Tampilkan postingan dengan label Ignaz Semmelweis. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ignaz Semmelweis. Tampilkan semua postingan

Rabu, 20 Oktober 2021

Sikap Mindfulness Beginner's Mind: Gila Pada Jamannya (Bagian 3, Habis)



Oleh Tauhid Nur Azhar 

Namun ketika metoda desinfeksi dengan mencuci tangan hendak diperkenalkan sebagai salah satu protokol dasar sebelum tindakan, terjadilah penolakan masif di kalangan medis yang beranggapan bahwa teori Semmelweis tidak didukung oleh bukti bukti ilmiah yang memadai.

Maklumlah saat itu fasilitas dan alat pengamatan di bidang mikrobiologi belumlah berkembang seperti saat ini. Bahkan konsep mikroba sebagai patogen saja masih dianggap kontroversial. Meski Zacharias Janssen (1585–1632) seorang ilmuwan yang berasal dari Belanda, telah berhasil mengembangkan mikroskop dan selanjutnya seorang Antonie Philips van Leeuwenhoek, juga dari Belanda, telah menggunakannya untuk melakukan penelitian untuk melihat diertjes atau animalculum (hewan kecil, makhluk mikroskopis), tetapi konsep nosokomial dan patogen penyebab infeksi belumlah dapat diterima sepenuhnya oleh para dokter di masa itu.

Padahal mencuci tangan dengan klorin di masa Penicillin sebagai cikal bakal antibiotika modern belum ditemukan oleh Alexander Flemmings, adalah cara yang cukup efektif untuk mengurangi resiko terjadinya penularan patogen penyebab infeksi, tetapi kalangan medis saat itu punya pendapat yang berbeda.

Intinya pemikiran dan hipotesa Semmelweis dianggap radikal dan tidak cocok dengan fatsun ilmiah kedokteran yang saat itu diterapkan dan dijalankan segenap profesi medis di berbagai institusi pendidikan dan pelayanan kesehatan terkemuka.

Bahkan karena kengototan Semmelweis dalam memperkenalkan metoda desinfeksinya, ia dianggap mengalami gangguan mental. Nasibnya berakhir tragis dengan dikirimkan oleh para sejawatnya sendiri ke pusat perawatan jiwa pada tahun 1865.

Demikianlah sekelumit kisah hikmah tentang Semmelweis, sang inovator, yang seperti banyak inovator lainnya, dianggap gila pada zamannya, yang berawal dari sikap ingin tahu, bertanya, mengamati, meneliti, yang itu semua terangkum dalam sikap beginner's mind. 

Kelak waktu akan membuktikan bahwa pemikiran pemikiran mereka yang jauh melampaui jamannya akan mendapatkan pembuktian seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan metoda pembuktian yang belum ada di zaman gagasan terkait dilontarkan.

Semmelweis mungkin senasib dengan Nikola Tesla yang pemikiran dan karyanya baru termanfaatkan dan dapat dipahami hampir satu abad setelah pertama kali dicetuskan.

Simpulan dan hikmah yang dapat kita petik dari kisah hidup Semmelweis ini adalah betapa banyak gagasan aneh, bahkan gila, dan belum dapat diuji serta diukur efektivitasnya saat ini, barangkali adalah solusi masa depan yang akan kita butuhkan nanti. Maka inovasi dan kreativitas serta kejelian dalam memetakan hubungan sebab akibat adalah keniscayaan untuk menghasilkan sebuah terobosan yang menghadirkan kemaslahatan, bahkan dapat meningkatkan kualitas peradaban.

Sumber gambar:

Sikap Mindfulness Beginner's Mind: Gila Pada Jamannya (Bagian 2)



Oleh Tauhid Nur Azhar

Terlepas dari berbagai metodologi ilmiah yang berkembang tersebut, Semmelweis melihat bahwa kasus kematian di bangsal persalinan tentulah ada mekanisme sebab akibatnya. Untuk menemukan jawaban atas hipotesis sementaranya itu Semmelweis melakukan pengamatan dan pencatatan yang cukup detil terkait dengan berbagai kondisi, kegiatan, dan prosedur medis, serta berbagai peristiwa yang terjadi di kedua bangsal.

Semula Semmelweis menaruh curiga pada posisi pasien terkait prosedur medis yang dilakukan. Hal tersebut mengemuka karena ia melihat adanya perbedaan posisi pasien di kedua bangsal. Tetapi setelah dilakukan perubahan dan posisi pasien di kedua bangsal disamakan tetap saja perbandingan tingkat kematian tidak berubah.

Semmelweis berpikir keras dan mencoba mencari faktor penyebab lain yang dapat menjadi alasan rasional terjadinya ketimpangan tingkat kematian tersebut. Tak lama ia melihat bahwa ada kemungkinan kehadiran pendeta dan ritualnya setiap ada kematian di bangsal persalinan dapat memicu stres dan tekanan mental yang berakibat fatal pada pasien. 

Semmelweis melihat adanya perbedaan ritual di bangsal yang ditangani dokter dan di bangsal persalinan bidan. Sebenarnya pemikiran Semmelweis ini sudah menjangkau pendekatan psikoneuroimunologi yang saat ini berkembang pesat. Sayangnya saat itu setelah upaya meminimalisir ritual dan mengubah pola kunjungan rohani, ternyata tetap tidak terdapat perbedaan yang signifikan dari perbandingan angka kematian semula.

Semmelweis tak menyerah apalagi putus asa, ia terus berusaha mencoba mencari alasan paling rasional yang menjadi penyebab utama tingginya angka kematian di bangsal para dokter dan mahasiswa kedokteran. Hingga pada suatu hari Semmelweis mendapat kabar duka tentang kematian koleganya, seorang patolog, yang diduga akibat terkontaminasi dan terinfeksi patogen saat melakukan autopsi. Dan kejadian semacam itu jamak terjadi pada jaman itu. Patolog yang seyogianya bertugas mencari sebab sebab kematian melalui proses autopsi, kerap sakit dan bahkan meninggal karena tertular dari jenazah yang diautopsi.

Melihat kondisi tersebut Semmelweis mendapatkan suatu titik cerah. Dari catatan hasil observasinya, Semmelweis menemukan bahwa para dokter dan mahasiswa kedokteran selain menjalankan tugas klinik, juga mendapatkan penugasan untuk melakukan autopsi.

Ada kemungkinan pasca proses autopsi para dokter dan mahasiswa kedokteran yang langsung menangani persalinan justru menjadi vektor pembawa patogen infeksius ke pasiennya. Di zaman modern kondisi ini dikenal sebagai infeksi nosokomial.

Untuk membuktikan dan mencegah terjadinya kejadian serupa terus berlangsung, Semmelweis memperkenalkan metoda desinfeksi dengan menggunakan klorin/chlorine (Cl2) atau bentuk sediaannya NaOCl (sodium hipochloride). Hasil riset dan eksperimentasi kliniknya berhasil. Angka kematian di bangsal persalinan yang ditangani dokter dan mahasiswa kedokteran menurun seiring dengan diberlakukannya protokol mencuci tangan dengan klorin sebelum melakukan tindakan persalinan.

Sumber gambar:

Sikap Mindfulness Beginner's Mind: Gila Pada Jamannya (Bagian 1)



Oleh Tauhid Nur Azhar

Pandemi mengajarkan pada kita normalitas baru dalam beraktivitas dan berinteraksi di antara sesama manusia. 3M, 5M, bahkan 6M. Di antara M itu mencuci tangan menjadi salah satu M yang dianggap berperan signifikan dalam upaya mengurasi resiko penularan.

Kisah kita berawal dari soal cuci mencuci tangan, tetapi izinkanlah saya membawa kita semua mengembara menelusuri lorong waktu, kembali ke tahun 1846.

Alkisah pada tahun 1846 di Viena General Hospital seorang dokter Hungaria bernama Ignaz Semmelweis bertugas. Semmelweis bukanlah seperti klinisi pada umumnya, ia klinisi yang kritis dan gemar meneliti serta selalu mencari hubungan sebab akibat dari berbagai fenomena yang kerap dihadapi di rumah sakit.

Salah satu hal yang menarik perhatiannya adalah perbedaan angka kematian di bangsal persalinan yang ditangani dokter dan mahasiswa kedokteran dengan bangsal yang ditangani bidan. Tingkat kematian di bangsal persalinan yang ditangani dokter 5x lebih tinggi dibandingkan di bangsal yang ditangani bidan. Fakta ini amat mengganggu pikiran Semmelweis yang tak puas dengan berbagai penjelasan yang ada.

Meski pada masa itu metodologi penelitian klinis belumlah berkembang sebagaimana yang kita kenal hari ini, Semmelweis dengan jeli telah melihat adanya kemungkinan faktor-faktor penyebab tertentu yang mendasari terjadinya perbedaan tingkat kematian tersebut.

Pada abad ke X dunia sains telah diperkenalkan berbagai upaya validasi hasil pengamatan dan penerapan berbagai metoda untuk mencari hubungan baik asosiatif, korelatif, maupun kausalistik dengan model sampling dan pengujian yang dapat menjamin objektivitas, oleh seorang ahli optik Timur Tengah yang juga penemu kamera Obscura, Abu Ali Al Hasan Ibnu Haytham yang biasa dipanggil Al Haytham saja. 


Al Haytham adalah cendekiawan polimat yang berasal dari Basrah (kini masuk wilayah Irak). Pemikirannya banyak dipengaruhi oleh Aristoteles (384 SM–322 SM), Euclid yang hidup sekitar abad ke-4 SM, Ptolemy (90–168), ilmuwan Fisika Yunani Galen (129–200), Al-Kindi (801–873), Banu Musa yang hidup di abad ke-9, Thabit ibn Qurra (826–901), Ibrahim ibn Sinan (908–946), Al-Quhi, dan Ibn Sahl (940–1000). Intinya pendekatan bermetodologis ala Al Haytham inilah yang kemudian melahirkan revolusi sains dengan berbagai implikasi terapannya.

Perkembangan konsep metodologi ilmiah dan penelitian sendiri berlanjut berabad abad kemudian yang antara lain dikembangkan oleh Francis Bacon yang memperkenalkan metoda induksi. Dalam magnum opus-Novum Organum atau instrumen baru, Bacon ber­argumentasi bahwa meskipun pada umumnya filsafat menggunakan silogisme deduktif untuk menginter­pretasikan alam, terutama menurut logika Aristotelian, seorang filsuf dan ilmuwan seharusnya juga memulai penalaran induktif dari fakta ke aksioma, lalu ke hukum fisika.

Dimana metoda deduksi yang selama ini dikenal adalah metoda dengan proses penalaran dari satu atau lebih pernyataan umum untuk mencapai kesimpulan logis tertentu. Sedangkan metoda induksi ala Bacon adalah mengambil simpulan yang bersifat umum dari data dan fakta yang bersifat khusus.

Halaman Selanjutnya >>>