Tampilkan postingan dengan label Ayat-Ayat Cinta. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ayat-Ayat Cinta. Tampilkan semua postingan

Rabu, 01 April 2020

Teater Corona, Aku, dan Afalaa Ta'qiluun


Oleh Duddy Fachrudin 

Teater corona terus berlanjut 
Akankah manusia kembali benjut

Aku siap benjut hingga hanya memakai cangcut 
Toh hidup ini hanya ketelingsut 

Mau melawan juga pakai apa? 
Wong aku ora duwe apa-apa 

Cuma bisa puasa tanpa sahur dan berbuka seadanya 
Kalau perlu mutih 40 hari 100 hari sekaligus bertapa dari segalanya 

### 

Aku hanya ingin Tuhan tidak murka 
Ini kehendak-Nya, 
bukan kehendakku 

Aku bukanlah aku 
Aku sudah tiada sejak dulu 

Meski yang dulu-dulu suka menyapa dalam mimpi 
Meminta untuk dikasihani 

### 

Aku hanyalah atom berongga 
Ruang hampa, gelap, dan tak bercahaya 

Hologram membisu, juga merindu 

### 

Aku cuma lempung kampung yang bebas ditelikung maupun diserimpung 
Aku fana fatamorgana yang sudah sejak dulu kala menderita 

### 

Aku materi berfrekuensi yang siap meluruh menjadi energi 
Terbebas dari labirin yang menghimpit penuh ilusi halusinasi 

### 

Corona akan terus bertamu 

Tak ingin menyuruh-nyuruh: 
"Tuhan, lenyapkan corona itu" 

Malu nyuruh-nyuruh Al-Hayyu Al Mumiitu 
Siapa aku nyuruh-nyuruh 

### 

Aku kulit yang mengelupas terkena panas 
Melepuh dan melepas 

Berduyun-duyun sel-sel mengayun tunduk memohon agar bisa ilaihi roji'uun 

### 

Aku, 
si dungu letih ringkih yang hanya bisa bersembunyi dalam kelambu 

Kelambu kasih sayang tempatku bersembahyang 
Menyanyikan stanza cinta bergelombang 

### 

Tak ikut-ikut lagi menanam buah khuldi 
Seperti yang mereka lakukan setiap hari 

Memanen, menikmati, menanam lagi dan lagi 
Terus berulang-ulang kali 

Tak pernah puas dan tak menyadari, 
misi penciptaan diri 

### 

Biarlah aku di sini, 
mati, 
membunuh diri 

Tak terbuai lagi dengan khuldi khuldi 

### 

Corona terus bergentayangan 
Yang ini datang berbulan-bulan 

Yang lain (mungkin) bertahun-tahun 
Menggembalakan racun agar manusia kembali membaca afalaa ta'qiluun 

### 

Bagi para pecinta, 
racun tha'un itu adalah kritik mesra dan pesona kasih-Nya tak terkira 

Sumber gambar: 

Senin, 14 Oktober 2019

Nan Nappeun Saram Anya...


Oleh Nita Fahri Fitria

Lagi-lagi kasus bunuh diri pada salah satu ikon visual terbaik di industri hiburan Korea. Yang dipuja puji kecantikannya, tapi entah kenapa banyak juga yang menghujaninya dengan ujaran kebencian selama bertahun-tahun.

"Nan nappeun saram anya..." ujarnya suatu ketika, yang berarti "Saya bukan orang jahat".

Pada awalnya sang idol berusaha melawan segala komentar buruk dengan menampilkan sosok yang ceria sekaligus cuek. Tapi kemarin, ia ditemukan tak bernyawa di rumahnya sendiri.

Belakangan kita juga dihebohkan dengan film yang menunjukkan bagaimana transformasi seseorang yang pekerjaannya menghibur tapi justru menjalani kehidupan yang gelap dan berakhir menjadi seorang kriminal.

Bukannya membenarkan kedua perilaku tersebut, tapi ini sekali lagi menjadi peringatan bagi kita, bahwa kita adalah bagian dari sistem masyarakat yang memiliki potensi "memproduksi" berbagai jenis manusia

Ya, selain dari proses yang sangat individual seperti internalisasi nilai agama, ilmu pengetahuan, dan sebagainya, pengaruh dari lingkungan masyarakat juga merupakan faktor yang tidak kalah penting dalam proses pembentukan karakter serta pilihan-pilihan sikap seseorang.

Ini adalah soal bagaimana kita berkasih sayang kepada sesama manusia. Soal menaati anjuran Nabi, "Berkata baik atau diam", soal menaati perintah Allah, "Berbuat baiklah kepada orang lain sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu..." (QS. Al-Qasas : 77).

Membentuk masyarakat yang berkasih sayang, yang saling menjaga lisan dan perbuatan agar tidak menyakiti orang lain adalah bagian dari tugas kita sebagai manusia di muka bumi. 

Karena dengan berkasih sayang kita akan membantu banyak orang untuk bangkit dari keterpurukannya, termasuk mencegah seseorang dari keinginan mengakhiri hidupnya.

Tidak perlu menyalahkan iman orang lain yang lemah dan begitu mudah diterpa keterpurukan secara mental. Kita lah yang bertugas menjalankan tugas sebagai orang yang beriman, yang taat kepada Allah dan mengikuti sunnah Rasulullah untuk menjadi insan yang berkasih sayang.

Sumber gambar:

Senin, 17 September 2018

Mindful Couple: Dia adalah Jodohku



Oleh Duddy Fachrudin

Maria: Kamu percaya jodoh Fahri?

Fahri : Ya... Setiap orang...

Maria: Punya jodohnya masing-masing. Itu yang selalu kamu bilang. Aku rasa Sungai Nil dan Mesir itu jodoh. Senang ya kalo kita bisa bertemu dengan jodoh... yang diberikan Tuhan dari langit...

Fahri : Bukan dari langit Maria, tapi dari hati... dekat sekali

Jodoh. Satu kata yang membuat orang yang masih melajang namun sudah berkeinginan untuk menikah selalu bertanya pada dirinya: 

Kapan aku menikah? 

Atau benarkah dia jodohku yang tepat? 

Ada sebuah kekhawatiran yang melanda aspek psikologis seseorang ketika ia berada pada situasi tersebut. Situasi dimana ia akan berhadapan dengan dunia baru bersama pasangan hidupnya, yaitu membina hubungan berlandaskan sebuah ikatan yang sakral—mitsaqan ghaliza.

Maka memilih jodoh tidak bisa dilakukan secara sembarangan. Perlu hati-hati dan mindful, dilihat dan diamati bobot-bibit-bebet kalau kata orang Jawa. Bobot berkaitan dengan kualitas fisik dan mental serta keilmuan. Bibit berbicara tentang asal usul keturunan. Dan bebet hubungannya dengan status sosial.

Selain bobot-bibit-bebet, sebenarnya ada satu aspek lagi yang jarang diperhatikan, namun justru ini adalah tolok ukur yang sangat penting diantara ketiganya.

Jika bobot-bibit-bebet merupakan tolok ukur eksternal, maka yang satu ini bersifat internal.

Aspek itu adalah yakin bahwa dia jodoh kita.

Bagaimana kita bisa yakin bahwa dia adalah teman hidup yang akan selalu menyertai perjalanan hidup kita?

Seorang guru bijak berpesan agar kita senantiasa menangkap pertanda semesta yang hadir lalu lalang di depan mata.

Maka selaras dengan semesta adalah syarat kita memakna isyarat.

"Bagaimana?", tanya seorang murid. "Bagaimana saya bisa selaras dengan semesta ini wahai guru?"

Hening.

Seperti Fahri berujar, "Bukan dari langit Maria, tapi dari hati... dekat sekali".

Selaras.

Sumber gambar:
https://izzahbaridah.wordpress.com/inspiration/my-dream/mesir/