warung halal di belakang Masjid Sultan. Kami berpisah setelah makan. Saya menuju penginapan kedua yang terletak di kawasan Farrer Park Little India. Setelahnya check in, jalan-jalan seputar Little India dan sholat di Masjid Malabar sekaligus memasukkan 1 SGD ke kencleng masjid.

Hari 3:
Agenda hari ketiga adalah menuju Fort Canning Park, beli tiket ferri di Harbourfront, dan mengikuti pembukaan Main Conference APMEC. Untuk menghemat saldo di kartu MRT, setelah check out, saya berjalan kaki dari Farrer Park ke Fort Canning melewati kios demi kios di Little India. Keliling di sana hingga puas kemudian memandangi boat yang lalu lalang di Singapore River di Quark Clay sebelum bertualang kembali ke Harbourfront.

Pengeluaran hari ketiga lumayan banyak, yaitu 29 SGD, namun uang sebanyak ini digunakan untuk membeli tiket ferri menuju Batam (25+3 SGD karena mengubah jadwal). Sementara 1 SGD digunakan untuk membeli air mineral dingin di Masjid Temenggong Daeng Ibrahim di seberang Sentosa Gateway. Jadi jika menihilkan pengeluaran transportasi ferri, maka pengeluaran hanya 1 SGD.

Malamnya, berbagai menu asyik nan mewah terhidang di saat gala dinner setelah opening APMEC.

Check in di hotel terakhir di kawasan Bugis. Saya menyewa untuk 2 malam, namun ternyata i've made a mistake! Saya menyewa kapsul di female dorm! Untungnya ada 1 kapsul kosong di hari ke-3 ini di mix dorm, tapi tidak untuk besoknya.

Akhirnya saya menanyakan ketersediaan kapsul di hotel yang sama di daerah Chinatown, dan masih tersisa 2 kapsul. Namun jika saya memesannya perlu menambah 30 SGD karena harganya berbeda. Sebenarnya bisa ada opsi lain, yaitu meminta penghuni wanita di mix dorm pindah ke female dorm. Namun karena saat itu sudah larut dan tidak ingin mengganggu orang lain, serta membutuhkan kepastian untuk besoknya, saya menyetujui opsi itu.

Hari 4:
Mengikuti berbagai diskusi di APMEC, lalu siangnya sebelum sholat jum'at bertemu Mas Dody (alumni Teknik Elektro ITB angkatan 2003) yang bekerja di kawasan Buona Vista. Diajaknya saya mencicipi Chicken Rice Edmond yang begitu nikmat. Dan rasa nikmat itu bertambah ketika saya ditraktir olehnya.

Malamnya tidak makan karena sudah mengisi perut dengan aneka cemilan di sesi coffe break sore APMEC. Hanya jalan-jalan (kembali) di Chinatown sambil mencari oleh-oleh.

Pengeluaran hari keempat untuk top up hotel 30 SGD dan membeli coklat 3 bungkus 12 SGD.

Hari 5.
Hari terakhir Main Conference APMEC sekaligus melakukan presentasi. Tidak ada pengeluaran lagi di Singapura sampai akhirnya menyebrang ke Batam. Saldo MRT yang digunakan selama 5 hari sebesar 14 SGD, sesuai perkiraan ketika top up 15 SGD ketika pertama kali tiba di Changi.

Sisa roti 2 buah dihabiskan di Harbourfront sebelum menyebrang ke Batam Center.

Pengeluaran Selama di Singapura
Top up kartu MRT: 15 SGD
Es krim: 1,5 SGD
Mee goreng telor: 5 SGD
Es kopi: 1,5 SGD
Tiket ferri dan ubah jadwal: 28 SGD
Infak: 1 SGD
Air mineral: 1 SGD
Top up hotel: 30 SGD
Oleh-oleh coklat: 12 SGD
Total: 95 SGD

Jika total biaya tersebut dikurangi tiket ferri dan top up hotel, maka hanya 37 SGD atau 400 Ribu. Ditambah membeli simcard lokal 125 Ribu (beli sebelum berangkat), sehingga total 525 Ribu Rupiah keliling Singapura selama 5 hari.

Thank you.

Sumber foto:
Dokumentasi Rekan FK UGM

Rabu, 12 Desember 2018

Hahaha (Sebuah Puisi)


Oleh Duddy Fachrudin

Pagi ini berlari anak-anak
Tertawa terbahak-bahak
Mereka bersamaku
Aku bersamanya

Namanya Fara, Dila, dan Sopia
Mereka punya cita-cita
Untuk mengelilingi dunia
Hahaha aku tertawa

Baiklah kalau begitu: mari kita lakukan

Bandung, 2011

Sumber gambar: 
http://www.chaptershealth.org/hospice-around-the-world/

Senin, 12 November 2018

Mindful Parenting: [Refleksi Hari Ayah] Bapak Juara Satu Sedunia (Bagian 2, Habis)


Oleh Tauhid Nur Azhar

Terlalu banyak kebaikan beliau yang bisa saya ceritakan, tapi saya hanya ingin memberikan gambaran, kira-kira sedalam apa perasaan saya kepada beliau melalui kisah singkat berikut:

Alkisah di penghujung 70'an saya terbaring sakit berminggu-minggu. Tak ada dokter yang dapat menyembuhkan, termasuk Kakek dan Nenek saya yang seorang dokter dan juga guru besar.

Saat itu Bapak tengah menempuh program Masternya di IHE Delft. Pada akhirnya para dokter bersimpulan bahwa apa yang saya derita adalah manifestasi psikosomatis yang terjadi karena saya menahan rindu kepadanya.

Maka berangkatlah anak kecil ini ke negeri Holland. Belasan jam penerbangan dan beberapa kota dilintasi. Ajaib, setelah bertemu dengan Bapak di bandara Schiphol seolah semua penyakit mendadak sirna!

Tentu semua kita memiliki kenangan berbeda dengan Ayahanda. Tapi susah-senang dan apapun yang beliau lakukan pada kita, marilah kita belajar untuk percaya, bahwa apapun sikap dan perlakuan orangtua, hampir dapat dipastikan bahwa niatnya adalah untuk kebaikan anak dan keluarga.

Saya pernah menulis ini dalam sebuah buku bergenre sastra, tentang seorang Ibu yang dianggap tak beradab karena meninggalkan anaknya di pintu depan pintu asuhan. Tapi ternyata di balik keputusan besar itu sang Ibu terluka dan menjerit dalam hatinya, tak kuat menghadapi perpisahan dengan anaknya. Ia meyakini bahwa dengan segala keadaan yang dihadapi, menitipkan anak bukanlah karena ia ingin lepas dari tanggungjawab, melainkan dengan dititipkanlah maka masa depan anak masih ada peluang untuk terjaga.

Berat baginya, karena merindu. Berat baginya karena tak lama lagi hujan hujat akan membantainya dan memberinya identitas baru sebagai orangtua yang tak tahu malu. Memang demikianlah orangtua, demi anak apapun dilakukannya. Tak malu lagi saat berutang demi membelikan buku pelajaran anaknya. Tak jeri lagi saat di malam buta berlari kian kemari mencari dokter dan obat bagi anak-anaknya.

Jutaan peluh dan airmata telah membasahi tubuh renta mereka. Maka kini saatnya kita yang muda dan rindu Bapak, mulai belajar bagaimana cara menjadi manusia yang seutuhnya, yang mau menerima sekaligus tergerak untuk selalu menebarkan kebaikan dan kebermanfaatan.

Love U Bapak, dari kami anak-anakmu yang merindu...

<<< Halaman Sebelumnya

Sumber gambar:
https://isha.sadhguru.org/in/en/wisdom/article/fathers-sons-karan-johar-conversation-sadhguru

Mindful Parenting: [Refleksi Hari Ayah] Bapak Juara Satu Sedunia (Bagian 1)


Oleh Tauhid Nur Azhar

Semalam teman saya yang gagah, yang pernah mengabdi sebagai tentara infanteri dan tentu tangguh sekali, berkata bahwa ia rindu Ayahnya.

Banyak hal yang hanya dapat dikenangnya. Banyak hal yang hanya bisa dibaginya dengan sang Ayah; suka, duka, derita, juga gembira. Demikianlah adanya. 

Ternyata saya pun mengalami hal serupa. Saya memang anak Bapak dalam artian harfiah. Anak yang menempel pada Bapaknya. Anak yang beruntung karena memiliki idola yang bisa dibanggakan bukan karena harta, jabatan, ataupun sekedar kerupawanan. 

Bapak yang justru sederhana, bersahaja, dan apa adanya. Pejuang diam yang tak pandai merangkai kata. Yang menunjukkan kasih sayang dengan menggendong sepanjang jalan saat lutut saya terluka kena knalpot motor yang membara. Atau hanya duduk diam melihat saya berenang di sungai Toraut di tengah hutan Dumoga. 

Bapak yang hanya berbinar saat anaknya menjadi murid teladan kabupaten dan pada akhirnya propinsi. Bapak yang duduk tenang saat anaknya diwisuda sebagai lulusan terbaik sekaligus generasi pertama program Pascasarjana disiplin ilmu yang baru ada di Indonesia. 

Tidak banyak bicara tapi jujur dalam laku dan lurus dalam perbuatan. Kadang itu semua melebihi ribuan kata manis berbunga-bunga yang lebih tepat menghiasi halaman-halaman buku cerita. 

Bapak tidak pernah menasehati soal kejujuran dan integritas, namun dibawanya saya ke tempat kerja dan melihat bahwa beliau membongkar semua konstruksi yang tidak sesuai dengan spesifikasi yang direncanakan. 

Beliau tidak pernah mengumbar janji dan jargon manis dalam bentuk orasi, tidak, tapi setiap kali berpindah tempat tugas banyak orang melepas kami sekeluarga dengan linangan air mata. 

Dan sampai saat ini setelah Bapak tiada, kemana pun saya pergi di Indonesia selalu ada sahabat-sahabat dan anak didik Bapak yang dengan tulus hati menyambut saya dengan tangan terbuka. Terkadang melebihi saudara. Satu kalimat pendek yang sudah saya hafal karena selalu diulang oleh para rekan Bapak: "...saya banyak belajar dari Pak Sus." Itulah nama panggilan Bapak saya. 

Bagi saya itu hal yang aneh. Bapak saya jarang bicara panjang lebar, hanya senyum dan mendengarkan lalu sesekali melontarkan pandangan dan rencana yang detil. Hemat dalam kata berlimpah dalam karya. 

Usai gempa besar melanda Sulawesi Tengah, beberapa sahabat keluarga mengirimkan foto-foto dari karya konstruksi Bapak berupa rumah panggung yang utuh tidak kurang suatu apa. 

Dan Bapak pun tidak banyak bertanya saat saya mohon izin untuk menikah di usia yang amat muda. Hanya senyum dan mendoakan pilihan saya adalah yang terbaik. 

Bahkan Bapak sama sekali tidak menunjukkan kekecewaan saat saya memilih untuk menekuni aktivitas yang bersifat akademis tinimbang menjadi orang klinis yang hidupnya bisa dijamin kinyis-kinyis. 


Sumber gambar:
https://isha.sadhguru.org/in/en/wisdom/article/fathers-sons-karan-johar-conversation-sadhguru

Selasa, 06 November 2018

[Mindful Journey] Menyusuri Salabintana Hingga Puncak Gede (Bagian 3, Habis)

Di Puncak Gn. Gede 

Oleh Duddy Fachrudin

Tidak berlama-lama di puncak, kami lalu turun melalui jalur Cibodas. Kami bermalam sambil melepas lelah di Pos Kandang Badak. Baru esok harinya melanjutkan perjalanan sambil membawa sampah-sampah bekas makanan dan minuman kami serta sampah yang ditemui selama perjalanan.

Turun Membawa Sampah

Gunung, sungai, dan samudera adalah sahabat manusia. Cinta dan kasih sayang merupakan nilai yang dipegang oleh seorang sahabat. Maka membawa pulang sampah adalah kewajiban kami para pendaki.

Maka meniti sebuah pendakian merupakan bentuk menjaga keseimbangan dan keselarasan pada alam. Maka Sekolah Pendaki Gunung Wanadri ini mengajarkan kesadaran serta kewaskitaan dalam menjalani sebuah kehidupan.

Dan... pelajaran paling penting dari petualangan ini adalah: tujuan dari mendaki gunung bukan mencapai puncak, melainkan kembali ke rumah dengan selamat.

<<< Halaman Sebelumnya

Sumber gambar:
Dokumentasi Sekolah Pendaki Gunung Wanadri 2007