Tampilkan postingan dengan label Keseimbangan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Keseimbangan. Tampilkan semua postingan

Rabu, 20 Mei 2020

Menggapai Keseimbangan: Dari Spanish Flu Hingga Covid-19



Oleh Hamzah Abdurrahman

100 tahun sejak Spannish Flu yang menginfeksi 1/3 populasi dunia dan menelan lebih dari 50 juta korban jiwa[1], manusia kembali mendapat sebuah pandemi yang sangat menghebohkan masyarakat dunia: Covid-19.

Jika kita melihat sejarah terjadinya pandemi di muka bumi, mereka selalu menyisakan perubahan drastis bagi kehidupan manusia.

Seperti Spannish Flu pada tahun 1918 yang tepat sekali dengan berakhirnya Perang Dunia (PD) pertama. Dimana berakhirnya wabah tersebut merubah pemikiran manusia terutama dari sisi teknologi industri kesehatan.

Pasca wabah Spannish Flu, banyak sekali perusahaan kesehatan yang bermunculan baik itu dalam produk obat obatan, alat kesehatan, dan sebagainya. Hingga pada akhirnya, wabah tersebut hanya berlangsung selama 2 tahun hinnga berakhir di tahun 1920.

Berbeda dengan coronavirus yang terjadi tahun ini. Dimana virus tersebut datang ketika populasi manusia berjumlah 7,7 miliyar[2] dengan segudang masalah yang berdampak pada perubahan iklim.

Maka tak heran, sebelum terjadinya wabah ini, isu climate change dan lingkungan hidup menjadi pusat perhatian.

Meledaknya populasi manusia dalam 100 tahun terakhir, menuntut kebutuhan akan sumber daya alam dan lahan tempat tinggal menjadi semakin tinggi. Ditambah dengan meningkatnya populasi manusia di kota kota besar, menjadikan manusia terkonsentrasi di wilayah-wilayah tertentu atau biasa kita sebut dengan urbanisasi.

Pertambahan populasi manusia menjadi kesempatan orang-orang atau kelompok untuk menyediakan kebutuhan manusia seperti pangan, tempat tinggal, pakaian, mobilitas, dan berbagai jenis kebutuhan lainnya.

Bahkan bukan hanya menyediakan kebutuhan manusia, akan tetapi membentuk sebuah tren gaya hidup baik dalam bentuk fashion, kendaraan, properti, dan berbagai tren gaya hidup.

Demi memenuhi permintaan manusia akan kebutuhan dasar dan gaya hidup terjadi banyak eksploitasi alam dan perusakan lingkungan secara masif yang berlangsung selama puluhan tahun. Maka tak heran, dengan meningkatnya gaya hidup manusia, seringkali membentuk perilaku hedonisme.

Perilaku ini menjelma bak “virus” yang penyebarannya semakin cepat melalui perantara teknologi informasi. Tak heran jika barang barang branded, rumah dan kendaraan mewah mejadi cita-cita baru bagi manusia.

Bahkan beberapa kelompok manusia, rela mengurangi kebutuhan primernya seperti asupan makanan, hanya untuk membeli sebuah gadget Apple terbaru. Tentu hal ini menjadi sebuah fenomena yang mengkhawatirkan, dimana manusia menggeser prioritas akan kebutuhan hidup menjadi gaya hidup.

Hedonisme, perilaku berlebih-lebihan yang menggerus keseimbangan disadari oleh mereka yang peduli akan kesederhanaan.

Beberapa kelompok manusia, membuat sebuah inovasi untuk membantu merubah mindset manusia agar dapat mengendalikan diri dari berkembangnya moderenisasi.

Inovasi gaya hidup tersebut adalah hidup minimalis. 

Apa itu tren hidup minimalis? Pada dasarnya, tren ini mencoba mengembalikan fungsi atau skala prioritas manusia dimana kebutuhan hidup jangan sampai tergeser oleh gaya hidup.

Lalu apakah kita tidak boleh memiliki gaya hidup? Tentu saja boleh, namun kita harus bisa mengontrol keinginan gaya hidup dengan memperhatikan kemampuan diri sendiri.

Bahkan gaya hidup tersebut jika dimanfaatkan dapat meningkatkan produktivitas manusia. Sehingga kita hanya akan membeli barang jika memang barang tersebut diperlukan.

Tren minimalis kini bukan hanya sekedar tentang membeli barang yang perlu dan tidak diperlukan. Tren ini kini berkembang pada kepedulian akan lingkungan hidup bahkan pada arsitektur bangunan.

Tren minimalis kini memikirkan apakah aspek kehidupan kita mengganggu kesehatan dan kelestarian lingkungan, seperti mengurangi penggunaan plastik, pakaian untuk jangka waktu panjang, kendaraan berbasis motor listrik, hingga masuk pada tren untuk menggunakan kendaraan umum sebagai alat mobilitas utama.

Dari segi arsitektur atau kebutuhan akan tempat tinggal, tren minimalis menghadirkan solusi bagi masyarakat urban yang tinggal di daerah pemukiman padat. Tren ini mencoba memanfaatkan ruangan yang tersedia agar dapat memenuhi kebutuhan manusia, yaitu dengan mengoptimalkan ruangan rumah menjadi lebih efektif untuk digunakan.

Seorang arsitek Indonesia bernama Yu Sing memiliki semangat menghadirkan desain rumah ramah lingkungan bagi semua kalangan masyarakat. Konsep hunian yang dihadirkan Yu Sing memang sangat unik. Ia menghadirkan konsep hunian yang berkolaborasi antara alam dan manusia, agar memenuhi kebutuhan satu sama lainnya.

Bahan dasar rumah memanfaatkan material alam dan kearifan lokal seperti bambu, kayu, pelepah, dan sebagainya. Selain itu, Yu Sing memiliki konsep untuk memanfaatkan luas tanah yang bagi kebanyakan orang dianggap sempit, menjadi hunian yang layak, nyaman dan ramah lingkungan. Tentu sangat sejalan dengan tren minimalis diberbagai penjuru dunia.

Maka pandemi ini menjadi momentum perubahan perilaku umat manusia. Agar manusia lebih memperhatikan kepentingan bersama, mencegah diri dari melakukan kerusakan, meninggalkan hedonisme, dan belajar untuk mengembangkan hidup minimalis. Sehingga bumi ini dapat merasakan kembali keseimbangan alam yang telah lama ia rindukan.

Wa laa tufsidu fil-ardi ba’da islaahihaa wad’uhu khaufaw wa tama’aa, inna rahmatallahi qariibum minal-muhsinin. (QS. Al-A’raf: 56)

Referensi:
[1] https://www.cdc.gov/flu/pandemic-resources/1918-pandemic-h1n1.html
[2] https://www.worldometers.info/world-population/world-population-by-year/

Sumber gambar: 
Dokumentasi Pribadi 

Minggu, 03 Mei 2020

Dialektika Dalgona Corona



Oleh Duddy Fachrudin 

Andaikan corona itu senikmat kopi dalgona, akankah engkau akan mereguknya dan membagi-bagikannya? 

Sayangnya corona bukanlah kopi dalgona. Ia penebar rasa takut akan keberlangsungan eksistensi manusia. 

Berita tentang corona disebarluaskan agar manusia memperhatikan dan waspada terhadap ancaman nyata di depan mata. 

Manusia lebih awas dan was-was:
-yang batuk, corona 
-yang bersin, corona 
-yang demam, corona 
-yang tiba-tiba tergeletak pingsan, corona 
-yang blablabla, corona 

Berstatus sebagai pembawa kepanikan, penyebab kematian, dalangnya PHK, aktor dari resesi ekonomi, popularitas corona saat ini nomor satu di dunia. Corona menjadi perbincangan setiap hari. 

Corona dimusuhi dan disumpahserapahi. 

Corona diteliti, ditelusuri secara ilmu bumi. 

Corona juga dikagumi karena berhasil membuat langit bersih dari polusi. 

Corona benar-benar menjadi selebriti. Apalagi pemerintah menyiarkannya saban hari. Memberikan informasi kepada masyarakat mengenai perkembangan terkini. 

Tapi... 

Bagaimana jika corona itu adalah sesuatu yang baik, nikmat, dan bikin selamat dunia akhirat. Apakah orang-oarang akan mendatanginya dan menyiarkannya? Apakah kemudian pimpinan negara dan bangsa akan mewartakannya setiap 24 jam kepada rakyatnya? 

"Opo sing enak karo gawe slamet Mbah, " tanyaku pada Simbah sore itu. 

Simbah menimpai, "Lalalah, kamu itu manusia berpendidikan. Kuliah sampai es es es san takon sama Simbahmu yang cuma kutangan." 

Simbah cengar cengir menatap wajahku yang kebingungan. Tapi senyum itu setidaknya bukan cengengesannya para manusia takabur saat awal corona menyapa negeri manusia. 

Sejurus kemudian Simbah bilang lagi, "Kurang ajar betul kalau setelah corona pulang manusia-manusia ini tidak berubah. Kapitalisme yang memuja eksplorasi dan eksploitasi tanpa batas saat ini ketar ketir dihantam corona. Tobat... tobat. Globalisasi materialisme sudah tak berarti lagi. Corona telah menelanjangi kebobrokan ahlak dan gaya hidup manusia." 

Sejenak Simbah menyeruput kopi pahitnya, "Artinya kapitalisme dan materialisme sekaligus hedonisme iku ojo dijadikan peganganmu urip nang dunyo iki, anakku... Tak perlu bermegah-megahan, apalagi sikut-sikutan meraih pucuk kepemimpinan. Coba ndelok corona, tak kasat mata. Ora perlu eksistensi untuk menjadi hebat." 

Simbahku menatap wajahku yang dungu dengan teguh. 

"Le, hidup nikmat lan slamet iku ya sumeleh... Meleleh dalam tresno Gusti Allah. Ndak penting kamu jadi apa, pake baju keren atau kutangan gini. Sing penting kamu rela, ridho, ikhlas menjalani semuanya. Untuk bisa ke arah sana gunakan ilmumu untuk mencinta Tuhanmu, mencinta Muhammad Nabimu... 

Kalau kamu cinta, itu seperti meleburnya susu putih sama kopi kentel di dalgonamu itu. Gimana rasakne?" 

Aku cuma bisa mengangguk. "Nggeh Mbah." 

Lagi-lagi Simbah nyerocos kayak sepur malam, "Kamu itu mandat-Nya, diciptakan dengan tujuan mulia, menanam benih manfaat buat generasi selanjutnya. Nandur. Iku sing arane menungso." 

Aku lagi-lagi mengangguk kayak wayang yang sedang dimainkan dalang. 

Dalam diam aku termangu, lalu kuberanikan menyampaikan seuntai tanya kepadanya. 

"Kalau corona itu baik dan membaikkan, nikmat bin membuat selamat dan itu bernama sumeleh, mencintai-Nya dan utusan-Nya, tidak bermegah-megahan, tidak materialis dan tidak kapitalis... Apakah pemimpin akan memberitakan sekaligus mengingatkan warganya untuk berlaku demikian?" 

Senja sore itu mulai tenggelam.

"Pemimpin itu kan ndak harus presiden dan menteri toh. Pemimpin itu ya semua orang. Ketoke kamu sudah mulai waras dadi menungso... 

Jadilah bergerak tanpa terlihat, lalu membelah diri hingga dua, empat, delapan hingga tak berhingga... Jadilah cinta, jadilah dalgona. Tapi untuk itu kamu akan melewati fase kepahitan seperti kopi yang diminum olehku... Sampai kamu merdeka dan memiliki kedaulatan. Dan tetaplah setia dengannya. 

Berjalanlah... berjalanlah." 

Simbah menyeruput sisa terakhir kopi pahitnya. 

Senja akhirnya benar-benar tenggelam. 

Dalam hati aku bergumam, "Membelah diri?" 

Sumber gambar: 

Rabu, 15 April 2020

Saat Bala Melahirkan Waskita (Bagian 2, Habis)



Oleh Tauhid Nur Azhar 

Kecerdasan kognitif terkanalisasi dalam saluran berprioritas tinggi untuk memodulasi, bahkan memanipulasi berbagai potensi untuk mempertahankan eksistensi. 

Kebijakan didominasi upaya terkonstruksi mempertahankan eksistensi, bahkan melalui cara-cara yang bersifat agresi, ekspansi, okupasi, dan terkadang semua itu disertai sifat destruksi. 

Angkara yang bersimaharaja, berkelindan dengan banjir neurotransmiter pengeksitasi dan melahirkan ketrampilan berseni tinggi dalam proses mengeksploitasi berbagai hal yang semestinya dimaknai sebagai potensi untuk berbagi. 

Domain qualia atau roso yang sebenarnya merupakan representasi akumulasi kecerdasan dalam modul intelijensia qolbiyah, kini menyusut kisut, terpojok ke sudut, tergantikan oleh pusaran vorteks kusut yang berasal dari olah pikir yang kalut. 

Ketidakseimbangan stream konektomik antar wilayah pengambilan keputusan strategik, mengakibatkan lahirnya turbulensi sistemik. PFC dan Insula sulit berkolaborasi dengan area Basal Ganglia. 

Hipokampal area teralienasi dalam kepungan arus deras kecemasan yang membanjir deras, dari hulu Batang Otak yang telah tererosi dan daya dukung rasionalnya terdegradasi. 

Konflik keluarga sesama trah prosensefalon yang rukun sejak embrional kini meruncing. Telensefalon tak lagi bertegur sapa dengan diensefalon. Neokorteks dan PFC tak lagi hangat bercerita dengan thalamus dan hipokampus. 

Apalagi jika bicara di tingkat wangsa keturunan tuba neuralis: prosensefalon, mesensefalon, dan rhombencephalon yang telah berdiferensiasi dan mengalami spesifikasi fungsi meski sudah semestinya terus menyambung silaturahmi dan membina komunikasi karena toh bersama menjalankan banyak fungsi. 

Grup WA keluarga menjadi panas, banyak kasus unfriend dan unfollow di berbagai media di mana bagian-bagian fungsional otak semestinya saling berinteraksi untuk membangun sinergi. 

Maka tak heran jika jonggring salaka bernama qualia terdampak panasnya olakan kawah Chandradimuka yang meletupkan nafsu membara dari dasar dapur magma naluri manusia. 

Dan kini di saat langit mendadak sepi dan riuh rendah jalanan tak lagi bersahutan. Ada bisikan halus yang perlahan terdengar semakin keras. Bahkan semakin lama semakin tegas. Mungkin agar selain mulai berpikir cerdas, juga harus bertindak gegas, sekaligus belajar bersikap ikhlas. 

Pageblug meredam nafsu kemayu untuk tampil oke selalu, ia menggantikan itu dengan panggilan cumbu rayu untuk bersatu dan melangkah secara padu. 

Kearifan dan welas asih kembali mendapat pentas yang pantas untuk tak sekedar menyintas, tapi juga menjadi bagian dari solusi tuntas. 

Mari kita lihat bagaimana kini manusia lebih peduli pada saudara dibanding pada dirinya sendiri. Empati lahir dalam bentuk partisipasi untuk saling mensubstitusi dan melengkapi apa yang kini banyak tak lagi dimiliki. 

Kolaborasi hadir nyaris tanpa koordinasi karena yang berbicara adalah frekuensi hati. OFC, PFC, ACC, dan Insula tak lagi menjadi sekedar kuda penghela, melainkan ber tiwikrama menjadi maruta (angin) yang memutar kincir peniup akasa (langit) yang menjadi media lahirnya dahana (api). 

Daya guna bertenaga untuk mengubah petaka menjadi penyubur banthala (bumi) dengan berpandu kerlip kartika (bintang) ilmu yang menjadi navigasi dalam proses mencari jati diri. 

Maka pageblug ini adalah medan kurusetra dimana angkara akan berguguran disapu sifat Asta Brata yang merepresentasi jiwa ksatria dalam setiap dimensi spiritual manusia. 

Lihatlah ksatria-ksatria muda dari berbagai tlatah bangsa, kini menyatu bersama, mengikhlaskan diri dalam jalan dharma bagi kepentingan ummat manusia. 

Inilah mungkin makna qualia semesta yang datang bersama bala yang seolah merenggut rasa aman maya, dan menghempaskan kita ke dasar nalar tak berkadar. 

Dan di saat terkapar, terlihatlah kerlip berpendar di tubir sadar... selalu ada jalan keluar, jika ada kekuatan untuk bersandar. 

La haula wala quwwata illa billahil aliyil adzim,  lafadz hauqalah yang menisbatkan bahwa kita semua tak bisa terlepas dari kuasa dan ketentuan Allah.

Sumber gambar:

Saat Bala Melahirkan Waskita (Bagian 1)



Oleh Tauhid Nur Azhar 

Belum lama ini sehubungan dengan perkembangan wabah atau pageblug yang diperantarai virus SarsCoV-2, Sultan HB X menyampaikan petuah dari Sultan Agung Hanyokrokusumo yang sangat relevan dalam memaknai kondisi yang terjadi saat ini; Mangasah Mangising Budi, Memasuh Malaking Bumi

Maknanya adalah; mengasah ketajaman akal-budi, membasuh malapetaka bumi. Ini sejalan dengan dalil: 

"Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)" (QS Ar-Ruum: 41) 

Pageblug ini adalah sebuah peringatan, sekaligus sebuah proses pembelajaran komprehensif yang menempatkan manusia di posisi untuk melakukan proses kontemplasi dan secara paralel "dipaksa" untuk berpikir sistematik dalam menemukan solusi yang bersifat sistemik. 

Ketidak berimbangan pada proses eksploitasi dalam rangka mengakomodir pemenuhan kebutuhan akan rasa aman yang berlebihan, telah menempatkan manusia dalam posisi gagal mensyukuri dan menahan diri dalam mengambil manfaat di semesta sebagaimana yang telah dijanjikan. 

Padahal segenap potensi alam yang telah diciptakan Allah Swt., tak lain dan tak bukan dimaksudkan untuk diolah hingga memiliki nilai tambah serta dapat dimanfaatkan sebagai bagian dari berkah. 

Kajian tafsir, baik tafsir bil ma'sur maupun tafsir birra'yi dari berbagai ayat Allah tentang potensi sumber daya alam, menunjukkan bahwa memang semestinya manusia dapat mengolah dan mengambil manfaat dari semua yang telah diciptakan Allah hingga dapat menghadirkan banyak hal yang bersifat maslahat. 

Tetapi sekali lagi, jika saya boleh menyitir nasehat Sultan HB X, masalah kita terkait naluri impulsi serakah tak terlepas dari karakter 3G berikut: golek menange dewe (mencari menangnya sendiri), golek butuhe dewe (mencari kebutuhan sendiri), dan golek benere dewe (mencari benarnya sendiri). 

Karena teknologi teleko sudah berkembang, izin saya menambahi menjadi 5G ya: golek senenge dewe, dan golek slamete dewe

Egosentrisme yang lahir dari kinerja survival tools di otak manusia. Ketika spektrum naluri limbikiyah telah memancarkan sinar yang berintensitas tinggi, maka spektrum waskita perlahan berpendar menuju pudar karena terinferensi gelombang yang didominasi kecemasan yang berenergi reduksi yang condong mengeliminasi. 


Sabtu, 14 Maret 2020

Kesehatan, Corona, dan Puasa


Oleh Duddy Fachrudin

Setelah menderita ALS di usianya yang ke-21, Stephen Hawking diprediksi tidak akan bertahan hidup lebih dari 2 tahun. Nyatanya ia kemudian bisa terus melanjutkan hidupnya selama 55 tahun, meninggal di usia 76 tahun.

Kesehatan, meski dapat diukur secara empiris melalui berbagai variabel fisik, masih menyimpan sejuta misteri. Bahkan, kesehatan bisa menjadi rahasia dan urusan Tuhan. 

Para centenarian yang diteliliti oleh Dan Buettner di lima wilayah dunia menghasilkan kesimpulan bahwa kualitas kesehatan manusia yang berusia 100 tahun itu dipengaruhi oleh jamak faktor. Bukan melulu soal makanan dan aktivitas gerak, melainkan kehidupan sosial, kualitas mental, hingga terkait ritual atau kepercayaan tertentu yang mereka anut. 

Maka, kesehatan sesungguhnya berkah. Hadiah dari Allah Swt. yang perlu dirawat dan dijaga dengan penuh cinta dengan menjadi dokter bagi diri sendiri. 

Hal ini lebih penting lagi dan mendesak di kala situasi pandemi virus corona di berbagai belahan dunia. Individu yang memiliki kekebalan tubuh yang rendah, para lansia, mereka yang memiliki kadar gula tinggi, hipertensi, penyakit jantung, dan permasalahan pada paru-paru lebih rentan terpapar Covid-19.

Jeda dan karantina adalah suatu yang niscaya. Bukan hanya bertujuan menghentikan transimisi virus, tapi juga sebagai ajang puasa diri dari perhelatan dunia.

Bukankah Le Chatelier pernah bilang bahwa saat sistem kesetimbangan mengalami perubahan, maka ia berusaha menyesuaikan dirinya untuk kembali pada kondisi kesetimbangan baru? 

Mungkinkah dunia ini sudah berada dalam "ketidaksetimbangan" akibat perilaku manusianya? Jika iya, maka puasa adalah salah satu bentuk mengembalikan kesetimbangan individu dan juga tatanan sosial.

Puasa dari makan minum berlebihan dapat menormalkan kadar gula darah dan tekanan darah, meningkatkan imunitas, serta pastinya menyehatkan organ tubuh.

Kemudian puasa dari perbuatan, perkataan, pikiran, dan perasaan negatif.

Puasa dari memperlakukan alam seenaknya.

Puasa dari gaya hidup kotor yang tidak memperhatikan kebersihan.

Dan tentu saja puasa dari materialisme dan kapitalisme.

Kebijakan "karantina" di berbagai negara atau daerah adalah hikmah sekaligus momentum perbaikan. Apalagi 11 hari dari sekarang adalah Hari Raya Nyepi dan 40 hari lagi adalah awal Bulan Ramadhan.

Selamat jeda. Selamat berpuasa.

Sumber gambar:
https://publichealthmatters.blog.gov.uk/2020/01/23/wuhan-novel-coronavirus-what-you-need-to-know/

Jumat, 12 Januari 2018

Coutinho, Keseimbangan, dan Resolusi 2018

Philippe Coutinho

Oleh Duddy Fachrudin

Sejak Neymar bercerai dengan Barcelona dan bergabung dengan Paris Saint-Germain, Luis Suarez dan Lionel Messi kehilangan partner terbaik di lini depan El-Barca. Demi mempertahankan formasi 4-3-3 yang sudah menjadi pakem dan andalan Barcelona, pihak manajemen berburu pengganti Neymar. Sosok Ousmane Dembele, winger Borussia Dortmund yang masih berusia 20 tahun pun direkrut dengan harga fantastis. Pemuda Prancis itu dihargai 105 juta Euro atau 1,6 triliun Rupiah. Namun lacur, sang pemain cedera parah di awal musim. Tak jarang formasi 4-3-3 diubah menjadi 4-4-2 dengan hanya Suarez dan Messi sebagai duo maut pengoyak jala lawan.

Meskipun Barcelona kokoh di puncak klasemen Liga Spanyol, dan Dembele segera pulih dari cederanya, tim asal Catalan itu tetap membutuhkan gelandang serang kreatif selevel Neymar. Apalagi mereka masih memiliki uang yang melimpah dari hasil transfer Neymar yang mencapai 222 juta Euro. Dan akhirnya, The Magician alias Si Pesulap Coutinho berhasil didatangkan dari Liverpool dengan mahar 2,58 triliun Rupiah.

Skill Coutinho tidak perlu dipertanyakan lagi dan levelnya di atas Dembele, bahkan mendekati Neymar. Barcelona membutuhkan Coutinho untuk menjaga keseimbangan lini depannya tetap sesuai formasi ideal. Selain itu teman dekat Neymar itu juga menjaga regenerasi pemain tetap berjalan di Barcelona. Tiga atau empat tahun lagi, Messi dan Suarez berada sudah memasuki usia pra-pensiun, dan Coutinho sosok yang pas untuk memimpin lini serang El-Barca. Resolusi rival abadi Real Madrid di tahun 2018 itu terpenuhi. Ya, resolusi itu bernama keseimbangan.

Resolusi. Biasanya orang-orang mulai memikirkan harapan, cita-cita, impiannya di tahun baru sejak menjelang pergantian tahun atau di awal bulan di tahun baru. Apa ya resolusi saya?, begitu kira-kira Anda bertanya pada diri Anda sendiri.

Jika berkaitan dengan prinsip mindfulness, maka sesungguhnya kita “tidak membutuhkan resolusi”. Loh, apakah itu berarti tidak memiliki harapan atau cita-cita?

Tentu, tidak seperti itu. Salah satu sikap mindfulness sendiri adalah non-striving atau tidak berambisi. Kita tetap memiliki harapan dan impian. Dan cita-cita yang terpatri dalam hati di tahun yang baru diwujudkan dalam proses yang mindful, ora kemrungsu (tidak terburu-buru apalagi hingga sampai menghalalkan segala cara), sabar, penuh dengan kebersyukuran, termasuk menerima segala tantangan maupun hambatan dengan bijaksana. Saat resolusi tercapai, justru kita belajar untuk melepaskan kelekatan terhadap apa yang sudah kita raih atau miliki. Resolusi pun difokuskan pada aspek yang belum kita capai. Misalnya, jika kita telah sukses dalam materi, namun secara emosional belum sukses (baca: masih belum dapat mengelola emosi secara baik), maka kita dapat memfokuskan resolusi kita pada peningkatan kualitas emosi pada diri ini. Inilah non-striving.

Tidak perlu buru-buru. Toh, Philippe Coutinho yang sudah menjadi incaran Barca sejak musim panas lalu, akhirnya berlabuh juga di Camp Nou musim dingin ini.

Maka non-striving sesungguhnya mengajarkan kita untuk hidup seimbang dan living mindfully. Karena kesuksesan sejati berarti kita berada pada titik equilibrium, seimbang di semua aspek kehidupan.

Lalu, apa resolusi Anda di tahun 2018 ini?

Sumber gambar:
https://twitter.com/phil_coutinho