Tampilkan postingan dengan label Tujuan Mindfulness. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tujuan Mindfulness. Tampilkan semua postingan

Kamis, 02 September 2021

Mindful Couple: Hal Terpenting yang Wajib Dilakukan Sebelum Mengenal Pasangan



Oleh Duddy Fachrudin

Perceraian (lagi). 

Mengelola sebuah pernikahan tak semudah jatuh cinta lalu mengatakan i lup yu semata. Dan juga bukan karena aku kamu (baca: kita) terdapat kesamaan lalu membuat janji suci dalam sebuah ikatan. Karena... pernikahan sejatinya adalah manajemen ketidakcocokan. 

Maka belajar saling mengenal pasangan adalah suatu keniscayaan: 

Yaa ayyuhan naasu inna khalaqnaakum min zakariw wa unsaa wa ja'alnaakum syu'ubaw wa qabaa 'ila lita'aarafu, inna akramakum 'indallahi 'atqaakum, innallaaha 'aliimun khabir. (Al-Hujurat)

Namun, mengenal pun bukan hanya tertuju pada pasangan. Mengenali diri seringkali dilupakan dan dinomorduakan.  

Blind self, saat buta tentang diri artinya di saat itu tidak menyadari sepenuhnya diri. Karena jarangnya memberi perhatian, kita tidak mengetahui dan mengenali pikiran, dorongan-dorongan, kebiasaan-kebiasaan, dan keinginan-keinginan, yang pada akhirnya kita "seolah" tidak memiliki pilihan dalam mengambil keputusan. Reaktif berdasarkan pikiran yang melintas dengan super cepat dalam kepala.


Dialektika kesadaran semestinya dibangun menembus lapis-lapis ego. Tapi... seringnya membangun mekanisme pertahanan akhirnya luput dari kewaskitaan. 

Tanpa disadari, waktu terus berlalu  menjadi bom waktu yang meledak tanpa ampun menyisakan rasa malu. Bukannya refleksi diri, tapi saling menghakimi penuh caci maki. 

Awalnya cinta berujung benci. 

Begitulah cerita sang jiwa berliku luka antara rasa dan logika. 

Sumber gambar: 

Senin, 03 Mei 2021

Membuka Perspektif Baru dengan Berpikir ala Mindfulness




Oleh Tauhid Nur Azhar 

Manusia dan imajinasi yang diciptakan dalam otaknya membangun dunia yang diyakininya.

Uniknya manusia itu juga dikaruniai bahasa sehingga mampu bertukar cerita, lalu lahirlah dunia imajinasi bersama.

Maka berpikir itu prasyarat untuk hadir.

Ayat-ayat Al-Qur'an yang mendorong manusia untuk berpikir antara lain adalah:

Surat Al- 'Alaq: 1-5, QS. Al Ankabut: 20, QS. Al Hajj : 46, dan QS. Al A'raf : 185

Lalu ternyata berpikir itu bisa dangkal dan membebani, atau dalam dan memerdekakan. Dangkal akan sulit merdeka karena syarat mendapat perspektif berwawasan luas tidak terpenuhi. Kalau dalam tapi tidak merdeka bisa. Dalam tanpa arah karena belum memetakan koordinat tujuan.

Maka pikiran yang dalam dan memerdekakan itu kerap disebut mindful. Menghayati pikiran dengan kesadaran dan keselarasan yang berbuah keikhlasan.

Prinsip paling fundamental dalam konsep mindfulness adalah "mengalir" dan tidak menghakimi (non judgement). Lebih berorientasi pada mengobservasi, menyadari, dan menghayati, serta menikmati proses yang terjadi. Dengan demikian terciptalah suatu kompetensi untuk mengoptimasi setiap kondisi yang terjadi.

Mensyukuri dan mampu mengonstruksi solusi. Jadi kondisi mindful adalah platform dalam menjalankan sebuah proses cerdas dengan ciri sabar dan bertujuan untuk ikhlas. Maka instrumen neurosains yang tepat adalah penyeimbangan antara sistem referensi (memori) dan preferensi atau kecenderungan berbasis emosi.

Peran hipokampus dan area kortikal seperti VTA (Ventral Tegmental Area) dan Nukleus Akumben. Dasar memori yang terarah dengan kewaskitaan dalam proses pengambilan keputusan akan memerlukan pendekatan value based orientation dan objective based orientation yang diperankan oleh OFC (Orbito Frontal Cortex) dan mPFC (medial Prefrontal Cortex) serta ACC (Anterior Cortical Cortex).

Lalu apa hubungan konsep berpikir "hanyut cantik" ala mindfulness dengan konstruksi mental dan mindset

Sebenarnya dalam pendekatan neurosains holistik semuanya berada dalam ruang yang sama. Seolah berbeda kuadran tetapi justru nilai akumulasinya lah yang menentukan posisi.

Mental adalah kondisi abstrak terkait dengan fungsi jaringan syaraf yang merepresentasikan kondisi internal dengan nilai-nilai endogen yang mengakuisisi stimulus multi sumber. Bahasa sederhananya adalah dunia tentang kita yang dipersepsikan oleh kita.

Kapasitas,fungsi, dan kompetensi menjadi indikator kualitas dan karakter mental, ditandai dengan potensi kognisi, afeksi, dan kontrol psikomotorik.

Sementara mindset adalah pola atau template algoritma yang akan kita pilih dan gunakan secara berulang dalam menghadapi berbagai situasi yg kita terima dari lingkungan internal dan eksternal.

Mental mindset dapat digambarkan sebagai relasi antara kapasitas mental dengan pola algoritmik yang dikembangkan sebagai bentuk adaptif terhadap situasi yang dihadapi dan platform dalam membangun konstruksi solusi serta proses coping terhadap tekanan, termasuk resiliensi dan plastisitas dalam mengembangkan dan mengoptimasi kondisi mental.

Transformasi lebih tepat sebenarnya untuk menggambarkan keindahan proses ini. Didalamnya ada adaptasi, modulasi, dan moderasi. Misal sistem kliring yang berubah menjadi fast payment (contoh kasus di bank sentral), tentu memerlukan potensi untuk beradaptasi dan mengoptimasi inovasi yang diadopsi sistem, bukan?

Perubahannya gradual dan katalitik, atau dibantu oleh katalis. Dalam hal ini diperlukan konsep "enzim". Suatu pemercepat reaksi yang hadir menjadi solusi tanpa terlibat dan larut sebagai senyawa.

Teknik yang dapat dipertimbangkan adalah adopsi dari sistem Faal manusia: bertumbuh dan berkembang. Pengetahuan dan sikap itu kurvanya berbanding lurus. Maka pendekatan Knowledge Growing itu dapat men-develop behaviour

Knowledge Growing Behaviour (KGB) adalah pendekatan brain behaviour management model baru, dimana pengetahuan yang didasari/didahului instalasi operating system terkait kesadaran akan eksistensi dan goal directed control akan membuka perspektif baru (decentering) dalam memandang dan menyikapi hidup.

Sumber gambar:

Senin, 15 Maret 2021

Akreditasi, Kebutuhan Primer, dan Anton Medan




Oleh Duddy Fachrudin 

Setiap beberapa tahun sekali, sebuah lembaga mengajukan diri untuk dilakukan akreditasi. Misalnya akreditasi sebuah jurusan atau program studi di suatu universitas. Tim asessor yang ditugaskan oleh Badan Akreditasi kemudian menilai mutu sesuai standar baku yang telah ditetapkan. Hasil akhirnya berupa nilai dan status yang kemudian disematkan oleh program studi selama rentang waktu tertentu hingga kemudian melakukan reakreditasi. 

Akreditasi mengacu pada sebuah pengakuan atas kesesuaian. Jadi... kalau lembaga telah memiliki kesesuaian performa dan pencapaian dengan standar yang ditetapkan, maka mendapatkan "pengakuan" yang bagus. Jika kurang sesuai, maka dapat melakukan evaluasi dan meningkatkan kualitas institusi sampai akhirnya meraih pengakuan yang layak.

Itu akreditasi sebuah lembaga. Bagaimana dengan manusia? 

Akreditasi pada manusia hanya bisa dilakukan oleh dirinya sendiri dan penciptanya. 

Saat seorang manusia telah sampai (baligh) pada kedewasaan (kematangan seksual), dan memahami baik dan buruk lewat akal serta budi (akil), maka hadir konsekuensi untuk mengembangkan kehidupan yang tertata, selaras, dan sesuai dengan standar Sang Maha. 

Artinya, Tuhan sangat ingin sekali mahluk yang diciptakannya yang bernama manusia ini senantiasa bertumbuh, berkembang, bertransformasi terus menerus memperbaiki diri, dan mampu mengevaluasi (melakukan akreditasi diri), yang kelak suatu hari nanti Tuhan mengakui. 

Manusia sendiri berharap mendapatkan pengakuan terbaik agar saat meninggalkan dunia "tidak memiliki keinginan untuk kembali ke dunia".

Sebagian orang yang telah mati memang butuh sekali kembali ke dunia. Mereka ingin kembali ke dunia bukan bertujuan untuk menggapai dunia. Mereka ingin memperbaiki amal salih. 

Tidak jarang, karena hasrat dan obsesi, manusia lalai mengembangkan prioritas hidup yang dijalani. Ini tidak terlepas dari paradigma kebutuhan yang dikembangkan oleh manusia itu sendiri. 

Primer, sekunder, tersier. 

Singkatnya kebutuhan dibagi menjadi ke dalam tiga bagian. 

Kebutuhan primer berkaitan dengan kebutuhan pokok, misalnya, makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Kebutuhan sekunder sifatnya pendamping, seperti perabotan rumah tangga. Dan terakhir kebutuhan tersier, yang sebenarnya sangat tidak penting tapi dipenting-pentingkan oleh manusia, seperti barang mahal dan mewah. 

Teori ini setidaknya diajarkan dan diujikan hingga akhirnya tertanam dalam pikiran. Manusia lupa mempertanyakan kelayakan dan kevalidannya, serta hanya mengikuti arus kehidupan yang memenjarakan. 

Kemerdekaan dari penjara kehidupan dilalui saat manusia bisa memilih mana yang menjadi orientasi utama. Apakah tepat pemenuhan kebutuhan sandang, pangan, papan, perabotan, hingga cincin berlian dan kepopuleran adalah yang paling penting dan menjadi fokus perhatian? 

Para resi, seperti halnya Nabi mengajarkan keteladanan sikap dan perbuatan melalui jalan pengendalian, kebenaran, dan kebermanfaatan. Vektor ini mengarahkan manusia pada pencapaian yang diberkahi dan diridoi Tuhan. 

Dan inilah yang dilakukan oleh Anton Medan, mantan preman yang menyiapkan liang lahat untuk akhir kediaman. Ia memahami kebutuhan primer manusia sesungguhnya yang perlu dicapai dengan disiplin dan latihan. Dirinya telah siap untuk dilakukan akreditasi sesuai dengan standar yang ditetapkan Tuhan dengan penuh ketenangan.

Sumber gambar:

Kamis, 03 Desember 2020

Saya dan Mindfulness: Mengubah Derita Menjadi Bahagia


Oleh Mira Seba

Saya adalah seorang psikolog dan praktisi. Lebih dari 20 tahun saya mendedikasikan diri menangani masalah psikologis. Selama itu pula saya sangat berbahagia karena hasil kerja saya sangat diapresiasi baik oleh klien secara langsung maupun oleh teman, keluarga dari klien dan juga dari kolega serta para guru saya. 

Saya menangani klien dari berbagai negara, khususnya di kawasan Asia dan Australia. Juga rentang usia, anak-anak 5 tahun hingga usia tua. Saya pun merasa dibutuhkan. Saya merasa memiliki ‘eksistensi’ di lingkungan professional psikologi. 

Saya adalah seorang yang sangat periang, orang yang susah sedih, ‘tukang’ bercanda dan saya juga memiliki minat yang sangat tinggi untuk membantu orang lain. 

Di sela-sela kesibukan pekerjaan formal yang saya miliki saya masih sempat mengambil cuti untuk menjadi relawan ke tempat-tempat bencana alam atau mengunjungi masyarakat butuh pertolongan baik secara materi maupun psikologis.

Sampai beberapa tahun yang lalu, datanglah suatu kejadian yang merubah saya secara drastis. 

Di tempat saya bekerja, terjadi pergantian manajemen. Pimpinan diambil alih oleh orang asing. 

Pekerjaan saya, kemampuan saya sama sekali tidak dianggap ‘ada’. Metodenya dianggap kuno, tidak masuk akal, dan lain-lain. Kemudian, diputuskan saya tidak ‘dipakai’ lagi dengan tiba-tiba datang pengganti saya yang masih sangat junior dan tidak dengan latar belakang dari keilmuan psikologi pula.

Saya merasa terhina, diabaikan, marah, dan sedih. Lantas menjadi murung, malas bertemu orang-orang. Sulit tidur dan tekanan darah terus dalam posisi rendah sehingga saya terus menerus dilanda pusing ‘kleyengan’. Padahal tugas ke luar kota dan ke luar negeri masih sangat tinggi. Saya menjadi tidak produktif dan lebih ‘pendiam’. 

Itu semua terjadi selama dua tahun.

Akhirnya saya tidak bisa bertahan, hingga tahun lalu saya mengambil pensiun dini. Tetapi persoalan bukannya berhenti, malah sebaliknya bertambah. Seperti perasaan bingung mau apa dan bagaimana mulainya. 

Perasaan marah, kecewa, sedih malah bertambah. Saya terus menerus menyalahkan orang lain (bos baru, teman-teman yang tidak sepaham dengan saya, teman-teman yang tampak lebih beruntung dari saya, dan seterusnya).

Butuh waktu untuk menjadi ‘sehat’ lagi. Saya sudah terbiasa berada dalam kondisi dimana pemikiran saya selalu ‘diterima’ bahkan selama ini saya dicari dan diminta pendapat dan sarannya, serta "mengobati" orang lain ketika menjadi relawan trauma healing.

Kini saya belajar untuk mengobati luka batin saya sendiri.  

Ternyata ‘mengobati’ diri sendiri itu jauh lebih sulit. 

Di sela-sela menyembuhkan diri, saya tetap menerima klien yang datang kepada saya. 

Suatu hari saya mendapat klien yang nasibnya jauh lebih tidak sebaik dibanding saya. Nah inilah titik baliknya. Saya membandingkan nasib saya dengan nasib klien ini, saya merasa sangat ‘beruntung’.

Merasa ‘lebih beruntung’ mendorong saya melakukan perenungan untuk memasuki kondisi mindfulness

Saya memulai dengan berwudhu lalu duduk memejamkan mata merasakan dan memperhatikan nafas. Bersyukur masih diberi nafas ini. Kemudian mulai berbicara dengan diri saya sendiri.

Saya menuliskan situasi yang spesifik yang memunculkan pemikirian dan emosi negatif. Saya mengajak diri saya sendiri untuk hidup di saat ini dengan menerima dan membiarkan saya merasakan ‘enak dan tidak enaknya’ kondisi baru yang saya miliki saat ini. Menjalani hidup di saat ini , tanpa banyak ‘beban’, tidak ambisius sambil tetap bekerja dalam situasi yang baru. 

Saya sepenuhnya pasrah dan percaya bahwa rejeki dan nasib saya seperti umat manusia lainnya , semuanya sudah digariskan oleh Sang Pemiliki Kehidupan ini. 

Kenapa juga harus bingung dan takut ‘nanti’ akan begini dan akan begitu? Mencemaskan suatu hal yang belum tentu terjadi. Kalau pun terjadi ya terima saja, yang pentig sudah usaha maksimal. 

Itu yang ditanamkan pada pikiran saya.

Saat ini dengan penuh syukur saya sudah menjadi saya yang dulu lagi. 

Kemudian saya juga mencari teman, profesional yang ahli dalam bidang mindfulness untuk ‘refreshing’ kemampuan (keahlian), berdiskusi dan utamanya sharing pengalaman. 

Ya, hal yang ‘menyenangkan’ setelah pensiun adalah saya memiliki banyak waktu bertemu dengan teman-teman satu profesi, para dosen dan praktisi.
 
Akhirnya sampailah saya pada informasi tentang adik kelas yang mendalami CBT dan mindfulness yaitu Sakti dan Duddy Fachrudin. Segera saya kontak Sakti untuk mengikuti pelatihan mindfulness. Mengikuti pelatihannya, memberikan lagi pengalaman melakukan body scan yang sudah lama tidak saya lakukan. 

Dari keduanya saya juga mendapatkan penjelasan ilmiah dan pengetahuan dasar tentang mindfulness berbasis terapi kognitif (MBCT). Tidak lupa kiriman buku-buku ilmiah khusus tentang mindfulness menambah semangat untuk menjadi lebih ‘terampil’ mempraktikannya.

Mengembangkan mindfulness berarti mengubah luka derita menjadi bahagia.

Sumber gambar:
      

Kamis, 17 September 2020

Cara Melepaskan Trauma Masa Lalu




Oleh Duddy Fachrudin 

Trauma masa lalu seringkali membuat hidup seseorang menjadi tidak nyaman. Apalagi jika ia sering terbayang dan bertemu dengan objek atau subjek trauma.

“Bagaimana caranya agar perasaan dendam kepada ayah saya berhenti?”

Dalam sebuah forum kecil yang saya bawakan, tiba-tiba saja seorang residen narkoba mengangkat tangannya dan bertanya kepada saya. 

Ia terlihat masih sangat muda dan usianya mungkin masih 20 tahun. Nafasnya terasa berat, meski wajahnya mencoba untuk tegar. 

Seketika saya menanggapi pertanyaannya dengan senyuman agar ia lebih tenang.

Tanpa diminta oleh saya, ia bercerita mengenai pengalaman traumatisnya. Hal itu terjadi saat ia kelas 4 SD. Kepala bagian kanan dipukul dengan sebongkah kayu oleh ayahnya. 

Pemuda ini mengakui bahwa sebenarnya ia dipukul karena kesalahannya, yaitu membolos sekolah. Namun, kejadian tersebut selalu membekas dan membuatnya marah serta dendam kepada ayahnya.

Saya merasakan hal yang telah terjadi padanya. 

Tentu pengalaman tersebut sangat menyakitkan, dan yang lebih menyakitkan adalah ingatan tentang pengalaman itu terus tertanam dalam pikirannya. 

Namun, meskipun ia sadar bahwa ia marah dan dendam terhadap ayahnya, ia berusaha untuk mencari solusi. 

Ini adalah suatu hal yang sangat positif, karena suatu hal yang sia-sia jika terus menerus mengutuk kegelapan. Lebih baik mulai menyalakan lilin kehidupan, bukan? 

###

Banyak orang mengalami peristiwa-peristiwa negatif dalam hidupnya, termasuk orang-orang sukses. Salah satu orang tersebut adalah Oprah Winfrey yang bukan hanya sukses sebagai seorang host, pengusaha, filantropis, dan masuk dalam jajaran orang terkaya di dunia. 

Namun yang paling penting ia telah sukses melepas pengalaman traumatiknya. Oprah kecil sering mengalami pelecehan seksual yang dilakukan oleh sepupunya sendiri. Dan ketika ia berusia 14 tahun, ia hamil dan bayinya meninggal.

Dengan tekad dan kecerdasannya, Oprah perlahan mulai bangkit dan melepaskan pengalaman pahitnya, serta berusaha fokus pada pekerjaannya sebagai penyiar berita di sebuah stasiun radio lokal. 

Dua tahun berikutnya ia direkrut oleh stasiun televisi dan dipekerjakan bukan hanya sebagai pembawa berita, tapi juga sebagai host acara talkshow “People Are Talking”. Karirnya terus menanjak hingga ia memandu program acaranya sendiri, yaitu “The Oprah Winfrey Show” sejak tahun 1986.

Melepas pengalaman traumatik dapat dilakukan dapat dengan berfokus pada apa yang kita ingin capai. Bagi sebagian orang hal tersebut dapat dilakukan dengan mudah. Namun bagi yang lain terasa sangat sulit, karena ketika fokus pada pekerjaan, misalnya, ingatan-ingatan menyakitkan itu muncul kembali dan mengganggu fokus. 

Maka pada titik ini, kita perlu kembali kepada pengalaman tersebut, melihatnya, mendengarnya, merasakannya, dan berdamai dengannya.

Berdamai dengan memaafkan orang yang pernah menyakiti kita atau bahkan memaafkan diri kita sendiri yang telah berbuat salah di masa lalu. 

Karena bukankah memaafkan adalah memberi ruang kecil dari kebencian yang ada dalam hatimu?

Memeluk pengalaman traumatis dengan penuh penerimaan, memaafkan, dan cinta membuat hati lebih tenang. Bukan hanya itu, kita tidak lagi terpenjara dalam jeruji pikiran. 

Sumber gambar:
  

Selasa, 02 Juni 2020

Virus Berdamai dengan Manusia



Oleh Duddy Fachrudin 

Melawan atau berdamai? 

Kemarin-kemarin manusia berperang #melawancorona. Saat ini beralih menyatakan damai saja. 

Manusia sudah kalah? Mungkin. 

Kalah karena belum bisa mengelola diri, sementara corona masih bergentayangan untuk menyambangi. 

Ia akan selalu ada di antara kehidupan manusia. Menjadi entitas penyeimbang dari keserakahan dan kerusakan yang dibuat manusia. 

Dengan adanya corona, harusnya terjadi akselerasi akhlak manusia dalam tatanan kehidupan "new normal". Karena corona menghentak kesadaran jiwa-jiwa yang selama ini terpedaya dan tepenjara dalam ilusi serta delusi berkepanjangan. 

Kehadiran corona yang terus bermutasi sekaligus beradaptasi pada kondisi tubuh inangnya ini tanda bahwa ia mahluk yang amat cerdas. 

Namun bukankah mutasinya melemah? Dan akhirnya virus tak lagi ganas menginfeksi tubuh manusia. 

Itu artinya memang virus tak ingin buru-buru mati. Kalau inangnya wafat bukankah ia juga game over lebih cepat? 

Corona ingin terus membersamai manusia selama hidupnya. 

"Aku hanya ingin hidup  lebih lama, seperti halnya manusia dengan segala upayanya saat ini menginginkan hal itu juga." 

Corona seolah berkata, "Silahkan manusia membuat vaksinnya..." 

Virus berdamai dengan manusia. 

Simbah bilang, "Virus, bakteri, mahluk yang kecil-kecil itu kakak kandungnya manusia. Ora usah berantem, apalagi musuhan sama kakak sendiri." 

Benahi saja dirimu. Ojo adigang adigung adiguna. 

Wasi'a kursiyyuhus-samaawati wal-ard. 

Simbah melanjutkan meditasinya. Aku mengikutinya. 

Sumber gambar: 

Rabu, 20 Mei 2020

Menggapai Keseimbangan: Dari Spanish Flu Hingga Covid-19



Oleh Hamzah Abdurrahman

100 tahun sejak Spannish Flu yang menginfeksi 1/3 populasi dunia dan menelan lebih dari 50 juta korban jiwa[1], manusia kembali mendapat sebuah pandemi yang sangat menghebohkan masyarakat dunia: Covid-19.

Jika kita melihat sejarah terjadinya pandemi di muka bumi, mereka selalu menyisakan perubahan drastis bagi kehidupan manusia.

Seperti Spannish Flu pada tahun 1918 yang tepat sekali dengan berakhirnya Perang Dunia (PD) pertama. Dimana berakhirnya wabah tersebut merubah pemikiran manusia terutama dari sisi teknologi industri kesehatan.

Pasca wabah Spannish Flu, banyak sekali perusahaan kesehatan yang bermunculan baik itu dalam produk obat obatan, alat kesehatan, dan sebagainya. Hingga pada akhirnya, wabah tersebut hanya berlangsung selama 2 tahun hinnga berakhir di tahun 1920.

Berbeda dengan coronavirus yang terjadi tahun ini. Dimana virus tersebut datang ketika populasi manusia berjumlah 7,7 miliyar[2] dengan segudang masalah yang berdampak pada perubahan iklim.

Maka tak heran, sebelum terjadinya wabah ini, isu climate change dan lingkungan hidup menjadi pusat perhatian.

Meledaknya populasi manusia dalam 100 tahun terakhir, menuntut kebutuhan akan sumber daya alam dan lahan tempat tinggal menjadi semakin tinggi. Ditambah dengan meningkatnya populasi manusia di kota kota besar, menjadikan manusia terkonsentrasi di wilayah-wilayah tertentu atau biasa kita sebut dengan urbanisasi.

Pertambahan populasi manusia menjadi kesempatan orang-orang atau kelompok untuk menyediakan kebutuhan manusia seperti pangan, tempat tinggal, pakaian, mobilitas, dan berbagai jenis kebutuhan lainnya.

Bahkan bukan hanya menyediakan kebutuhan manusia, akan tetapi membentuk sebuah tren gaya hidup baik dalam bentuk fashion, kendaraan, properti, dan berbagai tren gaya hidup.

Demi memenuhi permintaan manusia akan kebutuhan dasar dan gaya hidup terjadi banyak eksploitasi alam dan perusakan lingkungan secara masif yang berlangsung selama puluhan tahun. Maka tak heran, dengan meningkatnya gaya hidup manusia, seringkali membentuk perilaku hedonisme.

Perilaku ini menjelma bak “virus” yang penyebarannya semakin cepat melalui perantara teknologi informasi. Tak heran jika barang barang branded, rumah dan kendaraan mewah mejadi cita-cita baru bagi manusia.

Bahkan beberapa kelompok manusia, rela mengurangi kebutuhan primernya seperti asupan makanan, hanya untuk membeli sebuah gadget Apple terbaru. Tentu hal ini menjadi sebuah fenomena yang mengkhawatirkan, dimana manusia menggeser prioritas akan kebutuhan hidup menjadi gaya hidup.

Hedonisme, perilaku berlebih-lebihan yang menggerus keseimbangan disadari oleh mereka yang peduli akan kesederhanaan.

Beberapa kelompok manusia, membuat sebuah inovasi untuk membantu merubah mindset manusia agar dapat mengendalikan diri dari berkembangnya moderenisasi.

Inovasi gaya hidup tersebut adalah hidup minimalis. 

Apa itu tren hidup minimalis? Pada dasarnya, tren ini mencoba mengembalikan fungsi atau skala prioritas manusia dimana kebutuhan hidup jangan sampai tergeser oleh gaya hidup.

Lalu apakah kita tidak boleh memiliki gaya hidup? Tentu saja boleh, namun kita harus bisa mengontrol keinginan gaya hidup dengan memperhatikan kemampuan diri sendiri.

Bahkan gaya hidup tersebut jika dimanfaatkan dapat meningkatkan produktivitas manusia. Sehingga kita hanya akan membeli barang jika memang barang tersebut diperlukan.

Tren minimalis kini bukan hanya sekedar tentang membeli barang yang perlu dan tidak diperlukan. Tren ini kini berkembang pada kepedulian akan lingkungan hidup bahkan pada arsitektur bangunan.

Tren minimalis kini memikirkan apakah aspek kehidupan kita mengganggu kesehatan dan kelestarian lingkungan, seperti mengurangi penggunaan plastik, pakaian untuk jangka waktu panjang, kendaraan berbasis motor listrik, hingga masuk pada tren untuk menggunakan kendaraan umum sebagai alat mobilitas utama.

Dari segi arsitektur atau kebutuhan akan tempat tinggal, tren minimalis menghadirkan solusi bagi masyarakat urban yang tinggal di daerah pemukiman padat. Tren ini mencoba memanfaatkan ruangan yang tersedia agar dapat memenuhi kebutuhan manusia, yaitu dengan mengoptimalkan ruangan rumah menjadi lebih efektif untuk digunakan.

Seorang arsitek Indonesia bernama Yu Sing memiliki semangat menghadirkan desain rumah ramah lingkungan bagi semua kalangan masyarakat. Konsep hunian yang dihadirkan Yu Sing memang sangat unik. Ia menghadirkan konsep hunian yang berkolaborasi antara alam dan manusia, agar memenuhi kebutuhan satu sama lainnya.

Bahan dasar rumah memanfaatkan material alam dan kearifan lokal seperti bambu, kayu, pelepah, dan sebagainya. Selain itu, Yu Sing memiliki konsep untuk memanfaatkan luas tanah yang bagi kebanyakan orang dianggap sempit, menjadi hunian yang layak, nyaman dan ramah lingkungan. Tentu sangat sejalan dengan tren minimalis diberbagai penjuru dunia.

Maka pandemi ini menjadi momentum perubahan perilaku umat manusia. Agar manusia lebih memperhatikan kepentingan bersama, mencegah diri dari melakukan kerusakan, meninggalkan hedonisme, dan belajar untuk mengembangkan hidup minimalis. Sehingga bumi ini dapat merasakan kembali keseimbangan alam yang telah lama ia rindukan.

Wa laa tufsidu fil-ardi ba’da islaahihaa wad’uhu khaufaw wa tama’aa, inna rahmatallahi qariibum minal-muhsinin. (QS. Al-A’raf: 56)

Referensi:
[1] https://www.cdc.gov/flu/pandemic-resources/1918-pandemic-h1n1.html
[2] https://www.worldometers.info/world-population/world-population-by-year/

Sumber gambar: 
Dokumentasi Pribadi 

Selasa, 05 Mei 2020

Masa Pandemi adalah Hari Raya



Oleh Duddy Fachrudin 

Dalam satu dekade ini banyak diskusi, penelitian, pelatihan, seminar, kajian online seputar mindfulness. Tak ketinggalan buku-buku hingga film-film terkait mindfulness berserakan. 

Mindfulness itu bikin bahagia. Membuat kita tenang dan terbebas dari stres serta kecemasan. Melepaskan jerat trauma dan depresi berkepanjangan.

Moso... hati ini tak percaya. 

Apalagi mindfulness dapat mengatasi panik di saat pandemi corona ini. Benarkah? 

Mindfulness itu hadir sepenuhnya, di sini, saat ini. 

"Tapi ketika saya hadir sepenuhnya, justru saya cemas dan panik. Pikiranku tidak kemana-mana, ada di sini, menyaksikan berita corona bertubi-tubi," aku mengatakan hal yang persis dikatakan orang-orang pada Simbahku. 

"Mindfulness iku opo sih Le?", takon Simbah. 

Dengan perut yang kenyang, malam itu akhirnya kami berdiskusi tentang mindfulness

"Intinya kesadaran Mbah," ujarku. 

Simbah menyeruput kopi pahitnya, "Oh ilmu eling toh." 

Dalam kondisi mindful sejatinya pikiran dan perasaan membelenggu itu sirna. 

Simbah lalu bertanya, "Mereka ini, maksudnya orang-orang ini sadar tidak bahwa memang dunia itu tempatnya penderitaan?" 

"Waduh, aku ora weruh Mbah," balasku. 

Dalam tradisi psikologi berbasis spiritual, mindfulness memang memiliki korelasi dengan luka dan duka. Karena isi dunia bukan hanya cita, kesenangan, dan bahagia. 

Simbah lalu mengambil sebuah buku lalu membuka halaman demi halaman. 

"Nah ini..." wajah Simbah terlihat sumringah mendapatkan apa yang dicarinya. 

Laki-laki tua yang gemar kutangan ini lalu berkata, "Datangnya beragam kesukaran merupakan hari raya bagi murid." 

Manusia itulah murid. Seperti Nabi Adam yang diajarkan nama-nama. Kita semua manusia senantiasa terus membaca (iqra) dan belajar, mencari dan bertanya. Lalu apakah hari raya? Apakah ia adalah hari kemenangan? Namun bagaimana ada kesukaran di saat kebahagiaan? 

Seperti saat ini. Begitu banyak derita akibat wabah corona. Kegelisahan, resesi, PHK dimana-mana, kelaparan, dan tentunya ketakutan. Bagaimana mungkin dibalik penderitaan itu adalah hari raya? Dongkol hatiku.

Simbah melihat raut wajahku yang bingung. "Kamu harus paham kata-kata itu. Yang bilang Ibnu Atha'illah." 

"Sang Arif Bijaksana?", tetiba suasana hatipun berubah menjadi lebih ceria. 

Petuah-petuahnya tidak diragukan lagi. 

Simbah lalu bilang, "Hari raya itu artinya saat kamu mendekat pada Gusti Allah. Orang yang mendapatkan kesukaran lebih mudah mengemis dan menangis sekaligus bermesraan sama Tuhannya." 

Jadi masa pandemi corona ini hari raya? 

Tarik napas sejenak... napas masuk... napas keluar...

Masih ora mudeng aku. 

Sumber gambar: 
Dokumentasi pribadi