Selasa, 29 Juni 2021

Kesesatan Logika Dibalik Pengambilan Keputusan



Oleh Tauhid Nur Azhar 

Jika dalam konteks neurosains kita mengenal keputusan yang diambil berdasar pendekatan reward based alias mengacu pada pertimbangan keuntungan yang menjadi motif utama, dan ini diperankan antara lain oleh struktur sub kortikal seperti ventral tegmental area, nukleus akumben dan beberapa struktur lain yang membentuk pleasure center dan hedonic circuit, maka dalam ranah filosofi berpikir kita mengenal beberapa fallacy yang tentu saja terkait dengan peran sistem neurobiologi tersebut.

Tentu saja kita membuat keputusan tidak hanya berorientasi pada satu aspek saja. Tak hanya reward yang menjadi pertimbangan, melainkan juga value dan goal tentu saja. Apakah ini sifatnya linier? Tidak juga, ketiga sifat itu bisa muncul secara paralel dan dominansi ataupun sinergi harmoni dimunculkan melalui komposisi perimbangan fungsi. Jika value diolah di area korteks orbito frontal, maka goal dikelola di korteks prefrontal khususnya daerah dorso lateral bersama dengan korteks anterior singulata. Harmonia in progressio dapat tercipta jika faktor referensi dari sistem memori dan preferensi dari sistem afeksi dapat memberikan kontribusi sesuai proporsi.

Kenyataannya dalam hidup, demi mengedepankan pencapaian secara instan kerap kali kita memanipulasi fakta dengan kemampuan kognisi dari sektor default mode network, khususnya yang terkait theory of mind, dimana permainan logika dapat digunakan untuk mendistorsi kerangka logika orang lain yang menjadi mitra kita berinteraksi.

Proses menyesatkan dan membangun kesesatan ini beberapa di antaranya sangat menarik untuk dikaji. Mari kita sedikit berkenalan dengan beberapa mekanisme dan model penyesatan logika tersebut.

Post Hoc Ergo Propter Hoc

Terjadi sesudah "itu" pasti disebabkan oleh "itu". Pola pikir sebab akibat yang kerap melihat sebuah runtutan kronologis sebuah peristiwa berdasar lini masa akan membawa simpulan prematur yang rentan untuk mengalami sifat abortif.

Contoh: ada orang melepas baju di tengah jalan (mungkin orang dengan gangguan jiwa) dan beberapa saat kemudian turun hujan. Kita membangun opini dengan narasi bahwa peristiwa melepas baju tersebutlah penyebab turunnya hujan. Apakah premis ini salah? Belum tentu, tetapi tentu perlu pembuktian lebih lanjut yang disertai dengan pendekatan bermetodologi dengan dasar referensi valid yang dapat menjadi acuan.

Contoh lain misal adanya penampakan spiral di langit yang dapat diamati oleh sebagian besar penduduk penghuni kepulauan di Samudera Pasifik. Beberapa ahli menyatakan bentukan spiral itu terjadi karena selang tidak berapa lama sebelumnya ada peluncuran wahana antariksa negara Cina. Tentu ini memerlukan klarifikasi berupa pembuktian berdasar data objektif terkait, misal waktu peluncuran, data lintasan trajektori, dan data tentang berbagai model fenomena atmosfera yang dapat ditimbulkan oleh lintasan wahana antariksa.

Terkait proses vaksinasi juga dapat menjadi contoh yang baik. Sesaat setelah divaksin seseorang kejang lalu meninggal dunia. Hampir semua kalangan akan berpendapat ini adalah kondisi ikutan pasca imunisasi (KIPI). Investigasi dilakukan dengan fokus mencari sebab yang dapat ditimbulkan oleh proses imunisasi. Sah-sah saja, tetapi temtunya penyelidikan harus dilakuan secara holistik integratif yang mampu menguak semua potensi penyebab kematian pada yang bersangkutan. Audit forensik yang bersifat investigatif harus bebas asumsi yang dibangun oleh mekanisme fallacy.

Argumentum Ad Ignorantiam

Sesuatu yang belum terbukti benar pasti salah, atau sesuatu yang belum terbukti salah pasti benar. Penggunaan kata pasti yang bersifat deterministik di sini bersifat pengabaian terhadap berbagai fakta dan pengetahuan yang belum kita dapatkan. Sudut pandang yang terbentuk menjadi amat sempit dan bersifat asumstif bahkan sarat dengan sifat presumption atau praduga yang bermotif. Biasanya argumentasi ini dilakukan untuk melakukan pembenaran terbalik (retrospeksi) terhadap suatu keyakinan dengan cara membangun logika bahwa belum ada pembuktian (baik salah maupun benar) sebagai faktor pelegitimasi bahwa secara diametral apa yang kita yakini itu benar dan apa yang orang yakini itu salah.

Contoh: ada obat yang diberikan saat ini dan setelah seminggu dipakai tidak menunjukkan efek samping. Yang memberi obat langsung mengklaim bahwa obatnya sangat aman dan sama sekali tidak memiliki efek samping yang membahayakan. Pernyataan ini didukung tidak adanya komplain dan laporan terkait efek samping penggunaan obat tersebut selama 1 minggu. Apakah pernyataan ini sudah pasti benar hanya karena tidak ada bukti kalau salah? Tentu tidak. Maka dalam riset obat dan berbagai terapi medis lainnya dilakukan uji klinis dengan mempertimbangkan representasi sampel melalui proses sampling acak dan terukur disertai jumlah sampel minimal yang memenuhi kaidah representatif, termasuk dengan memasukkan berbagai cuplikan dari berbagai kondisi nyata sebagai bagian dari proses pengujian klinis. Dan tentu saja mempertimbangkan pula waktu dan berbagai faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi.

Strawman Fallacy

Membuat simpulan yang menyudutkan dengan berdasar pada pengalihan fokus dari pernyataan yang dilontarkan.

Dalam perdebatan ataupun diskusi terkait sebuah persoalan, terkadang sifat kompetitif tak dapat terhindari. Pelontar gagasan dan penyanggah akan saling serang dan bahkan saling menjatuhkan. Jika salah satu peserta mulai mengungkit sisi buruk personalitas lawannya ini dapat dianggap pengalihan yang bersifat ad hominem.

Sementara jika penyanggah memelesetkan pernyataan pelontar pernyataan sehingga menimbulkan simpulan yang keliru ini masuk ke dalam Strawman Fallacy.

Contoh: Seorang mahasiswa magister ilmu psikologi menyampaikan bahwa wanita berpenampilan menarik adalah salah satu faktor yang menjadi pertimbangan munculnya motif perundungan. Maka penyanggah mengajukan sebuah simpulan bahwa pembicara mengatakan bahwa wanitalah yang mengundang perundungan terhadap dirinya.

Tentu kompleksitas kasus ini tidak sesederhana itu dan dalam konteks ini sebenarnya penyanggah pun paham sepenuhnya akan hal tersebut, akan tetapi melakukan teknik Strawman semata untuk menjatuhkan pembicara atau membangun opini publik ke arah yang berbeda dengan kenyataan.

Ignorantio Elenchi 

Membuat kesimpulan yang tidak sesuai premis.

Kondisi di atas (Strawman) terkait erat dengan argumentasi ignorantio elenchi, dimana bukan saja seseorang dapat dengan sengaja membuat sebuah kesimpulan yang menyesatkan dari sebuah pernyataan, melainkan juga dapat membuat kesimpulan yang sama sekali mengabaikan premis yang diajukan.

Contoh: seorang peneliti pangan menyampaikan bahwa konsumsi ikan, daging, telur, dan susu perkapita di Indonesia amatlah rendah. Lalu ada seorang pengamat mengatakan berdasar premis tersebut bahwa bangsa Indonesia amat menggemari tahu dan tempe.

Tu Quo Que

Kamu juga melakukan apa yang aku lakukan bukan? Argumentasi pembenaran melalui mekanisme proyeksi balik. Dimana kita saling menyandera karena masing-masing memiliki data kelemahan yang kita miliki.

Contoh: saat kita melarang seorang teman merokok di area publik, dan dia berkata: "sudahlah, bukankah kamu kemarin juga meludah sembarangan di taman ?"

Generalisasi Induktif 

Pengambilan simpulan terburu-buru dari data yang relatif kecil dan tidak layak menjadi sampel yang representatif.

Contoh: ketika seseorang bertemu dengan orang dari suku tertentu yang jika berbicara intonasinya tinggi, meski hanya bertemu 3 orang saja, ia telah menyimpulkan bahwa orang suku ini kalau berbicara itu berintonasi tinggi.

Atau contoh lainnya misalkan ketika saya bertanya pada 5 orang di sekitar kita (keluarga dan sahabat) apakah saya layak untuk maju sebagai kandidat kepala desa? Maka kelimanya menjawab sangat layak, dan saya percaya bahwa pernyataan mereka adalah representasi harapan publik desa.

Melihat pola-pola penyesatan logika di atas, sepertinya kok kita familier sekali ya? 

Karena memang dalam kehidupan yang bersifat kompetitif dan sarat motif kepentingan tentu manusia yang merupakan makhluk cerdas prokreatif akan mengembangkan berbagai strategi manipulatif untuk mencapai apa yang diinginkan dan menjadi tujuannya. 

Maka jernihlah (mindful), bijaklah dalam menilai dan mengambil keputusan sehingga kita senantiasa dapat menjadi pribadi yang rasional dan proporsional.

Sumber gambar:

Share:

0 komentar:

Posting Komentar