Kamis, 03 Desember 2020

Saya dan Mindfulness: Mengubah Derita Menjadi Bahagia


Oleh Mira Seba

Saya adalah seorang psikolog dan praktisi. Lebih dari 20 tahun saya mendedikasikan diri menangani masalah psikologis. Selama itu pula saya sangat berbahagia karena hasil kerja saya sangat diapresiasi baik oleh klien secara langsung maupun oleh teman, keluarga dari klien dan juga dari kolega serta para guru saya. 

Saya menangani klien dari berbagai negara, khususnya di kawasan Asia dan Australia. Juga rentang usia, anak-anak 5 tahun hingga usia tua. Saya pun merasa dibutuhkan. Saya merasa memiliki ‘eksistensi’ di lingkungan professional psikologi. 

Saya adalah seorang yang sangat periang, orang yang susah sedih, ‘tukang’ bercanda dan saya juga memiliki minat yang sangat tinggi untuk membantu orang lain. 

Di sela-sela kesibukan pekerjaan formal yang saya miliki saya masih sempat mengambil cuti untuk menjadi relawan ke tempat-tempat bencana alam atau mengunjungi masyarakat butuh pertolongan baik secara materi maupun psikologis.

Sampai beberapa tahun yang lalu, datanglah suatu kejadian yang merubah saya secara drastis. 

Di tempat saya bekerja, terjadi pergantian manajemen. Pimpinan diambil alih oleh orang asing. 

Pekerjaan saya, kemampuan saya sama sekali tidak dianggap ‘ada’. Metodenya dianggap kuno, tidak masuk akal, dan lain-lain. Kemudian, diputuskan saya tidak ‘dipakai’ lagi dengan tiba-tiba datang pengganti saya yang masih sangat junior dan tidak dengan latar belakang dari keilmuan psikologi pula.

Saya merasa terhina, diabaikan, marah, dan sedih. Lantas menjadi murung, malas bertemu orang-orang. Sulit tidur dan tekanan darah terus dalam posisi rendah sehingga saya terus menerus dilanda pusing ‘kleyengan’. Padahal tugas ke luar kota dan ke luar negeri masih sangat tinggi. Saya menjadi tidak produktif dan lebih ‘pendiam’. 

Itu semua terjadi selama dua tahun.

Akhirnya saya tidak bisa bertahan, hingga tahun lalu saya mengambil pensiun dini. Tetapi persoalan bukannya berhenti, malah sebaliknya bertambah. Seperti perasaan bingung mau apa dan bagaimana mulainya. 

Perasaan marah, kecewa, sedih malah bertambah. Saya terus menerus menyalahkan orang lain (bos baru, teman-teman yang tidak sepaham dengan saya, teman-teman yang tampak lebih beruntung dari saya, dan seterusnya).

Butuh waktu untuk menjadi ‘sehat’ lagi. Saya sudah terbiasa berada dalam kondisi dimana pemikiran saya selalu ‘diterima’ bahkan selama ini saya dicari dan diminta pendapat dan sarannya, serta "mengobati" orang lain ketika menjadi relawan trauma healing.

Kini saya belajar untuk mengobati luka batin saya sendiri.  

Ternyata ‘mengobati’ diri sendiri itu jauh lebih sulit. 

Di sela-sela menyembuhkan diri, saya tetap menerima klien yang datang kepada saya. 

Suatu hari saya mendapat klien yang nasibnya jauh lebih tidak sebaik dibanding saya. Nah inilah titik baliknya. Saya membandingkan nasib saya dengan nasib klien ini, saya merasa sangat ‘beruntung’.

Merasa ‘lebih beruntung’ mendorong saya melakukan perenungan untuk memasuki kondisi mindfulness

Saya memulai dengan berwudhu lalu duduk memejamkan mata merasakan dan memperhatikan nafas. Bersyukur masih diberi nafas ini. Kemudian mulai berbicara dengan diri saya sendiri.

Saya menuliskan situasi yang spesifik yang memunculkan pemikirian dan emosi negatif. Saya mengajak diri saya sendiri untuk hidup di saat ini dengan menerima dan membiarkan saya merasakan ‘enak dan tidak enaknya’ kondisi baru yang saya miliki saat ini. Menjalani hidup di saat ini , tanpa banyak ‘beban’, tidak ambisius sambil tetap bekerja dalam situasi yang baru. 

Saya sepenuhnya pasrah dan percaya bahwa rejeki dan nasib saya seperti umat manusia lainnya , semuanya sudah digariskan oleh Sang Pemiliki Kehidupan ini. 

Kenapa juga harus bingung dan takut ‘nanti’ akan begini dan akan begitu? Mencemaskan suatu hal yang belum tentu terjadi. Kalau pun terjadi ya terima saja, yang pentig sudah usaha maksimal. 

Itu yang ditanamkan pada pikiran saya.

Saat ini dengan penuh syukur saya sudah menjadi saya yang dulu lagi. 

Kemudian saya juga mencari teman, profesional yang ahli dalam bidang mindfulness untuk ‘refreshing’ kemampuan (keahlian), berdiskusi dan utamanya sharing pengalaman. 

Ya, hal yang ‘menyenangkan’ setelah pensiun adalah saya memiliki banyak waktu bertemu dengan teman-teman satu profesi, para dosen dan praktisi.
 
Akhirnya sampailah saya pada informasi tentang adik kelas yang mendalami CBT dan mindfulness yaitu Sakti dan Duddy Fachrudin. Segera saya kontak Sakti untuk mengikuti pelatihan mindfulness. Mengikuti pelatihannya, memberikan lagi pengalaman melakukan body scan yang sudah lama tidak saya lakukan. 

Dari keduanya saya juga mendapatkan penjelasan ilmiah dan pengetahuan dasar tentang mindfulness berbasis terapi kognitif (MBCT). Tidak lupa kiriman buku-buku ilmiah khusus tentang mindfulness menambah semangat untuk menjadi lebih ‘terampil’ mempraktikannya.

Mengembangkan mindfulness berarti mengubah luka derita menjadi bahagia.

Sumber gambar:
      
Share:

0 komentar:

Posting Komentar